Dari yang saya baca, ide tentang "rasialisasi" atau "formasi ras" meliputi argumen bahwa ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau kultural yang universal dan esensial. Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Dengan demikian, kondisi yang belakangan juga mencekam kota ini tak lepas dari perburuan kepentingan. Terlalu spekulatif memang, tapi begitulah keadaannya.
Di Indonesia, historically, ras adalah pentas kekuasaan dan subordinasi. Dalam hubungannya dengan kesempatan hidup, orang-orang Papua misalnya, secara struktural posisinya lebih sering disubordinasikan. Orang-orang Papua diposisikan dalam pekerjaan-pekerjaan dengan konotasi bergaji rendah, tidak membutuhkan keterampilan, modal otot doang, bla..bla.. Tengoklah di toko-toko bahan bangunan dan pasar-paar tradisional.
Contoh lain, karena keberhasilan ekonominya, keturunan Cina secara historis dijadikan subjek kecemburuan sosial dan distereotipkan dengan berbagai kelicikan. Cina Peranakan di Indonesia dijadikan warga negara kelas dua. Di kota ini sendiri, gesekan akibat persepsi ini masih saja ada. Ini tidak kemudian menafikan bagaimana mereka yang "menyimpang" dan tidak berusaha "membumi" memang ada. Namun bukankah pribumi sekalipun terjebak—untuk tidak mengatakan menikmati—kondisi ini?
Sampai hari ini, streotip bahwa Cina pembohong dan suka memanfaatkan orang masih terus ada, bahkan seorang kawan yang tulen bugis dan pribumi-nya, dikatakan Cina karena hobinya yang jahil dan suka memanfaatkan.
1 comment:
Where did you find it? Interesting read » »
Post a Comment