Ada suguhan tiap pagi yang sayang dilewatkan di bis saat menuju kampus. Koran gratis. Ya, gratis, di bagian depan dekat pintu bis tersedia tumpukan koran dalam keranjang sedang. Siapapun bisa mengambilnya. Awalnya saya sangat tertarik dengan koran ini, sekalian untuk mengetes kemampuan reading yang memang pas-pasan.
Seorang kawan dari Taiwan heran, kok ada koran gratis, sementara trend media cetak di dunia menunjukkan harga yang relatif meningkat setiap tahunnya. Mereka punya alibi ampuh untu kenaikan ini, mulai dari naiknya harga kertas hingga minyak dunia yang berakibat tingginya biaya operasional peliputan, dll..
Koran itu namanya METRO, setiap pagi, setiap bis dan kereta menyediakan ini sebagai teman perjalanan. Koran ini pertama kali diedarkan tahun 1999. Pada tahun-tahun pertama peluncurannya, koran ini berhasil mencetak rekor dengan jumlah pembaca sebanyak 1 juta orang. Jumlah ini terus bertahan dan tentu saja menjadi alternatif bagi pemasang iklan selain koran-koran ternama lainnya, seperti The Guardian, The Independent dll.
Sebenarnya konsep gratis ini telah dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, konsep gratis ini masih sebatas majalah yang isinya iklan semua dan diedarkan di lingkungan tertentu seperti hotel, bandara dan restoran.
Kembali ke koran gratis, masyarakat Inggris saat ini menghadapi gempuran koran gratis. Di London sendiri, selain Metro, masih ada dua koran gratis lainnya. Mereka juga tetap berkompetisi untuk menjadi bacaan gratis pilihan pembaca.
Sayangnya, koran ini tidak berkualitas dalam pemberitaannya dan cenderung konservatif. Dalam beberapa edisinya, saya sering melihat bagaimana berita-berita dari media seperti Metro tak lebih dari media yang menjual sensasi. Saat ada serdadu Inggris yang tewas di Irak, maka ini kemudian menjadi berita utama (headline). Saya lalu ingat media-media di Makassar yang melakukan hal yang sama atas dasar proximitas atau kedekatan. Saat ada kejadian di pelosok bumi lainnya, maka akan dicarilah sisi-sisi terdekat dengan Makassar atau Sulawesi Selatan. Meski kadang kedekatan itu terkesan dipaksakan dan mencederai logika. Simak contoh berita yang pernah dimuat harian Makassar itu, "Istri menteri keuangan, Suami Bugis".
Soal kualitas memang bisa diperdebatkan, tapi tengoklah bagaimana respon seseorang yang telah membacanya. Saya jarang menemukan orang yang membaca Metro lalu menyimpannya atau membawanya utk kemudian dibaca lagi. Meski konsep koran ini memang untuk dibaca dalam 20 menit, namun paling tidak kesediaan orang untuk menyimpannya adalah respon tersendiri.
Terlepas dari itu, koran gratis tetap saja menjadi ancaman serius bagi koran-koran dengan nama besar, dan tentu saja tidak gratis. The Guardian, dijual dengan harga 70p (di kampus ckp dengan 20p). Tentu saja, pilihan gratis tetap berefek kepada koran-koran tidak gratis ini.
Lalu, akankah kemudian koran-koran didapatkan dengan gratis? Ah, belum sampai kesitu arahnya..
No comments:
Post a Comment