Sunday, June 12, 2005

Analisis Seorang Kawan

seorang kawan punya analisis menarik, paling tidak bagi saya pribadi. menurutnya, ada empat golongan yang paling berkuasa di jalan, sekali lagi, di jalan, khususnya di makassar. tentu saja analisis ini merupakan hasil pengamatannya, atau mungkin karena punya tendensi pribadi, misalnya pernah menjadi korban dari mereka. tapi ia mengingatkan bahwa subjektifitas dia menjadi dominan karenanya. untuk itu, jika ada kemiripan nama, cerita,
tempat dan waktu maka percayalah, itu hanya kebetulan saja. atau kalau tidak merasa bertingkah seperti yang dikisahkan teman saya, maka anda tak perlu khawatir. jangan pula membawa massa untuk mencari dan menggebuki teman saya itu. sekali lagi percayalah...

golongan pertama, suporter sepakbola (PSM). kawan itu mengatakan bahwa jika sekelompok seporter dengan baju kebesaran (ini juga bisa berarti harfiah, besar, karena baju ukuran dewasa digunakan oleh anak-anak) maka mereka dapat saja melakukan banyak hal. berkendara dengan seenaknya, knalpot yang sengaja dibocor agar mengeluarkan suara yang besar, tidak memakai helm, dsb. ringkasnya, baju suporter merangkap sim, stnk dan previlise (kawan itu lupa memberikan penjelasan mengenai maksud dari kata ini).

golongan kedua, pengantar jenazah. menurutnya, tata krama dalam mengantar jenazah telah lama tak dipatuhi. pengantar jenazah, khususnya yang berkendara roda dua sering berlaku seenaknya, seperti mengambil badan jalan yang berlebihan. belum lagi tingkah mereka yang bak jagoan dengan mengayun-ayunkan tongkat, helm dan benda-benda keras (dan tentu saja panjang) kepada pengendara lain yang berlawanan arah. kebut-kebutan dan seolah ingin semuanya menjadi komando. tengok pula tindakan mereka yang sering memanfaatkan ruang atas
kendaraan sementara di dalam mobil sendiri masih cukup ruang untuk mereka duduk, tentu saja sambil memikirkan makna kematian tanpa harus sedih berlebihan. tindakan ini tentu saja berbahaya bagi mereka dan pengendara lain.

saya sempat protes dengan analisisnya kepada golongan yang kedua ini. bukankah kita yang hidup harus menghargai dan melapangkan kepergian yang wafat? salah satunya dengan memberikan akses yang memadai bagi perjalanannya dan mereka yang mengantar untuk tiba di pekuburan dengan cepat dan selamat. lagian, mengalah sedikit, napa (baca dengan gaya bajuri)? tetap tidak dibenarkan menurutnya. sebab terkadang jalan yang sudah lapang sekalipun masih tetap mereka (terkesan) arogan. ia menjaawab begitu sambil mengancam tidak akan meneruskan golongan ketiga dan keempat jika aku masih banyak tanya. baiklah, kalau begitu lanjutkan saja, kawan.

sekarang golongan ketiga. mereka adalah mahasiswa. saya sebenarnya mau bertanya lagi, tapi biarlah ia melanjutkan dulu. kawan itu bercerita tentang heroisme mahasiswa yang kadang berlebihan dan tidak dapat dibenarkan dari sisi manapun (terkesan berlebihan dan ekstrim, tapi sekali lagi, kita beri kesempatan ia melanjutkan analisisnya). mahasiswa katanya membawa aspirasi rakyat, tapi kenyataannya malah menyusahkan rakyat. menutup jalan seenaknya, menahan kendaraan untuk mereka tumpangi, melakukan razia hingga tawuran sesama mereka. jika dulu aksi mahasiswa adalah berkah dan harapan bagi kebanyakan rakyat, maka saat ini adalah sebuah kesialan dan ancaman bagi mereka. ia sempat menyinggung pula sikap mahasiswa yang katanya bermuka dua. mereka mengecam pelaku pelanggar ham sementara mereka menginjak-nginjak mahasiswa baru yang tidak bersalah, memeras mereka dan berlaku layaknya diktator. segera kuingatkan agar tidak keluar kontes. bukankah yang kita bahas ini adalah penguasa jalan? oke, penjelasannya tentang tingkah mahasiswa yang sering "memaafkan diri sendiri" untuk melanggar lalu lintas kuakui bagian dari pembahasan mengenai penguasa jalan. tapi tentang mahasiswa baru? sori, waktu tinggal sedikit.

ia pun melanjutkan celotehnya. coba bayangkan katanya, berapa banyak rezeki orang yang raib karena tingkah mahasiswa ini. belum lagi, tidak pernah ada penyesalan dan itikad baik untuk mengubah cara mereka. parahnya, setelah pagi hingga siang hari memacetkan jalan, sore harinya mereka memaksa pengguna jalan untuk membeli stiker mereka yang kualitasnya pas-pasan dengan harga selangit. tidak tahu malu!!! (ia mengucapkan ini sambil berdiri dan dengan suara yang meninggi). kuminta ia duduk dan tenang.

setelah beberapa saat terdiam, ia pun melanjutkan analisisnya. sebenarnya aku tak lagi bersemangat. bukan karena ia dan suara tingginya, tapi perut ini lapar dan pagi tadi tak sepotong makanan pun yang kucerna, selain kopi racikan mace-macce di ujung koridor yang terasa hambar karena kebanyakan air dan gula. saat ini sudah pukul 15.00, dan memperlambat makan saat seperti ini adalah sebuah tindakan yang berbahaya, paling tidak itu yang kupercaya. tadi sempat kubaca rubrik kesehatan di sebuah tabloid tentang bahaya dari seringnya kita menunda makan. tanpa tahu, atau tepatnya pura-pura tidak tahu, ia masih saja melanjutkan analisisnya. mungkin ia merasa tanggung, tinggal satu golongan lagi. baiklah...

yang keempat, (wuih, gayanya makin membuatku lapar) wartawan. ("bicara kotor" apalagi nih yang akan keluar dari mulutnya). sekilas tak ada yang salah dari wartawan. bahkan dunia mengakuinya sebagai pilar keempat dari demokrasi. tapi betulkah? coba perhatikan..berapa banyak wartawan yang punya sim? berapa banyak wartawan taat membayar pajak kendaraan bermotor mereka. berapa banyak pula wartawan yang mengaku dan berikrar tidak menerima amplop tapi membuat macam-macam dan menjadi provokator untuk terciptanya sebuah berita.
untuk wartawan tv, asal tahu saja, satu berita mereka dihargai minimal 250 ribu. jika mereka berhasil menyetor tiga berita dalam sehari, hitung sendiri berapa yang mereka dapat dari tindakannya yang sok suci itu dalam sebulan. ingin kutanya darimana ia dapat data penghasilan wartawan itu, tapi mengajaknya berdebat akan lebih banyak menyita waktu daripada memberinya kesempatan untuk menyelesaikan semua ini.

pasti kau akan mengingatkanku untuk tidak keluar konteks lagi, kan? tanyanya kepadaku. kujawab saja tidak, daripada ia tambah lagi penjelasannya. lagian aku tak tega untuk memotong semangatnya, meski kebaikanku itu harus dibayar mahal dengan makin kembungnya perut ini rasanya.

di jalan, tadi sudah kuminta kau untuk mencari tahu berapa wartawan yang punya sim. tapi mereka memang lebih pede dengan kartu pres yang menjadi senjata andalan dalam bernegosiasi dengan polantas. sejak kapan mereka punya keistimewaan itu? menjijikkan!!!

kali ini aku sudah tidak tahan lagi. ia makin ngawur saja dan sepertinya tidak ada kata akhir dari analisisnya ini. segera kuambil hp dan menyetel ringtone. sejurus kemudian aku berpura-pura menjawabnya, seolah ada lawan bicara di seberang sana. "oh ya, dimana? sekarang? tungguma pale". segera kuminta pamit tanpa perduli apa ia menahanku atau tidak. sambil bergegas aku berfikir. jika ia tahu aku pura-pura, tentu saja ia akan memasukkanku ke dalam golongan-golongan yang dibencinya, meski dengan jenis yang lain dari penguasa jalan...

Friday, June 10, 2005

orang tambun ngomong kemiskinan

beberapa waktu lalu dalam sebuah bedah buku bertajuk "revolution of microfinance" terjadi sebuah paradoks yang luar biasa. setelah seluruh pembedah memaparkan materinya, diadakanlah sesi diskusi.

seorang dosen meminta waktu untuk menguraikan pendapatnya. sekilas tak ada keanehan, ini jika melihat respon peserta diskusi yang lain. tapi bagiku, itu keanehan, respon peserta lain adalah keanehan pula bagiku.

begini ceritanya. dalam memulai argumennya ia memaparkan aktivitasnya sebagai konsultan dari ADB (asian development bank) dan Worldbank dalam proyek pengentasan kemiskinan. ia memaparkan bagaimana ia melaksanakan proyek itu, (parahnya lagi) ditambah dengan jumlah honor yang diterimanya. rentang waktu pelaksanaan poryek itu lumayan lama. sejak tahun 1990-an. berarti jika dihitung, proyek yang ditanganinya telah berjalan sekitar sepuluh tahunan.

yang aneh bagi saya adalah bahwa kemiskinan dipotretnya dari sisi data kuantitatif semata. miskin berarti tidak memiliki penghasilan tetap, lantainya tidak bersemen, dan tidak makan nasi. keanehan lain, ia seperti berbangga dengan profesinya sebagai konsultan untuk masalah kemiskinan tanpa merinci apa yang telah ia lakukan.

kondisi ini sebenarnya jamak dalam lingkungan akademik, terkhusus yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan para akademisi. proyek ini kemudian melahirkan mental-mental proyektor, dimana orientasi penyelesaian program menjadi utama tanpa memperhatikan proses dan bagaimana hasilnya diimplementasikan.

perdebatan soal ini sebenarnya pula telah lama berlangsung. namun saya tidak tertarik membahas itu. yang saya pikirkan, kenapa kemudian kemiskinan seolah menjadi komoditas yang sangat marketable. semua orang seperti berlomba untuk memanfaatkan momen miskinnya orang lain untuk memperkaya diri.

tak ada upaya yang serius, ini jika indikator kemiskinan BPS yang kita jadikan rujukan, untuk membantu mereka. bukankah kemiskinan sebenarnya lebih pada keterbatasan akses yang mereka miliki? nah, akses inilah yang seharusnya dibuka dan diupayakan untuk diperbanyak. jika model penyelesaian kemiskinan seperti tadi yang tetap ditempuh, rasanya akan makin banyak orang yang berdagang kemiskinan, entah dengan mengobral atau menjuualnya dengan eceran ataupun partai...