Saturday, December 30, 2006

Qurban

Lebaran lagi, idul Qurban. Selamat Idul Adha.
Semoga kita bisa mengikuti kesalehan Ibrahim,
ketaatan Ismail,
ketegaran Siti Hajar,
dalam berkehidupan.

Semoga...

Saturday, December 23, 2006

Sale

Mendekati Cristmast saat ini, saya lalu teringat saat-saat lebaran di tanah air. Bukan suasana religiusnya yang kumaksud, tapi suasana lain. Apa itu? Belanja.

Ya, belanja. Rupanya kekuatan capital telah mengubah cara pandang banyak orang (termasuk saya) dalam memaknai ibadah. "Lebaran Sale", "Jadikan Lebaran Anda lebih Berkesan", adalah sekedar contoh dari kekuatan itu untuk mengajak kita tentang bagaimana memaknai lain lebaran. Jadilah saya menjadi suntuk dan ngambek saat kecil dulu tidak dibelikan pakaian lebaran. Sampai mengancam tidak akan puasa segala. Untungnya, bapak dulu sangat "kikir" untuk urusan--yang menurutnya mubazir--seperti ini. Baginya, lebaran dan baju baru tidak punya korelasi positif.

Nah, menyambut Cristmast pun, kekuatan itu menunjukkan rupanya yang luar biasa. Semua toko berlomba memajang patung santa di depan pintu masuk toko mereka. Belum lagi hiasan pohon natal yang besarnya luar biasa, lengkap dengan kerlap-kerlip lampunya. Soal diskon, jangan ditanya. Cristmast sale dan semacamnya menjadi hal yang lumrah. Ada bahkan toko yang "mengklaim" bahwa tokonya adalah tempat santa berbelanja. "xxx, where all Santas shop".

Reaksi untuk ini pun bukannya tidak ada, namun tetaplah tidak seramai dengan iklan dan seruan untuk memaknai natal dengan cara yang berbeda. Media juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan "lain" itu.

Tapi pagi tadi saya baca satu artikel yang menyoroti hal ini. Ada semacam parade pendapat yang semuanya mengkritisi cara ber-natal ini. Kaum sekularis menyebutkan bahwa sudah saatnya untuk mengembalikan natal kepada natal yang sesungguhnya dan merayakannya dengan cara-cara traditional sebaimana dulu dilakukan di Roma, tepatnya in ancient Rome. Saat itu cristmast disebut sebagai Saturnalia, dimana festival traditional dilakukan setelah mereka melakukan ibadah di gereja. Festival ini pun jauh dari kesan hedon, sebagaimana biasanya dilakukan sekarang.

Kaum anti-capitalist juga tak ketinggalan. Mereka mengkritisi Cristmast lebih kepada perayaannya yang terkesan berlebihan dan malah jauh dari sifat dasar cristmast itu sendiri. Menurut mereka, being anti capitalist does not exclude you from being Cristian or any faith. But there is pressure being put on people to spend, spend, spend at this time of year. Shops are under pressure to sell and people are under pressure to buy. Begitulah hukum belanja, bung..

Ada pula kaum anti-symbolist yang sangat sesak dengan makin banyaknya simbol-simbo kosong yang menyertai hidup kita. Sama dengan di Indonesia, dimana pemerintah-pemerintah daerah lebih sibuk menjual image dengan perda syariat islam daripada mengurusi sekolah-sekolah yang rusak dan orang-orang miskin yang tak tahu apakah besok mereka akan makan atau tidak. Kaum ini merasa mereka tidak bisa lari, setidaknya dalam 2 bulan terakhir, tanpa dibombardir dengan orang tua berpakaian merah serupa Santa, yang menurut mereka hasil rekaan Coca Cola. Parahnya, Santa ini bukannya memberikan hadiah malah mengajak orang untuk makin rajin menggesek debit dan credit card mereka.

Lalu, bagaimana selanjutnya? Laporan kahir tahun perusahaan-perusahaan tentu saja menunjukkan lonjakan berarti dari sisi penjualan mereka. Itu untuk generalisasi saja, meski banyak juga yang bangkrut karena tak mampu bersaing untuk membujuk.

Saya hanya tahu, sungguh sulit untuk lari dari kata ini, "Sale". Entah itu saat lebaran--dimana keramaian di Mall jauh lebih tinggi daripada di mesjid saat mendekati akhir ramadhan--atau pun saat Natal seperti ini.

Selamat berbelanja..

Wednesday, December 20, 2006

Menulis Lagi

Setelah beberapa waktu tersudut oleh setumpuk assignment, yang mengerjakannya pun masih model lama (kebut sebelum deadline) akhirnya saya ada waktu untuk sekedar menengok blog ini, yang lama kutinggalkan.

Awalnya ada niatan untuk memanfaatkan libur, mungkin ke beberapa tempat yang belum terjamah. Untuk urusan ini, banyak nama kota yang sudah masuk dalam list, namun begitulah, dekat-dekat cristmast ini tiket kereta dan coach jadi sedikit tidak bersahabat. Eh, tiba-tiba ada telpon dari teman yang memintaku untuk jadi moderator di acara "ilmiah" PPI UK di KBRI London, maka daftar kota tadi harus disimpan dulu. Mungkin sambil menunggu tabungan cukup sambil berharap dapat tambahan dengan kerja di cristmast ini.

Selang beberapa hari dari acara temu ilmiah itu, acara PPI UK masih lanjut lagi dengan pemilihan ketua dan pengurus baru organisasi itu. Lucu juga saat melihat bagaimana Mubes berjalan. Saat itu saya dan beberapa teman hanya menjadi peserta peninjau. Rapat sudah berjalan sekitar tiga jam namun bahasan mengenai tatib (tata tertib) sidang belum juga rampung. Jika dilihat dari draft nya, maka sebenarnya cuma butuh sekitar 30 menit. Namun begitulah, efisiensi dan efektifitas belum menjadi perhatian utama dalam rapat-rapat di Indonesia, yang kini menghinggapi juga mereka yang di sini.

Seorang kawan yang kuliah di LSE, berseloroh bahwa mahasiswa yang menjadi peserta rapat kali ini kebanyakan anak babe dan nyokap (itu kutipan aslinya--tak jadi soal tepat tidak pasangan katanya) yang saat di Indonesia tak biasa berorganisasi dan sekarang mengumbar tindakan karitatif yang membuat organisasi ini seolah arisan keluarga. Ia memang jengah setelah mengikuti kampanye di milis yang memuat kampanye, visi-misi serta program kerja calon ketua.

Ada calon yang menjadikan rekreasi sebagai program kerja utama dengan target menguatkan kekerabatan dan kebersamaan. Baginya, organisasi ini tak ubahnya arisan keluarga, yang selalu menanti waktu untuk saling tukar cerita dan mungkin membuat janji, kemana lagi kita harus membuang duit. Soal ada orang yang butuh lebih dari sekedar rekreasi, itu soal lain. Ada pula calon yang seolah kakinya tak berpijak di bumi. Bagi calon ini, Indonesia sangat berharap (sekali) kepada mahasiswa Indonesia di perantauan. Entah ia lupa bahwa luar dan dalam negeri, kini tak lebih dari sekedar imaji.

Begitulah, beberapa waktu sempat tak menengok rumah ini, banyak hal yang menarik namun tak sedikit pula yang tak berarti.

Thursday, December 14, 2006

CSI's effect

Berita tentang pembunuhan terhadap beberapa PSK (aduh, istilah ini pasti ditentang oleh feminists dan pemerhati masalah gender) di Ipswich menjadi berita hangat selain ditemukannya bukti baru tentang kematian Putri Diana, dan dimintainya keterangan dari Tony Blair tentang sebuah kejahatan.

Pembunuhan ini menjadi berita hangat karena efek yang ditimbulkannya, sampai pihak kepolisian menganjurkan wanita untuk tidak keluar malam sendirian.. Belum lagi jumlah korban yang banyak dan model pembunuhannya yang mirip dengan cerita-cerita detektif di pilem-pilem atau novel. Media Inggris menyebutkan bahwa pembunuhan ini berseri dan meninggalkan semacam "trademark" yang tentu saja menantang polisi untuk mencari siapa dalangnya.

Namun, tak luput pula beberapa kalangan melihat pengaruh televisi terhadap timbulnya pembunuhan berseri ini. Serial CSI (Crime Scene Investigation) ditunjuk sebagai ilham bagi terjadinya pembunuhan. Serial lainnya tak luput dari argumen ini seperti, Waking the Dead, Cracker and Silent Witness, dimana mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memcahkan kasus. Benarkah?

Serial ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana polisi dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan alat canggih mampu memecahkan kasus-kasus yang dianggap sulit. Ada dua seri dari serial CSI ini, CSI Miami dan CSI Newyork. Jam tayangnya berurut, dimulai dengan CSI Miami, setiap rabu malam. Nah, kalangan yang menilai bahwa televisi, dalam hal ini CSI, sebagai ilham bagi pembunuh menganggap bahwa serial CSI ini memperlihatkan kemampuan dan metode polisi dalam memecahkan kasus. Ini tentu saja memberi kesempatan bagi pembunuh untuk mencari celah dari kapasitas polisi tersebut.

Saya lalu teringat ketika banyak pihak menyayangkan pemberitaan kriminal serupa BUSER, Sergap dan sejenisnya. Menurut mereka, tayangan itu tak lagi murni tayangan kriminal dan sekedar mencari sensasi dan keuntungan dari kesalahan penajahat-penjahat kecil. Teman saya yang wartawan pasti sangat bisa menjelaskan masalah tayangan ini. Tayangan ini pun dituding membeberkan rahasia kepolisian termasuk dalam hal memecahkan kasus. Entah benar apa tidak, yang jelas saya ingat bagaimana seorang pencuri ayam mengaku mendapatkan ilham dari menonton tayangan kriminal semacam ini.

Pengaruh tayangan televisi pun makin kuat dipertanyakan. Apalagi kasus Smackdown yang sampai menelan korban jiwa, meski, jika ingin disangkal sekali lagi, LaTivi sebagai media yang menayangkan Smackdown telah menjalankan program tersebut sesuai dengan aturan yang ada. Artinya, secara de jure, mereka tidak bisa dinyatakan bersalah.

Kembali ke soal CSI dan pembunuhan di Ipswich, beberapa pihak juga mengatakan bahwa tak perlu merisaukan tayangan-tayangan televisi itu. Toh, seperti klaim Sharlock Holmes, detektif favorit saya, "Every contact leaves a trace". Dan lagi, polisi Inggris kini punya "Bible" yang baru (Murder Investigation Manual 2006). Mereka yang berpendapat ini mungkin jelas melihat televisi sebagai industri semata.

Bagi saya, tayangan televisi tetap memberikan pengaruh luar biasa bagi penonton. Terlepas dari CSI's effect dan Smackdown effect, rasanya masih banyak acara-acara lain yang harus diwaspadai, sebab cenderung mencederai logika dan menghilangkan kesadaran. Serupa yang terjadi di Indonesia, ketika televisi dengan semena-mena menjajah dengan beragam acara yang kadang dipaksakan sebagai hiburan atau informasi, bahkan kadang dicampur adukan sehingga makin membingungkan. Dalam kesempatan lain pun, televisi tak luput menjajakan mimpi bagi kita. Lalu? Tak perlu parno, menontonlah secukupnya dan seperlunya. Jangan banting televisi anda, apalagi jika itu tivi plasma keluaran terbaru..

Saturday, December 09, 2006

Selamat

091220016

Lumpur Lapindo...
Semburan gas di kalimantan..
Sekolah rubuh..
Pungutan liar Imigrasi.


Selamat berhari Anti Korupsi se-Dunia.

Monday, November 27, 2006

Keterlaluan

Membaca berita ini membuat saya membayangkan bahwa negeri Indonesia sedang makmur-makmurnya hingga duit dari pajak dan retribusi rakyat bisa dipakai untuk membiayai ibadah beberapa orang. Atas nama pengawasan dan peningkatan pelayanan Haji, beberapa anggota dewan berangkat (tepatnya, diberangkatkan. Atau minta diberangkatkan?) haji dengan biaya APBD.

Duit retribusi yang dikumpul dari warung nasi goreng langganan di pintu dua, sopir pete-pete maros-daya, penjual baronang segar di pasar ikan, coto makassar di dekat pom bensin pintu satu, dan pajak kendaraan bermotor kakak saya, dipakai untuk membiayai ibadah mereka. Luar biasa.

Semoga menjadi Haji yang Mabrur, pak...

Sunday, November 26, 2006

Gandum

Jumat kemarin, ada diskusi menarik di kedutaan. Temanya luar biasa, "what shall we do for Indonesia", begitu kira-kira ringkasan tema yang panjang itu. Diskusi dilengkapi dengan tambahan informasi dari Pak Amien Rais, mantan ketua MPR yang dibajak di tengah jadwal resminya.

Yang menarik bagi saya, praktis semua sepakat bahwa semua entitas yang ada di luar negeri, baik itu pelajar, pekerja atau yang lainnya, perlu memberikan kontribusinya terhadap Indonesia yang sedang goyah, untuk tidak mengatakannya sekarat. Namun yang saya tidak habis pikir, banyak juga yang sering melihat Indonesia dari kacamata berbeda. Berbeda karena yang diungkapkan tak lebih dari ikrar penyesalan. Maka dibandingkanlah Indonesia dengan negara maju ini. Tidak diskriminasinya, demokrasi, hingga macet di jalan raya. Bagi saya, itu memang hak prbadi, namun apakah tak bisa kita berhenti sekedar membandingkan dan coba berpikir bahwa begitulah adanya Indonesia. Sebab komparasi yang diambil pun kadang tidak tepat dan terkesan dipaksakan.

Okelah, kenikmatan dan keteraturan hidup seperti yang dirasakan saat ini adalah dambaan dan idaman setiap manusia, tapi mbok ya dilihat juga konteksnya. Capek saya dengar keluhan terus dari orang-orang Indonesia yang disini dan selalu beranggapan hopeless untuk hidup di Indonesia. Seperti tidak ada baiknya itu Indonesia. Ini bukan chauvinisme atau sejenisnya. Sekedar berpikir kontekstual aja, pikirku. Kembali ke diskusi tadi, saya terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Amien. Menurutnya, generasi Indonesia yang kembali dari kuliah di luar negeri banyak yang memilih diolah menjadi roti ketimbang menjadi benih gandum yang siap menumbuhkan biji gandum yang baru serta lebih segar dan bergizi. Tak banyak yang mau dibenamkan dalam tanah dan menunggu waktu untuk disemai.

Itu jika kita melihat analogi gandum dan roti sebagai bagian dari pengabdian dalam dimensi nasionalisme. Tapi toh, bicara nasionalisme saat ini memang rada-rada absurd juga. Posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya, membuat uapaya membangkitkan semangat seperti itu seperti kerja keras yang tak berujung.

Di tengah impitan arus besar tersebut, banyak yang kemudian menyarankan nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak kekinian. Sederhananya, alangkah baik jika sejarah bangsa yang bopeng di beberapa bagian, dianyam kembali ketimbang membiarkannya bopeng terus atau malah menambah bopeng disana-sini. Lalu, apa yang sudah saya lakukan, ya?

Monday, November 20, 2006

Tolol

Malam ini saya terima pesan dari seorang kawan. Pesannya, setelah disensor, "...gile, di bgr semua hrs ditutup gara-gara teroris. *** tolol". Wah, wabah anti-Bush sampai juga ke sini. *** sengaja saya pakai, takut nanti dikenakan UU penghinaan terhadap kepala negara (ehm...).

Kawan saya ini bukan orang Bogor asli, tp udah lama bermukim dan bekerja disana. Setelah tahu bahwa kota tempat ia mencari nafkah dan menikmati hidup menjadi terganggu dengan kedatangan Bush, ia punn merasa terpanggil untuk berkomentar. Ya, emang segitu paling jauh yang bisa ia lakukan.

Saya jadi ingat juga kota itu. Selama beberapa bulan di Jakarta mengikuti training, Bogor menjadi tujuan untuk menikmati akhir pekan, di rumah kawan saya tadi. Dari stasiun, naik angkot 02, turun didepan istana lanjut lagi dengan angkot 06. Terbayang juga kota bogor dengan talas dan bengkuang yang dijajakan petani-petani dipinggir jalan. Tak terbayang kota itu kini, hari ini dan beberapa hari sebelumnya. Suasana perang seperti terasa disana dengan kehadiran tentara bersenjata lengkap dan juga penutupan jalan, yang kian memarahkan kemacetan yang sudah lama melekat dengan kota kecil ini.

Belum lagi sekolah yang diliburkan, pedagang kaki lima yang digusur karena dianggap mengganggu pemandangan dan berkesan jorok, sinyal telpon yang diacak, dan nampak negatif lain, yang tentu saja tak sebanding dengan hasil yang akan dicapai. Itu jika kedatangan tuan besar ini berbuah hasil.

Begitulah, untuk menyambut tuan Bush, ada saja yang mau menjadi tolol, itu menurut teman saya.

Monday, November 13, 2006

War is My Hobby

Menyambut kedatangannya ke Indonesia... Selamat datang Mr. Bush.

Thursday, November 09, 2006

Keadilan dan Kedamaian Untuk Siapa?

Kemarin ada kampanye oleh UJS (Union Jewish Student) di kampus. Kampanye ini (mungkin) diniatkan sebagai kampanye tandingan terhadap diskusi yang diadakan oleh student union yang temanya "Stop War and Say No to Islamophobia". UJS ini berkampanye di luar gedung tempat diadakannya diskusi. Mereka mengibar-ngibarkan bendera Israel dan menyebarkan pamflet yang isinya menggelikan sekaligus mengiris hati, paling tidak hati saya.

"Support Peace and Justice, Disarm Hizbollah", begitu pesan kampanye mereka. Entah mereka tahu atau tidak, tapi kemarin Israel membantai 18 warga Palestina yang tak bersalah. Sebelumnya mereka juga tak absen dalam membunuh dan mencederai puluhan orang di Libanon dan Palestina. Anak-anak kecil yang tak tahu apa arti perang pun, menjadi korban tanpa pernah terpikir bahwa kematian satu generasi Palestina adalah pembunuhan terhadap rasa kemanusiaan.

Soal Hizbollah? Edan.. Mereka (Israel) punya segudang senjata modern dan menggunakannya untuk menghilangkan nyawa orang tanpa rasa bersalah. Mereka juga punya berupa alibi untuk mengelak dari tanggung jawab. Kini, mereka meminta Hizbollah, yang sekedar mempertahankan diri dan hak mereka untuk dilucuti senjatanya? Yang bener aja, bung.

Seharusnya, bendera Palestina yang dikibarkan di sana, bukan bendera biru putih itu, yang sungguh, meski kebencian bukan dari sifat yang mulia, saya tak rela mereka begitu saja merasa digdaya.

Tuesday, October 31, 2006

Fairtrade

Sudah beberapa kali saya melihat produk yang dijual di supermarket berlabel fairtrade. Apa maksudnya, saya cuma mengira-ngira. Karena penasaran, akhirnya saya ambil satu bungkus kopi berlabel fairtrade itu, sambil berharap ada informasi yang disediakan om google untuk ini.

Model ini memberi kesempatan kepada konsumen untuk berbagi dengan sesama, terutama kepada petani dan produsen produk tersebut. Dengan membeli kopi berlabel fairtrade ini misalnya, konsumen telah membantu untuk menciptakan sebuah tatanan dagang yang memberikan keuntungan kepada petani, secara maksimal. Maksimal tentu saja bahwa usaha mereka dihargai sebagaimana layaknya. Rente dagang yang sekedar menguntungkan bagi distributor dan produsen sebagaimana lazimnya berlaku, dianggap tidak memberikan keuntungan bagi para petani.

Fairtrade juga berarti bahwa harga yang dibayarkan oleh konsumen telah meliputi biaya produksi, jumlah tertentu yang akan disisihkan untuk kepentingan komunitas (petani--misalnya membangun sekolah, membeli ambulans, membuat rumah sakit), serta biaya yang diperuntukkan bagi kelanjutan usaha ini. Pertimbangan kelestarian lingkungan juga menjadi perhatian dari gerakan ini.

Setelah membaca dan sedikit punya informasi, saya lalu membayangkan jika model yang seperti ini ada juga di Indonesia. Tak perlu muluk-muluk, karena sederhana saja sebenarnya. Potensi besar dimiliki oleh Indonesia, dengan segudang sumber dayanya.

Bagi saya, LSM memiliki peluang besar untuk melakukan hal serupa. Kecenderungan LSM yang sangat bergantung pada funding internasional dan tak jarang yang cuma berharap dari proyek pemda tentu sudah saatnya ditinggalkan. Jika niat dan visi membuat LSM itu untuk menswadayakan (seperti termaktub dalam akronimnya) masyarakat, maka langkah ini rasanya patut dipertimbangkan.

Persoalannya mungkin adalah bagaimana memulainya. Modal, betul, itu butuh modal besar. Namun kendala ini bisa sedikit tertangani jika pemerintah memberi perhatian melalui pembuatan regulasi atau penyisihan beberapa persen dari badan-badan usaha milik pemerintah. LSM pun bisa menyisihkan kelebihan dana dari pelaksanaan proyek-proyek mereka sambil melihat peluang untuk berkolaborasi dengan industri. Trend CSR di perusahaan-perusahaan besar Indonesia seharusnya membuat ini menjadi lebih mudah.

Kerumitan lain tentu saja masih ada. Mulai dari soal produksi, pemasaran dan lain-lain. Tapi ringkasnya, model ini masih jauh lebih baik dan tak ubahnya memberi kail bagi mereka, bukan sekedar ikan. Terlebih lagi, ini tentu saja menjadi gerakan riil dan tak sekedar berkubang dalam wacana tentang bagaimana menyelesaikan perosalan di negeri kita. Ah, seandainya...
-------------------------------------------
*Update []

Tanda tanya dan kritik bukannya tidak ada. Fairtrade, bagi beberapa kalangan menyisakan beberapa pertanyaan besar seperti, how much help does fairtrade really provide to poor producers? Are the supermarkets taking advantage of a consumer fad, adding big mark-ups because a certain sort of soft-headed consumer doesn’t think things through? And isn’t Fairtrade still, if not a drop in the ocean of world trade, not much more than a bucketful?

Kritik lain menyebutkan bahwa fairtrade--sebab ia juga merupakan brand--kemudian memanfaatkan ceruk pasar dan awareness konsumen yang tersentuh dengan jualan isu kedermawanan. Masalah yang muncul kemudian, produk-produk berlabel fairtrade ini dibanderol dengan harga yang lebih tinggi dari produk lain yang sejenis, kembali, atas nama menyisihkan sebagian harga untuk kepentingan sosial.

Mari tengok hasil jualan isu ini. Tahun lalu, berdasarkan catatan BBC, pasar fairtrade tumbuh sekitar 40% dengan nilai £200 juta, dengan cakupan lebih dari sekitar 1500 macam produk. Sungguh sebuah angka yang menakjubkan. Pasarnya jelas, kelas menengah yang gampang tergiur dengan bujukan "mari berderma". Keluarga-keluarga di Inggris misalnya, sadar (dan mungkin bangga--atau jangan-jangan karena merasa bersalah???) untuk disebut sebagai fairtrade family, dimana produk-produk yang mereka konsumsi adalah fairtrade products. It's very clear to them that as people become aware of the difference that Fairtrade makes to people in the developing world, they see that this is an opportunity for them to make a difference in their everyday lives, they really grasp that opportunity.

Akibatnya, banyak yang tergiur. Terakhir, saat Nestle mengumumkan produk kopinya yang berlabel fairtrade, tanda tanya makin besar. Fairtrade dianggap berkompromi dengan korporasi besar (padahal Nestle merupakan perusahaan makanan yang banyak mengundang kontroversi, salah satunya produk susu bayi). Ini kemudian yang menjadikan fairtrade dipandang sebagai bagian dari "greenwashing campaign", dimana korporasi menjual isu lingkungan dan sosial sebagai bagian dari kerja public relation, meski yang terjadi adalah kebalikan dari realitas sesungguhnya.

Kembali ke soal pasar ini, freemarketers lebih memilih jalan untuk membuka pasar (khususnya negara-negara maju) terhadap produk-produk dari negara berkembang ketimbang berpura-pura baik dengan menjual image (fairtrade, red.). Sebab, fairtrade sesungguhnya lebih berpihak kepada konsumen--di negara-negara maju--bahwa mereka telah berpartisipasi terhadap pembangunan dan kesejahteraan petani, sementara petani itu sendiri sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa.

Saturday, October 28, 2006

Belum Menang

Selamat idul fitri lagi.. Ucapan ini masih pas waktu dan tempatnya, kan?

Kemarin shalat idul fitri bareng mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Birmingham. Karena tidak bertepatan dengan hari libur (lebarannya Senin), maka banyak yang setelah shalat langsung cabut. Tidak sedikit jg yang malah memilih untuk tidak ikut jamaah, karena kuliah pagi. Fortunetely, kuliahku jam 11, jadi masih ada kesempatanlah..

Setelah shalat, dengar khutbah (yang menurutku beginilah khutbah seharusnya--singkat padat dan jelas) yang tidak panjang dan melelahkan, maka larutlah kami dalam suasana lebaran. Larutnya mungkin bukan sekedar karena rasa kangen dan sedih yang bercampur menjadi satu, tapi juga rasa untuk menikmati masakan enak, gratis dan tentu saja dengan cita rasa Indonesia. Ada sate, gado-gado, kari ayam, gulai kambing, dan ketupat (meski bungkusnya pake plastik). Tak banyak waktu, sepiring penuh harus segera tuntas sebelum masa mengejar bus tiba.

Beberapa hari kemudian, ada email yang muncul di milis... Seorang mahasiswa dari Aceh memberi catatan, yang menurutku lumayan berani dan memang seharusnyalah begitu. Idul Fitri "ternodai" oleh acara halal bihalal gaya barat, cipika-cipiki pria dan wanita yang bukan muhrim (ini penjelasan resmi dari penulis email)...

Yah begitulah, banyak cara merayakan kemenangan..

Sunday, October 22, 2006

Pindahan

Malam nanti ada undangan untuk ikut takbiran, biar ada kesan Indonesianya, begitu kata sang pengundang yang merupakan koordinator pengajian di sini. Tak seperti di Indonesia, disini praktis tidak ada perbedaan pendapat saat menentukan hari raya. Mungkin karena perbedaan letak geograpis (ah, ga yakin juga) atau memang mereka sudah punya alat yang lebih baik dalam melihat posisi bulan.

Saat lepas jumatan kemarin, seorang kawan dari Turki bertanya, kenapa di Indonesia sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hari raya. Bukankah ini tentu saja berdampak tidak baik terhadap umat? Saya cuma menjawab bahwa perbedaan itu kan rahmat, dan tak ada masalah selama itu tidak mengganggu ibadah, syariah. Malah, umat pasti merasa senang, sebab dua kali meraih kemenangan (meski praktisnya cuma sekali kita shalat ied). Libur juga bertambah, kan?

Terlepas dari itu, rasanya memang susah dimengerti kenapa sampai harus ada perbedaan waktu segala. Kenapa tidak pemerintah atau MUI lah yang mengambil kebijakan untuk menentukan. Ormas-ormas islam lainnya harus tunduk dan patuh. Bukankah di MUI sendiri kelompok dan ormas Islam diberi tempat? Di sanalah mereka seharusnya beradu argumen (tanpa harus saling lempar kursi, sebagaimana lazimnya organisasi mahasiswa berlabel Islam dalam berdebat).

Ah sudahlah.. mungkin ini juga sduah menjadi perhatian mereka. Dan semoga ke depan menjadi lebih baik, seperti harapan setiap insan saat menyambut Idul Fitri.

Ngomong-ngomong, saat Lebaran senin besok, ada kuliah dan presentasi. Belum lagi kerjaan dan tumpukan sampah di flat setelah baru pindah beberapa hari lalu. Harapan untuk menjadi lebih baik dan kembali Fitri, tentu saja tidak harus hilang karenanya.

Maap Lahir Batin...

Saturday, October 21, 2006

Eid Mubarak

Ntar lagi lebaran

SELAMAT IDUL FITRI

Semoga menjadi lebih baik

Friday, October 13, 2006

A Big Help

Tak seperti banyak diperkirakan orang, peraih Nobel Perdamaian untuk tahun ini jatuh ke tangan orang tidak terkenal dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Muhammad Yunus, seorang professor Bangladesh dan pendiri dari Bank Grameen. Ia dan Bank yang didirikannya mendapatkan apresiasi luar biasa terhadap upaya mereka membantu masyarakat miskin keluar dari himpitan hidup. Setelah menuntu ilmu di Amerika, ia kembali ke negaranya dan membuat konsep pemberdayaan dengan model microcredit. Terbukti, model ini berhasil dan memberi dampak yang luas bagi pengembangan masyarakat di Bangladesh.

"Every single individual on earth has both the potential and the right to live a decent life. Across cultures and civilizations, Yunus and Grameen Bank have shown that even the poorest of the poor can work to bring about their own development," begitu kutipan dari komite Nobel dalam surat penghargaannya.

Konsep bank yang memberikan bantuan untuk masyarakat miskin ini sangat sederhana dan tanpa jaminan. Microcredit is the extension of small loans, typically US$50 to US$100, to entrepreneurs too poor to qualify for traditional bank loans. Ini tentu saja menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang tak memiliki akses untuk mendapatkan pinjaman dari bank konvensional, yang di Indonesia kucuran kreditnya lebih banyak untuk kredit konsumsi daripada kredit yang memberikan nilai tambah seperti kredit usaha.

Akan halnya dengan Yunus, seorang ekonom yang bisa saja meniti karier bagus di universitasnya (ia mengajar di Universitas Chittagong, daerah selatan Bangladesh) dan kemudian "nyambi" sebagai konsultan dan bukan tidak mungkin berkarier politik, yang di Indonesia rasanya sudah lumrah. Ia merasa bertanggung jawab terhadap ilmu ekonomi yang dimilikinya, dengan setumpuk teori yang kemudian tak memberi dampak apa-apa terhadap masyarakat miskin di sekitarnya.

"Nothing in the economic theories I taught reflected the life around me. How could I go on telling my students make believe stories in the name of economics? I needed to run away from these theories and from my textbooks and discover the real-life economics of a poor person's existence," begitu katanya.

Apa yang dilakukan Yunus adalah sebuah revolusi dari cendekiawan dan akademisi dalam memaknai tanggung jawabnya. Ketika yang lain masih membertimbangkan jalur-jalur populis dalam berkontribusi, Yunus lebih memilih kerja dalam diam. Menjadi seperti Yunus, tentu tak mudah. Apalagi gambaran masa depan yang makin konsumtif membuat hati kadang oleng. Lalu, akan kemanakah saya kelak?

Tuesday, October 10, 2006

Lucu

"This is the funniest country in the world", tiba-tiba Glenis, "Ibu kos"ku nyeletuk saat kami nonton weather forecast di iTV. "You know, there are only two seasons here, rainy season and wet season". Hah, autumn, winter, fall dan summer dimana, tanyaku... Ia jawab dengan enteng, itu kerjaan orang-orang tivi dan bagian tourism aja, biar kalian makin merasa kagum dengan negeri ini. Nah lho?

Wah, aneh juga orang ini. Tak seperti orang kebanyakan Inggris yang sangat tertutup dan selalu merasa lebih hebat dibanding kami yang beda warna kulit (kulit saya sawo kelewat matang), ia selalu memberikan pandangan kritisnya tentang negeri Tony Blair ini. Ia juga termasuk ramah dan terbuka. Tapi, kadang ia juga bisa menjadi aneh dengan saran dan pendapatnya yang rada sableng. Salah satunya ia memberi saran, jika ingin kaya masuklah penjara. Di berita tadi memang ada program pemerintah untuk memberikan "uang santunan" sebesar £ 2500 kepada narapidana agar mereka keluar dari penjara dan bisa memulai bisnis dan kerjaan yang "benar". Itu juga yang menurutnya "lucu".

"You can set up your business in Indonesia and become a richman", candanya. "Ah, aku tak mau jadi kaya dengan cara itu, Glenis".. Kini gantian dia yang kurasa lucu...

Thursday, October 05, 2006

Rasisme [3]

Ini masih cerita tentang rasisme, meski dalam format yang lebih dipaksakan. Ya, dipaksakan. Ceritanya begini. Saat kuliah Global Business Environment, sang dosen memberikan contoh tentang potensi pasar Asia. Maka muncullah slide bergambar peta empat negara dengan jumlah populasi terbesar. Pertama Cina, kemudian India, Amerika dan terakhir Indonesia. Rasisme karena dosennya menyebutkan kelebihan masing-masing negara sebagai pasar potensi yang besar ini, kecuali Indonesia tentunya.

Cina dengan jumlah penduduk besar, tenaga kerja murah dan juga sumber daya dan bahan baku yang memadai. Tak heran, Dell, merek komputer Amerika, dirakit di Inggris dan bahan baku dan sebagian besar komponennya diproduksi di Cina.

India, negara dengan pusat pelayan outsourcing terbesar di dunia. Bahkan beberapa perusahaan besar Amerika menyewa jasa perusahaan India, karena bahasa Inggris bukan lagi menjadi hal aneh disana.

Amerika apalagi. Dari 100 merek ternama di dunia, hampir sebagian besar merupakan perusahaan dari Amerika. Dalam ururtan 10 besar sekalipun, cuma toyota yang berasal bukan dari Amerika.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sang dosen memberikan beberapa hal sebagai identifikasi dari bangsa ini. Ketika krisi melanda Asia, cuma negara ini yang belum total keluar dari krisis. Negara ini pulalah yang menurutnya aneh, dimana GDP nya biasa-biasa saja namun tingkat konsumsinya luar biasa tinggi. Dapat ditengok dari kredit konsumsi yang kian deras mengucur. Yang paling menyakitkan, korupsi masuk juga sebagai identifikasi untuk menunjukkan Indonesia. Relevansinya dengan pasar tak perlu dipertanyakan disini, sebab panjang ceritanya. Tapi itu lho, kok bangsa Indonesia cuma dikenal dari korupsi dan ketertinggalannya?

Setelah panjang lebar menjelaskan, dosen pun bertanya apakah ada diantara kami yang berasal dari Indonesia?

Ah, rasis juga dosen ini, pikirku...

Friday, September 29, 2006

Fat is Beautiful

Problem obesitas menjadi pelik di Inggris. Hingga perlu menjadi fokus dari pemerintah, seperti yang dilakukan Tony Blair dalam setiap kesempatannya (tentu saja yang berhubungan dengan kesehatan). Awalnya saya tidak begitu yakin dan menganggapnya sebagai gombal kampanye seperti partai-partai di Indonesia. Namun kenyataan memang menunjukkan bahwa obesitas bukan barang langka disini.

Hasil dari buka-buka situs BBC menyebutkan bahwa berdasarkan perkiraan, jika tidak ada perubahan dalam tata cara hidup warga Inggris, maka pada tahun 2010 nanti sepertiga pria Inggris menderita obesitas. Kecenderungan peningkatan obesitas juga terjadi di kalangan anak perempuan, menjadi 22% dan anak laki-laki sebesar 19 %. Angka seperti ini tentu saja membuat menteri keuangan harus berpikir ulang..

Nah, kemarin ada yang menarik. Nonton di BBC 2, ada cerita bagaimana seorang perempuan yang bekerja di restoran khusus vegetarian, menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengkonsumsi coklat dan fast food seperti burger. Hasilnya? Ia memiliki berat diatas normal, nah lho...

Beda negara beda problem. Indonesia, dengan tingkat kemiskinan yang makin meninggi (perdebatan angka antara pemerintah dan pengamat membuat kemiskinan tak ubahnya sekedar rumus dan deretan angka tak berarti) tentu tidak memberi perhatian lebih terhadap masalah obesitas ini. Wong orang malah kelaparan...

Kalau di Inggris digalakkan kampanye "Small Change Big Difference" maka di Indonesia bisa dibuat kampanye tandingan, "Fat is Beautiful". Tapi apa bisa, ya?

Monday, September 25, 2006

Gratis Belum Tentu...

Ada suguhan tiap pagi yang sayang dilewatkan di bis saat menuju kampus. Koran gratis. Ya, gratis, di bagian depan dekat pintu bis tersedia tumpukan koran dalam keranjang sedang. Siapapun bisa mengambilnya. Awalnya saya sangat tertarik dengan koran ini, sekalian untuk mengetes kemampuan reading yang memang pas-pasan.

Seorang kawan dari Taiwan heran, kok ada koran gratis, sementara trend media cetak di dunia menunjukkan harga yang relatif meningkat setiap tahunnya. Mereka punya alibi ampuh untu kenaikan ini, mulai dari naiknya harga kertas hingga minyak dunia yang berakibat tingginya biaya operasional peliputan, dll..

Koran itu namanya METRO, setiap pagi, setiap bis dan kereta menyediakan ini sebagai teman perjalanan. Koran ini pertama kali diedarkan tahun 1999. Pada tahun-tahun pertama peluncurannya, koran ini berhasil mencetak rekor dengan jumlah pembaca sebanyak 1 juta orang. Jumlah ini terus bertahan dan tentu saja menjadi alternatif bagi pemasang iklan selain koran-koran ternama lainnya, seperti The Guardian, The Independent dll.

Sebenarnya konsep gratis ini telah dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, konsep gratis ini masih sebatas majalah yang isinya iklan semua dan diedarkan di lingkungan tertentu seperti hotel, bandara dan restoran.

Kembali ke koran gratis, masyarakat Inggris saat ini menghadapi gempuran koran gratis. Di London sendiri, selain Metro, masih ada dua koran gratis lainnya. Mereka juga tetap berkompetisi untuk menjadi bacaan gratis pilihan pembaca.

Sayangnya, koran ini tidak berkualitas dalam pemberitaannya dan cenderung konservatif. Dalam beberapa edisinya, saya sering melihat bagaimana berita-berita dari media seperti Metro tak lebih dari media yang menjual sensasi. Saat ada serdadu Inggris yang tewas di Irak, maka ini kemudian menjadi berita utama (headline). Saya lalu ingat media-media di Makassar yang melakukan hal yang sama atas dasar proximitas atau kedekatan. Saat ada kejadian di pelosok bumi lainnya, maka akan dicarilah sisi-sisi terdekat dengan Makassar atau Sulawesi Selatan. Meski kadang kedekatan itu terkesan dipaksakan dan mencederai logika. Simak contoh berita yang pernah dimuat harian Makassar itu, "Istri menteri keuangan, Suami Bugis".

Soal kualitas memang bisa diperdebatkan, tapi tengoklah bagaimana respon seseorang yang telah membacanya. Saya jarang menemukan orang yang membaca Metro lalu menyimpannya atau membawanya utk kemudian dibaca lagi. Meski konsep koran ini memang untuk dibaca dalam 20 menit, namun paling tidak kesediaan orang untuk menyimpannya adalah respon tersendiri.

Terlepas dari itu, koran gratis tetap saja menjadi ancaman serius bagi koran-koran dengan nama besar, dan tentu saja tidak gratis. The Guardian, dijual dengan harga 70p (di kampus ckp dengan 20p). Tentu saja, pilihan gratis tetap berefek kepada koran-koran tidak gratis ini.

Lalu, akankah kemudian koran-koran didapatkan dengan gratis? Ah, belum sampai kesitu arahnya..

Sunday, September 24, 2006

Ramadhan Mubarakah

Kata ustad, Ramadhan itu bulan pengampunan. Sebuah bulan yang didalamnya rahmat dan hidayah Allah berlimpah... Itu kata ustad.

Karenanya, mohon ampun yang tulus atas salah dan khilaf.. Semoga puasa kali ini lebih berkualitas dan memberi makna bagi hidup yang akan dijalani.. Puasa kali ini semoga pula menjadi ajakan untuk menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih peka terhadap manusia dan kemanusiaan..

Marhaban ya Ramadhan...
(jadi ingat spanduk-spanduk rokok, obat, dan hotel dalam menyambut ramdahan...)

Tuesday, September 19, 2006

Rasis [2]

Sampai dimana kemarin? oh yah, sampai soal mahasiswa Cina.

Jumlah mereka disini dan di seluruh Inggris luar biasa banyaknya. Bayangkan, kalo naik bisa ke kampus, prakatis 90% isinya mahasiswa Cina (termasuk Taiwan). Bahkan, (ini bukan lelucon) meski kulit saya coklat (hangus) beberapa orang menganggap saya sebagai mahasiswa Cina juga... Pendapatan dari mahasiswa Cina untuk perguruan tinggi di Inggris sekitar £2 milyar (tak perlu konversi ke rupiah untuk tahu itu banyak...) , itu jumlah tahun lalu dan menurut harian The Guardian akan makin bertambah tahun ini. Apalagi, terjadi lonjakan luar biasa dalam hal pembayaran uang sekolah, khususnya untuk mahasiswa internastional.

Sebagai gambaran, mahasiswa internasional harus membayar hampir 7 kali lipat dibanding yang dibayar oleh mahasiswa dari Inggris dan Eropa. Nah, luar biasa banyaknya, bukan?

Masalahnya, karena banykanya mahasiswa Cina disini, mereka pun tak luput dari perlakuan rasis, baik dari mahasiswa, ataupun masyarakat setempat. Tahun lalu, terjadi pemukulan terhadap beberapa mahasiswa Cina, dan ini tidak mendapatkan oerhatian yang cukup dari universitas tempat mereka kuliah. Hal ini diprotes secara resmi baik oleh persatuan mahasiswa Cina yang ada di Inggris maupun jalur diplomatik resmi antara pemerintah Cina dan Inggris.

Nah, inilah yang kemudian kujawab kepada "bule-bule" itu bahwa setiap tempat memiliki deviannya, termasuk rasisme. Mereka, meski mengklaim diri sebagai liberal, tentu tak lepas dari perilaku menyimpang, yang kemudian dengan mudah mereka tunjuk hidung jika yang melakukan adalah orang lain (Indonesia).

Thursday, September 14, 2006

Rasis

Entah kenapa, berita tentang rasisme di Indonesia begitu gampang tersebar sampe ke pelosok lain bumi ini. Saya sudah terbiasa ditanya, mengapa bangsaku kian rasis padahal sempat "naik daun" karena sukses menyelanggarakan pemilu tahun 2004 lalu. Sudah hal biasa juga (terutama di negeri sendiri) untuk berasyik-masyhuk dengan predikat negara demokrasi terbesar yang berhasil menyelenggarakan pemilu dengan demokratis dan dengan tingkat partisipasi pemilih tertinggi di dunia.

Tapi semua itu tak berbekas jika kemudian dialihkan kepada tema yang sensitif bagi orang Barat. Kategoriasasi ini sebenarnya tidak pas, tapi kita pakailah untuk kemudahan identifikasi. Saya dari Indonesia maka saya masuk kategori timur, dan mereka orang Inggris, Amerika, dan Eropa pada umumnya, adalah Barat itu.

Nah, sebagian besar teman-teman banyak bertanya dan heran mengapa Indonesia, bangsa besar yang menjalankan demokrasi, masih harus berkutat dengan isu rasialisme dan ini kemudian berimplikasi bagi kaum mereka? Mereka sering mengeluh tentang sikap masyarakat Indonesia terhadap orang-orang barat.

Saya jawab dengan sederhana aja. "Itulah jika kalian coba memaksa kami untuk menganut paham yang menguntungkan Anda saja". Maksud saya seperti ini, jika menurut mereka tepat waktu, menghargai sesama, dan tidak membunuh orang (ini contoh paling ekstrim) adalah nilai mereka, berarti mereka salah. Ini adalah nilai yang universal. Komodifikasi nilai yang mereka lakukan, telah lebih banyak menipu daripada bermanfaat.

Makin bingunglah mereka, demikian pula dengan saya. Saya bahkan tak ingat telah ngomong apa. Seketika spontan aja saya jawab, orang-orang barat yang datang ke Indonesia sering kali mengeluh tentang sikap orang-orang Indonesia. Saya juga punya keluhan disini, bis kota tidak tepat waktu dan sikap rasisme mereka terhadap pelajar-pelajar asi, terutama China.

bersambung.....

Friday, September 08, 2006

Ganti Nama

"Apa arti sebuah nama", begitu kutipan populer untuk mereka yang tidak suka remeh temehnya sebuah nama. Itu pula yang saya dapatkan disini.

Teman flat saya, orang Jepang, tak habis pikir mengapa teman-teman yang berasal dari Cina, Taiwan, dan Korea bersedia diganti namanya oleh orang Inggris dengan nama yang lebih "berpihak" kepada lidah tuan rumah. Sebutlah misalnya Fredy, Brian, Darren, Tony, dan lain-lain untuk para lelaki. Nama-nama itulah yang menggantikan nama asli mereka (maaf, tidak bisa menulis contoh, saya pun mengalami kerumitan untuk melafalkannya). Untuk yang cewek, tersedia nama-nama Estella, Evy, June, dan Donna untuk meremake nama-nama asli mereka yang tak jauh beda dengan Zhang Ziyi dan lain-lain.

Kawan Jepang ini merasa tak seharusnya mereka menerima begitu saja bentuk "penjajahan" gaya baru tanah eropa. Sebab nama, menurut keyakinannya, tak sekedar deretan huruf yang tak berarti. Seperti saya, ia juga meyakini bahwa dalam nama ada harapan dan doa. Dalam nama ada gambaran tentang kehidupan.. Itu idealnya.

Mungkin bagi mereka, ini sekedar bagian dari formula komunikasi efektif. Daripada orang-orang Inggris rumit dan mereka juga harus mengulang berkali-kali saat ditanya siapa nama mereka, yah ganti nama untuk sementara bukanlah pilihan nista.

Yah, nama mungkin memang tak ubahnya pakaian tua, siap diganti dengan yang lebih trendy. Tapi bukankah baju tua tak akan dipakai lagi karena sudah ada yang baru? Mungkin harus cari analogi lain...

Saturday, September 02, 2006

Please welcome, Ice Cube

Jumat kali ini saya bisa menghadiri shalat jumat lebih awal. Sebelumnya, saya harus ikhlas tidak shalat jumat (biar terkesan bukan karena malas...) karena jadwal kuliahnya yang hingga jam 1.30 siang.

Universitas menyediakan satu ruangan yang dipake oleh seluruh mahasiswa untuk melakukan ritual agama. Khusus hari jumat, mahasiswa muslim yang menggunakannya. Hari-hari lain, biasanya dipakai bergantian oleh komunitas-komunitas agama yang ada. Ehm, demokratis juga tempat ibadah ini.

Seharusnya khatib sudah naik mimbar, karena waktu telah menunjukkan masuknya waktu shalat. Namun sampai seluruh saf terisi, belum satupun yang naik. Tiba-tiba masuk seorang jamaah berparas timur tengah membawa tas olahraga besar merek NIKE, dengan jaket sporty dan juga kaos oblong dalam bermerek sama dengan tasnya. Ia langsung mengambil posisi di saf depan langsung naik mimbar memberi salam..

Oh, ternyata dia khatibnya. Awalnya aku kira mahassiwa yang mampir shalat jumat setelah menghadiri pesta rap atau latihan di gym. Malah aku kira juga ia mengidolakan Ice Cube, penyanyi rap Amerika yang main di film triple X seri 2, karena penampilannya yang mirip. Oh, ternyata dia khatib kita.

Please welcome, ice cube.....

Sunday, August 20, 2006

Belum Merdeka

61 tahun bangsa Indonesia merdeka. Tapi banyak hal yang perlu menjadi catatan, salah satunya soal citra aman.

Bagaimana kita melihat citra ini? Saya lebih suka yang sederhana aja, soal ketatnya pemerikasaan ketika memasuki gedung-gedung besar, mal, atau hotel di Indonesia. Di Jakarta, meski tidak sulit, memasuki areal gedung atau mal, adalah pekerjaan yang membosankan. Pemeriksaan yang berlapis (mulai dari kendaraan, pintu masuk, juga hilir mudiknya petugas berseragam), tampang petugas yang lebih sering tidak bersahabat dan juga penuh curiga.

Pernah suatu ketika, saya harus mengambil titipan seorang kawan di lantai 28 sebuah gedung di Jakarta. Saat masuk pemeriksaan memang standar aja. Tapi saat mau keluar, ketika saya membawa titipan tersebut, saya harus melewati pemerikasaan berlapis tiga. Pertama petugas di lantai tempat saya mengambil titipan, kedua saat di pintu keluar lift, dan ketiga petugas pengawas gedung. Uh, sungguh melelahkan meski saya sudah membawa surat barang keluar dan meski sebenarnya saya sudah sering masuk ke gedung itu.

Hal berbeda yang saya rasa di UK. Pemeriksaan standar tentu saja ada, tapi khusus di tempat-tempat dengan tingkat keamanan tinggi, seperti bandara. Selainnya ya biasa-biasa aja, tidak ada pemerikasaan, bahkan tempat penitipan barang pun tidak ada. Padahal jika dipikir, negeri ini menjadi target teroris. Apalagi, saat saya tiba, Inggris diguncang isu pengeboman, makanya banyak jadwal penerbangan dari dan ke Inggris ditunda bahkan dibatalkan.

Di luar bandara, yah kehidupan berjalan seperti biasa. Mungkin kita bisa berdalih bahwa itu karena kita juga pernah diguncang bom hebat, yang tidak datang cuma sekali. Belum lagi isu terorisme dan jihad yang tidak juga dilihat utuh.

Tapi tetap aja, ada citra yang dipertaruhkan disitu. Bagaimana kita bisa terus mengklaim bahwa Indonesia kini aman dan tempat yang pas untuk investasi jika dimana-mana justru ketidakamanan yang disebar dan ditonjolkan.

Tapi kok kayak tidak patriotis bicara soal ini di hari kemerdekaan?

Thursday, August 17, 2006

Merdeka

Selamat berhari Merdeka, Indonesia

Sunday, August 13, 2006

Nasib Pejuang Devisa

Saat transit di bandara Dubai International, sekelompok perempuan berwajah melayu menghampiri saya. Jumlah mereka sekitar 7 orang, semuanya berpenampilan biasa. Umur mereka kutaksir sekitar 35 ' 40 an. Mereka sepertinya bingung dan cemas. Tak salah, ternyata mereka tak tahu harus menuju terminal kemana. Bandara ini emang besar, teramat besar dan modern malah. Kami awalnya satu pesawat sejak dari Jakarta, namun di Dubai, mereka harus melanjutkan perjalanan dengan pesawat berbeda dan teminal serta pintu yang berbeda.

Setelah melihat boarding pas dan tiket mereka, saya kemudian menanyakan kepada bagian informasi, yang untungnya agak kooperatif. Sangat beda dengan petugas imigrasi yang memeriksa kami sebelumnya. Tak satupun luput dari incarannya, termasuk bagian dalam sekalipun.

Kembali ke kelompok perempuan tadi, ternyata pesawat mereka baru berangkat jam 5 sore sedangkan saat ini masih jam 06.00 waktu Dubai. Petugas informasi kemudian menunjukkan kepada mereka terminal dan pintu yang harus mereka lewati saat check in nanti.

Kami pun berbagi cerita, mereka menanyakan kemana tujuan saza dan apa yang akan saya lakukan disana. setelah menjawab, saya ganti bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab akan ke Arab Saudi, dengan tujuan menjadi pembantu rumah tangga. Mereka sebenarnya telah ke arab saudi sebelumnya, namun rute yang mereka lalui berbeda dengan saat ini.

Banyak cerita yang mereka bagi, termasuk siasat untuk menghindari terminal 3 di bandara Soekarno Hatta, yang menurut mereka tak ubahya dengan kuburan bagi para TKI. Calo, petugas resmi, seolah berlomba mengambil jatah dari hasil keringat TKI. Jangankan yang tidak remsi, tarif resmi pun sering dimainkan oleh petugas. Belum lagi preman2 yang katanya diberi ruang bebas oleh petugas untuk memalaki mereka.

Tak ingin ambil resiko, mereka pun terbang ke Arab Saudi dengan menyembunyikan status TKI mereka dengan memakai penerbangan lain, beda dengan yang selama ini dipakai TKI pada umumnya. Tentu saja dengan resiko, bahwa biaza tiket menjadi lebih mahal karena harus mengambil rute yang agak jauh dan tidak langsung ke arab saudi.

Saya kemudian teringat sambutan presiden beberapa waktu lalu yang meminta negara untuk menghargai jasa TKI yang dianggap sebagai penghasil devisa terbesar. Gagah betul sebutan untuk mereka, Pahlawan Devisa.

Mereka harus menunggu hingga jam sore, itu berarti mereka akan membutuhkan bekal. Tapi, tak satupun dari mereka zang punza bekal cukup, bahkan air minum sekalipun. Untunglah bandara ini menyediakan air mimum gratis yang kemudian saya tunjukan kepada mereka kerannya.

Panggilan untuk chek in akhirnya membuat saya harus berpamitan dengan mereka. Sambil tersenyum kuberpesan kepada mereka untuk membungkus semua makanan yang diberikan di pesawat agar setibanya di tujuan tak harus bingung karena tak ada bekal.

Ooh Pahlawan, malang benar nasibmu.

Tuesday, August 08, 2006

Bergegas

Malam kemarin serasa menjadi malam yang paling pendek. Entah karena sindrom akan pergi atau sebab lain, tapi begitulah yang terasa. Banyak doa dan pesan yang tersampaikan, kadang membosankan karena berulang. Kali lain tak pas karena diluar konteks. Meski begitu, jiwa seperti terisi amunisi dan sirene tanda konvoi akan dimulai siap dinyalakan.

Pagi-pagi buta, bergegas, untuk sebuah harapan.

Tuesday, July 25, 2006

Udah Gede, huh..

Setelah santap siang yang cepat (maklum, namanya juga fast food) saya lalu bergegas ke westafel untuk bersihkan tangan dan segera berlalu untuk urusan administrasi yang membosankan.

Ada dua westafel. Satu untuk orang dewasa, karena agak tinggi dan satunya lagi untuk anak-anak, karena letaknya yang lebih rendah. Karena merasa kosong dan tidak ada yang ngantri, maka santai aja kemudian kupilih memakai westafel untuk anak-anak. Tiba-tiba di belakang ada yang nepuk pundak, sambil berkata, " Kamu kan udah gede, pakenya yang di sebelah dong.." . Setelah itu, ia langsung saja berlalu. Dengan santainya...

Umurnya kutaksir tak lebih dari 6 tahun. Gadis kecil dengan rambut dikepang dua. Di tangannya, es krim melelh dan sedikit menodai bajunya..

Ah, terima kasih adik kecil, kau telah memberi sedikit pelajaran penting.. Udah gede, huh?

Tuesday, July 11, 2006

Banyak Terima Kasih

Dear Doel,

Cukup klise jika aku mengatakan ~SELAMAT MENEMPUH
HIDUP BARU SEMOGA MENJADI KELUARGA YANG SAKINAH~ dan
sebagainya dan sebagainya ....
Namun, itu adalah kata kata yang tepat untuk
melukiskan betapa kami juga merasakan kebahagianmu.

Ingat khan ...
Semua yang ada di COHORT ini adalah saudara. Jadi kita
sangat senang bila saudara kita mendapat kebahagiaan.



Satu dari sekian banyak pesan yang masuk dalam inbox-ku. Tak banyak yang bisa saya katakan selain terima kasih, telah memberi support yang luar biasa. Saya selalu menyebutnya sebagai sebuah pemaknaan terhadap persahabatan. Belum lagi dari mereka yang hadir dan memberikan doa, juga terima kasih kepada mereka.

Friday, June 09, 2006

Mari Berpesta


Menjelang dimulainya Piala Dunia, media massa kemudian membuat banyak ulasan yang intinya menaruh harapan besar terhadap acara ini sebagai pelipur dari rangkaian bencana dan kesusahan yang kita hadapi. Meski bencana belum juga pamit dari bumi Indonesia, kita semua diajak untuk menjadikan pesta sejagat ini sebagai rehat untuk melupakan derita yang ada.

Mungkinkah? Entahlah, yang jelas demamnya memang telah masuk hingga ke sum-sum. Rehat yang dimaksud tentu saja untuk mengambil jarak. Pengambilan jarak tentu saja perlu untuk membuat kita bisa berenung, berefleksi dan merilekskan diri. Asal tidak membuatnya lebih runyam dengan bertaruh...cukup mengadu ramalan dengan kawan, di warkop atau juga di milis.

Meski tidak ada penelitian ilmiah yang menyebutkan piala dunia mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Laporan yang ada malah menyebutkan bahwa piala dunia membuat kinerja menurun dan pertumbuhan ekonomi menjadi sedikit mandek karena para pekerja dan pelaku usaha keletihan setelah begadang untuk menyaksikan pertandingan. Entahlah..

Yang jelas, pesta ini semacam jeda, setidaknya waktunya tertunda, dari pertengkaran-pertengkaran politik (Amien Rais pun sampai harus menunda berkomentar sampai piala dunia usai), korupsi bantuan bencana, dan demonstrasi yang tidak juga mendapat simpati.
Meski, kita juga harus sadar bahwa perut lapar tidak dapat tertutupi dengan tarian samba atau umpan maut yang menyilang. Kesulitan-kesulitan ekonomi di masyarakat tetap saja tidak tertutupi oleh kamuflase kehebatan pemain sepakbola. Mari berpesta.

Saturday, May 27, 2006

Wisata Demo

Unik juga tulisan yang kubaca di koran kemarin. Seorang penulis kolom di koran itu memiliki ide untuk menciptakan wisata demonstrasi, menyikapi tingginya intensitas demonstrasi di kota ini. Setuju...

Jika kita cermati kondisi Makassar kekinian, memang intensitas demonstrasi hampir menyamai intensitas demonstrasi secara nasional. Soal tema dan isu yang diusung beragam, namun satu yang sama adalah cara dan sikap mereka dalam berdemonstrasi. Tak ada demonstrasi yang tidak membakar ban di jalan, tak ada pula yang berfikir demonstrasi tanpa harus menutup jalan dan membuat kemacetan.

Kondisi inilah yang kemudian menjadi ilham untuk menciptakan demonstrasi sebagai salah satu objek wisata andalan di Makassar. Dampak ekonomisnya tentu saja akan memberikan pemasukan luar biasa bagi pemerintah kota. Soal sumber daya, jangan khawatir, datang saja ke kampus-kampus atau warkop-warkop yang bejibun di penjuru kota. Di tempat itu, isu dan tema berseliweran dan selalu saja banyak yang dapat bersikap.

Lalu apa yang menarik dari itu semua? Banyak. Mungkin cuma disinilah orang berdemonstrasi atas nama rakyat banyak namun menyandera mobil tangki minyak tanah yang jelas-jelas dibutuhkan orang banyak. Trend ini kemudian diikuti banyak pihak, termasuk di seberang pulau. Di sini pulalah demonstrasi mahasiswa yang kemudian berbuntut bentrokan dengan sopir angkot, yang jelas-jelas menjadikan jalan raya sebagai ladang berburu rezeki.

Fakta di atas lebih dari cukup untuk menjadi obyek menarik yang mampu menambah devisa pemerintah kota yang hobi membuat gerakan dan lebih fokus untuk mengumbar mimpi-mimpi ketimbang bekerja keras dan memberikan pelayanan publik yang baik.

Wednesday, May 17, 2006

Civil Liberties

Beberapa hari lalu, di kota ini sejarah kelam hampir saja terulang. Pangkalnya lagi-lagi soal SARA, yang rasa-rasanya perlu untuk ditelaah lebih jauh. Banyak yang kemudian terlibat dan coba untuk mengambil peran, meski terakhir kita lihat aksi itu tak lebih dari upaya untuk mencari bargaining. Tak terkecuali mahasiswa, dengan kemanusiaan dan demokrasi menjadi pegangan.

Dari yang saya baca, ide tentang "rasialisasi" atau "formasi ras" meliputi argumen bahwa ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Dengan demikian, kondisi yang belakangan juga mencekam kota ini tak lepas dari perburuan kepentingan. Terlalu spekulatif memang, tapi begitulah keadaannya.

Di Indonesia, historically, ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya lebih sering disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan-pekerjaan dengan konotasi bergaji rendah, tidak membutuhkan keterampilan, modal otot doang, bla..bla.. Tengoklah di toko-toko bahan bangunan dan pasar-paar tradisional.

Contoh lain, karena keberhasilan ekonominya, keturunan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Di kota ini sendiri, gesekan akibat persepsi ini masih saja ada. Ini tidak kemudian menafikan bagaimana mereka yang "menyimpang" dan tidak berusaha "membumi" memang ada. Namun bukankah pribumi sekalipun terjebak—untuk tidak mengatakan menikmati—kondisi ini?

Sampai hari ini, streotip bahwa Cina pembohong dan suka memanfaatkan orang masih terus ada, bahkan seorang kawan yang tulen bugis dan pribumi-nya, dikatakan Cina karena hobinya yang jahil dan suka memanfaatkan.

Kecekaman kemarin, mungkin inilah yang terpikir sebagai interpretasi dari civil liberties, kebebasan sipil. Ini kemudian yang membuncah sejak reformasi dulu setelah beberapa puluh tahun tersendat dan menjadi barang mahal bagi masyarakat. Atau, bisa jadi ini sebagai bukti bahwa kran itu masih tersendat dan belum mengalir dengan alir yang jelas dan terkontrol. Entahlah, semoga saya salah.

Tuesday, May 02, 2006

So This Is Life Huh

Setelah menuntaskan tugas-tugas yang terbengkalai, saya lalu ingat bhawa sore ini saya punya janji. Ya, saya memang telah menyanggupi ajakan seorang kawan untuk memberinya kesempatan mentraktir saya. Sebagai kawan yang baik, maka kuarahkan tujuan ketempat ia bekerja, sebab begitulah ia meminta.

Ia bekerja pada sebuah NGO internasional. Setelah beberapa kali ke tempat kerjanya, dan mendengar berapa ia dibayar untuk pekerjaan yang tidak ringan meski juga tak seberat pekerja harian, rasanya saya tak percaya ia bekerja di NGO. Biar mudah, kuberi sedikit perbandingan. Gaji yang diterimanya 10 kali lebih besar dibanding gaji yang diterima PNS golongan II. Fasilitas di tempat ia bekerja jangan ditanya, internet 24 jam setengah, dan office boy yang siap menyajikan panganan beraneka rupa.

So, jangan salah sangka saat kukatakan bahwa aku memberinya kesempatan untuk mentraktirku. Tidak salah dan sudah pada tempatnya. Saya lalu menawarkan Lae-lae sebagai alternatif, sebab rindu diri untuk menikmati baronang bakar segar dan cobe-cobe nyaman. Tapi karena ia tak punya waktu sebab setelah menuntaskan janji ddenganku, ia masih punya janji yang lain, maka ia pun meminta untuk menikmati pizza saja. "Cukup mengenyangkan dan tak terlalu mahal", begitu argumentasinya.

Karena tak ingin mengecewakan, maka pilihan untuk menjadi bagian dari entitas global dengan ber-pizza kuiyakan. Meski kutahu pizza ala francise ini tidak seperti pizza aslinya karena terlalu banyak modifikasi. Pizza yang mirip-mirip pizza asli sih yang kutahu (katanya) cuma di izzi, namun sayangnya tak satupun gerai izzi hadir di kota ini. Kini Pizza Hut menjadi salah satu restoran terbesar dan terkenal di dunia. Di AS sendiri Pizza Hut tersebar merata di 7.200 lebih unit. Dan di 90 negara ada sebanyak 12 ribu gerai Pizza Hut dengan jumlah karyawan sebanyak 300 ribu orang.Dalam setahun ada sekitar 4,2 miliar pembelian pizza. Dalam hitungan minggu, ada sebanyak 11,5 juta pembelian pizza dengan puncak pembelian jatuh pada hari-hari Jumat dan Sabtu.

Setelah memesan menu (Cheese Lover's pizza), mata pun kuarahkan ke penjuru ruangan mengamati pengunjung satu-satu. Di depan bangku kami, sepasang kekasih sedang asyik memotret diri mereka dengan kamera ponsel. Sang cowok berperawakan tentara, mungkin kesimpulan yang salah karena indikator yang kugunakan sekedar potongan rambut. Yang cewek agak langsing, berpakaian ketat, kutaksir umurnya tak lebih dari anak SMU kelas 3. Sang cowok pasrah saja ketika sang gadis merangkulnya dan memaksanya tersenyum sambil mengarahkan pandangan ke arah lensa kamera yang bermegapiksel tak lebih dari 1.0 itu. Upaya menarik untuk mengekalkan kenangan.

Di pojok ruangan, arah jam 1 dari tempatku duduk, sekelompok anak SMU sedang asyik bercengkrama. Kutahu dari rok dan celana abu-abu yang mereka kenakan, meski atasannya telah bersalin rupa dengan kaos ketat dan khas distro menggantikan kemeja putih berlambang OSIS di kantong kiri. 3 perempuan dan 2 lelaki. Semua mereka sedang asyik berbagi ceria dengan masing sebatang rokok mengepul di jari-jari mereka. Merokok mungkin membantu mereka keluar dari himpitan rutin yang menakutkan bernama sekolah. Entahlah, tapi merokok tetap merugikan kesehatan, menyebakan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin...

Di meja belakang kami tiga orang karyawan bank saling berbagi keluh. Kutahu saat melihat mereka yang lebih dulu datang dan seragam mereka yang menandakan itu. Soal isi cerita mereka, kutahu dengan curi-curi dengar. Selain karena suara mereka yang agak keras, juga karena saya tidak serius dalam menaggapi cerita teman semeja yang mengisahkan lamaran pacarnya yang di Amerika dan mengajaknya menikah di sana. Para karyawan bank ini mungkin berkeluh karena Bank Indonesia mensyaratkan tingkat NPL harus turun sebelum akhir tahun 2006. Terlalu serius, dan tidak baik memang menguping pembicaraan orang.

Pesanan datang dan saatnya melewatkan hidup hari ini dengan pizza. Seperti pizza, hidup memang bercampur-campur. Ada jamur, daging pipih, keju. Seperti hari ini, dimana pagi sampai siang saya mengurus kredit di bank (dan belum tentu disetujui) selanjutnya sore hari menikmati pizza seolah menebusnya semudah membeli sebungkus permen.

Wednesday, April 19, 2006

Gelisah

Bicara soal gelisah, kemarin saat reuni "dadakan" dengan teman-teman SMA, banyak kegelisahan yang kudengar. Seorang kawan yang sudah menempati posisi sales manager pada sebuah perusahaan distributor mobil di Makassar menceritakan kegelisahannya. Prestasi yang ia miliki sebenarnya luar biasa dalam urusan jual-menjual mobil. Dalam setahun, ia telah berhasil menjual lebih dari 100 unit, dan atas prestasinya itu ia dipromosikan sebagai kepala cabang bulan depan. Dengan latar seperti ini, rasanya ia menjadi “tidak wajar” untuk gelisah.

Namun prestasi dan keberhasilannya itu tetap saja tidak dapat membuatnya nyaman. Ia menceritakan bagaimana ia harus berbohong dan membantu orang lain untuk melakukan korupsi. Saat itu ia mendapatkan order dari salah satu pemerintah kota di daerah ini. Order yang lumayan besar, 10 unit. Bukannya girang ia malah bimbang, sebab pejabat yang mengurus order tersebut memintanya untuk memark-up nilai penjualan sampai 30% lebih. Belum puas dengan penggelembungan, sang pejabat juga meminta diskon yang sebenarnya bisa menjadi fee-nya, tentu saja secara legal dan lazim aja dalam dunia bisnis.

Ia sadar betul bahwa uang yang dipakai untuk membeli mobil dinas tersebut berasal dari uang rakyat, dan mungkin juga uang darinya sebagai pembayar pajak. Makin merasa bersalah ia ketika mengetahui bahwa hampir tiap tahun pemerintah kota mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk membeli mobil-mobil dinas. Mobil dinas yang lama pun kemudian menjadi milik pribadi pejabat melalui mekanisme dome, dimana mereka membeli mobil yang sebenarnya masih bagus dan sangat layak untuk dihargai dengan nilai tinggi, tapi kemudian dihargai dengan harga yang di luar akal sehat.

Masih ingat kisah pajero yang hanya dihargai tak lebih dari 5 juta rupiah? Begitulah nasib mobil-mobil dinas yang dianggap harus segera diganti dengan mobil keluaran terbaru. Alasannya pun kadang menggelikan. Teringat bagaimana salah seorang bupati pernah beralasan membeli mobil Nissan Terrano yang berharga ratusan juta rupiah dengan mengatakan bahwa kendaraan itu untuk membantu kelancaran tugas-tugasnya dan membuatnya mudah untuk menjenguk warganya.

Seorang kawan yang lain juga memiliki kegelisahan. Ia seorang karyawan bank plat merah terbesar di Indonesia. Posisinya di bagian controlling (sebenarnya ada nama bekennya tapi lupa) yang tugasnya mengawasi kinerja dari kantor wilayah. Ia juga dipromosikan di posisi ini setelah beberapa tahun sebagai staf di kantor pusat di Jakarta. Posisi bagus ini tak sebagus suasana yang ia rasakan. Bagaimana ia harus membiarkan kejahatan perbankan berlangsung di depan matanya. Meski kejahatan itu tak sebanding dengan BLBI yang menghisap trilyunan rupiah uang rakyat, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Bukannya tidak ada usaha untuk menghentikan, sebab ia tahu prosedur standar dalam pemberian kredit, misalnya. Tapi tetap saja ia selalu mendapatkan argumen bahwa aturan itu dibuat untuk dilanggar. Belum lagi katebelce-katebelece yang sering ia terima dari pejabat-pejabat untuk kepentingan beberapa orang.

Mendengar kisah-kisah mereka, saya merasa bersyukur untuk kondisi saya sekarang ini. Meski menjadi abdi negara yang relatif “kering” duit adalah anugerah, tapi tetap saja potensi menyimpang terhampar luas di depan.

Ini juga yang sering membuat gelisah, sebab soal kesempatan saja yang belum aku miliki yang membuat kondisi sekarang jadi aman-aman saja. Tapi entah beberapa tahun ke depan, ketika kesempatan itu ada dan menyapa. Meski demikian, selalu ada jalan ketika kita konsisten dengan apa yang diyakini. Memang contoh buruk dan tidak patut selalu ada, namun bukan berarti tidak ada juga contoh baik dan laik jadi inspirasi. Masalahnya, terinspirasikah saya? Ah, gelisah juga jadinya...

Sunday, March 19, 2006

penyokong kapitalis

himpitan hidup selalu membuat pilihan menjadi terbatas. dan pilihan yang terbatas itu sayangnya tidak melulu menyenangkan.

di sekitar kos telah banyak warung-warung makan, baik yang permanen ataupun yang instan dan ala kadarnya. namun pertumbuhan warung-warung seperti ini makin tinggi saja rupanya. terbukti sejak beberapa bulan ini warung jajanan terus saja muncul dan kadang tak peduli jika harus dibantaran kanal sekalipun. pokoknya, jangan bicara teori pemasaran klasik disini, dijamin ga nyambung..

dua hari lalu, rasa penasaran membuat saya ingin mencoba makan sore (makan siang yang tertunda) di warung yang baru buka beberapa hari lalu. warung ini hanya salah satu dari sekian banyak warung yang menjamur di sekitar salemba. bahkan yang bukan warung pun jumlah bejibun. yang bukan warung maksudnya ya tidak ada tempat namun penjualnya yang berkeliling. di depan TK dekat kos saya misalnya, setiap pagi berjejer ibu-ibu dengan meja kecil dan jajanannya yang sekedar permen atau snack kecil. omzetnya kira-kira tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. bangsa ini memang aneh, meski ribuan orang terancam kelaparan dan kehilangan pekerjaan, yang diributkan malah soal udel dan goyangan inul. maunya bicara moral tapi malah kebablasan..

kembali ke warung tadi, tempatnya semi permanen dan bersih. mungkin karena masih baru. menunya juga sederhana meski tidak ala kada harganya. tapi yang pasti, ia lumayan menjadi alternatif dari nasi uduk, nasi goreng, mie bakso, mie ayam, siomay atau pecel lele yang rutin bergiliran mengisi perutku kala malam. alternatif karena ia menyediakan menu rumahan, dimana ikan dan sayurnya lumayan berselera. belum lagi cobek-cobek mentahnya, sangat terasa terasinya...

nah, siang tadi karena ingin menikmati menu lain dan berharap cobek-cobeknya masih ada, saya pun kembali ke warung itu. tapi kaget juga melihat tulisan di pagarnya, "Dasar Kapitalisme Lokal Dadakan...", begitu bunyi tulisan itu. lucu juga, mungkin maksudnya kapitalis bukan kapitalisme.. serius sedikit, memang warung itu berubah menjadi magnet baru, dimana banyak orang tak sekedar menjadikannya alternatif. mungkin karena makanannya yang pas di lidah orang bukan betawi atau juga karena gadis-gadis yang kos di lantai dua, tepat di atas warung itu. entahlah..

kuyakin tulisan itu baru dibuat semalam, atau tengah malam. karena semalam saat pulang ke kos tulisan itu belum ada. bisa jadi ini ulah anak muda revolusioner yang seolah ingin berikrar, revolusi tidak berhenti, meski ia masih harus belajar banyak tentang apa yang ditulisnya.. saya juga tidak mau berspekulasi bahwa ini bagian dari persaingan usaha sesama warung, sebab rasanya terlalu naif menjual cap kapitalis untuk ukuran yang tidak jelas. tak ada pula reaksi dari pemilik warung, mungkin karena ia tak paham atau bagaimana, entahlah.

yang jelas, kami , para pembeli di warung itu secara tidak langsung dicap sebagai pendukung kapitalis (kapitalisme?). untuk cobek-cobek yang enak, tak apalah...

Tuesday, March 07, 2006

Membangun dengan CSR

Protes terhadap PT Freeport yang berujung pada penggugatan terhadap keberadaan perusahaan tambang tersebut membuat sebagian pihak berargumen bahwa ini akan menjadi “bad precedent” terhadap dunia investasi di Indonesia. Tapi seberapa pentingkah precedent bagi perusahaan yang memang tidak pernah lepas dari kontroversi ini?

Terlepas dari konteks dan muatannya, ia memberi sebuah pesan kepada perusahaan untuk lebih memperhatikan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) mereka. Konsep CSR secara geneologis masih terbilang baru khususnya di Indonesia. Meski demikian, adaptasi dan pelaksanaannya telah menjadi “trend” bagi perusahaan. Maka berlomba-lombalah perusahaan mengklaim diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dan peduli terhadap pembangunan masyarakat, meski tolak ukurnya sekedar program dan divisi community development/CD yang dimiliki.

Namun kasus Freeport (meski bukan pertama dan satu-satunya) kemudian menjadi puncak gunung es, yang membuat kita bertanya-tanya, sejauh mana perusahaan mengintegrasikan konsep ini ke dalam strategi dan budaya perusahaan. Lebih jauh, kita diperhadapkan pada keseriusan dan kesinambungan dari penjabaran konsep itu sendiri.

Tengoklah komentar dari masyarakat yang menuntut penghentian kontrak karya perusahaan tambang itu. Menurut mereka, setelah lebih dari 35 tahun mengeruk keuntungan yang luar biasa, PT Freeport belum berkontribusi maksimal untuk membantu pengentasan kemiskinan dan ketertinggalam masyarakat Papua sebagai pemegang hak ulayat (Kompas,28/02).

Meninggalkan Pendekatan Lama
Harapan terbesar masyarakat pada dasarnya adalah bahwa keuntungan finansial perusahaan harus berimbang dengan sejauhmana “perbuatan baik”nya. Hal ini muncul karena keterbukaan yang tidak dapat dinafikan sebagai bagian dari proses perwujudan good governance yang makin mengglobal.

Dalam kasus Freeport, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan belum menunjukkan perbuatan baiknya, paling begitu dalam pikiran masyarakat papua, meski keuntungan finansial yang diraih sangatlah besar. Dalam isu pelestarian lingkungan misalnya, PT Freeport (dan perusahaan tambang lainnya) menghadapi environmental scepticism yang menganggap perusahaan tambang lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada manfaat.

Pada tahun 2004, kontribusi pajak dan non-pajak dari perusahaan tambang terhadap pendapatan negara tidak lebih dari Rp. 7,8 triliun. Jaringan Advokasi Tambang juga mencatat bahwa lebih dari 100 kasus muncul setiap tahunnya antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar atau otoritas lingkungan yang juga diakibatkan dari pengabaian pihak perusahaan terhadap kondisi masyarakat sekitar (The Jakarta Post,27/02).

Untuk mengatasinya, peran pemerintah pun makin diharapkan untuk tidak lagi sekedar penagih tanggung jawab normatif semisal royalti dan peningkatan pendapatan. Peran pemerintah sangat menentukan dalam membangun usaha yang kondusif dan tidak manipulatif.

Harus diakui bahwa peran pemerintah masih belum maksimal. Ini terlihat dari belum terciptanya iklim yang kondusif bagi perusahaan untuk meningkatkan program CSR-nya. Selain itu, pemerintah juga belum menyediakan regulasi yang menjamin lintas sektor dan dunia usaha agar mampu menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial secara berkelanjutan dan melembaga.

Sampai disini kita kemudian disadarkan akan arti penting CSR bagi perusahaan dan pembangunan masyarakat.

Tapi pertanyaannya kemudian, bagaimana agar CSR tidak menjadi paradigma pinggiran (peripheral paradigm), baik itu bagi masyarakat, pemerintah dan kalangan dunia usaha sendiri? Apalagi dalam dunia usaha sendiri, masih terjadi perdebatan mengenai penting tidaknya CSR bagi perusahaan. Terlepas dari itu, ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar CSR menjadi paradigma arus utama (mainstream paradigm). Pertama, perdebatan akademis atau politik mengenai sistem pengetahuan tersebut di arena publik. Di sini, partisipasi masyarakat adalah prasyarat mutlak.

Kedua, perdebatan tersebut kemudian ditopang oleh jaringan kekuasaan (legislatif-eksekutif, perguruan tinggi, media, dan LSM). Selanjutnya, akan tercipta kondisi ketiga, dimana sistem ini memiliki ‘teknologi sosial’ yang secara akademis dapat dipertanggungjawabkan (Rochman Achwan, 2006).

Di atas semua itu, CSR juga mensyaratkan agar dunia usaha mengubah pola tanggung jawab mereka yang cenderung elitis, dimana pelibatan masyarakat cukup melalui pejabat atau tokoh-tokoh semata. Kasus Freeport sekali lagi memberi pembenaran atas ini, dimana menurut klaim perusahaan dalam laporannya, mereka telah melakukan banyak hal untuk masyarakat. Namun karena sifat dan desainnya yang tidak melibatkan public sebagai objek, maka yang terjadi kemudian adalah disharmonisasi antara apa yang dilakukan perusahaan dengan kebutuhan masyarakat.

Ke depan, program community development, sebagai salah satu pengejawantahan CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan harus dapat menciptakan hubungan sinergi antar pelaku pembangunan. Kekuasaan harus pula dikelola secara seimbang dan tidak manipulatif sebagaimana yang terjadi selama ini, dalam bentuk pola hubungan sosial antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dengan peran masing-masing dalam menciptakan civil society dan good governance.

Bagi dunia usaha saat ini, tuntutan akan implementasi CSR tidak hanya bersifat eksternal (tekanan dari masyrakat global), tetapi juga haruslah bersifat internal, dimana karyawan juga menyadari dan memberi tekanan kepada perusahaan untuk mengiplementasikan CSR ini dengan sungguh-sungguh sebagai bagian dari entitas bangsa.

Setelah itu, barulah kemudian esensi dari CSR yang bertujuan sebagai perwujudan reorientasi dalam manajemen pembangunan dari state-centered ke multi-centered, dimana keterlibatan dunia usaha tak lagi dapat ditawar, dapat terwujud. Kita pun akhirnya dapat melihat prakarsa perusahaan sebagai bagian dari potensi bangsa yang mendayagunakan diri secara efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Saturday, February 18, 2006

Ketika Miskin Menjadi Hip

Namanya Tuginem, umurnya 70 tahun. Dengan berjalan kaki tiga kilometer lebih, ia bergegas menuju sebuah kantor pos di Jogjakarta. Tujuannya satu, mendapatkan haknya sebagai orang miskin di negeri ini, uang 300 ribu rupiah. Apa lacur, haknya itu tak dapat diperolehnya hanya karena ia tidak membawa kartu sebagai tanda bahwa ia memang orang yang berhak. Beruntunglah kemudian orang-orang yang juga bernasib sama dengannya bersedia mendermakan sebagian uang yang mereka peroleh.

Kisah di atas kubaca di harian The Jakarta Post (16/02). Sungguh, negeri ini memang menyediakan banyak ironi. Apa yang dihadapi Tuginem, hanya satu contoh kecil tentang ironi yang terlanggengkan. Ya, ia menjadi ironi jika melihat bagaimana negeri ini memberi kemudahan dan fasilitas yang melimpah kepada mereka yang pernah merampok dan menjarah uang rakyat. Hebatnya lagi, mereka kemudian bisa masuk istana dengan bebas, laiknya seorang pahlawan. Tak terbayang bagaimana Tuginem dan rakyat kecil lainnya harus berurusan dengan Paspanpres jika ingin sekedar bertemu dengan presiden

Mungkin pemimpin-pemimpin negeri ini kagum dan kemudian ingin meniru uncle Ronald Reagen, yang saat memimpin Amerika menjalankan program reagenomics. Reagen meyakini bahwa jika orang-orang kaya diberi kesempatan untuk mengelola negeri, maka kemakmuran bukanlah hal yang mustahil. Dengan kata lain, orang kaya harus diberi kesempatan untuk menambah kekayaan mereka agar si miskin seperti Tuginem tak perlu lagi antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan Rp. 300 ribu.

Baiklah, kita prihatin dengan nasib Tuginem. Menghayati nasib orang lain, itu bahasa lainnya, tetapi kekalkah ia? Compassion, perasaan ikut menghayati pedihnya nasib orang lain, bisa hanya sekedar hip. Sesuatu yang sejenak, begitu sejurus kemudian. Apalagi ketika ia hanya menjadi komoditas. Keibaan itu kemudian menjadi tak awet.

Tapi tak sedikit tentu yang tak sudi menjadi berita, mereka bekerja dalam diam dan miskin publikasi, seperti pohon yang tumbuh diam-diam tanpa pernah disadari ia sudah memberi buah yang ranum. Teringat akan Bob Geldof yang berucap, “it should be a shooting star—brilliant and beautiful for a second—and then live forever in your memory.”

Wednesday, February 15, 2006

No Idea

stuck...

Belakangan ini rasanya kejenuhan membuncah. Rutinitas yang tak juga menurun intensitasnya, kawan yang makin kelihatan membosankan. Kondisi ini membuatku rindu untuk tidak melakukan apa-apa. Ya, sejak beberapa bulan lalu jadwal tidurku memang agak terganggu. Belum lagi kebiasaan minum kopi yang makin menggila.

Mungkin memang harus ada jeda dari rutinitas yang mulai tidak bersahabat ini..

Thursday, January 26, 2006

pahlawan

sore belum juga utuh, segerombolan anak-anak SMP saling mengejar dan melempar. mereka masih lengkap dengan pakaian seragam dan juga perlengkapan sekolah lainnya.

saat pulang ke kos, kulihat kelompok berseragam putih-putih (kuyakin mereka dari sekolah islam) dan kelompok yang berpakaian putih biru sudah saling berhadapan dan menghujat. jumlah mereka tidak banyak, bahkan sebenarnya kurang pas juga disebut tawuran kelompok. tapi paling tidak, mereka telah berhasil membuat macet jalan di kisaran salemba tengah. entah siapa yang memulai, tiba-tiba dua kelompok yang awalnya saling bertahan, sontak berhamburan. batu, teriakan, dan penonton yang bersorak.

aku coba tidak terusik, meski tetap berhati-hati. siapa tahu ada batu yang nyasar atau malah diciduk aparat. saat dekat kos, di ujung gang tampak seorang anak dari salah satu kelompok itu sedang terbaring lemah, bahkan kupikir ia pingsan. bajunya praktis kotor dan di sekitar badannya ada luka memar. mungkin ia telah menjadi korban lawannya, dan juga karena tidak sanggup akhirnya lebih memilih ngacir untuk menyelamatkan diri. ia lebih memilih untuk lari kedalam gang dan bersembunyi dekat rumah penduduk.

reaksi masyarakat sekitar tak terduga juga buat saya. memang ia akhirnya tertolong, tapi awalnya ia menjadi sasaran telunjuk, seolah ia menjadi biang semua ini. bahkan sepertinya, beban hidup masyarakt jakarta pun dihempaskan ke pundaknya.

setelah mendapatkan ceramah dan wejangan, seorang ibu memberinya makan dann minum. ia yang dari tadi menjadi pusat perhatian, masih juga kelihatan cemas, meski sang ibu coba menghiburnya untuk tenang dan jangan banyak goyang. dalam pikirannya ia tentu tak berharap diri dalam situasi seperti ini. pusat perhatian untuk saat dan kondisi seperti ini, adalah tentu bukan alternatif baginya.

di tengah kondisi harga beras yang tinggi, listrik yang akan naik lagi, banjir dan angin kenjang yang luar biasa, anak itu menjadi penghibur sejenak. mungkin masyarakat butuh tempat untuk menumpahkan kesalahan dan luka, apalagi jika pemerintahnya tuli dan buta. jadi anak itu, tak patutlah bersedih, ia adalah pahlawan.

Tuesday, January 03, 2006

Menata Ulang Harapan

Image hosted by Photobucket.com

Layaknya tradisi, setiap tarikh dipenggal dengan tahun. Mungkin sekedar jeda dari optimisme yang tinggi, atau juga menjadi pertanda bahwa kita kalah, dan perjuangan harus berhenti dulu. Seakan-akan peristiwa dapat dipotong-potong. Maka tengoklah kemudian setiap media mengajak kita untuk mengingat apa yang menjadi optimisme dan dimana kita harus berpesimis-ria.

Ya, saatnya tiba untuk “catatan akhir tahun”, kaladeoskop, year review, hingga gosip pun direkonstruksi ulang. Tengoklah bagaimana infotainment mencoba menyegarkan ingatan kita tentang gosip-gosip yang pernah menjadi sekedar bumbu pembicaraan hingga yang betul-betul kita ikuti dengan sangat detail. Perceraian si Anu, ultah si Dia, sampai makanan favorit keluarga sang Itu. Lalu bagaimana kita menyebut 2005?
* * *
Dr. Morrie Schawrtz, sosiolog di Harvard University ketika menjelang ajalnya berujar, “Aku mulai menikmati ketergantunganku”, katanya. “Seperti kembali menjadi anak-anak...Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya”. Ada prihatin dalam tuturnya..

Ia seperti menyadarkan kita bahwa makin dewasa sebenarnya kita makin kanak-kanak saja jadinya. Tergantung kepada ini dan itu. Bangsa ini pun rasanya tidak jauh dari hal yang sama. Makin jauh rentang kita dengan saat merdeka, makin rumit pula hidup menjadi. Utang yang menumpuk di beberapa negara besar, harga BBM yang sangat bergantung kepada harga minyak dunia, korupsi yang sangat bergantung kepada siapa yang punya kekuasaan, hingga media yang sangat bergantung kepada pemasang iklan. Meski tidak sepenuhnya bulat, tapi itulah gambaran wajah bangsa ini. Adakah harapan di sini?

Dari Morrie Schawrtz kita juga harusnya belajar, bahwa perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud maut. Perlawanan terakhir adalah perlawanan terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang penting...

Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana menjadikan diri kita tak terlalu pusing dengan dalih. “Hidup memang tidak adil”, atau yang lebih brutal, “karena hidup tidak pernah adil untuk kita, maka pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong,”. Demikianlah, kita pun berargumen bahwa persoalannya adalah terletak pada pilihan.

Bukankah banyak yang jadi korban tanpa pernah tahu alasannya? Ya, dan yang menarik adalah bahwa banyak juga yang tak memilih amarah dan membuat orang lain menjadi korban. Inilah yang harus menjadi semangat hidup. Semangat yang melihat harapan ketika memberi. Mungkin dengan sedih dan penuh kegetiran. Tapi akhirnya Morrie Schawrtz memberi tahu kita bahwa tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan, kawan?

Bagaimana harapan di tahun mendatang? Tak ada yang pasti. Sama dengan tidak pastinya memperkirakan rupiah akan menguat terhadap dollar, atau membayangkan akan harga BBM yang terus turun. Namun seperti kata Bernstein, “Ketidakpastian membuat kita merdeka”. Sebab andai pun semua berjalan laik hukum probabilitas, kita rasanya tak beda dengan manusia primitif, tak punya alternatif lain selain berdoa dan melafalkan mantra, semoga hidup menjadi lebih baik. Tak lebih.

Di atas semua, rasanya perlu dipikirkan untuk menata ulang harapan. Jangan ngotot, kawan. Di sisi ini rasanya kata-kata Keynes perlu didengar, “In the long run we are all dead.” Kelak, akhirnya kita semua akan mati—-sebuah pesan tentang kehidupan dan harapan yang sesungguhnya..