Thursday, August 27, 2009

Sampah

Peningkatan GDP di banyak negara termasuk Indonesia, telah membuat efek positif yang luar biasa. Ini mengindikasikan pula terjadinya peningkatan kesejahteraan, perubahan pola konsumsi serta standar hidup yang meningkat. Hal kecil yang bisa kita lihat sebagai efeknya adalah meningkatnya tingkat konsumsi banyak dari kita. Peningkatana jumlah konsumsi berimplikasi pula pada peningkatan jumlah sampah.

Jika di banyak negara, khususnya negara maju melihat ini sebagai sebuah ancaman di masa datang, tidak demikian yang terjadi dengan negara berkembang, termasuk Indonesia. Sampah masih dianggap 'biasa-biasa' saja, untuk tidak mengatakannya tidak berbahaya dan bukan ancaman sama sekali.

Tak jauh dari rumah saya, ada tanah lapang. Nah, karena tidak ada penampungan sampah sementara yang disediakan oleh pihak developer, maka tanah lapang yang dulunya betul-betul lapang itu, mendadak menjadi tempat pembuangan sampah. Parahnya, ini tidak hanya terjadi di dekat rumah saya, tapi juga di sekitar rumah yang posisinya di pojok dan ada tanah kosong di sekitarnya.

Saya pernah memasang papan pengumuman, bahwa dilarang membuang sampah di sekitar tanah lapang itu. Tentu, tak perlu pakai kosakata 'terlarang' sebagaimana banyak dijumpai di daerah terlarang buang sampah. Mungkin mereka yang pasang itu sudah frustasi berat dengan sampah yang makin menggunung. Tak sampai seminggu, papan itu hilang tanpa jejak.

Kembali ke kasus saya, sampah yang dibuang pun bukan sampah kering. Banyak diantaranya sisa-sisa makanan, dan yang pasti, plastik. Tak habis pikir saya betapa plastik ini makin banyak menyertai perjalanan hidup kita. Mulai dari kemasan sabun, sampo, hingga plastik kresek untuk belanjaan dan bungkus makanan.

Ke depan, pemakaian plastik harusnya dikurangi. Selain karena jenis ini sangat sulit untuk diuraikan oleh tanah, efek bagi kesehatan juga banyak. Saya tak tahu pasti efeknya apa, tapi yang saya ingat, lebih banyak negatifnya. Untuk bisa mengurangi, banyak cara yang bisa dilakuka. Dengan tidak meminta tas plastik untuk barang-barang yang bisa dibawa dengan tangan, atau dengan menggunakan tas serta plastik bekas. Untuk lebih menekan, pemerintah perlu membuat regulasi yang mengharuskan toko dan supermarket untuk menekan penggunaan plastik. Bisa juga dengan mengenakan bayaran kepada konsumen jika tetap meminta plastik.

Sekarang mungkin masih banyak tanah lapang, meski tak lagi luas, yang bisa jadi tempat pembuangan sampah. Saya tak yakin ke depan, akan terus bertahan seperti ini. Apalagi, bau sampah dan juga sisa kotoran yang dibuang dekat rumah saya, makain lama makin membuat tak nyaman. Mungkin saatnya saya harus memasang papan larangan membuang sampah yang baru, kali ini dengan kata yang lebih keras lagi.

Friday, August 21, 2009

Ramadhan

Sebuah mesjid diperebutkan oleh dua jamaah yang berbeda aliran. Satu aliran menganggap aliran lainnya sesat dan kerap mendominasi cara beribadah di mesjid tersebut.

Di lain tempat, sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam merusak dan menghancurkan beberapa gerobak dagangan yang buka menjelang ramadhan. Tak ketinggalan, mereka pun layaknya jagoan memburu dan memukul secara membabi buta orang-orang yang melawan dan menganggap mereka kafir.

Di tempat terpisah, petugas ketertiban me'nertibkan' wanita-wanita PSK, yang dianggap akan mencemari bulan ramadhan. Mereka diuber bagaikan penjahat dan juga pencemar masyarakat.

Selamat datang Ramadhan...

Wednesday, August 19, 2009

Nationalist

Proudly, I declare that I'm a nationalist now. What, a nationalist?

Here's the story. Few days before independence day, I incidentally heard a news on a local TV. The news stated that official of Makassar major ask for the citizen to place a flag in front of their houses.

So, I've placed a flag in front of my house, Am I a nationalist?

Tuesday, August 04, 2009

Home

Di koran KOMPAS, ada satu rubrik, khususnya di Kompas Minggu yang paling saya suka. Aku dan Rumahku, begitu nama rubriknya. Rubrik ini bercerita tentang tokoh terkenal dengan rumahnya, termasuk cerita dibalik itu semua. Tak semua dari mereka yang ditampilkan itu memiliki rumah "wah" serupa di sinetron-sinetron tipi kita. Beberapa bahkan memiliki rumah sederhana dan biasa-biasa saja.

Namun yang paling menginspirasi saya bukan bentuk dan desain rumah mereka. Cerita dibalik rumah itu yag begitu mengena. Bagaimana sulit dan rumitnya mewujudkan impian memiliki rumah idaman, serta kerja keras yang menyertainya, itu yang betul-betul 'enak dibaca'. Rubrik ini sungguh menginspirasi saya untuk memiliki rumah "sendiri".

Satu lagi yang turut menginspirasi, saat sekolah master dulu, saya paling suka dengan lagu Michael Bubble, Home. Lagu ini tak hanya membuat rindu akan kampung halaman terus tumbuh, tapi juga memberi sprit, untuk menyelesaikan segala urusan yang terkendala.

Nah, ketika terinspirasi inilah, yang membuat saya ingin segera memiliki rumah sendiri. Setengah tahun tinggal di rumah orang tua, membuat diri tidak kreatif. Apalagi memiliki orang tua yang luar biasa baiknya, adalah penyiksaan tersendiri. Tak ada aktifitas inovatif yang bisa dilakukan, tak pula bisa beli barang sembarangan. Pokoknya, begitu deh..

Ini yang kemudian membuat kami segera mencari rumah. Pilihan lokasi dan harga tentu jadi pertimbangan. Namun tidak memonopoli, yang jelas, pindah lebih cepat lebih baik.

Singkat cerita, rumah itu kami dapat, dan culturally, kami sudah menempati rumah baru kami. Culturally? Iya, sudah dengan acara-acara kultural khas orang-orang tua. Awalnya sih menolak, tapi yah diakomodasi saja. Rumah ini, meski mungil, namun alhamdulillah tanahnya cukup luas. Kalau toh ada yang kurang, ya kurang ramai aja. Rumah di sekitar tempat kami masih kosong. Pemiliknya belum pada menempati rumah-rumah mereka.

Ini hanya awal untuk mewujudkan impian-impian kecil. Semoga menjadi berkah, rezki dan jalan kami dilapangkan. Terima kasih Tuhan...