Sunday, November 26, 2006

Gandum

Jumat kemarin, ada diskusi menarik di kedutaan. Temanya luar biasa, "what shall we do for Indonesia", begitu kira-kira ringkasan tema yang panjang itu. Diskusi dilengkapi dengan tambahan informasi dari Pak Amien Rais, mantan ketua MPR yang dibajak di tengah jadwal resminya.

Yang menarik bagi saya, praktis semua sepakat bahwa semua entitas yang ada di luar negeri, baik itu pelajar, pekerja atau yang lainnya, perlu memberikan kontribusinya terhadap Indonesia yang sedang goyah, untuk tidak mengatakannya sekarat. Namun yang saya tidak habis pikir, banyak juga yang sering melihat Indonesia dari kacamata berbeda. Berbeda karena yang diungkapkan tak lebih dari ikrar penyesalan. Maka dibandingkanlah Indonesia dengan negara maju ini. Tidak diskriminasinya, demokrasi, hingga macet di jalan raya. Bagi saya, itu memang hak prbadi, namun apakah tak bisa kita berhenti sekedar membandingkan dan coba berpikir bahwa begitulah adanya Indonesia. Sebab komparasi yang diambil pun kadang tidak tepat dan terkesan dipaksakan.

Okelah, kenikmatan dan keteraturan hidup seperti yang dirasakan saat ini adalah dambaan dan idaman setiap manusia, tapi mbok ya dilihat juga konteksnya. Capek saya dengar keluhan terus dari orang-orang Indonesia yang disini dan selalu beranggapan hopeless untuk hidup di Indonesia. Seperti tidak ada baiknya itu Indonesia. Ini bukan chauvinisme atau sejenisnya. Sekedar berpikir kontekstual aja, pikirku. Kembali ke diskusi tadi, saya terkesan dengan apa yang disampaikan oleh Pak Amien. Menurutnya, generasi Indonesia yang kembali dari kuliah di luar negeri banyak yang memilih diolah menjadi roti ketimbang menjadi benih gandum yang siap menumbuhkan biji gandum yang baru serta lebih segar dan bergizi. Tak banyak yang mau dibenamkan dalam tanah dan menunggu waktu untuk disemai.

Itu jika kita melihat analogi gandum dan roti sebagai bagian dari pengabdian dalam dimensi nasionalisme. Tapi toh, bicara nasionalisme saat ini memang rada-rada absurd juga. Posisi nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas, uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya, membuat uapaya membangkitkan semangat seperti itu seperti kerja keras yang tak berujung.

Di tengah impitan arus besar tersebut, banyak yang kemudian menyarankan nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak kekinian. Sederhananya, alangkah baik jika sejarah bangsa yang bopeng di beberapa bagian, dianyam kembali ketimbang membiarkannya bopeng terus atau malah menambah bopeng disana-sini. Lalu, apa yang sudah saya lakukan, ya?

1 comment:

Anonymous said...

aih aih ada yang ganti kulit blog :)
btw resep coto pernah mi sa kirimkan ki di imel ta.. sudah ki terima? soalnya nda ada balasannya bela :P