Thursday, October 28, 2004

ibu

kemarin aku membuat ibuku bersedih lagi. sebenarnnya sudah lama ia memintaku untuk kembali tinggal di rumah setelah beberapa tahun sejak kuliah dulu aku tak pernah lagi bersamanya dalam rumah yang sama. bahkan actually, jauh sebelum kuliah pun aku sudah tak serumah dengannya. waktu itu aku dimasukkan almarhum ayahku ke dalam pesantren. selama enam tahun itu pulalah aku tidak serumah dengan mereka, termasuk dengan saudara-saudaraku yang lain.

keinginan ini bukan hanya untuk mengobati kerinduan setelah beberapa tahun tidak hidup "normal" sebagai ibu dan anak. akan tetapi keinginan ini dilandasi pula oelh kekhawatirannya terhadap saya. bukan hanya pergaulan yang memprihatinkannya, tapi juga kesehatan dan makanan saya selama tidak di rumah, itu yang selalu menjadi entry point-nya.

aku bukannya tidak ingin dan tidak menghargai niat mereka (khususnya niatan ibu). apalagi kusadar juga bahwa ibu bisa dikatakan "sendirian" dan sedikit kesepian, setelah hampir semua saudara-saudara saya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-
masing. aku juga sadar, inilah kesempatan terbaik saya untuk berbakti dan berdedikasi kepada bunda. tekanan ini datang pula dari saudara-saudaraku yang lain, yang melihat aktivitas saya tidak akan terganggu, pun jika aku tinggal di Maros bersama bunda.

aku sendiri paham dengan maksud mereka. aku juga berfikir bahwa dari sisi ekonomis jauh lebih efisien jika aku tinggal di rumaha aja, dimana tak perlu lagi repot memikirkan apa yang akan dimakan hari ini, dimana aku mandi dan siapa yang akan mencucikan pakaianku. aku juga paham bahwa bunda butuh teman untuk berbagi, dan aku sebagai bungsu adalah pengambil peran yang paling pantas untuk itu, setidaknya begitu penilaian saudara-saudara saya.

lalu, dimana letak masalahnya??? nah ini yang kadang memsuingkan. aku sadar, tapi aku tak bisa. hidup dalam kesenyapan dan jauh dari kehidupan yang "ramai' dan hiruk, rasanya aku belum siap. apalagi banyak kerja-kerja "kebudayaan" yang harus aku tuntaskan. belum lagi akses informasi yang minim di rumah sana membuatku akan terasa asing dengan perkembangan yang seharusnya terus mengiringi langkahku.

satu hal yang pasti, when all my work is over, i'll fly home, mom.

luput

ramdahan sudah memasuki babakn keduanya, fase pengampunan menurut ahlinya. tapi jujur saja aku belum menemukan "roh" ramadhan itu sendiri. sangat banyak waktu saya terbuang untuk hal-hal yang tidak relevan dengan ramadhan.

belum lagi intensitas dosa dan khilaf yang tak juga menunjukkan penurunan signifikan. padahal, jauh dalam hatiku paling dalam, aku punya kesadaran. di 24 tahun usiaku beragama, aku ingin menjadi hamba-Nya yang taat, minimal tidak melakukan banyak kesalahan dan dosa lagi. itu saja...

Monday, October 25, 2004

sabar

ramdhan katanya adalah bulan dengan segudang berkah dan pahala, tentu saja dengan godaan dan cobaan yang juga tidak ringan. salah satunya adalah ujian kan kesabaran kita.

sabar, itu pulalah yang kini sedang banyak mengujiku. interaksi sosial yang agak "terganggu", tuntutan kerjaan, dan minimnya kemampuan saya untuk mengelola ekspektasi (kayak presiden saja aku ini...........), membuat kemarahan dan ketidaksabaran kadang samapi di ubun-ubun.

kadang aku sedikit "cemburu" dengan mereka yang tak punya persoalan, meski sebenarnya itu tampak di luar saja dan lebih karena mereka mampu mengelolanya dengan baik. aku memang bukan orang yang suka marah besar, tapi aku juga bukan orang yang lebih suka diam.

ramdhan kali ini, semoga menjadi starting point untuk aku menjadi manusia sesungguhnya. amiiiiin.

yang terlupakan

beberapa anak kecil tampak mengiba memohon belas kasih para pengendara. dengan kaleng rombengan dan sedikit air muka yang membuat orang yang melihat menjadi terhenyuk. keberadaan mereka di bulan ini mendadak menjadi tak terkontrol. mereka ada hampir di tiap perempatan jalan kota ini.

banyak yang mengeluh keberadaan mereka tak lebih dari "sampah" yang merusak pemndangan kota yang latah dengan pembangunan ini. banyak pula yang entah karena kikir atau tidak sadar bahwa harta adalah titipan menjadi gundah karenanya. tapi jangan salah, ada juga yang sedikit bersyukur sebab Tuhan memberikan banyak jalan untuk mereka menjadi hamba yang pandai bersyukur.

aku mungkin bukan menjadi bagian dari kelompok yang bersyukur itu, meski dengan segmentasi yang sedikit berbeda. bukan karena aku berlebihan dengan harta, bukan pula karena aku melihat mereka sebagai perusak pemandangan.

sampahkah mereka? Tuhan, jangan jadikan aku hamba yang tak pandai mensyukuri anugrahmu. jangan pula jadikan aku hamba yang tak punya "rasa".

ramadhan

bulan bagus, dengan sejuta pesonanya. namun jujur aku belum merasa begitu dekat. mungkin hati ini terlalu tebal dengan segala kebodohan dan dosa. mungkin pula "hidayah" itu belum jua hinggap tertanam dalam dada. atau karena hamba ini lalai akan fiman-Mu?

dengan segala kerendahan, kuberharap ada jejak tertinggal dari buloan penuh berkah ini.

Saturday, October 09, 2004

bunda

ini masih soal prajabatan kemarin. selama disana, kami punya seorang ibu, atau tepatnya yang kami posisikan sebagai ibu. usia yang lumayan diatas rata-rata peserta lainnya, erphatian dan tutur yang santun membuat kami sepakat untuk memberinya posisi itu. kami memanggilnya "Bunda". selain ketua kelas yang sangat perhatian dan disiplin, ia juga menjadi kawan berbincang yang menyenangkan. perhatiannya merata untuk semua "anak-anak"nya. mulai dari kelengkapan tugas, kedisiplinan sampai perhatian soal kondisi tubuh.

satu hal yang membuat saya betul-betul kagum padanya adalah bahwa ke"rela"annya untuk mengikuti seluruh kegiatan dan tugas yang diembankan padanya dengan sepenuh hati. termasuk mengikuti perintah dari instruktur dalam kegiatan baris-berbaris, misalnya.

jujur, aku ak sepenuhnya mampu. bayangan menjadi senior ketika mahasiswa dulu, perlakuan yang heroik dan cenderung mendominasi, membuatku merasa jengah dan muak ketika mendapatkan instruksi. sepertinya aku tak rela jia merdeka yang selama ini kumiliki diinjak oleh mereka yang dalam pikiranku tak lebih baik daripada aku atau peserta lainnya.

tapi sekali lagi itulah hebatnya bunda. tak ada ungkapan protes atau cacian yang keluar dari mulutnya. sementara kami, tak terbendung sumpah serapah dan celaan ketika waktu istirahat atau saat pemateri dan instruktur tak berada dekat dengan posisi kami.

sekilas kita dengan mudah menuduhnya sebagai orang yang tidak punya kepribadian, seperti Rangga yang menilai Cinta tak punya itu ketika dihadapkan pada pilihan untuk bersama kawannya menonton konser. tapi saya melihat itulah kepribadian sesunngguhnya. menerima bukan berarti takluk dan diam, tapi melihatnya dalam binbgkai proses. perlawanan tentu tak begitu saja surut, sebab kutahu ia adalah salah satu "pahlawan kemausiaan" yang sejati. meski minim populariotas dan sokongan dana, ia tetap dalam jalur mencapai harkat sesungguhnya dari manusia, menjadi bermanfaat bagi mahasiswa lain dan kemanusiaan itu sendiri.

aku punya bunda satu lagi. kalau yang ini dari sisi usia agak relatif muda, meski terbilang tua jika ukurannya adalah usia saya. wajahnya masih menyisakan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, yang belum juga "aus". wawasan dan pengetahuan yang mumpuni terlihat jelas ketika melihat dan membaca posisi kerjanya selain PNS.

meski sebenarnya aku lebih tepat sebagai adiknya, aku tetap juga memanggilnya bunda. dan ia tak keberatan. apalagi perhatiannya yang tulus kepadaku. sifat keibuannya juga terbuncah kepadaku, meski sepintas (dan aku rasa ia juga begitu) terlihat sebagai hal yang biasa-biasa saja.

menyenangkan dan mengharukan, itu gambaranku ketika satu persatu peserta yang kebanyakan memakai koper seperti model koper peserta AFI, keluar dari asrama. terkesan berlebihan dan childish memang. tapi aku berharap, mereka tetap menjadi bunda bagi siapa saja, dengan segala cita-cita dan harapannya.

abdi negara

menjadi abdi negara, begitu ungkapan pertama yang kudengar ketika pertama kali masuk di karantina untuk prajabatan. kalimat ini awalnya hanya menjadi jargon kosong ketika kudengar. ia tak ubahnya berita keberhasilan Leo AFI untuk tembus grand final, tak begitu berarti untuk saya, ringkasnya.

namun asumsi ini langsung bergerak seperti dalam sebuah centrifuges, ia berputar dalam tekanan tinggi untuk menghasilkan energi. baris berbaris, tata upacara sipil, etika PNS dan tanggungjawab sebagai abdi negara, wawasan kebangsaan, menjadi stimulan dalam centrifuges itu.

pola pikir untuk menjadi abdi negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah, seolah ingin menghancurkan ritme yang sudah ada. kiwa pemberontakanku bukannya tidak muncul. "Be real", begitu kata seorang kawan dulu.

tapi lupakanlah pikiran sedikit ideologis itu. bukannya aku berpaling dan beralibi dari keikutsertaanku, bukan pula karena kekhawatiran dicap dan dicela oleh kjawan-kawan. tapi perdebatan soal itu rasa-rasanya sudah usang dan tak up to date lagi. meski memang saya akui banyak hal yang kurang tepat dan sangat ketinggalan zasman dalam pola "baiat" gaya pemerintah itu.

berfikir positif, meski agak klise, pilihan itulah yang coba kutempuh. ketemu dengan banyak orang dengan berbagai ragam dan wujudnya membuat hidupku terasa lebih bermakna. ada dokter, guru, pegawai biasa sampai keluarga bupati dan bangsawan. tingkah polah mereka pun menjadi perhatian yang mengasyikkan. ada yang cenderung mendominasi, ada pula yang cenderung tertutup dan tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. pokoknya, komplit untuk menjadi laboratorium dan bahan peneltiian mengenai sikap dan motivasi.

intrik dan akal bulus bukannya tidak ada. tapi begitulah, semangat birokrasi membuat semuanya harus diselesaikan demi keutuhan bersama dan atas nama kebersamaan. ya, kebersamaan, kata itu tiba-tiba menjadi mantra ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan. apakah ada yang terpuaskan dan ada pula pihak yang merasa terpinggirkan, itu masalah lain. pokoknya semua harus terlihat rukun dan damai-damai saja.

potret bangsa ini rasanya mendapatkan tempatnya dalam dua minggu itu. tapi sekali lagi, atas nama berfikir positif (entah ini akan menjadi mantra atau tidak) aku pun terus saja menikmatinya.

waktu berlalu, tiba-tiba saja semua merasa dua minggu menjadi waktu yang tidak panjang. ada yang merasa menyesal karena terlambat akrab, ada yang syukur tapi kecewa juga sebab dalam dirinya selama ini yang ada hanya keterasingan, ada pula yang tidak ambil pusing. tapi aku menjadi bagian dari mereka yang bersyukur namun jyga sedih. bersyukur karena proses "pembodohan" yang kami alami akan segera berakhir sekalgus sedih karena berpisah dengan orang-orang pilihan dengan berbagai latarnya.

semoga ini menjadi starting point yang baik dalam mengarungi samudera kehidupan, yang entah akan mendamparkanku atau membuatku menjadi pelaut ulung. entahlah....