Tuesday, December 20, 2005

CSR(?)

Like the church and communism in other times, the corporation is today’s dominant institution…

Semua bermula setelah 1880-khususnya setelah “revolusi industri” di barat sana. Teknologi diperbarui, dan mesin-mesin yang dulu tak terbayangkan tumbuh subur tercipta. Pada akhirnya, mesin-mesin itu tak sekedar menjadi pembangkit Eropa, yang dimulai Inggris, tapi juga menjadi penghancur dan penghisap.

Tak butuh waktu lama untuk kemudian membuat dunia ini menjadi terbagi milik siapa dan atau oleh siapa. Mesin dan pabrik, menjadi kegandrungan baru, yang tak hanya menjadi privasi dan previlise bagi seseorang, tapi juga menjadi senjata bagi sebuah negara mencamplok negara lain, tanpa tentara dan amarah.

Film dokumenter “The Corporation” menyajikan dengan vivid fakta ini. Film ini berusaha menggambarkan kedahsyatan cengkraman “makhluk” bernama perusahaan, yang bahkan telah masuk pada sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Tak pelak, lewat film ini, makhluk itu ditelanjangi sebagai mesin kapitalis yang rakus dan semata-mata demi keuntungan. Yes, it’s all about the money.

Image hosted by Photobucket.com Tak masalah jika keuntungan itu lahir dari penindasan yang dibungkus oleh etos dan profesionalisme. Bagaimana kemudian kita tahu bahwa Nike mempekerjakan pekerja dibawah usia 13 tahun. Ironisnya, barang yang mereka hasilkan dihargai mahal sementara upah yang mereka terima tak lebih dari seperduapuluh harga produk itu. Sebuah bentuk imprealisme dan perselingkuhan antara modal dan kekuasaan, yang dilembagakan oleh segudang regulasi atas nama investasi dan pembangunan.

Ada yang menarik ketika Michael Moore—yang menjadi narasumber dalam film ini dan terkenal dengan film 911-nya—meminta President Direktur Nike Corporation untuk terbang ke Indonesia. Ajakan ini ia ajukan dengan membeli dua tiket kelas bisnis. Jawaban yang ia terima tentu saja penolakan. Lebih mengagetkan lagi bahwa sang Presdir belum pernah ke Indonesia. Dengan masih berekspresi kaget Moore kemudian membalasnya dengan kalimat yang menohok, “Bagaimana mungkin seorang pemimpin perusahaan belum mendatangi negara tempat pabriknya beroperasi?”

Pada saat itu memang salah satu pusat produksi Nike adalah Indonesia. Namun sejak beberapa tahun lalu, mereka telah memindahkan pabriknya ke negara lain, salah satu sebabnya karena di sana upah buruh masih sangat murah. Dan tak seperti Indonesia, di sana kepentingan perusahaan sangat terjaga, tak juga oleh demonstrasi pekerja yang tentu saja tak disukai oleh pengusaha.

Film ini disutradarai oleh Mark Achbar, yang hadir pula saat pemutaran film. Dalam sambutannya, ia sempat menceritakan tekanan yang ia terima setelah menyelesaikan filmnya. Bagaimana pula ia harus mengahabiskan enam tahun—tiga tahun untuk mengumpulkan dana dan riset serta tiga tahun lainnya untuk proses produksi—yang “keras” untuk sebuah film yang tentu saja tak masuk kategori box office dan mendatangkan jutaan dollar. Bukannya untung, film yang menghabiskan banyak duit ini menurut pembuatnya bahkan belum kembali modal.

Tapi ia kemudian menimpalinya dengan mengatakan bahwa film ini adalah sebuah upaya untuk memberikan definisi lain tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Tak melulu harus dengan membohongi dan menggadaikan kemanusiaan. Film ini juga merupakan ajakan untuk kita berinspirasi. Lalu, kata dia, “Bangkit dari sofa Anda dan lakukan sesuatu untuk memperbaiki hal ini. Apa pun bentuknya..”

Achbar mewawancarai berbagai narasumber, dari Noam Chomsky, perain nobel ekonomi--Milton Friedman, dan Jane Akre serta Steve Wilson, dua wartawan FOX News yang dipecat karena memberitakan perusahaan Monsanto yang menggunakan bahan kimia berbahaya yang disuntikkan ke sapi untuk meningkatkan hasil susu. Terakhir diketahui Monsanto membayar jutaan dollar untuk iklan yang disiarkan di jaringan FOX News.

Menonton film ini seperti mengajak kita untuk melihat “dunia lain” dari perusahaan dan proses penguasaan modal terhadap segala sendi kehidupan manusia. Ya, apa yang tidak dikuasai saat ini? Ketika rumah ibadah telah menjelma laksana WalMart, berita tak lagi sekedar informasi, sekolah tak lebih dari jejeran billboard dan saat pagi tak lagi menjadi pertanda mula hari, kemanakah kita harus bersembunyi?

Monday, December 12, 2005

Sejam Bersama Soekarno

Image hosted by Photobucket.com

Demam selama lebih dua minggu membuatku khawatir. Namun setelah memeriksakan diri, termasuk cek darah, kekhawatiran terkena demam berdarah—yang lagi “booming” di Jakarta—akhirnya tidak terbukti. Tapi dokter tetap mensyaratkan untuk beristirahat total.

Berdiam diri di kamar adalah pekerjaan yang tidak begitu menyenangkan, apalagi hari ini Jiffest memasuki hari kedua. Setelah kemarin terlewat saat pembukaan, maka hari ini kuputuskan untuk pergi. Meski sebelum berangkat aku mewanti diri untuk menonton hanya satu film, setelah itu harus pulang dan melanjutkan istirahat yang tersela.

Sampai di TIM, pilihan film menjadi masalah selanjutnya. Begitu banyak film dan tentu saja semuanya menarik. Setelah membolak-balik buku petunjuk jiffest yang berisi paparan singkat dari masing-masing film maka kuputuskan untuk menonotn film dokumenter saja. Apalagi jenis film ini gratis untuk ditonton. Bukan gratis itu sebenarnya yang menjadi alasan utama, tapi melihat antrian panjang calon penonton di graha bakti budaya yang ingin menyaksikan film “bagus” dan tidak gratis membuatku berfikir ulang. Takut tidak kuat, apalagi di teater kecil tempat pemutaran film dokumenter tidak terlihat antrian yang luar biasa. Judul filmnya, “From the Cabinet of Des Alwi”. Film ini
Ini tentu sangat menarik. Ya, jika selama ini aku hanya kenal sejarah bangsa ini lewat pelajaran PSPB dan buku-buku sejarah, maka hari ini ada kesempatan menarik melihat visualisasinya.

Ruangan teater tidak penuh dengan penonton, mungkin film dokumenter tidak begitu menarik bagi mereka yang berselera hollywood. Atau bisa jadi karena filmnya yang tidak menarik, entahlah..Dan satu lagi, sekitar 70% penonton adalah orang asing. Dari beberapa pembicaraan panitia, kudengar mereka ini adalah mahasiswa dari australia dan inggris yang sengaja datang untuk jiffest yang ketujuh kalinya dilaksanakan ini. Sejenak kupikir, mereka mungkin ingin membuktikan apakah leluhur mereka benar imprealis atau malah hero bagi bangsa Indonesia. Yang spesial, Des Alwi sang pembuat dokumenter hadir untuk memberikan narasi bagi film yang memang lebih banyak sekedar visual namun tetap berbobot.

Sosok Des Alwi sendiri menurutku adalah festival tersendiri. Bagaimana ia dengan sangat detail masih mengingat gambar itu diambil tanggal dan bulan berapa. Termasuk bagaimana ia mendeskripsikan roman muka dari objek yang diliputnya. Kalau toh ada yang luput, seorang asisten yang duduk disampingnya siap membetulkan. Tapi sepanjang pemutaran, fungsi sang asisten tak lebih dari teman duduk manis dan lebih banyak menikmati sendiri tontonan.

Kembali ke film, ia menggambarkan kondisi bangsa ini sejak berusaha untuk merdeka hingga masa-masa sulit dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih. Yang lebih membuat menarik, film ini juga menggambarkan Soekarno apa adanya. Ya, inilah film dokumenter tentang presiden pertama republik ini. Meski dari judul ia berusaha mencitrakan gambaran tentang tokoh-tokoh bangsa yang lain—dan memang ada sosok Syahrir, Bung Hatta, Ahmad Yani, Oemar Dani, Nasution dll, tapi tetap saja itu dalam bingkai interaksi mereka dengan Soekarno. Ini dimungkinkan karena, salah satunya adalah bahwa Des Alwi, selain jadi wartawan dan diplomat, ia juga memiliki kedekatan dengan tokoh-tokh tersebut.

Menurutku, ada beberapa adegan yang cukup menggambarkan Soekarno “apa adanya”. Pertama ketika ia menandatangani perjanjian jual beli senjata dengan Cina. Saat itu memang dengan panji nasakom, Soekarno mencoba membangun aliansi dengan negara-negara penganut paham ini, salah satunya dengan Cina. Karena Indonesia dianggap sebagai negara yang sangat strategis, maka Cina kemudian memberikan bantuan senjata. Nah, film itu memberikan proses penandatanganan yang sangat Soekarno. Ketika ia telah selesai menandatangani berkas, Soekarno kemudian berpaling ke arah diplomat Cina yang menandatangani dokumen yang sama untuk bertukar. Tapi sebelum itu ia masih sempat ngupil dan tanpa membersihkan tangan atau menyembunyikan aktivitasnya itu, ia langsung saja berjabat tangan. Dari bangku belakang kudengar beberapa penonton asing ngakak sengakak-ngakaknya…entah apa yang mereka pikirkan.

Ada juga bung Karno dalam ekspresi kesedihan yang mendalam, ketika dengan paksa ia diperintahkan keluar dari istana. Bagaimana ia mengepak sendiri barang-barangnya, pun ketika ia membagi-bagikan dasi koleksinya kepada wartawan..tampak jelas ketegaran dan kebesarannya, meski dalam sejarah ia diceritakan pecundang. Ia pun dengan tetap mengumbra senyum memasuki istana bogor, tempat kemudian ia menjalani nasib sebagai tahanan rumah.

Bagi wartawan, Soekarno adalah sosok yang sangat dekat. Ia bahkan terkenal sering bercanda dengan mereka. Termasuk ketika diwawancarai oleh seorang wartawan, ia kemudian melihat ada sebungkus rokok dikantong baju sang wartawan. Tanpa sungkan dan seolah akrab, ia langsung saja mengambil rokok itu dan membakarnya. “enak juga rokok kamu”, hanya itu yang dikatakannya. Kecakapannya berbahasa inggris, belanda dan jerman, juga menjadi kekaguman tersendiri, paling tidak begitu kata Des Alwi mengutip komentar rekan-rekan wartawan yang bersamanya meliput kegiatan presiden.

Adegan yang lain menggambarkan sosok Bung Hatta yang sangat pemalu dan dengan sifatnya itu ia sering menjadi gugup. Ceritanya saat ia menghadiri pertemuan di Belanda, saat ratu akan menyerahkan kedaulatan Indonesia. Setelah menyampaikan pidatonya yang bagus, ia lupa untuk menjabat tangan sanga ratu yang sudah menyodorkan tangan. Des Alwi mengatakan bahwa saat itu bung Hatta gugup sekali sampai lupa menjabat tangan. Ia tahu karena bung Hatta sendiri yang cerita.

Lebih dari itu semua, film ini seperti menggambarkan sosok Des Alwi yang telaten dan sangat menghargai dokumentasi. Dalam pikiran beliau, mungkin terbersit bahwa sejarah, betatapapun kelamnya, ia harus dikekalkan. Bukan untuk dimaknai sempit dan menjadi primbon, tapi tempat dan ruang untuk belajar. Film ini—yang menampilkan Soekarno sebagai bintang—seperti menitip pesan tentang kekuasaan dan batas manusia. Dan Soekarno, hanyalah satu dari sekian pertanda.

Tuesday, December 06, 2005

Weathering

#1
Seorang anak, kutaksir umurnya tak lebih dari 10 tahun, sedang asyik membaca buku. “The Onion Nausem, American’s Finest News Source-Complete News Archieves Vol.15”, begitu judul buku yang ia baca. Aku tahu judul buku itu setelah ‘bersabar’ menanti ia membolak-balik lembar demi lembar buku itu. Setelah ia berpaling karena panggilan ibunya—mungkin harus segera creambath atau mencari prada edisi teranyar, kuambil buku yang dibacanya tadi. Penasaran aja rasanya, anak sekecil itu sudah membaca (kalau toh tidak membaca, menaruh perhatian terhadap sesuatu yang tidak lazim bagi anak-anak) buku yang aku sendiri belum tentu mengerti apa isinya.

Ternyata buku itu berisi kumpulan berita yang pernah dimuat salah satu majalah di Amerika. Semacam bundel, yang diterbitkan dalam beberapa volume. Dari halaman yang kuingat, berita yang lama dipelototi anak itu berjudul “The King of Pop Speaks”. Wah, aku jadi ingat bacaan-bacaanku ketika seumuran anak kecil itu.

#2
Keluar dari plaza, hujan deras mengguyur kota. Di luar tampak beberapa anak “dalam pengawasan ketat” orang tua mencoba mencicipi guyuran hujan. Dengan menjulurkan tangan keluar dari beton yang menutupi sebagian lobi plaza. Atau sekedar berteriak girang seolah hujan, paling tidak bermain-main dengan hujan, adalah barang langka untuk mereka.

Di seberang jalan seorang anak dengan kuyup menawarkan payung untuk mereka yang bergegas. Kuhampiri dia, dengan berlari tentunya, untuk mengantarku ke halte bus. Sambil menikmati perjalanan beberapa ratus meter menuju halte, kubertanya kepadanya, sekedar mencoba memecah kesunyian seolah kami adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

Namanya Andi, kelas 5 SD. Mengojek payung adalah pilihan paling baik untuk membantu ibunya menghidupi ia dan tiga orang adiknya. Dari mengojek payung ia biasa membawa pulang Rp 15 ribu. Lumayanlah, sebab tak sedikit pengguna jasanya memberi tip tambahan. Mungkin iba, mungkin juga malas menunggu kembalian atau memang ingin bersedekah.

#3
Desember menjelang akhir hari ketiga, sebuah pesan pendek masuk ke handphoneku. “Alhamdulillah Hasni telah melahirkan bayi laki-laki pada pukul 22.56 WITA tadi. Panjang 52 cm, berat 3,60 kg.” Seorang ponakanku lahir lagi, berarti tanda bahwa kehidupan harus terus dilestarikan. Atau mungkin seperti kata Tagore, setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.

Selamat datang, nak.

Monday, November 21, 2005

humor ala penguasa

Image hosted by Photobucket.com

Harga Pertamax Resmi Diturunkan Senin, 21 Nov 2005 (Tempointeraktif.com)
"...Pertamina resmi menurunkan harga jual Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex mulai Senin (21/11). Penurunan harga rata-rata sebesar 3 persen, atau sekitar Rp 300-400 per liter.Harga Pertamax turun dari Rp 5.700 per liter menjadi Rp 5.400 per liter, Pertamax Plus dari Rp 5.900 per liter menjadi Rp 5.600 per liter, dan Pertamina Dex dari Rp 6.300 per liter menjadi Rp 5.900 per liter.

Juru bicara Pertamina Mochamad Harun mengatakan penurunan harga itu dilakukan karena harga minyak dunia yang cenderung turun beberapa pekan terakhir. Hal itu diikuti dengan penurunan harga produk bahan bakar minyak di pasar spot Singapura rata-rata 3 persen..."

Adakah ini menggembirakan?

Lelaki Pemberani

Image hosted by Photobucket.com

"Kebahagiaan hanya milik mereka yang berani", entah darimana aku baca kalimat itu. Tapi tiba-tiba teringat ketika seorang kawan mendekati hari-hari bersejarah dalam hidupnya. Ya, bersejarah sebab hari ini ia akan melepas masa lajangnya. Ah, seperti iklan perkawinan di koran aja rasanya. Tapi disitulah sebenarnya yang menarik. Dalam kamus bahasa inggris, kata "lajang" sering diartikan dengan "to spring" yang berarti melakukan lompatan atau bisa juga berarti membuka, melepaskan.

Dengan menikah, ia berarti melakukan sebuah lompatan (entah ada yang menganggapnya besar atau kecil) dalam hidup. Bayangkan bagaimana bangun pagi dan di sisi Anda tergolek sesosok tubuh yang lain. Tentu tak perlu khawatir soal sarapan, kawan. Jika selama ini kita bergantian membuat kopi dan membeli beberapa potong kue dan roti, kali ini saat bangun kau akan menghirup aroma kopi dan teh, hasil olahan isteri tercinta. Sama tak perlu khawatirnya kamu soal cucian lagi. Jika selama ini kami sering ngomel dengan sikapmu yang sering merendam pakaian berhari-hari lamanya, kini kau tinggal "menyetor". Belum lagi jika rezeki kalian ditambah oleh Allah sehingga dapat membeli mesin cuci, betapa necis dan rapi engkau kelak...
Tapi apakah hanya hasrat itu yang terpuaskan dengan menikah? Rasanya engkau tak menempatkannya dalam lembaran pertama alasan-alasanmu. Yang aku tahu, kau memang pemberani dan memang berani mengambil resiko. Watak itu terlihat jelas dengan insting bisnismu yang makin terasah.

Dengan menikah pula, engkau telah membuka dan melepaskan segala egomu. Bayangkan jika selama ini tak ada yang mampu mengaturmu dengan tegas dan mengharapkanmu pulang cepat dan tidak lagi keluyuran. Bayangkan pula hobimu yang sering motret harus bertoleransi dan berdamai dengan kebutuhan akan kasih sayang dan cumbu, atau mungkin juga marah dan kesal isterimu karena menunggu dan mungkin juga karena keinginannya untuk memiliki sesuatu harus tertunda, setoran belum cukup juga...

Engkau memang berani, berani sekali. Tapi berani-beraninya aku mempertanyakan keberanianmu, ya? Ah, hari bersejarah itu tiba, sebagaimana kabar lewat sms yang kau kirimkan dari kota yang jauh dariku disini. Maaf, tak sempat berbagi dengan kebahagiaanmu. Tapi dari sini, aku titip doa dan semangat, bahwa untuk seorang pemberani sepertimu, rasanya kebahagiaan akan berpikir dua kali untuk berpaling. Dewi fortuna, atau apapun orang menyebutnya, mungkin sekarang menyertai hidupmu, tak perlu ganti shift dengan yang lain. Ia sendiri yang akan mengambil peran itu...

Selamat berbahagia, kawan...

Tuesday, October 25, 2005

Kehilangan

"Tak ada yang mencintaimu setulus kematian"

Sebuah pesan singkat terkirim kepadaku, isinya mengabarkan kematian seorang kawan. Meski tidak begitu dekat, tapi aku mengenalnya. Dan aku mengenalnya sebagai pribadi yang baik, tak banyak bicara dan selalu menyiratkan semangat untuk belajar. Ini bukan hanya karena aku diajarkan untuk mengenang seseorang yang telah tiada dengan seluruh kebaikannya belaka, tapi begitulah gambaran ringkasku terhadap almarhum.

Selang sehari sebelumnya, teman sekosku juga mendapat musibah. Ayahnya meninggal karena penyakit akut yang telah lama dideritanya. kesedihan, tentu saja seporos dengan kematian ini..

Kematian memang bisa bicara banyak, tentu saja dengan berbagai isyaratnya. Tapi panggilan tuhan tentu tak bermakna tunggal. Kematian bisa membiaskan sesuatu yang merendah-hinakan manusia, atau mungkin juga sesuatu yang mendegradasikan hidup. Itu bisa kita lihat ketika seseorang menghabisi nyawa orang lain, dengan alasan apapun. Bahkan di negara yang mengaku beragama ini, membunuh dengan nama tuhan menjadi sesuatu yang heroik.

Namun kematian tentu saja dapat juga berbicara tentang sesuatu yang luhur. Kata mereka yang saleh, kematian adalah nasehat yang paling diam. Tentang sesuatu yang menyebabkan kita bergumam kagum dan takluk dengan kebesaran kekuatan yang agung, Tuhan.

Untuk merekalah air mata kita tumpahkan. Perpisahan kemudian menjadi sesuatu yang mempekurkan. Semoga kematian mereka, memberikan pelajaran tentang bagaimana lebih menghargai hidup, sesuatu yang dijalani namun tak pernah bisa dikira likunya. Ya, kematian yang baik, kematian yang memberikan ilham bagi hidup yang lebih baik...

Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu..

Wednesday, October 19, 2005

Extraordinary People

There are two kinds of heroes. Heroes who shine in the face of great adversity, who perform an amazing feat in a difficult situation. And heroes who live among us, who do their work unceremoniously, unnoticed by many of us, but who make a difference in the lives of others.(SBY, Time October 2005)

Ketika bertemu dengan seluruh Fellow Ellect Ford Foundation, ada rasa minder dalam diri ini. Luar biasa, begitu paling tidak yang kurasa ketika mendengar dan mengetahui asal dan kerja-kerja mereka. Meski tak sedikit yang "biasa-biasa" saja seperti diriku, namun yang luar biasa bukan berarti tidak ada.

Bayangkan, ada seorang guru SMP yang mengajar di pedalaman kalimantan.Julius, begitu biasa kami memamnggilnya. Untuk mencapai daerah tempatnya mengajar, dibutuhkan waktu sekurang-kurangnya dua hari dua malam, dengan asumsi tidak ada cuaca buruk dan hujan yang membuat deras aliran sungai sehingga tak dapat diairi oleh kapal-kapal penyeberangan. Menyeberang sungai, melalui jalan darat selama hari, kemudian dilanjutkan lagi dengan menyebrang sungan dengan kapal yang lebih kecil. Itu pun masih ditambah dengan perjalanan darat dengan medan yang berat. Muridnya pun tak seberapa, hanya sekitar lima puluh siswa. meski begitu, semangatnya untuk mengabdi tak menyurutkan langkahnya meski godaan untuk pindah ke kota yang lebih besar selalu datang menghantui.

Yang lain, ada seorang aktivis LSM yang bergerak dalam bidang pengembangan orang-orang cacat. Namanya Joni. Sebagai pengurus, kondisinya tak jauh beda dengan yang ia urusi. Ia seorang tunanetra, namun semangatnya untuk belajar dan berbagi membuatnya tak pernah mundur untuk sekedar mengharap iba dan belas kasih. Tak seperti kebanyakan aktivis LSM yang agak "mapan" baik dari segi penampilan maupun gaya bicara, ia mengaku hanya seorang anak muda dari desa yang kebetulan dapat menyelesaikan kuliah, ini yang selalu dikatakannya jika kami bertanya kepadanya. Baginya, buta tak harus menjadi penghalang untuk pintar. Ia pun tak setuju jika kebutaan mereka dijadikan alasan untuk mengasihani dan berbagi iba. Tidak. Baginya, cara yang lebih patutu adalah dengan memberikan jalan dan kesempatan untuk mereka berkembang dan tahu bagaimana berangkat dengan keterbatasan untuk menuju jalan setapak masa depan.

Melihat mereka, aku sepeerti menemukan pahlawan. Ya, pahlawan. Jika aku jadi mereka, mungkin tak ada harapan dengan tantangan yang tidak sedikit, seperti yang mereka hadapi. Mereka adalah pahlawan dalam kesenyapan dan jauh dari gegap gempita layaknya mereka yang berlaku "seolah" pahalawan. Yang kedua ini lebih sering memanfaatkan cara-cara pasar agar mereka lebih marketable dan melunturkan cita rasa kepahlawanan.

So what is a hero? Who is a Hero? Ah, melihat mereka saja, membuatku merasa tak perlu berdefinisi dan bermain dengan jargon-jargon. Tapi ada kesamaan dari orang seperti Julias dan Joni, love. Ya, kecintaan mereka terhadap pendidikan dan kecintaan kepada kemanusiaan membuat Julius rela berjauh-jauh dari istrinya untuk mengajar di pedalaman kalimantan. Itu pulalah yang membuat Joni rela menjadikan kediamannya sebagai tempat belajar kawan-kawan senasib. Tanpa harus berkoar tentang apa yang mereka telah lakukan, semuanya jalan dan tanpa beban. Jangan tanya bagaimana mereka bertahan, sebab funding dan proses penyerahan proposal meminta bantuan, tak pernah terpikirkan.

Yah, mereka adalah orang-orang biasa dengan aksi yang luar biasa..Ordinary people performed extraordinary acts..

Wednesday, October 05, 2005

harapan ramadhan

menjalankan puasa berarti tak makan dan tak minum, mungkin sampai taraf itu aku memaknai ramadhan. praktis belum ada lompatan-lompatan berarti dalam menjalankan ibadah ini. meski dalam beberapa kesempatan kutahu, "Ramadahan adalah bulan di mana orang-orang beriman selalu menantikan kedatangannya. Ibarat seorang kekasih, selalu diharap-harap kehadirannya karena rindu. Rasanya tak ingin berpisah walau sedetik. Begitulah Ramadhan, sebagaimana digambarkan sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Nabi SAW bersabda " Seandainya tiap hamba mengetahui apa yang terkandung dalam Ramadhan, maka ia bakal berharap satu tahun itu ia puasa terus".

how about me? ah, rasanya aku belum sampai pada tahap itu. meski begitu, ramadhan tetaplah punya makna dan arti tersendiri, paling tidak bagi masing-masing kita. meski bukan yang pertama kali, ramadhan di kampung orang tetaplah pengalaman yang tidak begitu mudah.
entah mengapa tiba-tiba aku menjadi melankolis (ini istilah teman sekos yang mengejekku). aku tiba-tiba ingat sosok ayahku, betapa aku sering mengingat dan mengenangnya dengan cara yang tidak pantas. bagaimana aku mengingatnya, namun jarang menyertakan pesan dan amanahnya. ah, terlalu panjang daftar yang bisa dibuat.

tapi yang jelas, semoga ramadhan kali ini memberikan magfirah dan berkahnya menyertai hidup kita. paling tidak, aku bisa mengenangnya dengan cara yang lebih pantas, dengan terus mengingat pesan dan menjalankan amanahnya. amiiin.

Saturday, October 01, 2005

Naik

Tidak tepat pukul 00.00 wib, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga bbm. tak seperti dugaan banyak orang, harga yang dimunculkan kemudian adalah harga yang tidak bisa dipercaya. kenaikan harga yang lebih dari 100%, sebuah kebijakan yang entah berpihak kepada siapa. tapi, who care?

pagi hari, kebetulan libur dan saat yang tepat untuk mencari infromasi di tengah keterbatasan waktu karena kursus dan perjalanan yang sangat menyita waktu. tujuan hari ini, aminef, pusat infomrasi pendidikan amerika serikat. sebelum naik angkot, saya bertanya dalam hati, berapakah kira-kira ongkos yang harus dibayar hari ini? satu yang pasti, jangan harap sama dengan bayaran kemarin.

seorang penumpang turun. dari parasnya ia bertekstur batak dan keras, pasti. ia membayar ongkos seribu rupiah, sama dengan jumlah ongkos untuk hari sebelumnya. sontak sang sopir meminta tambahan ongkos dengan alasan bbm naik. kaget saya mendengar jawaban penumpang itu, "tak ada urusan dengan bbm, pokoknya saya bayar sesuai denga tarif resmi, emang sudah ada tarif resmi?'", tanyanya sambil langsung berpaling dan berjalan seolah tidak ada salah dari ucapannya.

hari memang masih pagi, tapi siapakah gerangan yang bermimpi keluar rumah untuk merugi seperti sopir itu?

Thursday, September 22, 2005

paseban, sebuah permulaan

tiba juga pada akhir pencarian. kamar kos yang menjadi target pertama sudah didapat. sederhana namun penuh cerita, setidaknya itu menurut pandangan pertama. berada dijalan paseban timur, dimana untuk mencapainya, perlu melewati beberapa gang dan bejibun kos-kosan dengan berbagai modelnya dan harganya. makin kepinggir jalan, makin mahal juga biayanya. karena target saya adalah kamar yang murah dan nyaman, makanya resiko masuk keluar gang itu harus dilewati.

dari luar rumah itu tak tampak seperti kos. namun jika masuk lebih kedalam, bayangan itu dengan sendirinya sirna dengan petak dua yang terbagi lagi dalam beberapa kamar. jumlah totalnya 10 kamar. namun yang terisi hanya 7 kamar, termasuk saya penghuni baru. menurut ketuanya sih, mereka selektif dalam menerima penghuni baru. entah benar atau tidak, tapi kelihatannya itu khas gaya penghuni lama ketika kedatangan anggota baru.

unik, begitu gambaran sederhana tentang penghuni kos, sekali lagi, setidaknya menurut pandangan awal. baiklah, kita mulai dari mas Herman. dosen keperawatan yang sedang mengambil master di FK-UI. ia dianggap sebagai kepala kos, mungkin karena ia yang paling tua. mengidolakan aa gym, langganan koran tempo, lebih suka berdiam di kamar.

selanjutnya, Teguh. ia yang kelihatan agak aneh. pergi pagi, pulang malam, praktis tidak ada kesempatan untuk berbincang dengan penghuni lainnya. anak kost menyebutnya homo, tapi saya belum bisa membuktikannya. paling tidak, sampai saat ini saya percaya saja. ia satu-satunya penghuni yang paling dibenci di kos. selain mungkin karena homo, ia juga terkesan sombong dan tidak pernah berpartisipasi dalam acara ngopi bareng di sore hari. aktivitasnya adalah penata rias di sebuah production house. kabarnya sih, ia perias beberapa artis yang "hampir" terkenal.

Ade, seorang calon dokter yang sebentar lagi akan diwisuda. hobi nonton bokep dan punya sekotak besar dvd bokep dari segala aliran. mulai dari asia sampai afrika dan india. kalau amerika dan eropa, jumlahnya lebih banyak lagi. menjelang wisuda, kesibukannya bertambah. ia harus menanti kedatangan keluarganya dari surabaya, dan mempersiapkan akomodasi buat mereka. Imam, teman sekamar Ade, yang tak lain adalah kakanya sendiri. Alumni ITS, pegawai baru di PLN. waktu senggangya habis dipakai untuk melahap komik-komik jepang yang sebenarnya lebih cocok jadi bacaan anaknya. tubuhnya tambun, lebih dari sekedar gemuk. sambil membaca komik, ia hobi juga mengunyah cemilan. Ia tak tahu kalau Ade, adiknya sering nonton bokep.

Mahfud, seorang staf accounting di perusahaan tambang. workoholic, begitu gmabaran ringkas tentangnya. pergi pagi dan kembali saat semua penghuni lagi asik-asiknya istirahat. gajinya besar pasti. sebab hampir semua gadget yang dimilikinya adalah keluaran mutakhir. entah mengapa ia masih tinggal dikos seperti itu, meski ia pasti masih bisa nabung walau negkos di depan gang yang biayanya 1,5jt sebulan.

yang berikutnya, Erwin. ia adalah penghuni dengan suara besar dan memang punya hobi teriak. mungkin ia gambaran ideal dari masyarakat pesisir. hobinya juga nonton bokep. rasanya 7 tahun ia belum kelar kuliah cukup menjelaskan betapa ia sangat mendalami hobinya ini. dikamarnya ada sebuah kotak sepatu berisi cd dan dvd bokep, juga dengan beragam warna dan aliran. kotak itu ditulisinya dengan kotak surga, dengan sangat mencolok. soal kenapa disebut kotak surga, belum sempat kutanyakan. nantilah kapan-kapan...

dua lainnya, belum sempat kukenal. mereka lagi tugas di luar, tepatnya di sampit. tapi akhir bulan ini katanya akan kembali.

yang menarik malah bapak kost, sang pemilik. ia adalah orang cina betawi, yang telah membuka usaha kos sejak tahun 1970-an. ia memiliki beberapa rumah kos, yang semuanya berada dikisaran salemba. Te Awong (aku tak yakin dengan ejaannya), begitu anak-anak sering memanggilnya.meski ia hindu, tapi ia rajin sekali mengumbar kata-kata seperti insyaallah, alhamdulillah, masyaallah. bahkan sering menyapa dengan assalamu alaikum. potret ideal dari jamaah yang dicita-citakan jamaah islam liberal (JIL).

sebagai sebuah permulaan, paseban, disini aku berpijak.

Monday, September 12, 2005

cerita lain dari mahasiswa

Liputan6 SCTV, sejumlah mahasiswa Unhas menyandera dekan mereka. tuntutannya agar dekan membatalkan SK mengenai skorsing terhadap pengurus lembaga kemahasiswaan yang tetap "nekad" melaksanakan prosesi penyambutan mahasiswa baru. Gambar menunjukkan bagaimana mereka dengan semangat sebagai "anak muda" tulen mencoba menyandera dekan.
masih dalam liputan6, berita selanjutnya mengisahkan bagaimana mahasiswa di makassar memiliki "kelebihan" dalam hal tawuran dan tindak kekerasan.

Gambar kemudian menyajikan mahasiswa fpok UNM mengamuk (ini dalam artian sesungguhnya) dan kemudian menghancurkan fasilitas kampus karena tidak setuju dengan kebijakan rektorat yang membatasi mereka untuk melaksanakan pkl. berita ini lebih bersifat analitis, sebab frame kedua menyajikan mahasiswa unhas yang minggu lalu tawuran selama dua hari. tawuran yang melibatkan dua fakultas yang memang memiliki sejarah dalam dunia pertawuran di unhas. apa penyebab tawuran? maaf, pikiran untuk menjadi pahlawan, atau paling tidak menjadi kebanggaan untuk menjadi pioneer dalam mempertahankan "kehormatan" sempit fakultas.

dalam analisisnya, berita itu menyebutkan bahwa entah apa yang terjadi dengan mahasiswa saat ini. kebrutalan dan kebringasan seperti menjadi pilihan dalam menyampaikan argumen. sementara di sisi lain, harapan dan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat madani, sejahtera dan damai selalu mereka tuntut dan kumandangkan. paling tidak, begitulah yang terbaca dalam rekomendasi dan butir-butir tuntutan mereka ketika berdemonstrasi.

yang paling menyakitkan sebenarnya adalah berita selanjutnya tentang demonstrasi mahasiswa UI menuntut agar uang pangkal (admission fee) yang dibebankan kepada mahasiswa baru tidak terlalu tinggi dan mengharapkan UI agar tetap memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang memiliki kemampuan finansial yang pas-pasan. gambar yang disajikan kemudian memperlihatkan bagaimana mereka berdemonstrasi dengan tertib dan teratur. lengkap dengan jas almamater mereka yang menggambarkan kebanggaan. tak ada teriakan dan caci maki yang lebih cocok disebut menghujat. tidak ada pula "prosesi" bakar-membakar sebagaimana ritual resmi mahasiswa di makassar.

sebuah kontras yang sangat. memang, disini pasti punya dalih yang tidak sedikit. misalnya kenapa selalu mereka yang jadi pembanding, lagi pula mahasiswa di makassar tak kurang kepeduliannya buat mereka yang tidak berpunya. kurang? kita disini juga kan lain karakter dan permasalahannya, kenapa perbandingan timpang ini harus ada? masih kurang juga? kami tunggu anda di BTN...

lalu, akan halnya dengan kebringasan dan kebrutalan itu, apa sudah mendarah daging? ah, kalau yang ini rasanya berlebihan. masih banyak dari mereka yang imut dan lebih suka piss. atau paling tidak, masih lebih banyak lagi yang tidak bereaksi apa-apa. soal kekerasan dan tawuran, dianggap saja sebagai ritual dan akan lewat begitu saja.

masalahnya kemudian, mengapa harus dengan cara seperti itu? bukankah mahasiswa seharusnya menjadi garda terdepan (istilah apa lagi ini...) untuk menyuburkan kedamaian. soal menentang dan keras, itu memang ciri anak muda. bukan berarti pula ketidakadilan diselesaikan dengan berdiam diri. namun, tawuran demi sebuah harga yang tak jelas, ketidakadilan apa pula yang diperjuangkan?

bukan sok bijak dan tidak mengerti kondisi. tapi jika ini terus berlangsung, bagaimana mahassiswa mampu mengemban harapan dan cita-cita yang dititipkan kepada mereka?
memang, bukan melulu mahasiswa yang salah disini. lingkungan dan kondisi serta entitas yang ada di perguruan tinggi tak bersinergi sehingga menciptakan situasi serba tidak jelas, kalau tidak ingin dikatakan buruk. tapi paling tidak, mencoba untuk berkaca dan kemudian lebih dalam menyelami tanggung jawab adalah upaya paling minimum mewujudkan mimpi-mimpi itu. setelah itu, tersedia banyak alternatif untuk melanjutkannya. senyampang memang sederhana dan tidak rumit, tapi apakah laku akan berkata demikian?

meminjam tag iklan kompas, menjadi bijak, memang tidak perlu menunggu tua...

Wednesday, August 17, 2005

merdeka

Image hosted by Photobucket.com

"Kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan...", begitu ceramah dan sambutan yang sering mengiringi setiap upacara kemerdekaan RI. Kemerdekaan seperti kamar kosong yang kita diminta untuk mengisi dan menatanya. pokoknya terserah...

lihatlah kemudian bagaimana dengan seenaknya Indonesia ditata. atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, banyak tanah dan daerah yang disulap menjadi mall dan pertokoan, tanpa pernah memikirkan bagaimana kehidupan mereka selanjutnya setelah tanah dan hak mereka dicabut. tengok pula bagaimana anak-anak jalanan dan kaum miskin harus bersusah
-susah hanya untuks ekedar mendapatkan pendidikan yang layak. jangan tanya bagaimana mereka seharusnya hidup dengan pola dan ajuran dokter, empat sehat lima sempurna. sebab untuk mendapatkan pelayanan minimal di rumah sakit pemerintah, mereka harus menggadaikan gerobak, moda mereka untuk mengais rejeki.

urusan gadai-menggadai sebenarnya bukan monopoli orang-orang miskin saja. orang-orang kaya dan berpendidikan sejak lama telah menempuh pilihan ini. atas nama globalisasi dan peningkatan pendapatan, negara dan isinya ikut-ikutan digadaikan. maka sebagian besar bumn hari ini, tak lagi menjadi milik bangsa ini. mungkin terkesan di dramatisir, tapi citra yang muncul seolah bangsa ini tak mampu mengelola aset yang dimilikinya.

Image hosted by Photobucket.com

lalu apa arti merdeka? rasanya, tak ada sesuatu yang lebih berharga dari merdeka, kita semua tahu itu. tapi kenyataannya, merdeka hanya menjadi lawan kata dari penjajahan dan imperialisme. dua kata ini tentu saja dengan artinya yang harfiah, memanggul senjata dan diserang oleh musuh.

bagaimana hari ini? 60 tahun usia bangsa ini, rasanya kita masih jauh dari merdeka. masih banyak dari anak-anak yang belum merdeka untuk mencapai cita-cita, belum merdeka untuk mendapatkan hak dan fasilitas yang sebenarnya adalah tanggungjawab negara untuk menyiapkannya.

Namun, seperti halnya teori Arnold Toynbee tentang "challenge and response" bahwa sebuah bangsa akan direvitalisasi (invigorated) oleh berbagai tantangan dan kesulitan yang akan membuat bangsa tersebut bangkit dan berjaya, kita perlu optimistis bahwa bangsa kita pun sedang mencari jalan keluar dari berbagai kemelut yang sedang dialami bangsa ini. Toynbee juga mengatakan bahwa di tengah kemelut, akan tumbuh sebuah kekuatan moral yang akan membuat sebuah bangsa dapat bangkit dari keterpurukan.

merdeka, tak sekedar lawan dari penjajahan..

Saturday, July 23, 2005

ospek? siapa yang tidak mendukung ospek?
kemariko cilaka, plaak!
(--anonymous--)
6:50 PM

Baiklah, maaf jika catatan itu sedikit mengusikmu. Tapi izinkan aku melanjutkannya, sebab
kau tahu, itu masih jauh dari cukup.

Sekarang, mari kita lihat bagaimana metode sosialisasi (atau paling tidak dianggap
sosialisasi). Baligo, wuih, hampir semua memakai metode yang satu ini. Pembuatannya pun
seperti kompetisi, meski sebenarnya tak jelas betul apa manfaat yang diperoleh. Asumsi
ketika kita membuat baligo, berarti ada yang ingin disosialisasikan, paling tidak, semisal
pelaksanaan seminar. Manfaatnya tentu agar khalayak mengetahui adanya hajatan itu dan
tertarik untuk mengikutinya.

Lalu bagaimana dengan baligo penyambutan? Disinilah yang tadi kukatakan tidak jelas betul
faedahnya. Mengharapkan agar mahasiswa baru berbondong-bondong mendaftarakan diri? Tunggu dulu, bukankah tanpa itu rasanya senior sudah sangat "berhasil". Ketika pendaftaran ulang dimulai, mereka ramai-ramai mendirikan posko-posko, lengkap dengan berbagai atribut dan ancamannya. "Mahasiswa baru fakultas @#d%@%$ agar melaporkan diri disini, kalau
tidak....@%#$$". Jadi, hampir tak ada implikasi positif dari keberadaan baligo itu dengan
tingkat kehadiran dan keiukutsertaan mahasiswa baru.

Akan halnya dengan estetika, yang membuat mereka seperti berkompetisi membuat baligo yang unik dan lain daripada yang lain? Untuk yang satu ini, perlu kiranya pandangan lain terhadap estetika. Bayangkanlah kerancuan selamat datang dengan tatapan seram dari wajah hitam dan tengkorak serta tulang belulang... rasanya sama dengan menghadiri taksiyah dan melayat kematian dengan senyum sumringah...

Metode lainnya, spanduk. Sama dengan baligo, praktis tidak ada rasionalisasi selain untuk
pengakuan akan terlaksananya hajatan primitif. Spanduk dan baligo juga selalu menciptakan
cerita tersendiri. Mulai dari proses pembuatan sampai dengan proses pemasangannya, yang
lebih sering menyisakan dendam ketimbang keakraban. Sudah tidak aneh jika kita mendengar
adanya keributan dari akibat spanduk dan proses yang mengikutinya.

Saturday, July 16, 2005

marketing

ada yang menarik jika kita perhatikan dengan seksama iklan-iklan penerimaaan mahasiswa baru di beberapa perguruan tinggi swasta di makassar. iklan-iklan ini baik melalui media pamflet, brosur atau baligo (termasuk yang below the line dan above the line) menawarkan sebuah konsep (mesti bukan baru) atau jaminan free ospek atau bebas perpeloncoan.

lalu apanya yang menarik? pertama, bahwa bebas perpeloncoan atau penyambutan mahasiswa baru tanpa perpeloncoan (untuk tidak menyebutnya kekerasan dan pelanggaran HAM) sudah menjadi "idaman" calon mahasiswa dan orang tuanya. paling tidak, bahwa mereka telah meyakini (?) bahwa tidak ada sisi positif yang diperoleh dari pelaksanaan penyambutan mahasiswa baru selama ini. tentu, argumen ini akan menjadi bulan-bulanan mereka yang sangat setia memupuk insting primitif mereka.

kedua, adanya kesadaran (meski masih sumir dan malu-malu) dari penyelenggara perguruan tinggi bahwa kualitas dan pelayanan yang diberikan oleh mereka adalah segalanya. terlepas dari idealisasi pendidikan dan kaitannya dengan proses kapitalisasi yang mengiringinya, kenyataan ini makin menunjukkan kebenarannya. tengoklah jumlah pendaftar di beberapa perguruan tinggi negeri, yang beberapa tahun belakangan ini mengalami penurunan drastis. salah satu penyebabnya adalah bahwa calon mahasiswa tak lagi, meski tidak sepenuhnya, melihat negeri tidaknya sebuah pt. apalagi biaya pendidikan di pt negeri dan swasta relatif tidak jauh mencolok. di makassar, mungkin asumsi ini belum sepenuhnya dapat diterima, apalagi pandangan negeri better than swasta masih saja menjadi variabel dalam proses pengambilan keputusan.

namun yang patut dicermati sebenarnya adalah bahwa "jualan" kursi kuliah dengan iming-iming bebas ospek dan perpeloncoan seperti menohok mereka yang masih sering mengumandangkan romantisme, kekompakan, etc dari penyambutan mahasiswa baru. kemasan dan namanya boleh beda, tapi satu yang pasti, kekerasan tetaps aja mendapatkan tempatnya dengan sangat layak.

Tuesday, July 12, 2005

berhemat (?)

imbauan pemerintah untuk berhemat dalam penggunaan energi rasanya telat datangnya. memang sudah dikuatkan bahwa ajakan ini buta mereka yang merasa di barisan menengah ke atas. tapi tetap saja implikasinya terhadap golongan bawah bukannya tidak ada.

meski positif, tapi kelihatannya jalan ini tak cukup. apalagi untuk menekan konsumsi yang
sudah gila-gilaan di negeri ini. kok bisa? tingkat penjualan kendaraan bermotor, khususnya
mobil makin meningkat. bagaimana dengan motor? kalau yang satu ini telah lama ia menunjukkan grafik yang tersu menanjak. namun peningkatan ini meski berbanding lurus dengan konsumsi bahan bakar, tetap saja lebih kecil dibanding peningkatan pembelian mobil dengan penggunaan bahan bakar.

apalagi, mobil-mobil mewah tak hanya mengisi jalan-jalan jakarta, tapi juga di makassar dan
kota-kota besar lainnya di indonesia. kadang aku berfikir, darimana mereka mendapatkan uang
membeli mobil yang dimajalah otomotif bekas kulihat harganya mendekati sembilan digit itu?
sekarang bukan barang aneh jika di makassar anda berpapasan dengan mobil jaguar, toyota
landcruiser terbaru.

masih segar dalam ingatan ketika beberapa waktu lalu perkumpulan orang-orang berduit lebih
unjuk gigi dengan tongkrongan mereka yang harganya, alamaaak. di sini mereka bereuni seolah
kawan dan karib yang sangat dekat, yang dipersatukan atas kesamaan hobi, untuk tidak
mengatakan kesamaan apa.....gitchu (kok jadi sinis gini...). dentuman suara knalpot motor
mereka memecah jalan, tentu saja dengan kawalan polisi dan sirenenya. dengan tangkringan
seharga puluhan hingga ratusan juta rupiah, rasanya banyak yang bisa dihemat.

sekilas, ini seperti komunis saja. tak ada yang boleh kaya dan berpenampilan lebih. tapi
bukan itu esensinya, kepekaan dan emphaty sepertinya sudah lama berlari jauh. di tengah
antrian masyarakat mendapatkan sejergen bbm, di sudut kota diselenggarakan pameran mobil
dengan harga selangit dan tentu saja boros bahan bakar. belum lagi tingkah para elit yang tak kunjung memberikan kenyamanan, sebab keteladanan rasanya terlalu mengawang..

jadi, tak cukup dengan imbauan. apalagi sekedar tidak memakai jas, dan menyetel pendingin ruangan. berhemat? sudah lama rakyat kecil melakukannya, bahkan lebih dari itu, berkekurangan.

Friday, July 08, 2005

maaf

Pada akhirnya juga adalah maaf, atas keinginan terdalam: memaksamu memahami keresahanku. Maafkan...

Nobody knows the troubles I see,
Nobody knows my sorrow...

Sunday, June 12, 2005

Analisis Seorang Kawan

seorang kawan punya analisis menarik, paling tidak bagi saya pribadi. menurutnya, ada empat golongan yang paling berkuasa di jalan, sekali lagi, di jalan, khususnya di makassar. tentu saja analisis ini merupakan hasil pengamatannya, atau mungkin karena punya tendensi pribadi, misalnya pernah menjadi korban dari mereka. tapi ia mengingatkan bahwa subjektifitas dia menjadi dominan karenanya. untuk itu, jika ada kemiripan nama, cerita,
tempat dan waktu maka percayalah, itu hanya kebetulan saja. atau kalau tidak merasa bertingkah seperti yang dikisahkan teman saya, maka anda tak perlu khawatir. jangan pula membawa massa untuk mencari dan menggebuki teman saya itu. sekali lagi percayalah...

golongan pertama, suporter sepakbola (PSM). kawan itu mengatakan bahwa jika sekelompok seporter dengan baju kebesaran (ini juga bisa berarti harfiah, besar, karena baju ukuran dewasa digunakan oleh anak-anak) maka mereka dapat saja melakukan banyak hal. berkendara dengan seenaknya, knalpot yang sengaja dibocor agar mengeluarkan suara yang besar, tidak memakai helm, dsb. ringkasnya, baju suporter merangkap sim, stnk dan previlise (kawan itu lupa memberikan penjelasan mengenai maksud dari kata ini).

golongan kedua, pengantar jenazah. menurutnya, tata krama dalam mengantar jenazah telah lama tak dipatuhi. pengantar jenazah, khususnya yang berkendara roda dua sering berlaku seenaknya, seperti mengambil badan jalan yang berlebihan. belum lagi tingkah mereka yang bak jagoan dengan mengayun-ayunkan tongkat, helm dan benda-benda keras (dan tentu saja panjang) kepada pengendara lain yang berlawanan arah. kebut-kebutan dan seolah ingin semuanya menjadi komando. tengok pula tindakan mereka yang sering memanfaatkan ruang atas
kendaraan sementara di dalam mobil sendiri masih cukup ruang untuk mereka duduk, tentu saja sambil memikirkan makna kematian tanpa harus sedih berlebihan. tindakan ini tentu saja berbahaya bagi mereka dan pengendara lain.

saya sempat protes dengan analisisnya kepada golongan yang kedua ini. bukankah kita yang hidup harus menghargai dan melapangkan kepergian yang wafat? salah satunya dengan memberikan akses yang memadai bagi perjalanannya dan mereka yang mengantar untuk tiba di pekuburan dengan cepat dan selamat. lagian, mengalah sedikit, napa (baca dengan gaya bajuri)? tetap tidak dibenarkan menurutnya. sebab terkadang jalan yang sudah lapang sekalipun masih tetap mereka (terkesan) arogan. ia menjaawab begitu sambil mengancam tidak akan meneruskan golongan ketiga dan keempat jika aku masih banyak tanya. baiklah, kalau begitu lanjutkan saja, kawan.

sekarang golongan ketiga. mereka adalah mahasiswa. saya sebenarnya mau bertanya lagi, tapi biarlah ia melanjutkan dulu. kawan itu bercerita tentang heroisme mahasiswa yang kadang berlebihan dan tidak dapat dibenarkan dari sisi manapun (terkesan berlebihan dan ekstrim, tapi sekali lagi, kita beri kesempatan ia melanjutkan analisisnya). mahasiswa katanya membawa aspirasi rakyat, tapi kenyataannya malah menyusahkan rakyat. menutup jalan seenaknya, menahan kendaraan untuk mereka tumpangi, melakukan razia hingga tawuran sesama mereka. jika dulu aksi mahasiswa adalah berkah dan harapan bagi kebanyakan rakyat, maka saat ini adalah sebuah kesialan dan ancaman bagi mereka. ia sempat menyinggung pula sikap mahasiswa yang katanya bermuka dua. mereka mengecam pelaku pelanggar ham sementara mereka menginjak-nginjak mahasiswa baru yang tidak bersalah, memeras mereka dan berlaku layaknya diktator. segera kuingatkan agar tidak keluar kontes. bukankah yang kita bahas ini adalah penguasa jalan? oke, penjelasannya tentang tingkah mahasiswa yang sering "memaafkan diri sendiri" untuk melanggar lalu lintas kuakui bagian dari pembahasan mengenai penguasa jalan. tapi tentang mahasiswa baru? sori, waktu tinggal sedikit.

ia pun melanjutkan celotehnya. coba bayangkan katanya, berapa banyak rezeki orang yang raib karena tingkah mahasiswa ini. belum lagi, tidak pernah ada penyesalan dan itikad baik untuk mengubah cara mereka. parahnya, setelah pagi hingga siang hari memacetkan jalan, sore harinya mereka memaksa pengguna jalan untuk membeli stiker mereka yang kualitasnya pas-pasan dengan harga selangit. tidak tahu malu!!! (ia mengucapkan ini sambil berdiri dan dengan suara yang meninggi). kuminta ia duduk dan tenang.

setelah beberapa saat terdiam, ia pun melanjutkan analisisnya. sebenarnya aku tak lagi bersemangat. bukan karena ia dan suara tingginya, tapi perut ini lapar dan pagi tadi tak sepotong makanan pun yang kucerna, selain kopi racikan mace-macce di ujung koridor yang terasa hambar karena kebanyakan air dan gula. saat ini sudah pukul 15.00, dan memperlambat makan saat seperti ini adalah sebuah tindakan yang berbahaya, paling tidak itu yang kupercaya. tadi sempat kubaca rubrik kesehatan di sebuah tabloid tentang bahaya dari seringnya kita menunda makan. tanpa tahu, atau tepatnya pura-pura tidak tahu, ia masih saja melanjutkan analisisnya. mungkin ia merasa tanggung, tinggal satu golongan lagi. baiklah...

yang keempat, (wuih, gayanya makin membuatku lapar) wartawan. ("bicara kotor" apalagi nih yang akan keluar dari mulutnya). sekilas tak ada yang salah dari wartawan. bahkan dunia mengakuinya sebagai pilar keempat dari demokrasi. tapi betulkah? coba perhatikan..berapa banyak wartawan yang punya sim? berapa banyak wartawan taat membayar pajak kendaraan bermotor mereka. berapa banyak pula wartawan yang mengaku dan berikrar tidak menerima amplop tapi membuat macam-macam dan menjadi provokator untuk terciptanya sebuah berita.
untuk wartawan tv, asal tahu saja, satu berita mereka dihargai minimal 250 ribu. jika mereka berhasil menyetor tiga berita dalam sehari, hitung sendiri berapa yang mereka dapat dari tindakannya yang sok suci itu dalam sebulan. ingin kutanya darimana ia dapat data penghasilan wartawan itu, tapi mengajaknya berdebat akan lebih banyak menyita waktu daripada memberinya kesempatan untuk menyelesaikan semua ini.

pasti kau akan mengingatkanku untuk tidak keluar konteks lagi, kan? tanyanya kepadaku. kujawab saja tidak, daripada ia tambah lagi penjelasannya. lagian aku tak tega untuk memotong semangatnya, meski kebaikanku itu harus dibayar mahal dengan makin kembungnya perut ini rasanya.

di jalan, tadi sudah kuminta kau untuk mencari tahu berapa wartawan yang punya sim. tapi mereka memang lebih pede dengan kartu pres yang menjadi senjata andalan dalam bernegosiasi dengan polantas. sejak kapan mereka punya keistimewaan itu? menjijikkan!!!

kali ini aku sudah tidak tahan lagi. ia makin ngawur saja dan sepertinya tidak ada kata akhir dari analisisnya ini. segera kuambil hp dan menyetel ringtone. sejurus kemudian aku berpura-pura menjawabnya, seolah ada lawan bicara di seberang sana. "oh ya, dimana? sekarang? tungguma pale". segera kuminta pamit tanpa perduli apa ia menahanku atau tidak. sambil bergegas aku berfikir. jika ia tahu aku pura-pura, tentu saja ia akan memasukkanku ke dalam golongan-golongan yang dibencinya, meski dengan jenis yang lain dari penguasa jalan...

Friday, June 10, 2005

orang tambun ngomong kemiskinan

beberapa waktu lalu dalam sebuah bedah buku bertajuk "revolution of microfinance" terjadi sebuah paradoks yang luar biasa. setelah seluruh pembedah memaparkan materinya, diadakanlah sesi diskusi.

seorang dosen meminta waktu untuk menguraikan pendapatnya. sekilas tak ada keanehan, ini jika melihat respon peserta diskusi yang lain. tapi bagiku, itu keanehan, respon peserta lain adalah keanehan pula bagiku.

begini ceritanya. dalam memulai argumennya ia memaparkan aktivitasnya sebagai konsultan dari ADB (asian development bank) dan Worldbank dalam proyek pengentasan kemiskinan. ia memaparkan bagaimana ia melaksanakan proyek itu, (parahnya lagi) ditambah dengan jumlah honor yang diterimanya. rentang waktu pelaksanaan poryek itu lumayan lama. sejak tahun 1990-an. berarti jika dihitung, proyek yang ditanganinya telah berjalan sekitar sepuluh tahunan.

yang aneh bagi saya adalah bahwa kemiskinan dipotretnya dari sisi data kuantitatif semata. miskin berarti tidak memiliki penghasilan tetap, lantainya tidak bersemen, dan tidak makan nasi. keanehan lain, ia seperti berbangga dengan profesinya sebagai konsultan untuk masalah kemiskinan tanpa merinci apa yang telah ia lakukan.

kondisi ini sebenarnya jamak dalam lingkungan akademik, terkhusus yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan para akademisi. proyek ini kemudian melahirkan mental-mental proyektor, dimana orientasi penyelesaian program menjadi utama tanpa memperhatikan proses dan bagaimana hasilnya diimplementasikan.

perdebatan soal ini sebenarnya pula telah lama berlangsung. namun saya tidak tertarik membahas itu. yang saya pikirkan, kenapa kemudian kemiskinan seolah menjadi komoditas yang sangat marketable. semua orang seperti berlomba untuk memanfaatkan momen miskinnya orang lain untuk memperkaya diri.

tak ada upaya yang serius, ini jika indikator kemiskinan BPS yang kita jadikan rujukan, untuk membantu mereka. bukankah kemiskinan sebenarnya lebih pada keterbatasan akses yang mereka miliki? nah, akses inilah yang seharusnya dibuka dan diupayakan untuk diperbanyak. jika model penyelesaian kemiskinan seperti tadi yang tetap ditempuh, rasanya akan makin banyak orang yang berdagang kemiskinan, entah dengan mengobral atau menjuualnya dengan eceran ataupun partai...

Tuesday, May 31, 2005

Atas nama Pembangunan

Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Kesedihan Pak Bahar dan pedagang lainnya belum juga usai setelah kemarin mereka terpaksa berjibaku mempertahankan miliki mereka, meski sadar tak yakin betul itu milik mereka. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)?

Kita langsung disadarkan dengan pendapat dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah sesuatu yang (seharusnya) "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).

Asumsi Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas, dan disinilah rumitnya.

Akibat keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).
Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, adakah upaya untuk membuka kanal-kanal terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada? Jika penggusuran dan perampasan hak menjadi indikator, maka kita dengan tegas harus menjawab tidak.

Thursday, May 19, 2005

Memperbaiki Citra Kota

Image hosted by Photobucket.com

Beberapa waktu lalu pemerintah daerah Makassar, melakukan sebuah gebrakan yang sangat positif dengan mewajibkan seluruh hotel dan biro perjalanan menjadikan markisa sebagai welcome drink dan bingkisan bagi tamu-tamu mereka. Upaya ini tentu saja merupakan langkah maju untuk membangkitkan citra kota dan daerah setelah selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk kekelaman akibat kisruh politik, ekonomi dan sosial.

Gebrakan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ketika nama Ujungpandang digantikan Makassar sebenarnya merupakan sebuah upaya rebranding dan repositioning dengan harapan pencitraan yang lebih baik. Bahwa nama Makassar, tidak terbatas pada nama saja, tetapi juga mencakup identifikasi bahasa, suku, budaya, dan kerajaan (Kerajaan Makassar) sedangkan Ujung Pandang hanyalah sebagian kecil dari Kota Makassar (Ujung Pandang berada di dalam Makassar).

Masalah rebranding dan repositioning bukan hanya dilakukan pada produk atau merek dagang sebagaimana banyak dinikmati masyarakat. Sebuah negara atau daerah pun juga perlu (dan dituntut) melakukan langkah serupa untuk memperbaiki citranya. Para marketer menganggap Indonesia perlu melakukan hal itu setelah memperoleh citra kurang menguntungkan menyusul maraknya kasus KKN, teror bom, demonstrasi dan sebagainya.

Kampanye untuk memulihkan citra ini bukannya tidak ada. Selain langkah-langkah sebagaimana disampaikan di atas, pihak pemerintah pusat dan daerah juga telah mengupayakan agar bangsa ini lebih menghargai produk dalam negeri. Masih kita ingat juga bagaimana kampanye cinta rupiah dulu dilakukan ketika krisis moneter mencapai puncaknya yang ditandai dengan “jatuh bebas”nya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Taktik pemasaran untuk memperbaiki citra ini bukan hal baru. Singapura dengan uniquely Singapore, Malaysia dengan truly Asia, Korea dengan Hi Korea, sudah melakukan hal serupa. Atau di Indonesia sendiri beberapa daerah telah melakukan hal serupa. Ambil contoh Yogyakarta dengan Never Ending Asia, Jakarta dengan Enjoy Jakarta, tak hanya lewat logo. Taktik rebranding dan repositioning ini dilakukan dengan menggelar berbagai event. Mulai dari lomba foto, melukis, seminar Internasional dengan tema rebranding the nations hingga konser musik. Termasuk dengan memanfaatkan media sebagaimana Malaysia dan Thailand yang memasang iklan dari ESPN sampai MTV, dengan target yang berbeda tentunya.

Sebenarnya upaya rebranding tanpa disadari sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Yakni, ketika pemilu legislatif dan presiden serta wakil presiden dilaksanakan secara langsung. Meski banyak pihak meragukan, termasuk dengan meramalkan akan banyak timbul konflik, namun sebagaimana diketahui bersama tak ada konflik yang betul-betul mengganggu. Bahkan beberapa negara memberikan apresiasi positif dengan menilai bahwa ini adalah sebuah prestasi yang luar biasa dan tak ada satu negara pun yang memiliki pengalaman serupa. Hal ini tentu saja merupakan upaya rebranding dan repositioning yang sangat positif di tengah buruknya citra birokrasi Indonesia.

Memperbaiki brand yang rusak
Yuswohadi, pengamat manajemen dari MarkPlus melalui tulisannya yang dimuat dalam majalah Warta Ekonomi edisi Oktober 2004 lalu, melihat dalam konsep marketing places, dan marketing nations, brand sebagai 'nyawa' dari sebuah negara. Jika brand sebuah negara rusak, konsekuensinya tentu tidak akan diperhatikan oleh kalangan trader, tourist, dan tentu saja investor. Lebih berbahaya lagi bila potensi SDM-nya yang berkualitas hengkang, akan membuat negara menjadi rapuh, dan tidak memiliki daya saing. Bukan rahasia lagi bahwa banyak tenaga potensial Indonesia lebih memilih bekerja di luar negeri daripada di Indonesia. Belum lagi upaya-upaya pembajakan yang memang telah lama berkembang di kalangan bisnis untuk memperoleh sumber daya yang mumpuni.

Bahkan JW Yunardy menilai posisi brand Indonesia ini adalah ''bottom of all brand''. Pasalnya, Indonesia banyak menyandang predikat buruk. Seperti masalah korupsi, kemiskinan, gangguan keamanan, hukum, dan sebagainya. Langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun sistem, institusi dan kelembagaan yang berfungsi merencanakan, mengoordinasikan, dan mengimplementasikan upaya rebranding. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas.

Langkah kedua adalah membuat cetak biru strategi pemasaran, investasi, dan turisme yang menjadi acuan bagi upaya rebrand yang akan dilakukan secara keseluruhan. Cetak biru itu mencakup penyusunan brand character dan brand identity. Yuswohadi berharap kabinet pimpinan SBY ini akan memiliki program kampanye baru seperti Uniquely Singapore, Amazing Thailand atau Truly Asia milik Malaysia.

Sebenarnya, Indonesia pernah mengampanyekan Visit Indonesia Year pada 1991. Kampanye itu cukup berhasil karena bisa mendongkrak wisman hingga lebih dari dua juta orang. Namun, setelah krisis sampai kini jumlah wisman pun belum menggembirakan dan upaya brand building menghadapi banyak kendala.

Langkah ketiga, dan ini rasanya yang terpenting, adanya upaya untuk membangun kondisi dan iklim positif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal ini memang berat, sebab didalamnya dituntut keseriusan luar biasa. Mulai dari membenahi infrastruktur hingga mental dari pelaksana atau aparat pemerintah dan masyarakat. Citra Indonesia yang tak pernah keluar dari lima besar negara terkorup adalah kampanye negatif, tentu saja untuk ukuran investasi asing. Bayangan akan muncul high cost economy yang timbul dari birokrasi yang memberatkan, adalah bayangan gelap bagi investor.

Belum lagi aparat birokrasi yang masih berpegang teguh pada pendirian “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”? Perbaikan terhadap citra buruk ini tentu saja tak hanya memberikan kampanye positif bagi investor, tapi juga masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat juga akan merasakan manfaat yang luar biasa, dan tentu saja diharapkan akan berimplikasi positif bagi perbaikan mental masyarakat. Kalau ini yang terjadi, maka tanpa dikomando sekalipun masyarakat akan menjadi marketer yang handal bagi investor dan wisatawan.

Lalu bagaimana dengan Makassar? Meski tak menafikan upaya-upaya rebranding dan repositioning yang dilakukan pemerintah daerah—yang kebanyakan hanya berorientasi kepada meningkatnya jumlah wisatawan—kita tentu berharap bahwa upaya rebranding dan repositioning juga memperhatikan perbaikan-perbaikan dalam hal pelayanan dan birokrasi, terutama bagi masyarakat Makassar sendiri. Sebab sekedar membuat jalan yang baik, hotel yang mewah dan bingkisan khas Makassar bagi para tamu tentu saja tak cukup jika masyarakat Makassar sendiri tidak pernah dibuat bangga akan kotanya. Upaya rebranding dan repositioning haruslah tetap menjadikan masyarakat Makassar sebagai subjek yang tidak dipandang sebelah mata.

Aga kareba Makassar?

wajah

Image hosted by Photobucket.com

wajah kitakah ini?

Tuesday, May 10, 2005

Merebut Kembali Ruang Publik

Harian ini selama beberapa hari memuat pendapat masyarakat melalui salah satu rubriknya mengenai Makassar yang dibanjiri oleh Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Ada yang berpendapat bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun tak sedikit yang menyangsikan argumen ini. Alasannya bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya akan mematikan pedagang kecil yang ada di sekitar mal dan pusat perbelanjaan itu, secara khusus.

Ada dampak lainnya yang mungkin disadari namun tidak memperoleh porsi perhatian yang lebih. Sebab lazimnya ketika berbicara pembangunan, yang menjadi orientasi adalah keuntungan finansial. Dampak itu adalah makin minimnya ruang publik yang tersedia akibat menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan, hotel dan perumahan (mewah).

Ruang publik dalam definisinya yang paling sederhana adalah sebuah space di mana orang boleh secara bebas datang dan pergi. Banyak definisi yang lebih rumit dan canggih, tapi mari kita batasi dengan batasan sederhana sebatas sebagai tempat bertemu, tempat berdagang, dan tempat lalu lintas. Berdasarkan ketiga fungsi ruang publik itu, Jan Gehl kemudian membuat klasifikasi kota menjadi empat kategori.

Pertama adalah kota tradisional, di mana fungsi-fungsi ruang publik masih melekat dan terfasilitasi dengan baik. Biasanya ini ditemui di kota-kota kecil di mana penetrasi kendaraan bermotor tidak terlalu besar. Kedua adalah kota terserbu (invaded city) di mana satu fungsi--biasanya fungsi lalu-lintas, dan itu pun lalu-lintas kendaraan pribadi--telah mengambil sebagian besar porsi space, sehingga tidak ada lagi ruang untuk fungsi yang lain. Di kota jenis ini, penduduknya tidak akan berjalan kaki karena keinginan, tetapi lebih karena keterpaksaan.

Ketiga adalah kota yang ditinggalkan (abandoned city) di mana ruang dan kehidupan publik telah hilang. Kota pun dirancang untuk mobil dan kendaraan bermotor lainnya, yang membuat banyak aktivitas yang tadinya dilakukan dengan berjalan kaki menjadi hilang. Di kota jenis ini, kehidupan penduduknya hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain, yang untuk mencapainya tentu saja harus dengan menggunakan kendaraan.
Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) di mana ada usaha yang kuat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat, untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik Di sini akan kita temui program-program yang memberikan keleluasaan kepada pejalan kaki untuk berinteraksi satu sama lain.
***
Sejak Makassar Mall berdiri menggantikan pasar sentral yang dirasa sudah tidak “modern” maka kemudian bermunculanlah mal dan pusat perbelanjaan lainnya. Mal, pusat perbelanjaan, kompleks perumahan mewah, hotel dalam pembangunannya kemudian tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Konsekuensi penggusuran lahan, penebangan pohon, sebagai contoh, adalah sebuah keniscayaan yang “terpaksa” harus diterima.

Meski formalitas menuntut adanya laporan dan analisis dampak dalam setiap proyek pembangunan, namun kenyataannya dampak buruk dari pembangunan itu sendiri tak juga teratasi. Kemacetan, kegersangan kota akibat minimnya pohon yang berfungsi sebagai “penyejuk” sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kota ini. Belum lagi lahan kosong yang terpaksa “dikorbankan” (dengan dalih agar lebih bernilai) demi kepentingan proyek ini. Maka jangan heran bila di jalan raya yang padat dengan lalu lalang kendaraan kita mendapatkan anak-anak kecil yang bermain-main. Berbahaya? Ya, tapi apa mau dikata sebab tak ada lagi lahan kosong tempat mereka dapat bermain dengan bebas.

Ketiadaan ruang publik ini kemudian menjadikan masyarakat membuat ruang publik baru untuk segala aktivitas; ruang pseudo-publik, ruang yang seolah-olah berfungsi sebagai ruang publik, padahal sebenarnya bukan ruang publik. Maka ramailah tempat-tempat seperti shopping mall dan kafe-kafe yang saat ini menjamur pula di Makassar.

Lalu akankah Makassar akan kehilangan ruang publiknya? Arah ke sana sebenarnya bisa nyata kita lihat. Pembangunan mal dan pusat perbelanjaan, perumahan serta hotel belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti. Tengok pula saat ini berapa banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk memperluas akses kendaraan bermotor. Bandingkan dengan proyek revitalisasi bagi ruang publik, seperti taman kota, museum atau sekolah dan sarana olahraga.

Semua pihak tentu memahami betapa penting ruang publik ini bagi kehidupan warga. Tinggal masalahnya siapa yang harus berinisiatif. Lagi-lagi, kita semua perlu berinisiatif. Tetapi setidaknya kita menunggu Pemkot untuk berinisiatif dan bertindak nyata sebelum ruang publik yang tersisa kemudian habis akibat keserakahan segelintir pihak. Dan yang terpenting dalam bertindak itu pemerintah juga melibatkan masyarakat. Sebab sering terjadi moral dan afinitas kolektif pejabat publik selalu bertolak belakang dengan norma-moral dan afinitas kolektif masyarakat. Jika hal itu itu tidak dilaksanakan maka akan memunculkan ‘kekerasan struktural’ manakala pengelolaan kota tidak mengikutsertakan partisipasi publik.

Kalau toh Pemkot tetap tidak menjalankan fungsinya, maka seperti lagu perjuangan yang menggambarkan kekuatan rakyat melawan penjajah, saatnya kita untuk merebut kembali ruang publik yang dirampas. Mari bung rebut kembali...

Maaf, di Sini Akan Dibangun Mal

Makassar, sebagaimana kota-kota besar lainnya seperti tak ingin ketinggalan untuk dikatakan modern. Maka untuk mendukung itu semua, segala hal yang berhubungan dengan “modern” kemudian dibangun. Mal, hotel berbintang, pemukiman mewah, lapangan golf, (sebentar lagi) apartemen, jalan layang dan tol, semuanya demi memenuhi syarat untuk disebut modern.

Modernisme kerap disimbolkan pada perubahan dalam berpenampilan. Masyarakat bisnis terbilang modern jika aktivitasnya turut ditunjang trend pemenuhan gaya hidup.

Mal, hotel berbintang yang sudah ada dirasa belum cukup untuk memuaskan nafsu belanja masyarakat kota ini yang memang terkenal “royal”, meski kondisi ekonominya pas-pasan. Citra, harga diri dan ego sambung menyambung menjadi satu. Tak heran jika beberapa produsen melakukan peluncuran pertama produk atau menjadikan Makassar sebagai target pasar yang potensial.

Di beberapa jalan yang dianggap strategis sering kita temui papan pengumuman yang menjelaskan bahwa disitu akan berdiri sebuah bangunan. Media pun memblow up-nya dengan memberikan predikat-predikat mencengangkan. Gedung terjangkung, pusat perbelanjaan terbesar di kawasan timur dan lain sebagainya.
Pembangunan gedung dan pusat perbelanjaan itu tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Belum lagi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Memang tak bisa begitu saja menafikan implikasi positifnya seperti peningkatan PAD dari pajak dan retribusi, dan (mungkin) akan memberikan kontribusi bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Tapi haruskah pertumbuhan dan peningkatan pendapatan itu mengorbankan sektor lainnya?

Penyimpangan-penyimpangan tata ruang, misalnya, seperti perubahan peruntukan kawasan dari residen area menjadi bisnis area hingga pemasangan papan-papan reklame di sembarang tempat, membentuk preferensi masyarakat bahwa pemerintah kota/kabupaten (pemerintah daerah) bisa melakukan apa saja, walaupun hal itu melanggar aturan yang telah mereka buat sendiri.

Tengok kemudian fenomena kemacetan yang mulai “akrab” dengan keseharian masyarakat kota ini. Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tidak dilengkapi dengan peningkatan infrastruktur pendukung seperti jalan dan trotoar. Akibatnya kemacetan pun tak terhindarkan. Belum lagi pembangunan yang menyita lahan-lahan hijau (green space) tak kemudian digantikan dengan penanaman kembali pohon. Ringkasnya, pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.

Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tentu saja akan menyita ruang publik yang selama ini ada. Pembenaran pun kemudian terlontar dari pemerintah kota dan “didukung” para ahli yang menyatakan bahwa mal dan pusat perbelanjaan yang dibangun toh menjadi pengganti ruang publik itu.

Memang jika diperhatikan sepintas maka mal dan pusat perbelanjaan itu menjadi ruang publik dengan asumsi bahwa siapa pun dapat masuk dan terlibat di dalamnya. Namun sebagaimana di kota-kota besar lainnya mal dan pusat perbelanjaan itu tak lebih dari kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif.
Namun benarkah semua dapat menimatinya? Maaf, jika Anda datang ke mal dengan penampilan kere maka siap-siaplah diusir dengan dalih merusak pemandangan dan citra atau paling parah akan dicap akan ngutil hingga Anda akan diikuti terus oleh security.

Masalah lahan parkir dari mal dan pusat perbelanjaan itu juga menarik disimak. Ruang parkir itu menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota. Tak bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Yang juga perlu didiskusikan secara dialogis adalah mengenai tata ruang yang selama ini selalu ditetapkan oleh pihak pemerintah. Mengenai masalah tata ruang, para birokrat umumnya menjawab secara klasik bahwa penyusunan master plan sudah dirumuskan oleh tim ahli yang tak perlu lagi mengikutsertakan warga, karena tim ahli lebih banyak tahu dibandingkan masyarakat. Dalam perspektif lain, pihak pemerintah kota selalu beralasan bahwa mereka telah menyertakan masyarakat dalam setiap perencanaan kebijakan pembangunannya.
Akibatnya, masyarakat akan dengan terpaksa menerima program-program pemerintah karena hal itu sudah menjadi peraturan daerah yang harus dilaksanakan. Dan bila mereka melanggarnya, maka warga akan ditertibkan oleh aparat pemerintah daerah melalui berbagai macam cara, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.
Bagaimanapun memang perlu keseriusan dan komitmen, terutama dari pemkot yang didukung provinsi.

Penyiapan mental tidak saja dilakukan kepada masyarakat, tetapi terutama pada seluruh aparat, sampai tingkat pelaksana lapangan yang paling bawah. Sifat, sikap, dan komitmen birokrasi yang dewasa dan demi kepentingan publik menjadi krusial di tengah masyarakat kita yang masih paternalistis.

Penyertaan masyarakat atau menyertakan partisipasi publik dalam setiap kebijakan, khususnya pengelolaan kota sudah saatnya untuk direalisasikan. Cara-cara atau pembahasan terbuka, di luar DPRD, juga sudah saatnya pula dihidupkan. Karena dengan dihidupkannya mekanisme-mekanisme di luar parlemen, sebuah kebijakan perkotaan tidak akan lagi berwarna elitisme semata, sebagaimana yang kerap terjadi.

Tentu saja, dengan harapan bahwa kebijakan yang diambil akan berorientasi pada terlindunginya hak dan kepentingan publik, yaitu bermuara pada terjaminnya rasa aman, nyaman, dan ketenangan serta penghargaan kepada masyarakat saat berada di ruang publik.

Mengapa Makassar tidak berusaha membuktikan diri menjadi pelopor di bidang ini?

Thursday, April 21, 2005

danau tempe [2]

Image hosted by Photobucket.com
memang, perda (peraturan daerah) telah banyak dibuat. untuk beberapa sektor di danau tempe saja, pak muhammad menghitung ada sekitar tiga puluhan perda. namun masalahnya, perda-perda ini tidak dijalankan dengan serius.

begitulah, danau tempe yang menjadi pusat ekonomi dan sosial masyarakat sekitar situ menjadi terbengkalai dan menjadi arena eksploitasi bagi kemenangang pemilik modal.

padahal kalau di perhatikan dan diolah dengan baik, danau tempe memiliki potensi yang tidak sedikit. dari danau ini saja, ribuan orang berhasil memperbaiki hidup. belum lagi potensi hayati yang ada disana. masih kudapatkan elang beterbangan dengan lincahnya. begitu juga dengan burung-burung dan tumbuhan langka (maaf, tidak referensi mengenai nama latin mereka, jadi terkesan tidak ilmiah).

Image hosted by Photobucket.com
namun, karena tuntutan ekonomi dan kurangnya informasi mengenai ini, membuat populasi biantang dan tanaman ini terancam. mulut orang kota yang suka dengan yang aneh dan alami membuat populasi burung danau menjadi terkikis karena permintaan akan konsumsi burung ini tinggi. belum lagi kebiasaan memburu yang masih saja ada.

jangankan untuk burung-burung tersebut, ikan pun sudah menurun populasinya. cerita pak muhammad, ketika ia kecil ia bersama ayahnya dengan mudah dan dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil mendapatkan tangkapan ikan yang lumayan banyak. dan hebatnya lagi, mereka, para nelayan, tak perlu berebutan untuk mendapatkan tangkapan maksimal.

bagaimana dengan sekarang? dengan setengah mengeluh pak muhammad menceritakan bahwa dengan tuntutan hidup yang meningkat membuat para nelayan seperti "rakus" untuk mendapatkan tangkapan yang banyak. parahnya kerakusan ini tak diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga ekosistem. dulu mereka sangat dilarang untuk menangkap ikan-ikan yang masih kecil. namun saat ini semua jenis ikan ditangkap dan diambil tanpa memperdulikan kelestariannya. belum lagi dengan metode penangkapan yang sangat tidak "hewani" (maksudnya, tidak bersahabat dengan hewan).

Image hosted by Photobucket.com
potret dari kerusakan total danau tempe ini memuncak ketika terjadi banjir besar beberapa waktu lalu. masalahnya memang tak sekedar berasal dari masyarakat sekitar danau tapi juga dari daerah lain yang merupakan hulu-hulu sungai yang bermuara di danau. penebangan liar, pembuangan sampah, menjadi sumber terjadinya bencana.

mereka tak sepenuhnya salah memang. banyak faktor yang melatarbelakangi . kemiskinan, keterbatasan lahan, minimnya pengetahuan yang berimbas pada minimnya kesadaran. perlu itikad baik yang dibarengi dengan kesungguhan dan kesabaran. payahnya, masalahnya, indikator itu belum terlihat ada dalm pemerintah, termasuk masyarakat.

kalau begitu, tak cukup sekedar meneropong.

Saturday, April 16, 2005

Suatu Pagi di Danau Tempe

Image hosted by Photobucket.com
Perjalanan tiga jam lebih membuat kami semua merasa lelah setelah sebelumnya melewati rapat panjang membahas model dan tahapan penelitian uyang akan dilakukan di enrekang nantinya. Setelah rapat yang tak sedikitpun memberikan tempat untuk tertawa, akhirnya kami pun sepakat untuk beraangkat ke Enrekang menemui sang bupati untuk menjelaskan hasil rapat tim.

Kebetulan dari TIFA, mbak Diah, sebagai tim monitoring, juga bermaksud mengunjungi sebuah lembaga advokasi, YTMI, di Sengkang yang juga difasilitasi tifa. lembaga ini memberikan bantuan dan advokasi kepada petani dan nelayan yang berada di sekitar danau tempe. maka kami sepakat ke Sengkang dulu baru kemudian ke enrekang. pertemuan dengan bupati memang digendakan dua hari kemudian. bagi saya, kunjungan ke sengkang menjadi bonus, apalagi saya belum pernah betul-betul "menjamah" daerah ini.

karena berangkat telat, kami pun tiba malam, meski belum tengah malam betul. kami dibuat pusing juga oleh tingkah protokoler wakil gubernur dan pemda wajo yang membooking hampir seluruh hotel yang ada di sengkang. memang, besok paginya akan ada acara di peninjauan oleh tiga menteri. karena rombongannya yang banyak, belum lagi pegawai2 pemda setempat yang genit dan latah nginap di hotel, maka seluruh kamar pun dipesan. masalahnya, seluruh kamar2 itu tak seluruhnya terpakai, hanya sekedar berjaga-jaga. lagian, ngapain juga datang banyak-banyak, toh dari beberapa hotel yang kami temui, terlihat jelas (dan memang kami sempat bertanya-tanya) pegawai dan rombongan yang tidak jelas manfaatnya.

setelah hampir putus asa, kami pun berencana menginap di soppeng saja, untuk kemudian pagi hari kami kembali ke sengkang. apalagi, badan terasa pegal dan gerah karena belum mandi juga. tapi sebelum memutuskan ke soppeng, kami ditawari untuk mencoba satu hotel lagi yang berada di luar pusat kota. alhamdulillah, meski kamarnya pas-pasan, kamar mandinya mirip yang ada di kampus (satu kamar mandi untuk enam kamar), tapi minimal ada tempat untuk meluruskan badan, ketimbang harus balik ke soppeng lagi.
oleh kawan dari ytmi kami diminta untuk bersiap pagi-pagi sekali. sebab rombongan menteri juga akan meninjau danau tempe.

***
subuh harinya kami dibangunkan oleh pemilik hotel, yang semalam memang kami pesan untuk membangunkan kami. udara dingin tak menghalangi kami untuk segera mandi, soalnya takut keduluan ama tamu-tamu hotel lainnya, yang kebanyakan pedagang dan pebisnis dari makassar dan kalimantan. lumut dan ulat-ulat khas air kolam terlihat jelas. belum lagi keruhnya air yang lebih mirip coffemix yang tawar karena kebanyakan air. tapi sudahlah, toh keadaan seperti ini sudah biasa saya alami.

setelah berkumpul, kami pun berangkat menuju danau tempe. di dermaga (tepatnya bantaran sungai yang disulap jadi dermaga seadanya) kami disambut oleh pak muhammad, seorang nelayan yang menjadi mitra ytmi yang juga ketu parlemen tani dan nelayan. hebat juga dia, pikirku. apalagi menurut cerita kawan dari ytmi, pak muhammad sering membawa massa (dan ia memang punya kemampuan luar biasa untuk memobilisasi) ke dprd untuk memberikan pendapat dan menyalurkan aspirasi nelayan dan petani. terbayang bagaimana serunya dua ketua parlemen bertemu...

dua buah singking (perahu kayu) telah disiapkan untuk kami. sementara itu tiga buah perahu karet juga tampak di pinggir sungai. awalnya kupikir perahu karet itulah yang akan kami gunakan untuk melihat-lihat danau tempe. ternyata perahu karet itu untuk rombongan menteri yang juga akan "meninjau" danau tempe. sekitar seratus meter dari dermaga, di seberang sungai tampak sebuah menara dari bambu berdiri kokoh. di sampingnya terdapat panggung terapung dari lusinan drum sebagai penyangganya. menurut pak muhammad, di panggung itulah acara pak menteri (ini istilah pak muhammad, meski dalam rombongan ada bu menteri pemberdayaan perempuan). sedang menara itu akan digunakan pak menteri untuk meninjau-tepatnya meneropong, kondisi danau tempe.

Image hosted by Photobucket.com
ketika kutanya apakah lokasi tempat panggung dan menara itu berdiri termasuk danau tempe, pak muhammad cuma nyengir sambil menjawab bahwa lokasi itu belumlah termasuk lokasi danau. sungai yang mengalir di depan kami ini hanyalah salah satu jalur menuju danau. wah, ternyata tinjau-meninjau gaya orde baru masih juga ada. apalagi tema kunjungan para menteri ini adalah mengembalikan "kesehatan" danau tempe yang telah lama dirusak. bagaimana bisa melihat kerusakan hanya dengan meneropong??? mungkin para menteri itu telah melihat laporan dari bawahan yang "pandai" menjaga perasaan atasan.

tapi menurut seorang pegawai pemda yang ada disitu, rombongan menteri tidak diajak langsung ke pusat danau tempe karena jalur menuju kesana sangatlah sulit dan memakan waktu yang cukup lama (pasti ini ukuruan pejabat lagi). eceng gondok telah berseliweran menghalangi dan menutupi sungai. lagi pula pemandangan kotor yang ada di bantaran sungai tak pantas katanya untuk disimak dan dinikmati oleh rombongan dari jakarta itu...ho..hooo..., apa lagi ini..
kami kemudian membagi diri dalam kedua kelompok dengan perahu masing-masing. perahu yang kutumpangi bersama pak muhammad dan seorang kawan dari ytmi adalah perahu dengan ukuran terkecild ari perahu-perahu yang kulihat ada di dekitar sungai. dingin namun tetap segar udara dan nuansa suangai kunikmati, dengan sungguh-sungguh.

dalam perjalanan, di bantaran sungai terlihat aktivitas masyarakat yang mulai memuncak. pagi hari adalah saat tersibuk bagi mereka. selain aktivitas ekonomi, dimana para istri menjemput suami dengan ikan hasil tangkapannya semalam untuk kemudian dijual, sebagian lainnya melakukan aktivtas "standar" seperti mencuci, mandi dan (ehm..) buang air. beberapa orang terlihat memang khusyuk melakukan ritual buangan ini.

setelah sekitar 15 menit mengikuti alur sungai, kami pun masuk pada"kawasan" danau tempe. pak muhammad memberikan penjelasan seputar danau dan kawasan sekitarnya, termasuk ketika danau tempe ini betul-betul memberikan manfaat luar biasa bagi masyarakat sekitar. berbeda dengan saat ini dimana danau tempe, menurut pak muhammad, tak lagi menjadi ibu bagi kesejahteraan mereka.

"danau ini dulu terkenal sebagai danau yang memberikan kesejahteraan bagi kami. sampai ada istilah bahwa dari tempe jadi kedelai." Wah, aneh juga rasanya, dimana-mana kedelai yang jadi tempe. ungkapan itu katanya untuk menggambarkan bahwa danau tempe memang memberikan berkah bagi mereka. ceritanya, ketika danau surut dan kemarau tiba, daerah pinggiran yang dulunya menjadi tampungan air ketika pasang ditanami kedelai oleh para petani. begitulah kemudian digambarkan bahwa tempe menghasilkan kedelai.

kondisinya kini sangatlah kontras. musim kemarau memang belum seutuhnya masuk, namun pinggiran danau telah kelihatan kering. lahan yang luas itu kini tak termanfaatkan dengan baik. memang sebagian kecil petani ada yang memanfaatkannya dengan menanam jagung, namun sebagian besarnya hanayalah tempat subur tumubhan liar, seperti rumput raksasa dan tumbuhan liar khas perairan tawar.

belum lagi konflik yang sarat muncul dari akibat perselisihan dalam pemanfaatan lahan kosong tersebut. menurut pak muhammad, sebenarnya telah ada (dan banyak) perda yang telah mengatur pemanfaatan lahan kosong tersebut. namun dalam pelaksanaannya, pihak pemerintah daerah tidak pernah konsisten untuk menegakkannya. bahkan terkadang muncul kongkalikong antara pihak oknum pemda dengan petani dan nelayan yang memiliki modal yang besar.

pernyataan pak muhammad ini langsung mendapatkan pembenarannya ketika memasuki kawasan danau. di bantaran danau terlihat patok-patok bukang (saya tidak terlalu yakin dengan penulisan istilah ini), yaitu lima batang bambu panjang disatukan ujungnya membentuk piramida. bukang ini selain berfungsi seperti keramba ikan, dimana nelayan mengambil ikan di dalam wilayah piramida, juga berfungsi sebagai patok/batas kepemilikan wilayah. dalam perda diatur bahwa jarak antara satu bukang dengan bukang lainnya adalah 250 meter. kenyataannya, jarak antara bukang hanyalah sekitar 5 meter belaka. pelanggaran aturan ini kemudian menyulut konflik, yang menurut cerita pak muhammad, jarang muncul lagi karena masing-masing pihak yang berkonflik merupakan satu keluarga.

Image hosted by Photobucket.com
belum lagi konflik yang timbul karena perbedaan cara menangkap ikan. nelayan tradisional, karena keterbatasan modal harus tersingkir dan menurun hasil tangkapannya karena nelayan baru dan modern memakai peralatan yang lebih hebat. modifikasi peralatan pun menyisakan konflik yang menurut pak muhammad, mereka yang berkonflik tak habis pikir dengan kenyataan mereka berkonflik. pernah terjadi konflik berdarah antara seorang anak dan ayahnya hanya karena perbedaan cara menangkap ikan ini. parahnya, tidak ada upaya maksimal dari pemda untuk meminimalisir konflik seperti ini.
***

Tuesday, March 22, 2005

Sekolah

Sedih juga membaca headline KOMPAS kemarin (21/03) tentang beberapa anak yang tak dapat melanjutkan pendidikannya karena tiadanya dana. Kisah Euis Nurhayati tentulah sangat menyayat hati dan mengguncang perasaan. Ia tak dapat menyembunyikan tangisnya ketika sang nenek memintanya berhenti sekolah. Tak terbayangkan pula kesedihannya bertambah karena kemampuan neneknya untuk membiayai sudah tidak ada lagi.

Teringat kembali waktu sekolah dulu. Saat pembayaran SPP tiba adalah saat dimana kami diberikan amplop cokelat dan sampul depannya ada beberapa kolom dan baris untuk mengecek "rajin-tidaknya" kami memenuhi kewajiban tersebut. Nah, terbayang pula raut wajah Euis ketika tiba saatnya membayar dan ia tidak mampu untuk memenuhinya.

Bangsa ini memang sedikit keterlaluan. Coba bayangkan, berapa sih anggaran pendidikan yang disediakan negara untuk bidang ini? Bandingkan pula anggaran untuk membangun sekolah dengan anggaran untuk membangun atau merenovasi kantor dan rumah para pejabat. Memang angka tak bisa berbicara, tapi dari deretan angka itu bisa dilihat sebuah itikad.

Tak terima rasanya pikiran ini ketika mendengar bahwa biaya renovasi rumah seorang pejabat di Makassar sebesar 1,3 Milyar. Sama tidak terimanya ketika tahu bahwa biaya jas dan pakaian dinas gubernur yang besarannya bisa membiayai SPP 3200 anak sekolah (asumsi SPP Rp.15.000/bln--ini biaya sekolah di SD Inpres, bukan di Athirah atau sekolah swasta yang sarat fasilitas). Ingin yang lebih banyak lagi? Bagaimana kalau dana 1,3 milyar yang dipakai untuk merenovasi rumah pejabat itu kita pakai membayar SPP, maka terdapat 7222 anak yang bisa sekolah gratis selama setahun penuh.

Tentu ini bisa dikatakan terlalu simplistis dan mengada-ada. Tapi bukankah deretan angka itu akan lebih bermakna dengan sebuah itikad, yang baik, tentunya. Masalahnya soal itikad inilah yang sekarang menjadi barang mahal. Tengok perlombaan para pejabat untuk memakai mobil dinas yang mewah. Bahkan di Makassar sendiri beberapa pejabat melengkapi mobil dinas mereka dengan telepon satelit dan tv car. Jika ditanya alasan, mereka siap bersekutu dengan profesionalitas dan tuntutan kerja.

Jadi teringat ketika beberapa tahun lalu seluruh bupati yang ada di Sulsel menggunakan Pajero untuk kendaraan dinas mereka. Alasan mereka ketika itu adalah untuk membantu kelancaran tugas-tugas mereka dan untuk meningkatkan profesionalitas yang selama ini dirasa mandeg. Bagaimana hasilnya??? Ada ribuan Euis yang tidak mampu bersekolah atau kehilangan sekolah mereka yang roboh karena tidak lebih berarti dibanding rumah jabatan. Rasanya, profesionalitas para pejabat memang meningkat, terutama untuk bidang berkelit dan bersilat lidah.

Tuesday, March 15, 2005

Ganyangggg

Tulisan guru besar UGM Riswanda kemarin rasanya patut kita cermati. Dengan judul sederhana ia menyatakan bahwa kita harus banyak berterima kasih kepada Malaysia karena telah berniat untuk mengambil alih Ambalat dan east Ambalat dari Indonesia. Reaksi masyarakat terhadap kasus ini memperlihatkan bahwa bangsa ini memang butuh strugle untuk menjadi kuat.

Coba kita tarik ulur sedikit ke belakang. Ketika korupsi merajalela dan illlegal loging menjadi biasa, tak ada rasa nasionalisme yang gila-gilaan seperti terlihat ketika Malaysia mau mencaplok Ambalat. Pun ketika anggota DPR meminta tambahan gaji sebesar Rp.15 juta. Di Sulsel sendiri anggota dewan meminta fasilitas laptop, katanya sih untuk meningkatkan profesionalisme mereka, toh tidak ada reaksi ganyang koruptor atau ganyang anggota dewaan yang kita lihat di jalan-jalan.

Nah, dengan adanya masalah Ambalat ini, kita dibuat bersatu padu untuk menunjukkan nasionalisme. Bayangkan, sudah berapa ribu orang yang mendaftarkan diri menjadi relawan dan siap mati untuk mempertahankan negara ini. Hebatnya lagi, isu Ambalat ini membuat "hampir" tenggelam isu kenaikan harga BBM. Pokoknya, pameo "right or wrong, Indonesia is my country" menjadi pemersatu.

Parahnya, kampanye ganyang Malaysia ini menjadi tidak rasional lagi. Selain di dunia nyata, di dunia maya pun perang antar hecker kedua negara menjadi perang terbuka dan berujung pada sikap saling menrendahkan. Di dunia nyata sendirii tak kurang demikian. Bayangkan, ada demo yang membakar foto Siti Nurhaliza, ada pula radio yang mengganti memutar lagu-lagu Malaysia menjadi lagu-lagu patriotis dan perjuangan. Padahal, trademark radio itu sendiri karena lagu-lagu Malaysia yang sering diputarnya. Tak habis pikir, memang. Tapi itulah nasionalisme, betapapun sempitnya.

Seorang kawan berandai-andai bahwa kalau toh Indonesia berperang melawan Malaysia kita akan menang. Sebab bangsa ini punya pengalaman 3 abad lebih berperang, dan itu yang tidak dimiliki Malaysia. Tapi bukankah itu berarti kita akan dijajah kembali?

Tapi, menyaksikan "bersatu"nya rakyat untuk membela negeri ini kita menjadi sedih jika melihat tingkah para elit. Tak ada reaksi yang pantas untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Tak ada reaksi wajar ketika melihat korban berjatuhan akibat longsor sampah, kelaparan NTT atau anak sekolah yang harus berhenti karena gedung sekolah mereka roboh. Bagaimana kalau kampanye ganyang Malaysia ini ditambah dengan ganyang koruptor?

Monday, March 07, 2005

i like monday

ada tawaran untuk sekedar menguatkan keyakinan, begitu istilah yang dipakai kawan yang datang jauh-jauh demi menepati janjinya untuk menjadi pendengar. bisa sih sebenarnya aku telpon saja dan langsung bercerita tapi tidak afdhal kalau tidak melihat-lihat ekspresi wajahnya yang kadang sayu dan seolah-olah simak. bukan apa-apa, makhluk satu ini tersa penting sekarang karena tidak ada lagi teman yang punya sedikit waktu untuk mendengar.

saya sendiri merasa nyaman ketika selesai bercerita kepadanya. meski tak melulu hadir solusi yang "memadai' dari pemikirannya. tapi begitulah, ia memiliki "kharisma" tersendiri bagi saya.

menurutnya, aku tak boleh melanjutkan apa yang telah aku jalani sekarang ini. "adalah perbuatan bodoh untuk selalu berada dibalik bayang-bayang," begitu alasannya. satu sisi ia menawarkan alternatif yang masuk akal, tapi sisi lain rasanya tak sanggup saya menghadapi padangan mata orang (bahasa kerennya kira-kira social cost) yang tentu saja menunjukkan coor tanda tak setuju, tanpa komando.

mungkin benar juga tak baik selalu berada dibalik bayang-bayang, tapi untuk jauh darinya tak melulu dengan menghapusnya bukan? nah kali ini saya sekedar mengubah arah untuk kemudian menciptakan bayangan sendiri. soal bayangan yang mengkhawatirkan, bagaimana kalau ia menjadi satu bab dari kehidupan?

Thursday, March 03, 2005

It's All About Habitat

Entah sudah berapa kali kuungkapkan kalimat seperti itu. Dan beberapa waktu lalu, aku harus mengulanginya lagi, meski sungguh, itu hanya sebuah mekanisme untuk menghibur diri sendiri.

Aku kembali kehilangan sesuatu. Kehilangan bukan dalam wujudnya tapi dalam sikapnya. Alasan untuk merasa kehilangan ini kurang lebih seperti menjelaskan sebuah teori tentang ketidakpastian. Kesannya memang mengabstrakkan sesuatu yang jelas, namun sebetulnya tetap mengkongkretkan yang samar.

Lalu apa hubungannya dengan mekanisme tadi? Yah, seperti selalu ada yang datang seperti pula halnya dengan mereka yang selalu pergi. Tapi konteks ini coba kutarik kemudian menjadi cara yang perlu penerjemahan model lain untuk memahaminya. Mungkin yang satu ini, perasaan memang yang mendominasi?

Keteguhan Warimen

Ini cerita tentang keteguhan. Meski tak ada satu teori bisnis pun yang mendukung keteguhan macam ini. Namanya Warimen, seorang jawa yang telah lama tinggal di kompleks tempat saya tinggal. Waktu SD dulu, rumahnya adalah tempat yang paling kami minati. Jendela depan rumahnya adalah etalase baginya untuk memajang barang dagangannya.

Ada ludo, ular tangga, kwartet, layang-layang sampai robot-robotan voltus dan topeng superman, yang semuanya diatur seadanya tanpa berhitung soal estetika dan trik menjaring pembeli sebagaimana lazim digunakan di supermarket dan swalayan. Saat itu, permainan yang dijualnya menjadi barometer kemajuan sebuah dunia yang hari ini menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi pebisnis yang mengatasnamakan kegembiraan dan kebahagiaan, meski muaranya tentu adalah proses kapitalisasi. Tentu saja, jangan masukkan anak kota sebagai variabel pembandingnya.

Yang mengagumkan, sampai satu dekade waktu berlalu, ia tetap dengan setia menjalani profesinya. Kemarin aku iseng lewat depan rumahnya dan jendela itu masih menjadi etalase yang begitu menggoda hasrat kanak-kanak. Meski jenis permainan yang ada juga telah melewati evolusi yang entah sudah keberapa kalinya.

Hari itu kulihat beberapa anak usia lima dan enam tahun berkumpul dan mungkin saja memperbincangkan tentang bagaimana mereka mencari jalan untuk mendapatkan sebuah permainan yang menarik, seperti yang aku dan teman-teman lakukan ketika kami duduk di beranda rumahnya dulu. Ingatan masa kecil ini membangkitkan rasa tersendiri bagiku.

Tapi diluar kenangan yang kadang menjadi candu, adalah konsistensinya itu lho, untuk eksis di jalur bisnis yang sungguh, teori bisnis tak sempat menyentuhnya. Jangan tanya positioning dan penetrasi pasar kepadanya. Jangan pula kau tanya tentang difrensiasi usaha yang sepatutnya telah ia lakukan mengingat rentang waktu yang begitu panjang. Satu yang pasti, jendela itu tetap menjadi etalase, lengkap dengan tata letak dan desain seadanya. Masih juga ada ular tangga dan ludo disana.

Ia bisa (dan saya memang yakin) saja mengubah arah bisnisnya ke arah yang lebih jelas. Dibanding ia menghabiskan energi untuk sebuah bisnis yang kurang menjanjikan di tengah gempuran permainan digital namun minim interaksi seperti saat ini. Kalau toh untung yang betul-betul jadi motivasi, berapa sih keuntungan dari menjual permainan kertas seperti itu, apalagi ia tidak menjual dalam partai besar? Tapi bukan itu yang ditempuhnya. Ia tetap setia melayani anak-anak dengan segala kenakalannya. Tetap pula dengan jualan yang itu-itu juga. Aku berfikir, bukan semata bisnis yang menjadi nafasnya. Ada semangat untuk tetap mendidik anak menjadi “nakal” dengan caranya, meski untuk itu ia harus berhadapan dengan sinisme para orang tua yang merasa keberatan karena anaknya yang sering merengek minta dibelikan permainan.

Di tengah kegersangan hidup bangsa ini, masih ada Warimen yang menyajikan konsistensi dan keteguhan, meski dengan jalan dan penafsiran yang berbeda.

Friday, February 18, 2005

aku punya doa

kemarin mampir ke tempat kolega yang baru datang dari haji. sebagaimana jamaaah lainnya, cerita yang keluar tentu saja kekaguman dan takjub luar biasa dia terhadap mekkah, dalam konteks spiritual tentunya. bukan mekkah sebagai kota itu betul yang membuatnya takjub. bukan pula kemegahan karikatural masjidil haram yang menjadikan kagumnya membuncah. tapi pengalaman spiritualnya yang membuat ia seperti tak mau berhenti bercerita.

di mesjidil haram, tempat dimana segala tingkah dan laku kita (bahkan katanya niat pun) akan terbalaskan saat itu juga. ada seorang kawannya yang diajak ke mesjid untuk shalat namun berpura-pura sakit agar ia bisa istirahat di kamar. ketika mereka balik dari mesjid, kawan itu mereka dapati dalam keadaan sakit betulan. ada pula cerita tentang seorang istri yang mencela suaminya sendiri karena kelambanannya saat berjalan. tanpa disadari, giliran sang istri yang tak bisa berjalan. aneh juga...

lalu, di koran kita baca bahwa sebagian besar jamaah asal Indonesia kehilangan telpon genggam mereka saat berada di masjid haram. kenapa tuhan tidak langsung memotong tangan pencuri itu, ya.. tanyaku kepadanya. ia sebenarnya tak punya pembenaran secara rasio untuk menjawab, tapi karena masih terbawa dengan semangat spiritual sehabis menjalankan ibadah haji (mungkin), jawaban yang keluar dari mulutnya menunjukkan kekuasaan tuhan, begitu bahasa yang digunakannya. "Pasti ada juga balasannya, tapi konteks balasan tidak melulu harus dengan konteks kita setelah dipukul kemudian balas memukul."

pelajaran penting yang menurutnya banyak terulang dalam setiap hari ia di masjid itu adalah kesadaran untuk lebih berserah diri kepada tuhan dan tidak berkoalisi dengan nafsu duniawi semata. masih segar dalam ingatannya bagaimana ia harus kehilangan benda-benda bawaannya (meski dari nilai ekonomis mungkin tak seberapa). tapi dari kehilangan itu ia merasa bahwa tidak ada yang menjadi miliknya secara hakiki.
***
kawan, aku punya doa. semoga kita diberikan kekuatan untuk padu dalam kata dan laku.

Monday, February 14, 2005

30 Menit Bersama Mas A

Ini cerita tentang seorang sopir taksi. Setelah menginap di hotel untuk mengerjakan sebuah buletin tak ber-ISSN, yang terbit kemudian mati seiring kelarnya sebuah hajatan. Aku harus kembali ke kampus, memperlihatkan hasil layout kepada koordinator untuk dicek sebelum dicetak. Mengenai hotel ini, ada cerita sendiri. Kami sepakat untuk menyewa kamar di hotel karena malamnya aku harus mengikuti kursus dan atas dasar efektifitas dan efisiensi (ini senjata utama orang ekonomi) maka teman-teman bersepakat untuk menyewa hotel, tentunya yang dekat dengan tempat kursusku.

Hitungannya begini. Daripada aku harus mengambil waktu lumayan untuk perjalanan dari tempat kursus ke rumah, dan daripada kawan-kawan yang lain melewatkan waktu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti (kebetulan aku sendiri layouternya) maka pilihan untuk mengambil kamar adalah pilihan yang “dirasa” tidak keliru. Apalagi kami memang tidak punya sekretariat redaksi. Mengerjakan buletin di rumah, rasanya tidak enak dan tidak sreg, gitchu lho. Sementara di kampus, kami dibatasi oleh tukang kunci yang lebih sering meminta kami untuk pulang karena jam kantor yang sudah lewat.

Kami akhirnya mengambil sebuah kamar suite?, ini adalah jenis paling tinggi di hotel tersebut. Tapi jangan salah, kamar sweat ini harganya masih jauh dibawah harga kamar standar di hotel bintang empat. Meski demikian, kami tetap bangga dengan predikat kamar suite yang kami ambil. Itung-itung kalau ditanya bisa jawab jenis kamar tanpa perlu bilang nama hotelnya, bukan? Apalagi tepat di depan hotel ada kafe yang dulunya sering dijadikan tempat mangkal anak gaul dan berduit. Tapi malam itu tak seramai biasanya. Kini tidak ada lagi musik jazz atau lagu-lagu pop khas anak muda. Diganti dengan dangdut, itupun dengan iringan elekton yang suaranya pecah. Anak muda pun berganti dengan orang berumur yang dimabuk kenangan akan lagu-lagu Rhoma Irama dan Elvi Sukaesih.

Kembali soal Mas Ali. Kebetulan saat itu hujan rintik-rintik dan aku tidak punya tempat memadai untuk berteduh. Sebenarnya aku enggan untuk menahan taksi ini, dari fisiknya aku rasa tak mampu ia membawaku dalam waktu singkat ke kampus. Padahal aku sudah janji dengan senat untuk tiba disana dalam 30 menit. Tapi dilain sisi, tak ada taksi lain yang lewat. Baiklah, mungkin ini rejeki sang sopir taksi dengan mobil ”ala kadar”nya itu.

Kubuka pintu dan menjelaskan kemana tujuanku, dengan harapan tak ada pembicaraan tambahan yang terjadi. Bukannya tak mau ngobrol, apalagi itu juga bukan kebiasaanku. Setiap naik taksi (kalau urusan mendadak, ya...) aku pasti menyempatkan berbicara dan ngobrol dengan sopirnya. Biasalah, tanya soal kehidupannya dan berharap ada pelajaran dari ceritanya. Tapi pagi itu aku betul-betul lelah, kelelahan yang sangat setelah begadang semalaman. Dan aku berfikir untuk memanfaatkan 30 menit perjalanan itu untuk tidur. Toh, tidur itu tidak dilihat dari lamanya, tapi kualitasnya, kan?

Harapan itu tidak menjadi kenyataan. Ketika kusebutkan tujuanku ke kampus, ia langsung menimpali bahwa ia punya keluarga di kampus itu juga. Pertama aku tak ingin menanggapi dan berharap dengan itu ia bisa diam dan paham bahwa aku sedang tidak ingin bicara. Tapi salah, ia malah melanjutkan ceritanya dengan menyebtu pula keluarganya yang lain yang alumni kampus dan sekarang telah berhasil duduk sebagai salah pimpinan di bank plat merah di kota ini.

”Wuih, pintar mentong itu keluargaku. Kalau saya datang ke rumahnya dulu cuma belajar terusji nakerja.” tak berhenti disini, sekarang tiba giliran dirinya yang ia tuturkan. Aku di belakang dengan wajah yang sengaja dipasang kecut coba tidak memberikan perhatian. Tapi ia malah berbalik dan memandangku seperti serius menyimak apa yang disampaikannya. Wah, mis-undertand juga dia rupanya. Soalnya ceritanya tidak berhenti malah merambat masuk ke wilayah pribadi dari dirinya. Aku yang jelas tidak bisa tenang untuk memejamkan mata, dengan terpaksa menyimak saja apa yang ia sampaikan. Berpikir positif aja, begitu hiburku dalam hati. Berfikir positif dalam artian bahwa tentu ada pengalaman berharganya yang dapat aku jadikan pelajaran, dan tentu saja belajar jadi pendengar yang baik.

Kisahnya ia tuturkan dalam intonasi yang naik turun. Ketika berbicara tentang sesuatu yang ia banggakan, nadanya bersemangat. Tapi ketika berbicara tentang kegagalan, salah satunya kegagalannya dalam membina rumah tangga, ia langsung menurunkan tempo dan intonasinya. Soal kegagalan rumah tangga, inilah tema yang paling lama dibahasnya. Ia menceritakan bagaimana ia harus menikah dengan wanita pilihan orang tuanya, meski saat itu ia sendiri telah memiliki pujaan hati sendiri. Namun karena tak ingin dikatakan sebagai anak durhaka maka ia pun menerima wanita itu. Pacarnya, ia merasa tak perlu memberikan penjelasan apa-apa. Toh, ia juga belum ”menanam benih” kepadanya. Istilah ”menanam benih” itu murni dari Mas A sendiri. Ah, sebuah anomali yang sempurna, pikirku. Mengenai namanya, dimana-mana sopir taksi memiliki identitas yang dapat memudahkan pembaca untuk membacanya. Jadi, bukan sesuatu yang hebat ketika langsung kutahu siapa namanya. Awalnya kupikir ia orang Jawa, tapi ternyata memang begitulah namanya. Mas itu bukan berarti gelar dalam bahasa Jawa. Ia berasal dari salah satu daerah yang memiliki pelabuhan yang dapat disinggahi kapal Pelni di daerah ini.

Malam pertama setelah pesta perkawinannya yang meriah (mungkin lengkap dengan iringan elekton dengan penyanyi yang berdandan seksi, ini imajinasiku belaka) sebagai pasangan yang sah secara hukum ia pun ”meminta” istrinya untuk berbagi kebahagiaan. Ia kaget, sebab istrinya malah memberinya penolakan. Penolakan ini berbuntut kesedihannya yang mendalam. Alasan istrinya adalah Mas A bukanlah lelaki tulen. Aku juga sempat mengira begitu. Dari suara dan gerak-geriknya yang terbatas (karena ia sedang menyetir, tentu tak bisa berjalan apalagi berlari, bukan?) aku pikirnya begitu. Tapi seperti ingin menjawab keraguan dalam hatiku, ia langsung menjawab bahwa sebenarnya itu hanyalah alasan dari ketidak-ihlasan sang wanita untuk dinikahkan dengannya. Ternyata, perempuan itu tak juga menerima kenyataan bahwa ia dijodohkan tidak dengan lelaki pujaan hatinya. Sempurnalah, menurutku.

Payahnya, di tengah upaya persuasif Mas A, sang istri menyusun rencana untuk cerai. Masih menurut Mas A, istrinya kemudian membuat cerita ketidak jantanannya itu menjadi tersebar, tidak saja dalam lingkungan keluarga tapi juga di sekitaran kampung mereka. Singkat cerita, tersebarlah cerita itu dan sang istri seperti mendapat pembenaran dari keinginannya untuk berpisah. Mas A tentu saja tidak tinggal diam. Ia pun kemudian mencari dukun dan meminta obat kuat untuk membuktikan bahwa tuduhan istri dan juga masyarakat di kampungnya tak benar. Di luar dugaannya, sang istri ternyata melakukan hal yang sama, mendatangi dukun dan paranormal. Tujuannya satu, bagaimana ia membentengi diri dari suaminya untuk disentuh. Dalam hati kupikir kejam juga wanita itu. Padahal ia kan sudah sah menjadi istri Mas A. Tapi aku tak menanyakan itu padanya, lebih baik mendengar saja pikirku.

Mas A pun kemudian putus asa. Apalagi kemudian ia tahu bahwa kekuatan dukun yang dipakai sang istri tak kuat dihadapi oleh dukunnya. Pertarungan pun melibatkan dua kekuatan gaib rupanya. Ia bukannya tidak pernah mencoba mencari dukun lainnya, tapi tetap saja ia tak mampu juga untuk menyetubuhi sang istri. Wah, payah juga Mas A kupikir. Ia sepertinya perlu konsultasi dengan Dedy Kobusyer atau Hari Panca, si plontos pembawa acara Dunia Lain itu. Kali aja saran dari mereka tentang dukun siapa yang harus ia datangi untuk mendapatkan kekuatan yang diinginkannya.

Akhir cerita, sang istri kemudian berhasil mendesak Mas A untuk melakukan perceraian. Dengan tingkat kesedihan yang tak dapat ia bayangkan, ia pun pergi dari kampungnya. Sang istri, tentu saja menanggapi ini dengan senang. Penilaian ini ia simpulkan sebab tak ada usaha dari sang istri untuk sekedar mengontak dan mencari tahu apa yang ia lakukan saat ini. Dari keluarga? Ah, ia sudah merasa ditinggalkan oleh mereka. Aib, begitu penilaian keluarga terhadapnya. Tragis betul nasibmu Mas A......

Di kota ini ia kemudian beradu nasib dengan menjadi sopir angkot, hingga menjadi sopir taksi seperti sekarang. Ia pun pernah mengecap bangku kuliah, meski tak dapat dituntaskannya. Bukan karena tak ada biaya, tapi karena kemampuan otaknya yang mulai menurun. ”Tidak bisami otakku belajar, mungkin karena banyak sekalimi masalahku,” begitu jawabnya ketika kutanya mengapa ia tak melanjutkan kuliahnya. Padahal setahuku, kampusnya juga terkenal dengan tingkah mahasiswa yang sebagian besar karyawan yang ingin mendapat gelar kemudian berani membeli nilai. Maksudku, kenapa ia tidak melakukan itu? ”Buat apa gelar kalau tidak ditauji ilmunya,” jawabannya kali ini sedikit membuatku tersadar. Adagium bahwa ”don’t judge a book by it’s cover” ternyata mendapatkan pembenarannya pada Mas A.

Pembicaraan akhirnya terhenti ketika taksi sudah memasuki kampus. Kuyakin ia pasti memiliki cerita-cerita lain yang lebih seru. Tapi waktu jua yang memisahkan kita (seperti presenter dan penyiar radio aja). Sambil membayar aku ucapkan terimkasih. Terimakasih atas cerita menariknya dan kebijakan yang diberikannya. Meski secara sadar tentu ia tidak bemaksud mengajariku. 30 menit tanpa tidur bersama Mas A, yang cukup berarti. Lain kali semoga kita ketemu lagi, tentu saja dengan kondisi yang lebih segar dan saya tidak selelah saat ini.