Friday, March 30, 2007

Syukur

Cerita tentang kehidupan individual di negeri ini sudah sering saya dengar. Wanti-wanti seperti ini juga yang banyak dilontarkan saat mengikuti training sebelum berangkat kesini. Yah tidak kenal ama tetangga lah, tak suka campur-urus perkara orang lain lah, hingga yang agak keren dikit, don’t put your foot on other’ shoes, sebagai nasihat mumpuni.

Namun kemarin, tepatnya minggu kemarin saya merasa perlu sedikit menata kembali pikiran sambil berucap syukur bahwa saya masih bisa punya tetangga. Contoh-contoh seperti yang terungkap diatas memang telah terjalani dengan baik. Namun yang ini, sungguh, tak sampai hati rasanya. Menjadi individu yang merdeka tentu punya resiko, tapi tetap saja, ada “rasa” yang hilang dari hidup itu sendiri. Kesadaran seperti ini sebenarnya sudah banyak dilontarkan. Dalam beberapa kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden (salah satunya Bush) di negara maju, kampanye untuk mengembalikan peran keluarga dan masyarakat sebagai kekuatan makin nyaring disuarakan. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.

Tetangga yang tinggal tepat diatas flat (lantai 6) kami meninggal. Parahnya, tubuh layunya ditemukan setelah seminggu lebih ia menghembuskan nafas terakhir. Itu pun berkat spekulasi Martin, si loper koran yang mencium bau menyengat saat mencoba memasukkan koran melalui lobang surat. Sang loper juga kebetulan tinggal seflat, tepatnya di lantai tujuh. Ia coba memanggil dan mengetuk pintu, lama tak ada jawab, ia pun menelpon polisi. Dan kekhawatirannya pun terbukti..

Operasi polisi ini praktis diam dan tanpa pelibatan tetangga. Buktinya, tetangga lain yang tinggal selantai dengan ia yang meninggal dunia pun tak tahu. Saya, istri dan teman serumah pun mengetahuinya dari cerita Martin, yang memang dekat dengan kami. Saat turun ingin keluar flat, ia melonjak dan kaget mendengar bunyi pintu kami buka. Rupanya bayangan buruk sejak ia mencium bau menyengat itu belum juga pergi. Awalnya ia tak mau berbagi cerita. Tapi setelah didesak, akhirnya ia pun menuturkan cerita itu, dengan catatan tak usah membagi cerita ke tetangga yang lain. Mungkin agar tak mengganggu stabilitas, begitu pikir saya.

Sehari setelah persitiwa itu pun, tak ada reaksi luar biasa. Bahkan, saya menjamin tidak banyak penghuni yang tahu. Kami memang tidak dekat dengannya, bahkan cuma sesekali berpapasan dengan tetangga itu. Tapi tetap saja, ada rasa yang mengganggu. Sebagai tetangga, tentu tak sekedar urusan "elok" jika memilih melibatkan diri, atau sekedar khawatir.

Oh yah, gedung tempat kami tinggal ini berisi flat yang kebanyakan penghuninya adalah pensiunan. Banyak diantara mereka malah tinggal sendiri, tidak ada keluarga dan anak. Mungkin karena tak ingin dianggap durhaka, anak mereka kemudian memilih menyewakan flat ketimbang membawa orang tua mereka ke panti jompo. Nasib yang sama menimpa tetangga yang meninggal itu. Ia sendiri, tidak ada sesiapa yang menemani.

Di negeri ini, teknologi dan masa depan sama tidak jelas ujungnya, kalau toh ia pas untuk disandingkan. Smartphone hari ini, akan menjadi purba dalam rentang tak terlalu lama dan tergantikan dengan sesuatu yang baru. Kita jadi tak bisa membayangkan, bagaimana akhir dari gerak maju teknologi ini. Hidup juga begitu, tua dan kematian seperti suatu yang tak tergambar. Banyak nilai yang kemudian tergantikan. Lalu, dimanakah kenikmatan hidup yang dicita-citakan itu?

Kembali, saya harus mengucap syukur..

Tuesday, March 20, 2007

Gombalisasi

Ini kali kelima ada orang yang menganggap saya orang India. Kali ini kawan dari Tanzania, setelah sebelumnya kawan dari Korea, Bangladesh, Pakistan dan India sendiri. Khusus yang India, sampai lebih dari dua orang. Apa karena saya mirip Saruk Khan atau karena kulit sawo yang kelewat matang khas asia? Yang lebih parah saat orang India sendiri yang mengira saya sekampung, sambil bertanya dengan bahasa India. Tak salah, saat itu saya jadi bingung sendiri, sambil menenangkan hati bahwa mereka tidak sedang mengejek saya. Sebelumnya pula, ada dugaan yang tidak terlalu buruk. Saya dari Philipina atau Thailand. Yah, ASEAN lah, skornya ga terlalu buruk untuk urusan tebakan.

Kasus saya mungkin masih mendingan. Teman dari Korea, yang dari tampang dan nama jelas khas Korea malah dianggap berasal dari Afrika. Ini kejadian saat ia mengurus SIM Inggris, mengalihkan status SIM Korea nya. Entah ini kesalahan pengisian form atau apa, yg jelas di SIM itu tertera asalnya dari Afrika. Terbukti, modern, teknologi tinggi, tak menjamin manusia menjadi lebih bercita rasa. Ini bukan soal rasisme atau upaya diskriminasi, tapi begitulah adanya.

Globalisasi, dari kaca mata bisnis dan ekonomi punya arti sederhana. Tidak ada batas, borderless, bahasa kerennya. Lupakan dulu definisi-definisi rumit dari scholar dan jurnal. Sederhananya ya seperti itu, ga terbatas. Dan ternyata, itu yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Tak ada batas, dalam arti bahwa tak terbatas upaya orang untuk mengira saya sebagai orang India. Tak terbatas pula upaya saya untuk menganggap diri sebagai Brad Pitt, meski untuk yang ini dijamin ga ada yang bakal percaya. Tapi yah, namanya juga usaha.

Atau, beberapa hari ke depan mungkin ada yang menganggap saya sekampung mereka di Shanghai. Siapa tahu…

Saturday, March 17, 2007

Bahagia

Pekan ini, saya terima banyak kabar bahagia. Maksudnya, mereka yang mengabarkan berita berbahagia, saya pun berbahagia mendengarnya. Dua orang kawan, akan “menuntaskan masa lajang”, begitu kutipan resmi dari pesan di milis.

Kawan pertama, ada di Bone. Ia pernah menjadi teman serumah. Ah, tepatnya saya yang menumpang di rumahnya. Tak ada nama siapa pendampingnya, tapi yang jelas, tetap semangat dan selamat untuknya. Sejak lama ia memang memiliki niatan itu, mungkin baru sekarang dapat jawaban dari shalat istikharahnya yang khusyuk itu.

Kawan kedua di tanah jauh sana, di Vermont. Undangan via milis dan harapan agar doa terkirim untuk mereka, disertai kutipan manis dari M. Scott Peck, M.D., “Love is the exercise of choice. Two people love each other only when they are quite capable of living without each other but choose to live with each other”. Sungguh luar biasa.

Dunia ini makin menarik memang, sejak kita sadar dan tahu bahwa tidak semua hal yang kita rancang, dengan matang sekalipun, akan berwujud. Begitulah adanya hidup.

Selamat berbahagia, kawan(s).

Tuesday, March 13, 2007

Terima kasih

Kaos tak dapat ditolak, kopi Turki tak dapat ditampik. Ya, saya beruntung rasanya mendapatkan 2 kaos dari teman yang baru pulang dari Cina. Saya lupa nama kota tempat ia tinggal, kalau tidak salah di bagian selatan Beijing.

Lalu, apa spesialnya kaos Cina itu? Pertama, tentu karena itu pemberian dan patut dihargai. Kedua, ini yang tidak penting, Oke, hampir 70% produk TPT (tekstil dan produk tekstil) yang ada di dunia ini rasanya made in China. Ini hanya kisaran kasar, tapi saking banyaknya, yah kisaran itu bisa jadi halus. Entah itu bermerek adidas, nike atau umbro. Tapi yang ini, asli buatan China tanpa merek-merek global yang "mengintimidasi" itu. Yang pertama tulisan kaligrafi cina yang artinya kesejahteraan. “Semoga ini menjadi doa bagi perjalanan hidup kamu”, begitu kata teman saya. Kaos yang kedua bergambar Deng Xiaoping, tokoh penting dibalik kesuksesan Cina. Ia terkenal dengan ungkapannya, “bukan kucing hitam atau kucing putih yang penting, melainkan kucing yang dapat menangkap tikus”.

Kopi Turki? Ah, itu hadiah dari teman Jepang yang baru menghabiskan weekend di Turki. Tahu saya penggemar kopi, maka jadilah kopi Arabica dengan sampul coklat berbahasa turki itu yang jadi pilihan cenderamata. Ketika saya tanya apa artinya, ia cuma yakin bahwa itu kopi enak. Soal arti, masihkah ia perlu saat kita menyeruputnya?

Terima kasih untuk mereka berdua. Semoga ada kesempatan untuk berbalas baik.

Thursday, March 08, 2007

Ini Hari

Lama tak mampir ke blog ini. Bukan soal tugas yang menumpuk, atau tidak ada ide. Bukan itu betul yang membuat rumah sederhana ini jarang ditengok. Cuma malas aja, ga lebih, itu agar tampak lebih bertanggung jawab aja kelihatannya. Selebihnya, yah emang belum cukup berdisiplin aja, begitu kata aan.

Saat antri menunggu pesanan cheese burger untuk makan siang, tiba-tiba dihampiri seorang kawan Indonesia yang mengajak nonton All England. Katanya ada tiket satu biji, gratis. Yang punya tiket lebih memilih ke Manchester nonton piala champion. Baguslah kalo begitu, rezeki memang tidak jauh-jauh, begitu kata orang bijak.

Sebenarnya sejak bulan lalu udah ada tawaran tiket yang diumumkan di milis. Namun karena bertepatan dengan jadwal sekolah dan assignment yang seperti janjian bikin deadline berdekatan, maka saya tak tertarik untuk beli tiket. Alasan lain, dan ini yang utama, harganya cukup membuat kita merogoh kocek lebih dalam [ini istilah koran yang sejujurnya ga pas], meski untuk sudent selalu ada diskon yang cukup membantu.

Tawaran itu rasanya sayang untuk dilewatkan, meski saya bahkan tidak tahu siapa pemain Indonesia yang akan main. Tapi tak apa, hitung-hitung cari pengalaman. Makan siang itu terpaksa panas-panas dibungkus, soal rasanya yang tidak gurih dan lezat lagi ga masalah.

Sesampai di National Indoor Arena, saya betul-betul serupa orang yang tak berpengalaman. Ada dua ganda Indonesia yang sedang bermain di lapangan, tak ada satupun yang saya tahu namanya. Kan ada nama mereka di belakang kaos? Iya, tapi entah siapa yang mendesain kostum itu, nama pemain jadi tidak jelas. Kalau toh warnanya jelas, pilihan hruf tegak jadi tidak pas dengan nama orang Indonesia yang panjang. Untuk pelupa dan bukan fans atlit bulutangkis seperti saya, itu tentu membuat diri menjadi sedih [sampai segitunya..] Terpaksalah teman sebelah duduk yang udah berbaik hati memberikan tiket gratis berubah fungsi seperti tourist guide menjelaskan siapa dan bagaimana jejak rekam pemain-pemain itu. Iya, sangat detail teman itu menjelaskan, lengkap dengan gosip-gosip serta item-item yang ada di ensiklopedia lainnya, entah itu tentang kejuaran yang pernah diikutinya atau tentang momen yang dikenangnya saat menonton pemain itu melalui tipi di rumahnya.

Kalau soal atmosfer, yah miriplah kalau nonton-nonton lainnya. Teriak dan rebut-ribut. Cuma gregetnya belum luar biasa, masih pecah karena dari enam lapangan yang tersedia semuanya terepakai. Jadi, agak susah untuk fokus nonton satu pertandingan. Yang menarik bagi saya adalah bahwa tadi ada beberapa pemain dengan nama yang sangat Indonesia (akhiran “to” atau “wan”) yang membela negara seperti Perancis, Hongkong dan juga USA. Partai ganda putra tadi, saat Indonesia versus Hongkong. Kedua ganda itu asli Indonesia, untungnya Indonesia menang. Kasian soalnya lihat tim Hongkong itu dicaci dan dianggap seperti penghianat. Teriakan seperti bukan “Indonesia asli”, “Dimana rumah Lo” sampai yang kasar seperti “penghianat Lo” tak henti bergema [duh, hyper lg nih]. Ah, kasian betul mereka. Bukankah mereka tak ada bedanya dengan insinyur Indonesia yang kerja di Shell atau BP? Atau Wirawan [sungguh, ini nama samaran] yang menghabiskan seperempat umurnya di lembaga riset pertahanan Inggris sebagai ahli rudal?

Yang menarik lainnya, cerita dari anak-anak di PPI tentang tingkah dan kebiasaan pemain Indonesia saat bertandang disini. Menurut kabar, ada pemain yang kalah saat pertandingan penyisihan pagi tadi, langung berangkat ke Manchester untuk nonton piala champion. Pokoknya banyaklah mereka cerita, sebab saat menjemput di bandara hingga menemani jalan-jalan, katanya selalu ada yang “menarik”, meski belum pas untuk dikonsumsi banyak orang. Apalagi kalau wartawan infotainment tahu, bisa kelewatan jadinya. Seberapa menarik, saya sendiri tidak tahu dan tidak berani berspekulasi.

Belum ada kabar terbaru apa besok hingga final hari akan ada tiket gratis lagi. Tapi semoga saja ada dan bisa nonton lagi. Kali ini akan lebih menarik, meski tidak ada jaminan pemain Indonesia akan terus berlaga hingga akhir pertandingan. Kalau toh tak ada, semoga tim Indonesia bisa berbuat yang terbaik, sambil membayangkan diri sebagai pejabat olahraga yang sedang melepas keberangkatan kontingen setelah di beberapa paragrap di atas mencoba menjadi wartawan olahraga plus gosip.