Tuesday, October 31, 2006

Fairtrade

Sudah beberapa kali saya melihat produk yang dijual di supermarket berlabel fairtrade. Apa maksudnya, saya cuma mengira-ngira. Karena penasaran, akhirnya saya ambil satu bungkus kopi berlabel fairtrade itu, sambil berharap ada informasi yang disediakan om google untuk ini.

Model ini memberi kesempatan kepada konsumen untuk berbagi dengan sesama, terutama kepada petani dan produsen produk tersebut. Dengan membeli kopi berlabel fairtrade ini misalnya, konsumen telah membantu untuk menciptakan sebuah tatanan dagang yang memberikan keuntungan kepada petani, secara maksimal. Maksimal tentu saja bahwa usaha mereka dihargai sebagaimana layaknya. Rente dagang yang sekedar menguntungkan bagi distributor dan produsen sebagaimana lazimnya berlaku, dianggap tidak memberikan keuntungan bagi para petani.

Fairtrade juga berarti bahwa harga yang dibayarkan oleh konsumen telah meliputi biaya produksi, jumlah tertentu yang akan disisihkan untuk kepentingan komunitas (petani--misalnya membangun sekolah, membeli ambulans, membuat rumah sakit), serta biaya yang diperuntukkan bagi kelanjutan usaha ini. Pertimbangan kelestarian lingkungan juga menjadi perhatian dari gerakan ini.

Setelah membaca dan sedikit punya informasi, saya lalu membayangkan jika model yang seperti ini ada juga di Indonesia. Tak perlu muluk-muluk, karena sederhana saja sebenarnya. Potensi besar dimiliki oleh Indonesia, dengan segudang sumber dayanya.

Bagi saya, LSM memiliki peluang besar untuk melakukan hal serupa. Kecenderungan LSM yang sangat bergantung pada funding internasional dan tak jarang yang cuma berharap dari proyek pemda tentu sudah saatnya ditinggalkan. Jika niat dan visi membuat LSM itu untuk menswadayakan (seperti termaktub dalam akronimnya) masyarakat, maka langkah ini rasanya patut dipertimbangkan.

Persoalannya mungkin adalah bagaimana memulainya. Modal, betul, itu butuh modal besar. Namun kendala ini bisa sedikit tertangani jika pemerintah memberi perhatian melalui pembuatan regulasi atau penyisihan beberapa persen dari badan-badan usaha milik pemerintah. LSM pun bisa menyisihkan kelebihan dana dari pelaksanaan proyek-proyek mereka sambil melihat peluang untuk berkolaborasi dengan industri. Trend CSR di perusahaan-perusahaan besar Indonesia seharusnya membuat ini menjadi lebih mudah.

Kerumitan lain tentu saja masih ada. Mulai dari soal produksi, pemasaran dan lain-lain. Tapi ringkasnya, model ini masih jauh lebih baik dan tak ubahnya memberi kail bagi mereka, bukan sekedar ikan. Terlebih lagi, ini tentu saja menjadi gerakan riil dan tak sekedar berkubang dalam wacana tentang bagaimana menyelesaikan perosalan di negeri kita. Ah, seandainya...
-------------------------------------------
*Update []

Tanda tanya dan kritik bukannya tidak ada. Fairtrade, bagi beberapa kalangan menyisakan beberapa pertanyaan besar seperti, how much help does fairtrade really provide to poor producers? Are the supermarkets taking advantage of a consumer fad, adding big mark-ups because a certain sort of soft-headed consumer doesn’t think things through? And isn’t Fairtrade still, if not a drop in the ocean of world trade, not much more than a bucketful?

Kritik lain menyebutkan bahwa fairtrade--sebab ia juga merupakan brand--kemudian memanfaatkan ceruk pasar dan awareness konsumen yang tersentuh dengan jualan isu kedermawanan. Masalah yang muncul kemudian, produk-produk berlabel fairtrade ini dibanderol dengan harga yang lebih tinggi dari produk lain yang sejenis, kembali, atas nama menyisihkan sebagian harga untuk kepentingan sosial.

Mari tengok hasil jualan isu ini. Tahun lalu, berdasarkan catatan BBC, pasar fairtrade tumbuh sekitar 40% dengan nilai £200 juta, dengan cakupan lebih dari sekitar 1500 macam produk. Sungguh sebuah angka yang menakjubkan. Pasarnya jelas, kelas menengah yang gampang tergiur dengan bujukan "mari berderma". Keluarga-keluarga di Inggris misalnya, sadar (dan mungkin bangga--atau jangan-jangan karena merasa bersalah???) untuk disebut sebagai fairtrade family, dimana produk-produk yang mereka konsumsi adalah fairtrade products. It's very clear to them that as people become aware of the difference that Fairtrade makes to people in the developing world, they see that this is an opportunity for them to make a difference in their everyday lives, they really grasp that opportunity.

Akibatnya, banyak yang tergiur. Terakhir, saat Nestle mengumumkan produk kopinya yang berlabel fairtrade, tanda tanya makin besar. Fairtrade dianggap berkompromi dengan korporasi besar (padahal Nestle merupakan perusahaan makanan yang banyak mengundang kontroversi, salah satunya produk susu bayi). Ini kemudian yang menjadikan fairtrade dipandang sebagai bagian dari "greenwashing campaign", dimana korporasi menjual isu lingkungan dan sosial sebagai bagian dari kerja public relation, meski yang terjadi adalah kebalikan dari realitas sesungguhnya.

Kembali ke soal pasar ini, freemarketers lebih memilih jalan untuk membuka pasar (khususnya negara-negara maju) terhadap produk-produk dari negara berkembang ketimbang berpura-pura baik dengan menjual image (fairtrade, red.). Sebab, fairtrade sesungguhnya lebih berpihak kepada konsumen--di negara-negara maju--bahwa mereka telah berpartisipasi terhadap pembangunan dan kesejahteraan petani, sementara petani itu sendiri sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa.

Saturday, October 28, 2006

Belum Menang

Selamat idul fitri lagi.. Ucapan ini masih pas waktu dan tempatnya, kan?

Kemarin shalat idul fitri bareng mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Birmingham. Karena tidak bertepatan dengan hari libur (lebarannya Senin), maka banyak yang setelah shalat langsung cabut. Tidak sedikit jg yang malah memilih untuk tidak ikut jamaah, karena kuliah pagi. Fortunetely, kuliahku jam 11, jadi masih ada kesempatanlah..

Setelah shalat, dengar khutbah (yang menurutku beginilah khutbah seharusnya--singkat padat dan jelas) yang tidak panjang dan melelahkan, maka larutlah kami dalam suasana lebaran. Larutnya mungkin bukan sekedar karena rasa kangen dan sedih yang bercampur menjadi satu, tapi juga rasa untuk menikmati masakan enak, gratis dan tentu saja dengan cita rasa Indonesia. Ada sate, gado-gado, kari ayam, gulai kambing, dan ketupat (meski bungkusnya pake plastik). Tak banyak waktu, sepiring penuh harus segera tuntas sebelum masa mengejar bus tiba.

Beberapa hari kemudian, ada email yang muncul di milis... Seorang mahasiswa dari Aceh memberi catatan, yang menurutku lumayan berani dan memang seharusnyalah begitu. Idul Fitri "ternodai" oleh acara halal bihalal gaya barat, cipika-cipiki pria dan wanita yang bukan muhrim (ini penjelasan resmi dari penulis email)...

Yah begitulah, banyak cara merayakan kemenangan..

Sunday, October 22, 2006

Pindahan

Malam nanti ada undangan untuk ikut takbiran, biar ada kesan Indonesianya, begitu kata sang pengundang yang merupakan koordinator pengajian di sini. Tak seperti di Indonesia, disini praktis tidak ada perbedaan pendapat saat menentukan hari raya. Mungkin karena perbedaan letak geograpis (ah, ga yakin juga) atau memang mereka sudah punya alat yang lebih baik dalam melihat posisi bulan.

Saat lepas jumatan kemarin, seorang kawan dari Turki bertanya, kenapa di Indonesia sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hari raya. Bukankah ini tentu saja berdampak tidak baik terhadap umat? Saya cuma menjawab bahwa perbedaan itu kan rahmat, dan tak ada masalah selama itu tidak mengganggu ibadah, syariah. Malah, umat pasti merasa senang, sebab dua kali meraih kemenangan (meski praktisnya cuma sekali kita shalat ied). Libur juga bertambah, kan?

Terlepas dari itu, rasanya memang susah dimengerti kenapa sampai harus ada perbedaan waktu segala. Kenapa tidak pemerintah atau MUI lah yang mengambil kebijakan untuk menentukan. Ormas-ormas islam lainnya harus tunduk dan patuh. Bukankah di MUI sendiri kelompok dan ormas Islam diberi tempat? Di sanalah mereka seharusnya beradu argumen (tanpa harus saling lempar kursi, sebagaimana lazimnya organisasi mahasiswa berlabel Islam dalam berdebat).

Ah sudahlah.. mungkin ini juga sduah menjadi perhatian mereka. Dan semoga ke depan menjadi lebih baik, seperti harapan setiap insan saat menyambut Idul Fitri.

Ngomong-ngomong, saat Lebaran senin besok, ada kuliah dan presentasi. Belum lagi kerjaan dan tumpukan sampah di flat setelah baru pindah beberapa hari lalu. Harapan untuk menjadi lebih baik dan kembali Fitri, tentu saja tidak harus hilang karenanya.

Maap Lahir Batin...

Saturday, October 21, 2006

Eid Mubarak

Ntar lagi lebaran

SELAMAT IDUL FITRI

Semoga menjadi lebih baik

Friday, October 13, 2006

A Big Help

Tak seperti banyak diperkirakan orang, peraih Nobel Perdamaian untuk tahun ini jatuh ke tangan orang tidak terkenal dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Muhammad Yunus, seorang professor Bangladesh dan pendiri dari Bank Grameen. Ia dan Bank yang didirikannya mendapatkan apresiasi luar biasa terhadap upaya mereka membantu masyarakat miskin keluar dari himpitan hidup. Setelah menuntu ilmu di Amerika, ia kembali ke negaranya dan membuat konsep pemberdayaan dengan model microcredit. Terbukti, model ini berhasil dan memberi dampak yang luas bagi pengembangan masyarakat di Bangladesh.

"Every single individual on earth has both the potential and the right to live a decent life. Across cultures and civilizations, Yunus and Grameen Bank have shown that even the poorest of the poor can work to bring about their own development," begitu kutipan dari komite Nobel dalam surat penghargaannya.

Konsep bank yang memberikan bantuan untuk masyarakat miskin ini sangat sederhana dan tanpa jaminan. Microcredit is the extension of small loans, typically US$50 to US$100, to entrepreneurs too poor to qualify for traditional bank loans. Ini tentu saja menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang tak memiliki akses untuk mendapatkan pinjaman dari bank konvensional, yang di Indonesia kucuran kreditnya lebih banyak untuk kredit konsumsi daripada kredit yang memberikan nilai tambah seperti kredit usaha.

Akan halnya dengan Yunus, seorang ekonom yang bisa saja meniti karier bagus di universitasnya (ia mengajar di Universitas Chittagong, daerah selatan Bangladesh) dan kemudian "nyambi" sebagai konsultan dan bukan tidak mungkin berkarier politik, yang di Indonesia rasanya sudah lumrah. Ia merasa bertanggung jawab terhadap ilmu ekonomi yang dimilikinya, dengan setumpuk teori yang kemudian tak memberi dampak apa-apa terhadap masyarakat miskin di sekitarnya.

"Nothing in the economic theories I taught reflected the life around me. How could I go on telling my students make believe stories in the name of economics? I needed to run away from these theories and from my textbooks and discover the real-life economics of a poor person's existence," begitu katanya.

Apa yang dilakukan Yunus adalah sebuah revolusi dari cendekiawan dan akademisi dalam memaknai tanggung jawabnya. Ketika yang lain masih membertimbangkan jalur-jalur populis dalam berkontribusi, Yunus lebih memilih kerja dalam diam. Menjadi seperti Yunus, tentu tak mudah. Apalagi gambaran masa depan yang makin konsumtif membuat hati kadang oleng. Lalu, akan kemanakah saya kelak?

Tuesday, October 10, 2006

Lucu

"This is the funniest country in the world", tiba-tiba Glenis, "Ibu kos"ku nyeletuk saat kami nonton weather forecast di iTV. "You know, there are only two seasons here, rainy season and wet season". Hah, autumn, winter, fall dan summer dimana, tanyaku... Ia jawab dengan enteng, itu kerjaan orang-orang tivi dan bagian tourism aja, biar kalian makin merasa kagum dengan negeri ini. Nah lho?

Wah, aneh juga orang ini. Tak seperti orang kebanyakan Inggris yang sangat tertutup dan selalu merasa lebih hebat dibanding kami yang beda warna kulit (kulit saya sawo kelewat matang), ia selalu memberikan pandangan kritisnya tentang negeri Tony Blair ini. Ia juga termasuk ramah dan terbuka. Tapi, kadang ia juga bisa menjadi aneh dengan saran dan pendapatnya yang rada sableng. Salah satunya ia memberi saran, jika ingin kaya masuklah penjara. Di berita tadi memang ada program pemerintah untuk memberikan "uang santunan" sebesar £ 2500 kepada narapidana agar mereka keluar dari penjara dan bisa memulai bisnis dan kerjaan yang "benar". Itu juga yang menurutnya "lucu".

"You can set up your business in Indonesia and become a richman", candanya. "Ah, aku tak mau jadi kaya dengan cara itu, Glenis".. Kini gantian dia yang kurasa lucu...

Thursday, October 05, 2006

Rasisme [3]

Ini masih cerita tentang rasisme, meski dalam format yang lebih dipaksakan. Ya, dipaksakan. Ceritanya begini. Saat kuliah Global Business Environment, sang dosen memberikan contoh tentang potensi pasar Asia. Maka muncullah slide bergambar peta empat negara dengan jumlah populasi terbesar. Pertama Cina, kemudian India, Amerika dan terakhir Indonesia. Rasisme karena dosennya menyebutkan kelebihan masing-masing negara sebagai pasar potensi yang besar ini, kecuali Indonesia tentunya.

Cina dengan jumlah penduduk besar, tenaga kerja murah dan juga sumber daya dan bahan baku yang memadai. Tak heran, Dell, merek komputer Amerika, dirakit di Inggris dan bahan baku dan sebagian besar komponennya diproduksi di Cina.

India, negara dengan pusat pelayan outsourcing terbesar di dunia. Bahkan beberapa perusahaan besar Amerika menyewa jasa perusahaan India, karena bahasa Inggris bukan lagi menjadi hal aneh disana.

Amerika apalagi. Dari 100 merek ternama di dunia, hampir sebagian besar merupakan perusahaan dari Amerika. Dalam ururtan 10 besar sekalipun, cuma toyota yang berasal bukan dari Amerika.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sang dosen memberikan beberapa hal sebagai identifikasi dari bangsa ini. Ketika krisi melanda Asia, cuma negara ini yang belum total keluar dari krisis. Negara ini pulalah yang menurutnya aneh, dimana GDP nya biasa-biasa saja namun tingkat konsumsinya luar biasa tinggi. Dapat ditengok dari kredit konsumsi yang kian deras mengucur. Yang paling menyakitkan, korupsi masuk juga sebagai identifikasi untuk menunjukkan Indonesia. Relevansinya dengan pasar tak perlu dipertanyakan disini, sebab panjang ceritanya. Tapi itu lho, kok bangsa Indonesia cuma dikenal dari korupsi dan ketertinggalannya?

Setelah panjang lebar menjelaskan, dosen pun bertanya apakah ada diantara kami yang berasal dari Indonesia?

Ah, rasis juga dosen ini, pikirku...