Tuesday, March 25, 2008

Pemandangan

Alhamdulillah acara barbeque party kemarin lancar, meski ramalan BBC menyatakan bahwa hari itu akan hujan bercampur salju. Meski tak percaya, tiba-tiba saya merindukan sosok pawang hujan, kalo perlu cari pawang salju. Tapi untunglah, kali ini weather forecast BBC sedikit melenceng. Walau sempat turun salju selama satu menit (iya, cuma semenit), setelah itu cerah kembali mewarnai langit.

Bersama student dan masyarakat Indonesia lainnya yang ada di Birmingham, kami bakar-bakar sate ayam, ikan dan kambing. Lumayanlah, untuk sekedar mengobati kenangan terhadap makanan-makanan indo yang sejak lama tak tersantapi. Pengalaman soal makanan indo ini juga yang menjadi pengalaman saat mengawal kehamilan istri. Mulai dari sekedar jagung bakar, coto, hingga putu cangkiri, kue khas daerah yang memang menggoda selera itu.

Kembali ke acara BBQ, bagian yang paling seru tak lain adalah sesi untuk anak-anak. Lomba mewarnai dan menggambar, ini yang paling layak dilaksanakan, takut jika mereka terlalu banyak di luar ruangan dengan udara dingin yang cukup menusuk. Yang menarik, tak ada satupun gambar mereka yang khas gambar anak-anak Indonesia, meski mereka semua masih orang Indonesia asli dan paling tidak pernah ke Indonesia. Khas? yah, saya ingat ketika kecil kami (ah, yang benar, saya) selalu menggambar dengan pola yang hampir seragam, gunung dengan matahari di tengahnya, burung-burung yang menggambarnya cukup dengan menulis huruf 'W' dengan terbalik. Ada juga sawah dan sepetak jalan di tengahnya. Jalannya ini bisa berliuk kadang juga lurus menuju ke tepi gunung. Sesekali saya tak lupa memberi tiang listrik di tepi jalan dan garis terputus-putus pada bagian tengah jalan. Bu guru mengkategorikan gambar ini dalam klasifikasi gambar pemandangan.

Nah, gambar anak-anak siang itu lebih didominasi oleh gambar robot dan boneka-bonekaan. Instruksi kepada mereka memang menggambar dengan tema bebas. Meski begitu, saya berharap ada yang menggambar pemandangan. Tapi yah, robot dan boneka panda yang muncul. Saya lalu menyebutnya realis dan futuristik, ini mungkin cara aman dan "seenaknya" untuk mendefinisikan gambar-gambar itu. Realis karena begitulah, tak ada sawah dan gunung yang mereka saksikan disini. Tak ada tiang listrik, juga tak ada pohon pisang. Futuris, robot itu yang menjadi bahan tunjuk. Benar-benar seenaknya dan sekenanya, kan?

Membandingkan jaman saya dengan jaman mereka tentu tak patut. Sekarang saja, saya tak yakin jika anak-anak Indonesia masih menggambar pemandangan seperti pola seragam yang saya miliki. Apalagi memang tak ada lagi sawah dan gunung yang bisa digambar. Kalau tak tertutup lumpur dan banjir, pasti sudah berubah menjadi ruko atau mall. Tiang-tiang listrik sudah tak ada, berganti menara seluler perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang tak berhenti membodoh-bodohi konsumennya.

Saya lalu berpikir untuk menggambar lagi "pemandangan" seperti tahun-tahun pertama saya di taman kanak-kanak. Tapi kali ini saya akan menambahnya dengan robot dan boneka panda yang asyik menikmati buah pisang di tepi sawah yag letaknya tak jauh dari lereng gunung.

Benar-benar (un)realistic dan futuristik...

Wednesday, March 19, 2008

Hak

Apa yang akan Anda lakukan jika menemukan blackberry 8100?

Kemarin, saat membunuh waktu menanti jadwal kereta yang masih sejam lagi, saya bersama seorang kawan bersepakat ke toko buku. Di lantai 2 tempat buku-buku second hand dijajakan, saya menemukan blackberry 8100. Handphone pintar ini tergolek di dekat deretan buku-buku musik.

Kami pun memutuskan untuk menunggu setengah jam sampai pemilik handphone ini menyadari bahwa barang berharga miliknya ini terlupa. Sambil menunggu, pikiran saya dipenuhi oleh saran-saran bejat dan bijak. Berhalo-halo dan mengecek email dengan blackberry, tentu luar biasa gayanya. Apalagi tak harus keluar duit hingga ratusan pound untuk memilikinya.

Tapi sisi lain pikiran mengingatkan petuah lama, bahwa mengambil barang yang bukan hak adalah tercela. Bersiap pulalah untuk kehilangan yang lebih besar kelak. Perasaan senada ternyata dirasakan juga oleh kawan saya itu. Baginya, blakcberry ini adalah pengganti untuk handphone butut miliknya, yang kadang membuat iba orang yang melihatnya.

Ah, ternyata tak cukup waktu untuk bijak dan bejat ini berdiskusi. Kami pun memutuskan untuk menyerahkan ke kasir barang panas ini. Sambil berterima kasih, sang kasir berujar kaget bahwa kami mau mengembalikan barang sebagus blackberry ini.

Dalam perjalanan menuju stasiun, saya berkata kepada kawan, kita memang tak jadi mengambil blackberry ini, tapi itu tak berarti kebajikan telah memenangkan pertarungan. Mungkin soal kami tak tahu menggunakannya saja yang membuat cemas. Syukurlah, ternyata kami masih pandai menghibur diri..

Thursday, March 13, 2008

Presiden


Harry si "Viking" itu memang akhirnya tidak terpilih dalam pemilihan president guild of student. Tapi dari seluruh kandidat, ia yang paling banyak dibicarakan. Atas nama inovasi, ia kemudian berjanji untuk menjadikan minuman di guild dijual lebih murah.

Begitulah, sesuatu yang sederhana kadang malah lebih memikat, meski tak melulu keluar sebagai kampiun. Tak seperti kebanyakan kampanye yang selalu mengajak kita bermimpi ke awan tanpa pernah sadar bahwa kaki haruslah tetap bepijak di bumi. Sesuatu yang besar-besar selalu menjadi perhatian utama, tanpa sadar bahwa yang besar itu berbangun dari hal yang kecil.

Bush pernah berjanji untuk menciptakan kedamaian di muka bumi ini. Brown tak luput pula untuk memberantas korupsi dan terorisme sekaligus. SBY tak kurang janjinya untuk menuntaskan kemiskinan. Hasilnya? Si presiden Amerika itu masih terus memelihara hobinya untuk berperang, meski masa jabatannya sebentar lagi paripurna. Pengganti Tony Blair kebakaran jenggot ketika partainya ternayata bermasalah dengan kasus suap dan korupsi. Yang terakhir, mantan tentara itu ternyata asyik saja bersafari kemana-mana ketika ada rakyatnya yang kebanjiran air dan lumpur.

Harry, andai saja engkau menang dan jadi presiden...

Tuesday, March 11, 2008

Analisa Tak Bermutu

Kegagalan tim Indonesia dalam All England kali ini sudah kami duga sebenarnya. Seperti tahun lalu, tak banyak dari kami yang membeli tiket pertandingan untuk partai Final. Bukannya tak optimis, tapi berdasar fakta dan sedikit pemikiran ekonomis, akhirnya kami hanya memfokuskan menonton pada partai perempat final belaka. Ini dengan asumsi yang valid, bahwa level inilah langkah terjauh kebanyakan pemain Indonesia di segala nomor. Asumsi kami tak salah, meski ada yang meleset, bahkan nomor ganda campuran tembus hingga Final. Jujur, saya berharap bahwa tebakan kami salah, dan akhirnya ada pemain Indonesia yang berhasil keluar sebagai juara setelah lama negeri ini paceklik gelar di bulutangkis, cabang olahrag yang menjadi andalan, dulunya.

Suporter Indonesia tahun ini lebih banyak ketimbang tahun lalu. Meski jika dibandingkan dengan suporter Malaysia, Korea atau Denmark, jumlah kita masih seiprit. Jangan pula dibandingkan dengan suporter Cina dan tuan rumah England. Meski begitu, ribut dan sorak-sorai tetap saja bikin suasana hidup. Bahkan sempat tribun tempat kami berkumpul didatangi security, yang entah dengan alasan apa. Mungkin ada yang gatal tangannya memakai kamera yang jelas-jelas sudah dilarang untuk menghargai license.

Banyak konspirasi yang kemudian timbul dari saya, dan juga teman-teman penonton lainnya, yang dari Indonesia tentu. Kritik terbesar saya adalah bahwa tidak ada semangat juang luar biasa dari mereka. Begitu gampang menyerah dan mungkin juga malah meng-under estimated lawan. Ada pula yang menyatakan bahwa ini taktik lama tim Indonesia aja. Kalah di Birmingham agar lawan menganggap enteng saat piala Thomas dan Uber Cup Mei mendatang di Jakarta. Jika itu benar, saya tak tahu apa taktik ini masuk akal atau malah mencederai logika di tengah minim gelar tim Indonesia di ajang All England sejak beberapa tahun terakhir. Soal gaya hidup tak lepas juga dari perbincangan kami.

Bagaimana bisa mencapai gelar tertinggi jika asupan gizi tidak menjadi perhatian serius. Saya tak tahu apa ini memang pembiaran atau memang tidak ada upaya untuk sekedar memperhatikan faktor satu ini. Di tengah modernisasi dunia olahraga dan juga sistem olah tubuh, gizi tentu menjadi faktor yang tidak bisa dianggap enteng. Sepakbola menjadi contoh bagaimana asupan gizi pemain menjadi faktor kunci keberhasilan tim. Tak hanya dalam hal hasil akhir pertandingan, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang tim.

Sulit rasanya membayangkan atlet akan maksimal prestasinya dengan hanya mengkonsumsi indomie dan juga junk food lainnya. Soal selera mungkin tak banyak cocok dengan makanan disini, tapi membiarkan atlet makan makanan seperti ini sebelum bertanding dan saat bertanding, tentu ada yang salah dengan pengurus olahraga ini. Saya sempat mampir di beberapa kamar atlet di hotel tempat mereka nginap, dan indomie seperti barang wajib sebagai bekal. Indonesia bukan sekali ini ikut All England, dan kunjungan mereka ke Birmingham bukanlah kali pertama. Singkatnya, ada yang "lupa" belajar dari pengalaman.

Hal yang lain lagi, masih dalam lingkup gaya hidup sebagai sorotan. Belum juga pertandingan dimulai, hal yang paling dicari oleh mayoritas atlet Indonesia adalah tempat hiburan dan belanja. Saya tentu bisa saja terjebak pada sikap generalisasi yang berlebihan, apalagi memang ada juga atlet yang tampil seperti atlet yang ”seharusnya”. Atlet baik ini terpaksa saya ”tenggelamkan” untuk menggambarkan keadaan lainnya. Belanja dan hiburan, satu sisi ini tak luar biasa amat, apalagi jika mengunjungi tempat baru. Tapi tujuan mereka kesini kan bertanding, bukan berpelesir dan sekadar study tour. Jika pertandingan kelar dan masih ada waktu, you’re more than welcome. Apalagi jika mereka kemudian berhasil menjadi kampiun. Tapi, dengan segala hormat terhadap latihan mereka dan juga kerja pelatih, berbelanja dini tentu saja bisa memecah konsentrasi.

Setelah pertandingan, memang akhirnya mereka semua berbelanja. Saya tak sempat menemani mereka, cuma dari cerita-cerita teman-teman, belanjaan mereka sudah seperti kalangan jet set Inggris yang tak ada beban untuk menghabiskan lebih dari 60 pound uang untuk sekedar alas kaki. Tak berhenti sampai disitu, produk fashion dan garmen lainnya juga menjadi incaran. Sadar merek juga mereka rupanya. Apalagi status atlet terkenal tentu mengharuskan mereka untuk tampil berbeda dan tentu saja bergaya.

Sekali lagi, saya tak ada urusan dengan gaya hidup dan belanja. Sebulan yang lalu saya juga diminta menemani pengusaha Indonesia yang datang ke Birmingham untuk mengikuti pameran. Selain minta dicarikan tempat makan yang menyediakan nasi, belanja parfum yang harganya diluar akal sehat anak-anak penerima beasiswa, rombongan ini juga minta dicarikan tempat striptease. Parahnya, yang dicari tempat striptease dengan penari berkulit hitam. Selain rasis, permintaan itu memang sudah keliru sejak awalnya.

Kembali ke pemain Indonesia, tak sekedar belanja, casino juga menjadi tujuan menghibur diri. Mungkin sebagai pelarian dari kekalahan. Tapi toh, tetap saja ada yang tak sreg. Dimana letak ketidak sreg an itu? Tahun lalu, menpora berjanji untuk menganggarkan 20-25 milyar rupiah untuk PBSI sendiri. Entah segitu jumlah pastinya di APBN atau tidak, yang jelas duit rakyat jelas terpakai untuk mengirim mereka ke sini. Memang, sebagian atlet ada yang memang kaya, khususnya atlet senior dan bintang iklan produk seperti Yonex. Apalagi jika pernah menjadi juara di turnamen seri dunia. Menghabiskan duit tak ada salahnya buat mereka. Tapi Ronaldo, Kaka, dan Beckham, tidak langsung berfoya-foya begitu rupa setelah mereka terkenal. Mereka tetap latihan keras dan tetap sedih jika tak juara. Yang lebih parah, tak hanya pemain, pengurus pun ada juga yang ber-casino ria di tengah kekalahan ini.

”Habis-habisin duit rakyat aja”, begitu kata salah seorang teman. Apalagi ada informasi bahwa uang saku mereka selama seminggu disini masih jauh lebih besar dari beasiswa yang kami terima untuk hidup sebulan. Sekali lagi, ini terlepas apakah mereka diberi performance fee atau duit lain dari sponsor. Kekalahan mereka itu sakit dan menyedihkan bagi kami, penonton yang haus gelar. Tapi menghabiskan duit rakyat tentu jauh lebih menyakitkan. Tentu, tak ada permintaan untuk meratapi kekalahan dan kemudian hanyut di dalamnya. Tapi mbok yah, saatnya introspeksi dan mencoba memperbaiki kelemahan. Jika memang rasa ”nyaman” untuk lupa belajar pada pengalaman ini sulit untuk dihilangkan, maka tidak ada pilihan lagi selain sabar. Ah, kalo ini, kata ustad surga balasannya...

NB: Diberi judul sekenanya, juga takut apa ini sekedar curhat karena sirik...

Sunday, March 02, 2008

Sejenak

Ujian akhir term pertama telah selesai. Lega sekali rasanya. Untuk merayakannya, teman-teman pun mengajak ke Gun Barrel, pub langganan kami yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah. Pub ini sudah seperti library aja rasanya. Tak jarang diskusi kelompok kami dilaksanakan disini. Jika penat, ada dua meja bilyar dan beberapa Xbox yang siap menghibur. Bagi yang percaya keberuntungan, ada dua fruit machine di pojok ruangan. Meski namanya menyegarkan dan menjanjikan kebugaran, fruit machine tak lebih dari mesin poker lainnya. Dengan model satu pound, berharaplah dapat jackpot.

Kembali soal ajakan teman, tak enak rasanya menolak, apalagi sudah terdesak. Baiklah, kataku, tapi tak boleh lama sebab tidur panjang telah terjadwal dengan rapi. Masih ada pula daftar panjang film yang harus segera ditonton, hasil download-an istri tersayang.

Saya memesan segelas coke serta fish and chips, pesanan favorit saya. Bukan favorit benar sesungguhnya, sebab utamanya karena tak ada menu lain yang “bisa” saya pesan selain dua itu. Pub ini memang sedia burger, pizza dan aneka makanan lainnya. Namun, sepengetahuan saya, cuma ikan yang tak meragukan kehalalannya untuk dimakan. Apalagi tidak ada sign halal di depan pub.

Oh yah, kelompok saya ini terdiri dari lima orang dengan beragam latar belakang. Saya seorang dari Indonesia, empat lainnya berasal dari Jordania, Inggris, Canada dan Rusia. Mereka selau tahu bahwa saya tak bisa menikmati carlsberg, heineken, stella artois atau cobra, minuman favorit mereka. Tapi terakhir, mereka sedikit ”protes”, kok Muhammad, si Jordania itu bisa dengan senang hati menuntaskan dua pint stella artois sementara saya tetap tak tahan untuk mencium baunya sekalipun. Mereka seperti meragukan alasan sebagai muslim untuk tidak minum bir yang sering saya lontarkan.

Saya katakan pada mereka, saya ini bukan seorang yang alim dan belum pula menjadi muslim yang baik. Sangat jauh rasanya untuk sampai tahap seperti itu. Saya katakan saja bahwa saya memang tidak bisa, dan tidak bisa. Kalau toh Muhammad memilih untuk minum, itu pilihannya. Penjelasan seperti ini tentu tak cukup, dan jauh dari memadai. Tapi itu penting ketimbang menjawab yang berakibat pertanyaan baru bermunculan.

Muhammad sendiri yang jadi bahan perbincangan hanya tersenyum. ”Hey, u know, the future belongs not to the East or the West but to those who are trans-culturally competent”, begitu jawabnya sambil terbahak dengan sangat. Kami pun ikut terbahak. Ah, rupanya ia masih ingat module knowledge management kemarin. Apa yang ia katakan persis sama dengan apa yang ditekankan oleh Trompenaars, seorang konsultan bisnis internasional dalam bukunya Riding the waves of culture.

Saya lalu tanya, apa kaitannya itu dengan minum bir? ”Ini bagian dari upaya saya untuk lebih membaur dan tidak membatasi diri terhadap nilai dan culture yang berbeda”. Sebagai seorang entrepreneur, ini tentu modal besar menuju kesuksesan, begitu ia percaya. Saya sebenarnya ingin protes, kurang sreg dengan jawabannya, dan menganggap analogi yang ia paparkan itu tidak menyentuh hal yang esensi dari kalimat diatas. Trans-culturally tak berarti memperbandingkan jeruk dan tiang listrik. Apa yang disampaikan Muhammad sebenarnya adalah respon terhadap tesis Huntington tentang pertentangan peradaban yang salah satunya bakal timbul antara timur dan barat.

Tapi sudahlah, ujian final term sudah cukup menguras isi kepala. Saatnya untuk sejenak menikmati “libur”. Mungkin bisa pula dipake untuk mengisi blog ini yang makin jarang kukunjungi...