Thursday, June 11, 2015

Pengalaman Mengurus Visa New Zealand

Alhamdulillah, mimpi ke New Zealand (NZ) segera menjadi kenyataan. Visa yang kami ajukan disetujui dan tanggal keberangkatan sudah terkonfirmasi. Tiket dan akomodasi pun sudah kami siapkan. Rasanya tak sabar menanti datangnya September 2015, jadwal kami ke NZ.

Saya banyak terbantu dengan informasi dari beberapa blog mengenai cara mengurus visa ke NZ. Blog seperti Tesyablog yang berbagi pengalaman mengurus visa dari Indonesia dan juga Traveling Precils yang bercerita tentang pengalaman mengurus visa NZ dari Sydney, Australia. Kedua blog ini menjadi rujukan saya dalam mengurus berkas. Informasi dari kantor imigrasi NZ dan informasi dari forum di tripadvisor dan google juga cukup membantu. Belajar dari pengalaman itu, saya pun memutuskan untuk menulis pengalaman saya dalam mengurus visa ini. Semoga bermanfaat bagi sesiapa yang punya tujuan yang sama.

Sebelum masuk pada persyaratan mengurus visa, ada beberapa hala yang perlu saya sampaikan juga. Pertama, saya perlu jelaskan bahwa saya mengurus visa NZ dari Perth, tempat saya belajar saat ini. Kedua, saya memakai paspor biru (Dinas), meski dalam pengetahuan saya tak banyak perbedaan berarti ketika kita menggunakan paspor biasa (hijau). Ketiga, tak ada kantor konsulat NZ di Perth, WA sehingga proses pengurusan menggunakan pos. Ketiga faktor ini penting juga menjadi perhatian sebab berpengaruh terhadap proses pengurusan visa.

Proses mengurus visa bagi saya sebaiknya dimulai dengan mencari informasi yang jelas dari sumber yang jelas dulu, misalnya website kantor imigrasi atau bagian yang mengurus visa. Untuk NZ, web Imigrasi mereka sangat lengkap menyajikan informasi yang kita butuhkan dalam mengurus visa. Bagian How to Apply adalah bagian yang wajib dibaca dan rajin untuk dikunjungi. Untuk visa turis seperti yang kami ajukan, proses pengurusan dan syarat adminsitrasinya relatif lebih mudah.

Syarat-syarat mengurus visa turis diantaranya:
  • paspor, yang masih berlaku 6 bulan setelah kita tinggalkan NZ. Paspor asli akan kita kirimkan bersama aplikasi.
  • mengisi lengkap form aplikasi. Ada dua macam form untuk temporary resident visa NZ. Pertama, Form INZ 1189 (Tourist/Business) Visitor Visa application. Form ini digunakan jika memang tujuan kita hanya untuk tourisme dan business. Form ini juga khusus untuk kunjungan kurang dari 6 bulan. Form jenis kedua adalah Form INZ 1017. Form jenis kedua ini bisa juga untuk turis dan bisnis tapi dengan masa tinggal yang lebih dari 6 bulan. Khusus soal form ini, awalnya saya bingung mau pakai yang mana. Apalagi keduanya bisa untuk kunjungan wisata. Namun dari berbagai forum dan blog, saya memilih menggunakan form yang pertama, INZ 1189. Meski resikonya hanya akan diberikan ijin masuk sekali dan bukan multiple entry. Dan ternyata benar, kami hanya diberikan ijin masuk NZ seminggu sebelum dan seminggu sesudah dari jadwal kunjungan  yang saya ajukan di aplikasi. Itupun hanya ijin sekali masuk, jika ingin ke NZ lagi, saya harus mengisi form lagi.
  • Enaknya mengurus visa ke NZ ini karena mengurus visa untuk keluarga (istri, anak) bisa sepaket dan bayarnya sekali. Jadi aplikasi saya, istri dan anak saya cukup menggunakan satu form aplikasi. 
  • Jangan lupa mengisi semua data yang diperlukan, termasuk perhatikan ukuran foto yang diminta ( 2 lembar, 3,5 cm x 4,5 cm.) Foto juga harus dilampirkan untuk keluarga yang masuk dalam aplikasi kita.
  • Untuk kunjungan kurang dari 6 bulan, tidak diperlukan medical certificate.
  • Lampirkan berkas lainnya seperti bukti booking tiket pesawat dan akomodasi. untuk tiket pesawat, saya saat itu hanya melampirkan quote dari travel agent. dan untuk akomodasi, saya lampirkan bukti boking hotel saya dari Booking.com.
  • Lampirkan pula bukti bank statement selama 6 bulan terakhir. NZ sangat jelas dalam hal bukti finansial ini. Minimal jumlah uang di rekening kita sebesar (atau setara) NZ$ 1000/orang/bulan. Jadi kalau misalnya rencana tinggal dua bulan dan bertiga, maka paling tidak rekening kita minimal sejumlah NZ$ 6000. 
  • Dokumen pendukung yang menjelaskan hubungan kita dengan istri dan anak, dalam hal ini buku nikah dan akta kelahiran. Akte kelahiran anak saya untungnya tidak perlu ditranslate karena dia lahir di UK. Sayangnya, buku nikah kami masih dari KUA, dan harus ditranslate. Sebenarnya banyak jasa penerjemah di Perth, termasuk KJRI juga melayani jasa ini. Namun bayarnya lumayan mahal. Melalui blog Precils saya tahu ada penerjemah tersumpah Lugas Language Centre, dan ternyata penerjemah tersumpah ini diakui juga oleh pihak Kedutaan NZ di Indonesia. Buku nikah saya scan dan kirim ke mereka, 2 hari kemudian hasilnya saya terima. Bayarnya pun tak mahal, cukup Rp 75 ribu/ lembar.
  • Karena status saya di Perth sebagai student, maka surat keterangan studi dari kampus juga saya lampirkan. Jika bekerja, surat dari atasan atau kantor yang menyebutkan masa kerja dan juga kepastian bahwa setealh kembali dari NZ akan kembali bekerja. 
  • Membayar biaya aplikasi sebesar AU$ 155. Cek biaya visa bisa melalui link ini juga (Visa Fee)
  • Jangan lupa membayar biaya jasa (Service Fee) sebesar AU$ 39. Biaya jasa ini karena proses adminsitrasi aplikasi kita dilakukan oleh pihak ketiga (TT service) meski persetujuannya tetap dilakukan oleh pemerintah NZ.
  • Pembayaran fee aplikasi dan service fee hanya bisa dilakukan dengan kartu kredit dan cash (jika Anda mengajukan aplikasi langsung di kantor TT Service Sydney). Karena saya mengajukan aplikasi via pos, maka saya harus mengisi form VAC Credit Card Authorisation Form.  
  • Jangan lupa sertakan pula amplop express ukuran besar dalam aplikasi kita agar semua dokumen yang kita kirimkan dikirim kembali ke alamat kita. Atau jika ingin TT service yang mengirimkan tanpa kita sertakan amplop, maka kita membayar lagi AU$ 20, yang bisa kita tuliskan di form VAC credit card authorization. 
  • Kirim berkasnya ke alamat: 
  • Visa Application Centre
    Level 6
    66 Hunter Street
    Sydney
    New South Wales 2000
    AUSTRALIA
     
     
Karena NZ juga sdh menganut visa elektronik, maka tidak ada lagi stiker visa yang ditempelkan di paspor kita. Sehari setelah dokumen saya diterima, semua berkas aplikasi dan berkas pendukung saya dikirimkan kembali ke alamat saya. Selang 3 minggu kemudian saya mendapatkan email dari imigrasi NZ bahwa aplikasi visa saya disetujui. Keterangan persetujuan aplikasi visa saya ini juga dilampirkan di email tersebut. Kelak jika berangkat (insya allah), surat inilah yang menjadi visa saya dan harus saya tunjukkan saat masuk ke NZ.

Nah, begitu proses dan pengalaman saya mengurus visa ke NZ dari Perth, Australia. Semoga membantu dan bermanfaat bagi yang membutuhkan. Semoga kelak bisa juga menulis pengalaman saat di NZ.

Thursday, May 28, 2015

Important

Final year, hectic days.

Oh iya, ini cerita soal dua supervisor thesis saya. keduanya perempuan. mereka dua individua yang berbeda dalam banyak hal. tentu, pengalaman dan usia menjadi kunci dalam perbedaan ini.
Supervisor yang pertama seorang australia berdarah Rusia. Mungkin dengan latar belakang itu sendiri bisa menjelaskan mengapa ia berbeda. Tegas, tak banyak kompromi, dan demanding.

Setiap dua minggu kami bertemu dan berdiskusi. tiga hari sebelum waktu bertemu, ia sudah minta dikirimkan draft pekerjaan saya. telat sehari, ia akan email bertanya mengapa dirinya belum menerima draft pekerjaan saya. tak banyak interaksi informal dengannya. bersikap tegas kepada mahasiswa bimbingannya merupakan bentuk pembimbingan. Ia percaya keberhasilan hanya bisa diraih dengan kerja keras dan pengorbanan. Bahkan mungkin dengan celaan? Hahaha, iya, jika telat mengirim draft atau hasil kerjaan dari memuaskan, ia tak segan mencela atau mengirim email dengan mode sarcasm yang luar biasa pedisnya. Beberapa kali saya menerima email yang agak mengesalkan ketika membacanya. Juga komentar dan feedbacknya yang serasa tidak supportif jika dibaca dalam keadaan tidak mood, lapar dan beasiswa yang belum juga cair. Percayalah...

Soal pengorbanan ini termasuk soal keluarga. Memasuki tahun terakhir studi saya, ia meminta saya untuk fokus dan memberi perhatian penuh pada tesis. Ia juga meminta saya berbicara kepada istri dan anak untuk siap 'dicuekin' hingga tesis tuntas. Pokoknya, hanya tesis yang utama. Perlakuan yang sama ia terapkan pada anaknya. Ia bercerita bagaimana ia menerapkan pola disiplin di rumah. tak boleh ada gangguan saat ia bekerja. Disiplin ketat juga ia terapkan pada anaknya semata wayang.

Di ruangan kerjanya, ada foto anaknya dengan medali emas entah dalam lomba apa. sepertinya atletik. Menurutnya, porestasi anaknya itu didapatkan dengan penekanan disiplin luar biasa, termasuk dengan mengatur pola makan dan melarang anaknya mengkonsumi jajanan sembarang. McDonald dan domino pizza? oh nope nope nope...

Saya beruntung, supervisor kedua (dan yang utama) sifat berbeda. Mungkin karena usia atau latr belakangnya yang dari Asia, banyak kompromi dalam interaksi kami. Ia sibuk luar biasa, selain jabatan struktural dalam kampus yang diembannya, ia juga punya banyak riset dan sering ke luar kota hingga menyebrang negara.

Dengan kondisi seperti itu, kompromi menjadi perlu. tak berarti bahwa pertemuan kami melulu ditunda dan tak sesuai jadwal. pertemuan hanya sebulan sekali, tapi jujur saja, lebih banyak yang saya dapatkan (fefedback dan ilmua lainnya) ketimbang pertemuan dengan supervisor pertama tadi. Ia juga sering berbagi pengalamannya ketika melakukan riset. Juga tak sedikit bukunya yang aku pinjam.

Nah, saat bertemu kemarin, ibu supervisor ini dapat telpon dari anaknya. Ia kemudian meminta ijin untuk menjawabnya. Setelah sekitar 2 menit berbicara, ia kemudian menjelaskan kepada saya bahwa ia punya prinsip baginya keluarga tetap utama. Ia juga berpesan pada anaknya, jika ada apa-apa dan butuh berbicara, anaknya bisa menlponnya kapan saja, meski dalam jam kerja sekalipun. "For me, family is important. when my daughter calls me, everything else is less important".

Tak ada soal mana yang lebih baik dari kedua ibu supervisor saya ini sebenarnya. Ini lebih soal pilihan menentukan prioritas. saya juga tak yakin benar bahwa kedisiplinan ibu supervisor saya yang pertama berarti ia tak lebih sayang pada anaknya ketimbang supervisor kedua. Soal hasilnya bagaimana, nah ini yang harus saya cari lebih jauh lagi dengan keduanya. Masih ada waktu bersama mereka, meski tetap berharap tak harus dalam waktu lama. Ingat, final year dan tak ada lagi beasiswa....

Monday, November 10, 2014

Celebrity Scholar dan Gempita Sabuk Putih

Professor Henry Mintzberg, McGill University,
peraih  C.K. Prahalad award
Ini sambungan dari artikel sebelumnya. Kali ini kita cerita tentang konferensinya itu sendiri. Karena ini konferensi tahunan (annual conference), maka tentu saja ada begitu banyak orang yang datang. Scholar, praktisi, mahasiswa hingga pemerhati masalah ekonomi dan manajemen juga banyak. Yang menarik bagi saya yang merupakan new comer dan merupakan pengalaman pertama ikut konferensi internasional dalam skala besar seperti ini adalah kehadiran scholar terkenal. Dalam dunia akademik, mereka sering dikenal juga sebagai celebrity scholar. Kebanyakan dari mereka adalah ahli manajemen yang telah menulis banyak paper di jurnal terkemuka seperti Academy of Management (AoM), Strategic Management dan jurnal manajemen bereputasi lainnya. Selain artikel, banyak dari mereka juga penulis buku, baik text book maupun buku non text book, dana rata-rata merupakan best seller.

Di konferensi kali, saya banyak melihat scholar celebrity yang selama ini hanya kenal namanya dan artikelnya saya kutip di tesis dan artikel saya. Bertemu mereka seperti bertemu pesohor saja rasanya. Tapi ya gitu, karena mereka terkenal dan banyak yang mengenal, maka banyak pula yang berharap bisa bertegu sapa atau sekedar bertukar kartu nama dengan mereka. Beberapa dari selebrity ini kadang terlihat kewalahan sebab hampir di setiap sesi rehat dan coffee break, mereka selalu tak sempat untuk menikmati kopi yang tersedia. Mungkin begitu resiko jadi terkenal.

Nah, sebelum berangkat saya sudah dapat 'ilmu' dari supervisor menghadapi situasi seperti ini. artinya, bagaimana saya bisa mengambil manfaat dari bertemu mereka, meski singkat. Tentu, senjata business card penting. Namun jangan terlalu bergantung pada kartu nama ini sahaja. Supervisor saya menekankan untuk membangun komunikasi dengan mereka dengan sabar. Membangun komunikasi sesungguhnya bagi supervisor saya adalah setelah konferensi berlangsung. Pertemuan saat konferensi hanyalah pertemuan singkat, dan tentu suli bagi scholar itu mengingat siapa saja yang ia temuai selama konferensi. Kartu nama? percayalah, sepulang dari konferensi banyak dari kartu nama itu yang dibuang, atau paling sering ditinggal begitu saja di kamar hotel. Disinilah letaknya komunikasi setelah konferensi menjadi penting. Pertemuan singkat saat konferensi dipakai sebagai pemantik dalam komunikasi virtual dengan mereka.

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa membangun komunikasi dengan mereka? Well, bagi mereka yang ingin terus berada dalam dunia akademik, menjalin komunikasi dengan scholar tetnu tak ada ruginya. Kedua, dalam kasus saya, beberapa dari mereka artikelnya saya kutip dan pakai sebagai bahan dalam penulisan tesis dan artikel saya. berkomunikasi tentu baik untuk memahami lebih jauh apa yang mereka maksud. Bukan rahasia lagi bahwa tulisan yang ada di jurnal-jurnal ilmiah banyak yang perlu pemahaman lebih karena ditulis dengan bahasa ilmiah dan penuh jargon. Saya sadari, pemahaman saya akan beberapa tulisan dan artikel itu belum utuh. Mendapatkan informasi dari tangan pertama tentu tak ada ruginya.

Paul Polman,  CEO Unilever menyampaikan
keynote speech
Namun jangan percaya diri buta begitu saja. Mengirimkan email bukan berarti bahwa otomatis akan berbalas email. Maksud saya, lepas dari kesibukan mereka yang bisa saja menerima email ratusan per hari, bisa jadi mereka lupa atau menganggap tidak penting untuk membalas email dari kita. Ini juga saya alami sendiri. Beberapa email yang terkirim tak terbalas hingga kini. Yang terbalas pun sekedar say 'thank you bla bal bla'. Namun saya jadi tahu, bukan itu saja tujuan sebenarnya. Paling tidak saya belajar tentang pentingnya jejaring dan jika beruntung dan telaten, serta sabar tentunya, maka banyak manfaat dari jejaring yang terbangun seperti ini. Supervisor saya memberi contoh dirinya yang kini menjadi co-author sebuah text book strategic management. Text book ini menjadi salah satu text book (lengkap dengan case study book) yang utama dalam pengajaran manajemen strategi di dunia. Buku ini menjadi salah satu referensi utama ketika menempuh master di Birmingham dulu.


Lepas dari selebriti dalam konferensi, ada juga hal unik yaitu tingkah laku para paserta lain. dalam sebuah perbincangan dengan seorang peserta yang telah lama aktif di strategic management society ini, satu upaya mendapatkan perhatian adalah dengan menonjolkan diri. Biasanya, kesempatan menonjolkan diri ini akan muncul saat sesi panel presentasi, atau saat sesi workshop. Saya memang melihat dan menykasikan sendiri bagaiman seorang penanya yang bertanya dengan pertanyaan cukup panjang, mengutip sana-sini dan seperti membaca literature review berhalaman. Berlebihan? Iya, tapi begitulah adanya. menurut supervisor saya, yang seperti ini layaknya dalam karate, masih sabuk putih dan butuh arena untuk aktualisasi.

Jadi, selain presentasi dan diseminasi pengetahuan, konferensi juga memberi banyak plajaran lain. Ia bisa menjadi jembatan menuju perbaikan (karir). Itu jika kita pandai memanfatkannya, dan merasa perlu untuk memanfaatkannya.

Monday, October 13, 2014

SMS 34TH Annual Conference

September kemarin, tepatnya 18-22 September 2014 saya berkesempatan mengikuti dua kegiatan di Paris dan Madrid. Sebenarnya bukan dua kegiatan berbeda yang tak berhubungan sama sekali. Di Paris, adalah pre-conference workshop sedangkan di Madrid adalah Annual Conference. Konferensi ini sendiri adalah Strategic Management Society (SMS) 34th Annual Meeting. Nah, pre-conference workshop ini adalah semcam pertemuan kecil dengan topik yang khusus dan dengan peserta yang terbatas. Sedangkan annual meeting dihadiri lebih banyak peserta.

Sebelum mengikuti konferensi di Madrid ini, saya sebenarnya telah mengirimkan paper ke beberapa konferensi di Amerika dan Kanada. Namun seprti yang telah saya tulis di postingan sebelumnya, karena kendala visa maka saya tak kesampaian ke Atalanta, New York dan Vancouver. Khusus konferensi Madrid ini, saya jadikan sebagai 'my last try', mengingat waktu studi yang makin mepet untuk fokus pada penyelesaian thesis. Apalagi pengalaman tak mendapatkan visa membuat saya 'sedikit' patah semangat untuk pergi ke negara-negara yang mensyaratkan visa dengan ketat. Jika tak berhasil lagi mendapatkan visa, maka saya akan cari konferensi yang diadakan di Australia, Asean atau di Indonesia, dimmana urusan visa tak lagi menjadi kendala.

Khusus untuk Amerika, saya sebenarnya berhasil mendapatkan visa. Namun visa itu keluar setelah 2 bulan konferensi (yang rencananya saya hadiri) selesai. Better late than never katanya, tapi ya, better luck next time lah.

Nah, kali ini sejak setahun yang lalu saya sudah mendapatkan informasi mengenai konferensi di Madrid ini. Dalam lingkup management strategy, konferensi yang diadakan oleh SMS termasuk konferensi yang utama dan prestisius. Hal ini disampaikan juga oleh supervisor saya, bahkan dia berniat untuk hadir juga jika paper kami diterima. Nah, pengetahuan soal konferensi utama atau tepatnya baik dan bermanfaat itu penting bagi student sebelum memutuskan untuk menghadiri sebuah konferensi ilmiah atau tidak. Layak, baik atau tidak baiknya ini biasanya dilihat dari pelaksananya, konferensi sebelumnya, dan juga kesempatan dan opsi untuk publikasi. Reputasi menjadi hal penting mengingat dalam dunia akademik juga ada 'bogus' conferences, atau konferensi yang sekedar diadakan untuk mencari keuntungan finansial semata.

Tak ada daftar pasti tentang konferensi 'asal-asalan' ini. Tapi ada baiknya melakukan riset sebelum memutuskan untuk mengirim paper ke sebuah konferensi. Beberapa blog banyak juga yang bercerita tentang konferensi serupa, yang hanya menargetkan keuntungan finansial dari dunia akademik. 'Publish or perish' telah menjadi mantera yang bermata dua. Satu sisi akademisi (terutama dari negara-negara berkembang) perlu untuk mempublikasi dan menyebarkan hasil risetnya (salah satunya dengan presentasi di konferensi ilmiah) sebagai syarat kepnagkatan dan juga untuk membangun reputasi akademiknya. Namun di sisi lain lembaga-lembaga yang selama ini dianngap kredibel, menerapkan strandar tinggi dan juga dengan biaya yang lebih tinggi dan kadang dalam rentang waktu yang relatif lama.


Kondisi seperti ini menjadi celah bagi beberapa orang dan lembaga. Dari riset sederhana yang saya lakukan, ada beberapa institusi yang memang rutin menyelenggarakan konferensi, dengan board of editors yang itu-itu saja, untuk topik yang beragam. Proses submission atau mengirimkan paper hingga konferensinya hanya sekitar tiga bulan. Topik yang diterima pun bisa sangat luas. Meski topik konferensinya sendiri tentang bisnis, misalnya, maka sub-topik yang bisa diterima bisa puluhan jumlahnya. Rentang tiga bulan dalm seluruh proses ini sebenarnya bisa menjadi indikator awal untuk membuat kita curiga. Pertanyaannya, kok cepat bingitt? Belum lagi kadang email yang digunakan adalah email yang gratisan seperti gmail, dan pembayarannya pun kadang tak bisa online atau harus via teleg-transfer. Biaya registrasi kebanyakan konferensi 'bogus' ini ada yang lebih murah namun tak sedikit juga yang setara dengan konferensi dari lembaga menteren seperti Academy of Management atau SMS yang saya ikuti. Melihat tampilan websitenya pun kadang tak jauh lebih baik dari blog pribadi. Meski ini subjektif sifatnya, tapi poin saya adalah ada baiknya untuk riset mendalam sebelum memutuskan untuk mengirimkan publikasi kita.

Dari pengalaman pribadi dan juga beberapa kawan, dan juga diskusi dengan beberapa dosen senior yang telah mengikuti banyak konferensi ilmiah, konferensi yang baik atau bereputasi baik itu minimal membutuhkan waktu setahun dalam total prosesnya. Informasi mengenai konferensi ini pun sudah tersirkulasi sejak jauh-jauh hari dan bukan sekedar hitungan 3-6 bulan semata. Dengan informasi yang lebih awal, maka persiapan bisa semakin matang. Bagi mahasiswa doktoral, konsultasi dengan pembimbing penting sekali sebab tak sedikit pengalaman menunjukkan bahwa konferensi yang kita anggap baik dan penting belum tentu begitu halnya bagi pembimbing. Jika kondisi ini terjadi, ada baiknya mengikuti saran pembimbing saja.

Singkat cerita, paper yang saya masukkan (di hari-hari akhir dari tenggat waktu) diterima. 3 Reviewer juga memberikan komentar mereka, serta saran dan masukan untuk perbaikan paper jika saya memang berniat mempublikasikannya kelak. Namun intinya, paper saya diterima untuk dipresentasikan di konferensi ini. Senang tentu saja, tapi juga berat membayangkan presentasi dihadapan banyak scholar yang sudah ternama.

BERSAMBUNG

Monday, August 26, 2013

Belum Saatnya

Saya masih memendam keinginan bahwa suatu saat saya akan ke Amerika. Sebenarnya saat mengambil program master di tahun 2005, saya ada kesempatan untuk kesana. Beasiswa yang saya dapat saat itu, Ford Foundation, memungkinkan saya untuk ke Amerika. Apalagi, lembaga pemberi beasiswanya juga berasal dari amerika.

Namun saat itu saya memutuskan untuk ke Inggris, apalagi UK memang tujuan belajar saya sejak lama. Masih teringat soal harapan melihat gedung-gedung tua dan juga melihat sisa kejayaan negeri penjajah ini. Selain itu, pilihan ke UK juga karena pilihan pragmatis. Apalagi sejak beberapa cerita dari angkatan sebelumnya dan juga berita di Koran yang menyatakan bahwa (saat itu) bepergian ke amerika makin dipersulit. Isu terorisme dan keamanan nasional menjadi dasar dari pelaksanaan kebijakan ini.

Masih saya ingat, seorang kawan yang harus memasukkan aplikasi visa sampai dua kali. Saat itu, kami berkesimpulan bahwa pilihan ke amerika bukanlah pilihan yang baik, apalagi jika nama da nasal kita makin merujuk pada kedekatan dengan tokoh teroris.

Nah, kejadian ini terulang kembali. Ceritanya begini.

Sejak awal tahun, saya sudah mempersiapkan paper untuk conference di Amerika. Informasi mengenai conference ini sudah lama saya ketahui dari pembimbing, dan dia juga yang meminta saya memasukkan paper ke konferensi ini. Konfrensi ini diadakan di Atlanta, pada akhir Agustus. Sejak awal tahun paper sudah saya siapkan, dan kemudian dikirim ke panitia konferensi. Sekitar awal April, saya mendapat konfirmasi bahwa paper saya diterima dan bisa dipresentasikan pada konferensi kali ini.

Senang tentu saja. Apalagi, konferensi ini sangat penting mengingat topik bahasan tesis saya banyak yang berhubungan dengan tema besar konferensi kali ini. Dalam daftar pembicara dan juga training pre-konfrensi (yang dikhususkan untuk mahasiswa PhD), saya menemukan beberapa nama yang selama ini artikelnya saya kutip dan saya baca. Intinya, konferensi kali ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya. Alasan kedua, tentu saja karena konferensi ini diadakan di Amerika, maka ini kesempatan berharga memenuhi salah satu keinginan dalam bucket list saya.

Maka saya pun mempersiapkan diri mengurus visa dan segala urusan adminstrasi. Saya pun kemudian mengunduh, mempelajari dan mengisi form untuk aplikasi visa. Di saat yang sama, saya juga mempersiapkan urusan administrasi di kampus. Saya memang mengajukan aplikasi conference grant dari kampus, sebab untuk membiayai sendiri perjalanan ke sana, rasanya mustahil. Urusan adminsitrasi ini juga berkaitan dengan supporting documents dari kampus untuk pengurusan visa. Tak ketinggalam saya pun mengajukan surat permohonan bantuan biaya kepada organisasi mahasiswa pascasarjana yang ada di kampus. Alhamdulillah, aplikasi saya diterima dan bantuan sebesar $700 pun telah ditransfer ke rekening saya.

Setelah form saya submit via system visa konsulat amerika, saya pun mendapatkan jadwal wawancara visa, yaitu 22 April 2013. Hari itu saya kemudian diwawancara. Tak lama sebenarnya, dan Cuma beberapa hal yang ditanyakan saat itu. Soal tujuan, apa yang akan saya lakukan dan mengapa saya menggunakan paspor dinas (biru) dan bukannya paspor regular (hijau). Semua pertanyaan saya jawab, dan semua dokumen pendukung yang diminta juga sudah saya lampirkan dalam aplikasi. Intinya, saya sangat yakin tidak ada masalah berarti dalam pengurusan visa ini. Apalagi, (ini asumsi saya) aplikasi visa saya ajukan dari Australia.

Ternyata, petugas di sana memberikan form biru, dan menjelaskan bahawa aplikasi saya sudah lengkap, tak dibutuhkan lagi dokumen tambahan, namun masih diperlukan tambahan proses administrasi dan screening.

Sejak wawancara itu, hamper setiap hari saya cek aplikasi saya melalui system check online. Saya pun membaca informasi bahwa kondisi seperti ini memang bisa terjadi. Menurut website resmi kedutaan Amerika di Canberra, proses administrasi (administrative processing) ini bisa sampai 60 hari. Beberapa hari yang lalu saya cek, tenggat waktu diperpanjang lagi hingga 90 hari. Namun saya masih tetap yakin saja. Apalagi, saya juga mengajukan aplikasi, paling tidak, jauh hari dari hari keberangkatan yang saya rencanakan.

Ringkas cerita, hingga H-10, informasi mengenai aplikasi visa saya masih tetap sama sejak hari pertama saya mengajukan aplikasi. Masih administrative processing. Tak hanya 60 hari, tapi telah lebih 90 hari terlewati sejak saya wawancara. Jika mengacu pada informasi resmi yang ada, maka seharusnya keputusan soal visa saya ini sudah keluar sejak lama. Apalagi, saya harus mengurus tiket pesawat dan akomodasi, yang tentu saja selain harga yang sudah tidak sama, juga makin sulit didapatkan.
Upaya untuk mengetahui kondisi aplikasi visa saya telah saya lakuka, baik itu telpon langsung ke kantor konsuler atau via email. Jawaban mereka tetap sama, aplikasi saya masih di proses dan saya diminta bersabar.

Nah, H-1, aplikasi visa saya masih tetap sama, masih dalam proses administrasi. Saat itulah saya meyakinkan diri bahwa tidak mungkin lagi saya ke amerika untuk menghadiri konferensi ini. Satu keinginan batal lagi terwujud. Padahal masalah finansial sudah teratasi, apalagi ada bonus grant juga dari organisasi mahasiswa.
Bersama kawan, saya kemudian menganalisis mengapa hal ini bisa terjadi. Dan akhirnya, kami tiba pada beberapa hal yang tentu saja sangat tidak mungkin untuk diklarifikasi kebenarannya. Tapi namanya juga analisis tidak mendalam..

Pertama, nama saya Abdullah, yang tentu saja masih menyisakan pertanyaan besar bagi Amerika. Kata bapak kos saya, seharusnya waktu aplikasi visa saya ganti nama. Ia tentu bercanda, tapi bahkan ia pun sadar dan percaya, bahwa nama menjadi factor penting yang menjadi perhatian dalam aplikasi visa. Tentu, ini berbeda tiap orang, karena ada orang yang namanya mungkin lebih teroris (maaf, mengukurnya saya juga bingung) tapi tetap dapat visa juga.

Kedua, teman saya melihat saya sering membaca berita seputar kebocoran informasi NSA oleh Edward Snowden. Ditambah lagi, saya mem-follow Glenn Greenwald, wartawan Guardian, yang juga merupakan orang pertama yang mengabarkan soal Snowden dan mewawancarainya di Hongkong. Nah, kawan ini menganalisis bahwa pilihan berita yang saya baca membuat America jadi curiga. Saya ketawa saja dengar analisisnya. Tapi mungkin maksudnya menghibur.

Yah, begitulah. Satu keinginan tahun ini tertunda. Semoga masih ada kesempatan di tahun depan, mungkin dengan konferensi dan Negara yang berbeda. Semoga..

Friday, August 16, 2013

Pemimpin dan Sejarahnya

Hari ini, sudah dua pekan lebih kampanye pemilihan federal dilaksanakan di Australia. Dua partai besar, Liberal dan Labour sudah genacar melakukan banyak upaya menggaet suara saat Pemilu Federal 7 September mendatang. Tak ketinggalan, Komisi pemilihan umum Australia yang gencar meminta masayrakat yang memiliki hak suara untuk "Enroll". Metode yang mereka pakai relatif seragam, iklan elektronik di televisi dan radio, juga internet. Tentu saja, jalur media tradisional seperti koran, poster, dan surat ke rumah-rumah masyarakat juga dilakukan. Satu hal yang menarik, tak seperti di Indonesia, tak ada satupun spanduk dan baligo di jalan-jalan, hahaha..

Nah, ada yang menarik di artikel koran Guardian Australia hari ini, kisah tentang calon Perdana Mentri Australia kelak, Tony Abbott. Dia yang berasal dari partai Liberal memiliki pandangan tentang masa depan Australia yang berbeda dengan Kevin Rudd yang berasal dari partai Buruh. Perbedaan ini selain berlatar ideologi (Conservative Vs Socialist), namun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepemimpinan di masing-masing partai. Tentu, menjadi pertanyaan, apakah individu yang kemudian memberi warna pada partai (lembaga) atau lembaga kemudian yang mewarnai pandangan politik seorang individu. Namun terlepas dari hal tersebut, artikel menarik tentang Tony Abbott hari ini memuat kisahnya saat kuliah di Oxford.

Seperti Margaret Thatcher, mantan PM Inggris dari Partai Konservative, Abbott ternyata pernah mengenyam pendidikan di salah satu kampus elit di dunia. Ia kuliah selama 2 tahun disana dengan dukungan beasiswa Rhodes, salah satu beasiswa prestigious juga di kalangan commonwealth. Di sana, ia belajar politik dan filsafat. Sebelum studi pascasarjana di Oxford, ia juga kuliah di University of Sidney.

Membaca koran, berita di media elektronik dan gosip, banyak pihak sebenarnya meragukan pria ini. Selain dianggap amatir dalam politik, kemenangannya yang tipis atas rival di dalam partainya untuk posisi ketua partai membuatnya seperti tidak terlegitimasi. Belum lagi olok-olok menyangkut fisik dan cara bicaranya. Bahkan kemarin ada yang menulis begini di koran. "Can not stand to even look at the man, My TV goes off as soon as he appears on it". Ya, bahkan di negara yang mengklaim maju dan canggih seperti Australia ini, masih ada saja yang berpandangan demikian. Tapi tentu saja, pandangan serupa itu tidak dominan dan hanya sedikit. Apalagi banyak dari pandangan tidak senang ini disampaikan dalam bentuk sarkas yang sangat tajam, yang mebacanya malah menyenangkan dan menggelitik.

Yang menarik juga dari Abbot ini adalah sejarahnya yang dekat dengan politik sayap kanan bahkan sejak ia belum ke Oxford. Dan saat di Oxford inilah, bibit sayap kanan yang dimilikinya tersemaikan dan mendapat tempat. Ini tentu saja menarik, bahwa terlepas dari preferensi masing-masing orang akan Abbott, tapi ia bukan orang yang tiba-tiba saja datang dan merasa layak jadi calon PM. Ia telah melewati banyak fase politik dalam hidupnya. Ia bukan orang yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki ideologi politik tertentu. Ada bukti dan catatan sejarah tentang mengapa ia memilih sebuah kebijakan saat ini, misalnya. Sekali lagi, lepas dari apakah pilihan itu baik atau tidak. Kita bisa tahu mengapa dan bagaimana ia bisa sampai pada sebuah pandangan.

Ya, poin saya adalah bahwa ketika bicara pemimpin, apalagi untuk sebuah negeri, selain ideologi tentu patutlah dilihat jejak-rekam sang calon. Kehidupan pribadi, ketika ia memilih menjadi pejabat publik, maka harus pula menjadi catatan dan perhatian. Tapi tentu, penekanannya adalah pada pandangan dan harapannya ke depan yang dibangun sejak lama. Fokus pada kehidupan pribadi sejatinya tidak melepaskan haknya untuk tetap memiliki rahasia, tentu saja ketika itu menyangkut hidup pribadinya dan tidak berhubungan dengan publik.

Tony Abbot memang tidak terlalu populer, meski demikian polling menunjukkan ada peningkatan suara dan kepercayaan padanya. Bisa jadi, kenaikan ini disebabkan karena jenuhnya orang akan pemimpin dan kebijakannya yang sekarang. Tapi entahlah, sekali lagi suara dan poling tak bisa dilepas juga dari kepiawaian 'public relations' dan kemasannya. Kita juga tentu ingat, bagaimana Margaret Thatcher dan Davide Cameron di Inggris, dua pemimpin partai Konservativ yang berhasil naik menjadi Perdana Menteri. Keduanya sangat tidak populer dalam polling dan juga perbincangan sehari-hari. Namun sejarah menunjukkan bagaimana itu semua tidak menghalangi mereka berdua menjadi PM Inggris. Mungkin sejarah yang sama akan terjadi bagi partai Liberal di Australia setelah terakhir terjadi tahun 2007.

Thursday, August 15, 2013

Kejutan

Dalam beberapa hal, kejutan itu perlu, termasuk dalam hidup. Di Youtube, banyak ditemukan video-video bertopik kejutan, yang norak, romantic, hingga yang paling tidak masuk akal sekalipun. Tema-tema kejutan banyak ditampilkan dalam audisi-audisi pencarian bakat seperti X Factor, [Nama Negara] Got Talent, The Voice dan lain-lain.
Saya bukan full time pengamat Youtube, so mungkin banyak video lain yang serupa dari non-audisi pencarian bakat. Saat jenuh dan bosan dengan artikel dan draft yang sepertinya tak habis-habis, youtube menjadi saluran pencerahan. Iya, saya paham, dalam banyak hal, youtube adalah penggangu paling hebat dalam proses belajar mandiri, seperti yang saya alami saat ini.
Tapi baiklah, saya ingin cerita sedikit tentang salah satu video favorit bertema ‘surprise’ dari X Factor UK tahun 2011. Peserta audisi ini namanya Craig Colton, seorang pekerja di pabrik biskuit dari Liverpool. Ada beberapa hal menarik dari video ini. Dialog-dialog yang tejadi antara Craig dan Jury [selalu senang dengar pronociation ‘judges’ khas British] di awal-awal sungguh segar, lucu dan sangat alami. Intinya, dia ingin memberi kejutan kepada orang tuanya, yang ternyata tak mengetahui bahwa ia akan tampil dalam audisi ini.
Ya, kejutan untuk orang tua dan ingin membuat keduanya bangga. Itu saja, kata Craig. Entahlah, bagaimana akhir dari perjalanan Craig dan orang tuanya. Saya hanya menonton satu video tentangnya dan tak tahu kelanjutannya. Meskipun dari iseng-iseng google tentangnya, ternyata di seorang gay. Tapi, ‘kejutan’ itu yang menarik bagi saya. Sisanya, well, beyond this article, I think.
Tahun, tepat 16 tahun sejak kepergian Bapak. Jujur, saya tak mengenalnya terlalu jauh. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kelar SD saya diminta Bapak sekolah di pesantren. ‘Diminta’ itu bentuk lain dari ‘dipaksa’, sebenarnya. Tapi saya tak menyesal, tak sedikit pun menyesal kini. Namun jika ada yang rasanya perlu saya sesali, tak lain bahwa saya tak begitu dekat dengan bapak.
Selain karena pekerjaan, Bapak juga saat itu seperti punya agenda lain. Agenda agar saya tak melulu di rumah dan jadi manja, dan juga menjadi sangat bergantung pada orang-orang di rumah. Menjadi anak bungsu dan laki-laki satu-satunya, tentu lebih dari cukup menjadi alasan untuk dapat perlakuan-perlakuan istimewa. Oh ya, ini hanya analisa saya pribadi, tak sempat mengkonfirmasinya dengan bapak. Ia keburu dipanggil oleh Allah. Doa dan Alfatihah untuknya.
Nah, kembali ke soal kejutan, rasanya belum pernah sekalipun saya memberi kejutan kepada bapak. Dan ini membuat saya merasa berhutang luar biasa. Tak ada kewajiban memberi kejutan dalam bentuk finansial atau kebanggan duniawi. Bukan itu yang saya maksud, meski kebanggan serupa itu tentu saja baik dan menyenangkan. Tak kurang, saya pun punya keingingan besar untuk berbagi kebahagiaan dengan Bapak-ibu. Mengajak mereka liburan, melihat cucu-cucu mereka, mencukupkan kebutuhan dasar dan tentu saja, merawat mereka dengan baik. Entahlah, tapi saya merasa belum cukup berbakti, jika itu tadi indikatornya.
Malam ini, saya rindu Bapak. Itu saja.