Monday, August 26, 2013

Belum Saatnya

Saya masih memendam keinginan bahwa suatu saat saya akan ke Amerika. Sebenarnya saat mengambil program master di tahun 2005, saya ada kesempatan untuk kesana. Beasiswa yang saya dapat saat itu, Ford Foundation, memungkinkan saya untuk ke Amerika. Apalagi, lembaga pemberi beasiswanya juga berasal dari amerika.

Namun saat itu saya memutuskan untuk ke Inggris, apalagi UK memang tujuan belajar saya sejak lama. Masih teringat soal harapan melihat gedung-gedung tua dan juga melihat sisa kejayaan negeri penjajah ini. Selain itu, pilihan ke UK juga karena pilihan pragmatis. Apalagi sejak beberapa cerita dari angkatan sebelumnya dan juga berita di Koran yang menyatakan bahwa (saat itu) bepergian ke amerika makin dipersulit. Isu terorisme dan keamanan nasional menjadi dasar dari pelaksanaan kebijakan ini.

Masih saya ingat, seorang kawan yang harus memasukkan aplikasi visa sampai dua kali. Saat itu, kami berkesimpulan bahwa pilihan ke amerika bukanlah pilihan yang baik, apalagi jika nama da nasal kita makin merujuk pada kedekatan dengan tokoh teroris.

Nah, kejadian ini terulang kembali. Ceritanya begini.

Sejak awal tahun, saya sudah mempersiapkan paper untuk conference di Amerika. Informasi mengenai conference ini sudah lama saya ketahui dari pembimbing, dan dia juga yang meminta saya memasukkan paper ke konferensi ini. Konfrensi ini diadakan di Atlanta, pada akhir Agustus. Sejak awal tahun paper sudah saya siapkan, dan kemudian dikirim ke panitia konferensi. Sekitar awal April, saya mendapat konfirmasi bahwa paper saya diterima dan bisa dipresentasikan pada konferensi kali ini.

Senang tentu saja. Apalagi, konferensi ini sangat penting mengingat topik bahasan tesis saya banyak yang berhubungan dengan tema besar konferensi kali ini. Dalam daftar pembicara dan juga training pre-konfrensi (yang dikhususkan untuk mahasiswa PhD), saya menemukan beberapa nama yang selama ini artikelnya saya kutip dan saya baca. Intinya, konferensi kali ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya. Alasan kedua, tentu saja karena konferensi ini diadakan di Amerika, maka ini kesempatan berharga memenuhi salah satu keinginan dalam bucket list saya.

Maka saya pun mempersiapkan diri mengurus visa dan segala urusan adminstrasi. Saya pun kemudian mengunduh, mempelajari dan mengisi form untuk aplikasi visa. Di saat yang sama, saya juga mempersiapkan urusan administrasi di kampus. Saya memang mengajukan aplikasi conference grant dari kampus, sebab untuk membiayai sendiri perjalanan ke sana, rasanya mustahil. Urusan adminsitrasi ini juga berkaitan dengan supporting documents dari kampus untuk pengurusan visa. Tak ketinggalam saya pun mengajukan surat permohonan bantuan biaya kepada organisasi mahasiswa pascasarjana yang ada di kampus. Alhamdulillah, aplikasi saya diterima dan bantuan sebesar $700 pun telah ditransfer ke rekening saya.

Setelah form saya submit via system visa konsulat amerika, saya pun mendapatkan jadwal wawancara visa, yaitu 22 April 2013. Hari itu saya kemudian diwawancara. Tak lama sebenarnya, dan Cuma beberapa hal yang ditanyakan saat itu. Soal tujuan, apa yang akan saya lakukan dan mengapa saya menggunakan paspor dinas (biru) dan bukannya paspor regular (hijau). Semua pertanyaan saya jawab, dan semua dokumen pendukung yang diminta juga sudah saya lampirkan dalam aplikasi. Intinya, saya sangat yakin tidak ada masalah berarti dalam pengurusan visa ini. Apalagi, (ini asumsi saya) aplikasi visa saya ajukan dari Australia.

Ternyata, petugas di sana memberikan form biru, dan menjelaskan bahawa aplikasi saya sudah lengkap, tak dibutuhkan lagi dokumen tambahan, namun masih diperlukan tambahan proses administrasi dan screening.

Sejak wawancara itu, hamper setiap hari saya cek aplikasi saya melalui system check online. Saya pun membaca informasi bahwa kondisi seperti ini memang bisa terjadi. Menurut website resmi kedutaan Amerika di Canberra, proses administrasi (administrative processing) ini bisa sampai 60 hari. Beberapa hari yang lalu saya cek, tenggat waktu diperpanjang lagi hingga 90 hari. Namun saya masih tetap yakin saja. Apalagi, saya juga mengajukan aplikasi, paling tidak, jauh hari dari hari keberangkatan yang saya rencanakan.

Ringkas cerita, hingga H-10, informasi mengenai aplikasi visa saya masih tetap sama sejak hari pertama saya mengajukan aplikasi. Masih administrative processing. Tak hanya 60 hari, tapi telah lebih 90 hari terlewati sejak saya wawancara. Jika mengacu pada informasi resmi yang ada, maka seharusnya keputusan soal visa saya ini sudah keluar sejak lama. Apalagi, saya harus mengurus tiket pesawat dan akomodasi, yang tentu saja selain harga yang sudah tidak sama, juga makin sulit didapatkan.
Upaya untuk mengetahui kondisi aplikasi visa saya telah saya lakuka, baik itu telpon langsung ke kantor konsuler atau via email. Jawaban mereka tetap sama, aplikasi saya masih di proses dan saya diminta bersabar.

Nah, H-1, aplikasi visa saya masih tetap sama, masih dalam proses administrasi. Saat itulah saya meyakinkan diri bahwa tidak mungkin lagi saya ke amerika untuk menghadiri konferensi ini. Satu keinginan batal lagi terwujud. Padahal masalah finansial sudah teratasi, apalagi ada bonus grant juga dari organisasi mahasiswa.
Bersama kawan, saya kemudian menganalisis mengapa hal ini bisa terjadi. Dan akhirnya, kami tiba pada beberapa hal yang tentu saja sangat tidak mungkin untuk diklarifikasi kebenarannya. Tapi namanya juga analisis tidak mendalam..

Pertama, nama saya Abdullah, yang tentu saja masih menyisakan pertanyaan besar bagi Amerika. Kata bapak kos saya, seharusnya waktu aplikasi visa saya ganti nama. Ia tentu bercanda, tapi bahkan ia pun sadar dan percaya, bahwa nama menjadi factor penting yang menjadi perhatian dalam aplikasi visa. Tentu, ini berbeda tiap orang, karena ada orang yang namanya mungkin lebih teroris (maaf, mengukurnya saya juga bingung) tapi tetap dapat visa juga.

Kedua, teman saya melihat saya sering membaca berita seputar kebocoran informasi NSA oleh Edward Snowden. Ditambah lagi, saya mem-follow Glenn Greenwald, wartawan Guardian, yang juga merupakan orang pertama yang mengabarkan soal Snowden dan mewawancarainya di Hongkong. Nah, kawan ini menganalisis bahwa pilihan berita yang saya baca membuat America jadi curiga. Saya ketawa saja dengar analisisnya. Tapi mungkin maksudnya menghibur.

Yah, begitulah. Satu keinginan tahun ini tertunda. Semoga masih ada kesempatan di tahun depan, mungkin dengan konferensi dan Negara yang berbeda. Semoga..

Friday, August 16, 2013

Pemimpin dan Sejarahnya

Hari ini, sudah dua pekan lebih kampanye pemilihan federal dilaksanakan di Australia. Dua partai besar, Liberal dan Labour sudah genacar melakukan banyak upaya menggaet suara saat Pemilu Federal 7 September mendatang. Tak ketinggalan, Komisi pemilihan umum Australia yang gencar meminta masayrakat yang memiliki hak suara untuk "Enroll". Metode yang mereka pakai relatif seragam, iklan elektronik di televisi dan radio, juga internet. Tentu saja, jalur media tradisional seperti koran, poster, dan surat ke rumah-rumah masyarakat juga dilakukan. Satu hal yang menarik, tak seperti di Indonesia, tak ada satupun spanduk dan baligo di jalan-jalan, hahaha..

Nah, ada yang menarik di artikel koran Guardian Australia hari ini, kisah tentang calon Perdana Mentri Australia kelak, Tony Abbott. Dia yang berasal dari partai Liberal memiliki pandangan tentang masa depan Australia yang berbeda dengan Kevin Rudd yang berasal dari partai Buruh. Perbedaan ini selain berlatar ideologi (Conservative Vs Socialist), namun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh kepemimpinan di masing-masing partai. Tentu, menjadi pertanyaan, apakah individu yang kemudian memberi warna pada partai (lembaga) atau lembaga kemudian yang mewarnai pandangan politik seorang individu. Namun terlepas dari hal tersebut, artikel menarik tentang Tony Abbott hari ini memuat kisahnya saat kuliah di Oxford.

Seperti Margaret Thatcher, mantan PM Inggris dari Partai Konservative, Abbott ternyata pernah mengenyam pendidikan di salah satu kampus elit di dunia. Ia kuliah selama 2 tahun disana dengan dukungan beasiswa Rhodes, salah satu beasiswa prestigious juga di kalangan commonwealth. Di sana, ia belajar politik dan filsafat. Sebelum studi pascasarjana di Oxford, ia juga kuliah di University of Sidney.

Membaca koran, berita di media elektronik dan gosip, banyak pihak sebenarnya meragukan pria ini. Selain dianggap amatir dalam politik, kemenangannya yang tipis atas rival di dalam partainya untuk posisi ketua partai membuatnya seperti tidak terlegitimasi. Belum lagi olok-olok menyangkut fisik dan cara bicaranya. Bahkan kemarin ada yang menulis begini di koran. "Can not stand to even look at the man, My TV goes off as soon as he appears on it". Ya, bahkan di negara yang mengklaim maju dan canggih seperti Australia ini, masih ada saja yang berpandangan demikian. Tapi tentu saja, pandangan serupa itu tidak dominan dan hanya sedikit. Apalagi banyak dari pandangan tidak senang ini disampaikan dalam bentuk sarkas yang sangat tajam, yang mebacanya malah menyenangkan dan menggelitik.

Yang menarik juga dari Abbot ini adalah sejarahnya yang dekat dengan politik sayap kanan bahkan sejak ia belum ke Oxford. Dan saat di Oxford inilah, bibit sayap kanan yang dimilikinya tersemaikan dan mendapat tempat. Ini tentu saja menarik, bahwa terlepas dari preferensi masing-masing orang akan Abbott, tapi ia bukan orang yang tiba-tiba saja datang dan merasa layak jadi calon PM. Ia telah melewati banyak fase politik dalam hidupnya. Ia bukan orang yang tiba-tiba datang dan mengaku memiliki ideologi politik tertentu. Ada bukti dan catatan sejarah tentang mengapa ia memilih sebuah kebijakan saat ini, misalnya. Sekali lagi, lepas dari apakah pilihan itu baik atau tidak. Kita bisa tahu mengapa dan bagaimana ia bisa sampai pada sebuah pandangan.

Ya, poin saya adalah bahwa ketika bicara pemimpin, apalagi untuk sebuah negeri, selain ideologi tentu patutlah dilihat jejak-rekam sang calon. Kehidupan pribadi, ketika ia memilih menjadi pejabat publik, maka harus pula menjadi catatan dan perhatian. Tapi tentu, penekanannya adalah pada pandangan dan harapannya ke depan yang dibangun sejak lama. Fokus pada kehidupan pribadi sejatinya tidak melepaskan haknya untuk tetap memiliki rahasia, tentu saja ketika itu menyangkut hidup pribadinya dan tidak berhubungan dengan publik.

Tony Abbot memang tidak terlalu populer, meski demikian polling menunjukkan ada peningkatan suara dan kepercayaan padanya. Bisa jadi, kenaikan ini disebabkan karena jenuhnya orang akan pemimpin dan kebijakannya yang sekarang. Tapi entahlah, sekali lagi suara dan poling tak bisa dilepas juga dari kepiawaian 'public relations' dan kemasannya. Kita juga tentu ingat, bagaimana Margaret Thatcher dan Davide Cameron di Inggris, dua pemimpin partai Konservativ yang berhasil naik menjadi Perdana Menteri. Keduanya sangat tidak populer dalam polling dan juga perbincangan sehari-hari. Namun sejarah menunjukkan bagaimana itu semua tidak menghalangi mereka berdua menjadi PM Inggris. Mungkin sejarah yang sama akan terjadi bagi partai Liberal di Australia setelah terakhir terjadi tahun 2007.

Thursday, August 15, 2013

Kejutan

Dalam beberapa hal, kejutan itu perlu, termasuk dalam hidup. Di Youtube, banyak ditemukan video-video bertopik kejutan, yang norak, romantic, hingga yang paling tidak masuk akal sekalipun. Tema-tema kejutan banyak ditampilkan dalam audisi-audisi pencarian bakat seperti X Factor, [Nama Negara] Got Talent, The Voice dan lain-lain.
Saya bukan full time pengamat Youtube, so mungkin banyak video lain yang serupa dari non-audisi pencarian bakat. Saat jenuh dan bosan dengan artikel dan draft yang sepertinya tak habis-habis, youtube menjadi saluran pencerahan. Iya, saya paham, dalam banyak hal, youtube adalah penggangu paling hebat dalam proses belajar mandiri, seperti yang saya alami saat ini.
Tapi baiklah, saya ingin cerita sedikit tentang salah satu video favorit bertema ‘surprise’ dari X Factor UK tahun 2011. Peserta audisi ini namanya Craig Colton, seorang pekerja di pabrik biskuit dari Liverpool. Ada beberapa hal menarik dari video ini. Dialog-dialog yang tejadi antara Craig dan Jury [selalu senang dengar pronociation ‘judges’ khas British] di awal-awal sungguh segar, lucu dan sangat alami. Intinya, dia ingin memberi kejutan kepada orang tuanya, yang ternyata tak mengetahui bahwa ia akan tampil dalam audisi ini.
Ya, kejutan untuk orang tua dan ingin membuat keduanya bangga. Itu saja, kata Craig. Entahlah, bagaimana akhir dari perjalanan Craig dan orang tuanya. Saya hanya menonton satu video tentangnya dan tak tahu kelanjutannya. Meskipun dari iseng-iseng google tentangnya, ternyata di seorang gay. Tapi, ‘kejutan’ itu yang menarik bagi saya. Sisanya, well, beyond this article, I think.
Tahun, tepat 16 tahun sejak kepergian Bapak. Jujur, saya tak mengenalnya terlalu jauh. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, kelar SD saya diminta Bapak sekolah di pesantren. ‘Diminta’ itu bentuk lain dari ‘dipaksa’, sebenarnya. Tapi saya tak menyesal, tak sedikit pun menyesal kini. Namun jika ada yang rasanya perlu saya sesali, tak lain bahwa saya tak begitu dekat dengan bapak.
Selain karena pekerjaan, Bapak juga saat itu seperti punya agenda lain. Agenda agar saya tak melulu di rumah dan jadi manja, dan juga menjadi sangat bergantung pada orang-orang di rumah. Menjadi anak bungsu dan laki-laki satu-satunya, tentu lebih dari cukup menjadi alasan untuk dapat perlakuan-perlakuan istimewa. Oh ya, ini hanya analisa saya pribadi, tak sempat mengkonfirmasinya dengan bapak. Ia keburu dipanggil oleh Allah. Doa dan Alfatihah untuknya.
Nah, kembali ke soal kejutan, rasanya belum pernah sekalipun saya memberi kejutan kepada bapak. Dan ini membuat saya merasa berhutang luar biasa. Tak ada kewajiban memberi kejutan dalam bentuk finansial atau kebanggan duniawi. Bukan itu yang saya maksud, meski kebanggan serupa itu tentu saja baik dan menyenangkan. Tak kurang, saya pun punya keingingan besar untuk berbagi kebahagiaan dengan Bapak-ibu. Mengajak mereka liburan, melihat cucu-cucu mereka, mencukupkan kebutuhan dasar dan tentu saja, merawat mereka dengan baik. Entahlah, tapi saya merasa belum cukup berbakti, jika itu tadi indikatornya.
Malam ini, saya rindu Bapak. Itu saja.

Saturday, June 29, 2013

Borgen—Semacam Review

Selama ini saya tak tahu jika Denmark ternyata melahirkan beberapa serial yang menarik dan menyita perhatian. Satu yang saya tahu kini adalah serial Borgen. Bukan serial percintaan atau thriller, genre yang banyak diproduksi Hollywood, tapi ini adalah drama serial politik. Genre ini menjadi menarik di tengah pilihan terbatas dari Hollywood sana. Tentu, ada konflik, dan percintaan juga di sini. Rumus seperti ini sudah jadi rumus kunci kayaknya dalam setiap serial. Untungnya, bumbu ini tidak terlalu mendominasi.

Di Australia, serial ini baru diputar tahun ini. Di beberapa Negara Eropa, serial ini sudah tuntas tayang sejak beberapa tahun lalu. Dan menurut beberap review yang say abaca, serial ini berhasil menarik perhatian, terutama di Inggris.

Awalnya saya tak begitu perhatian. Saat nonton season pertama, seingat saya saat itu pas lagi makan malam dan lagi malas ganti chanel tivi. Tapi saat menyaksikannya, kayaknya bagus dan terbukti, serial ini memang sangat bagus. Paling tidak dalam penilaian saya. Sekarang sudah season 10, dan saya masih terus tak sabar menanti season berikutnya.

Serial politik ini berbicara tentang dinamika politik di Denmark. Dalam kehidupan nyata, sebenarnya tak banyak berita tentang Denmark dan dunia politiknya. Beberapa hal tentang Denmark yang saya tahu adalah tentang Bulutangkis dan sepakbolanya. Entah karena politik yang stabil, sebagaimana negara Skandinavia lainnya, tapi yang pasti memang dunia politik Denmark jarang dapat pemberitaan.

Adalah Birgitte Nyborg, diperankan oleh aktris Denmark Sidse Babett Knudsen, tokoh utama dalam serial ini yang juga berperan sebagai Perdana Mentri Denmark. Perdana Menteri wanita pertama dalam sejarah politik Denmark. Ia memimpim pemerintahan federal Denmark. Sebelum terpilih jadi perdana menteri, ia merupakan ketua partai Moderat di Denmark. Ke kantor, ia selalu bersepeda dan tidak jarang ngopi di café selayaknya orang biasa. Beberapa tokoh penting lain juga ada, tapi favorit saya adalah Katrine Fønsmark, diperankan oleh aktris cantik Denmark, Birgitte Hjort Sørensen. Ia sosok jurnalis idealis yang rela memutuskan pacaranya yang instruktur fitnes karena tak tahu siapa nama menteri hukum.

Konflik dalam pemerintahan juga ditampilkan dalam serial ini, termasuk tentang konflik pribadi dari perdana menteri yang berakibat hubungan rumah tangganya jadi tidak harmonis. Untuk menghindari konflik kepentingan, suami sang perdana menteri diminta untuk tidak mengambil jabatan yang bisa dianggap memanfaatkan posisi istrinya sebagai pemimpin pemerintahan. Awalnya scenario ini berjalan mulus. Suami perdana menteri tetap memilih menjadi dosen di sekolah bisnis di Copenhagen. Namun ini tak bertahan lama. Setelah menolak beberapa kali untuk mengisi jabatan eksekutif di beberapa perusahaan multinasional, kali ini iya tak bisa menolak lagi.

Pemberontakan dari sang suami sebenarnya bukan karena pertimbanga finansial semata. Menjadi suami perdana menteri, membesarkan dua orang anak, tentu pekerjaan berat baginya. Belum lagi ia seperti tak mendapatkan istri dan ibu bagi anak-anaknya. Kesibukan, dan urusan kenegaraan menyita waktu bagi keluarga, termasuk pengorbanan sang suami untuk urusan ranjang yang selalu tertunda.

Konflik tentang gender ini memang pas dengan kondisi politik di Australia. Entah mengapa, saat season 10 yang mengisahkan tentang konflik di pemerintahan dan rumah tangga sang perdana Menteri, tepat beberapa saat sebelum akhirnya Julia Gillard berhenti sebagai perdana menteri Australia. Sebuah ketidak-sengajaan memang, tentu saja.

Meski hanya fiksi, Borgen ini menunjukkan realitas politik sesungguhnya. Permainan politik yang cenderung kotor, politisi yang selalu berusaha mendapatkan keuntungan dari kebijakan Negara, hingga konflik personal dan rumah tangga yang muncul dari akibat aktifitas politik. Semuanya disajikan dengan apik. Satu hal yang menyesakkan, contoh-contoh baik yang disajikan disini, tentang upaya menghindari konflik kepentingan dan penolakan terhadap keinginan mengambil keuntungan pribadi dari duit Negara, sayangnya masih sebatas imajinasi. Berita-berita politik negeri, masih tak jauh dari kisah seperti ini. Untuk sementara, menonton serial Borgen ini sudah cukup..

Photo credit: freeproject.eu

Wednesday, May 01, 2013

Lima Tahun

Lama tak menjenguk tempat bermain ini. Sekali menjenguk hanya ingin menuliskan sedikit catatan menjelang lima tahun usiamu, Nak. Saya masih ingat, saat mamamu akan melahirkanmu, saya sempat berdebat dengan perawat. Dia mengatakan bahwa kamu masih butuh waktu lama untuk lahir, sedangkan saya yakin waktunya tidak lama lagi. Bukan mengapa, saya hari itu tanggal 2 Mei, dan bagi bangsa kita itu adalah hari istimewa karena hari Pendidikan Nasional. Sebenarnya saya dan mamamu tak menarget hari tertentu untukmu lahir. Saya cuma tak tega lihat mamamu yang kesakitan luar biasa. Sehari sebelumnya saya telah membawanya ke rumah sakit, tapi karena belum menunjukkan tanda yang cukup berarti kami pun diminta pulang dan kembali esok hari. Padahal saat itu mamamu sudah merasakan sakit yang tak terkira, menurutnya. Dan saya percaya. tepat lima tahun yang lalu, kamu pun hadir. Senang tak terkira saat itu, dan kita cuma bertiga.

Saat catatan ini saya tulis, kamu dan mamamu sedang bertemu dokter. Pagi tadi dadamu sudah discan untuk memastikan tidak ada masalah. Sejak saya tinggal untuk sekolah hampir sebulan lalu, kata mamamu asma dan batuk silih berganti datang menghampirimu. Kadang kamu seharian harus minum obat dan diuap dengan bantuan nebuliser. Alat bantu uap ini kita beli sesaat sebelum saya balik ke sekolah. Bersama mamamu kami berpikir mungkin itu akan sedikit membantu derita sesak napasmu yang rutin datang jika pagi menjelang.

Sebelumnya dirimu seperti terjadwal dapat sakit lumayan parah 2 bulan sekali. Jika itu yang terjadi, kita punya dua dokter idola dan andalan. Keduanya kami anggap baik dan cocok denganmu. Sebelumnya, saat gejala asma pertama kali muncul, hampir semua dokter anak di Makassar telah kita datangi. Belum lagi dokter kulit dan ahli gizi yang tak terhitung berapa kali kita sambangi. Ini karena selain asma, dirimu juga tak bisa sembarang mengkonsumsi makanan. Susu sapi tak boleh, apalagi keju dan mentega. Makanya badanmu terlihat sangat kurus. Tingkat kekurusan kelihatan makin bertambah parah saat dirimu sakit. Jika sesak napas, tak tega rasanya melihat dadamu yang kelihatan tulang rusuknya itu. Dalam hati saya selalu sedih memikirnnya. Kamu tak minum susu formula yang katanya banyak vitamin dan zat penting untuk pertumbuhan anak itu bukan karena kami tak bisa membelikannya untukmu. Bukan, tapi karena dirimu memang tak bisa menikmatinya. Belum lagi setiap ada kawanmu yang ulang tahun, kamu tak pernah bisa mencicipi kue ulang tahun mereka. Saya dan ibumu selalu sedih, nak.

Selain dokter, beberapa kali dirimu juga dipertemukan dengan banyak orang tua, dan orang pintar. Jika situasi seperti ini, saya selalu berbeda pendapat dengan mamamu. Satu sisi saya masih percaya bahwa sakitmu ini masih bisa dicarikan 'jalan ilmiah'nya atau bertanya pada dokter dan belajar pada banyak literatur. Satu sisi, mamamu selalu menekankan pentingnya kita menghargai upaya orang lain, termasuk dari kakek dan nenekmu untuk mencoba segala usaha dan upaya agar kamu sembuh. Kamu pernah dibawa ke Bone, Enrekang, Maros, hingga beberapa tempat di sekitaran BTP. Ada yang memberikanmu ramuan tradisional, lengkap dengan beberapa bacaan doa. Namun ada juga yang sekedar memijat dan mengurutmu. Katanya sih agar peredaran darahmu lancar.

Begitulah nak, banyak upaya yang sudah kita lakukan bersama. Kami bercerita ini bukan sebagai bentuk putus asa. Saya masih percaya kamu tetap ciptaan tuhan yang spesial buat kami. Jika ada hal yang paling saya suka dari beberapa nasihat alternatif diluar kunjungan ke dokter, adalah dengan berjalan bersamamu, bermain dan berenang di pantai. Ya, beberapa orang, termasuk dokter menyarankan kamu untuk rajin-rajin direndam di air laut. Ini agar tubuhmu menjadi lebih kuat dan juga baik untuk melatih pernapasanmu.

Kadang ada ups dan downs dari saya maupun ibumu. Tapi percayalah, itu tak lebih karena kami masih manusia yang menyayangimu tiada tara. Semua upaya rasanya sudah dilakukan. Apalagi mamamu, hapir banyak hal yang dikorbankannya untukmu. Tak terhitung berapa kali mamamu menangis tersedu jika lihat kondisimu. Saat jauh, tangisnya itu dibaginya kepadaku. Mungkin ia tak kuat menanggungnya sendiri. Dan kau tahu, ia selalu nyaman jika menangis dipundakku. Makanya, saat seperti ini, saya jauh dari kamu dan mamamu, saya jadi tak bisa melakukan banyak hal. Untunglanh, kita punya banyak saudara, teman dan keluarga yang selalu menguatkan dan memberi semangat, juga alternatif pengobatan.

Tapi sekali lagi, kami selalu percaya dirimu spesial. Mungkin kami saja yang belum menemukan cara spesial yang tepat untuk merawatmu. Sebenanrnya kami tak ingin terlalu larut dan berserah begitu saja dengan apa yang kamu derita. Saya percaya, termasuk beberapa informasi yang kami terima, bahwa penyakit itu perlu sedikit dilawan. Saat kamu sesak atau alergi misalnya, saya tetap berpikiran untuk membawamu ke luar rumah. Tinggal di dalam rumah lebih dari dua hari tentu tak baik untuk seusiamu yang selalu ingin bermain dan ingin tahu banyak hal. Soal makanan pun kami pernah bersepakat untuk sedikit menurunkan standar toleransi. Beberapa kali nenekmu mencobakan mie, yang telah dicuci berkali-kali dan tanpa bumbu diberikan kepadamu. hasilnya, kadang kulitmu memerah karena alergi yang kamu derita. Tapi kamu juga tetap bertahan dan untungnya kita bisa lewati meski progressnya relatif lambat.

Selalu sedih jika meliha menu makanmu yang hampir itu-itu saja. Sayur tanpa garam dan penyedap rasa. Ikan yang dibakar tanpa bumbu. Cemilan yang serba dikukus karena efek minyak goreng belum cukup kuat diterima tubuhmu. Karena tak ada cemilan yang khas dikonsumsi anak-anak seusiamu, buah segar selalu menjadi pilihan. Kami paham nak, sebenarnya dirimu diberkati dengan nafsu makan yang baik. Makanya saat kamu sehat, kamu bisa makan hingga lima kali sehari. Tapi ya itu tadi, tak banyak pilihan makanan yang bisa kamu konsumsi. Mungkin kamu masih ingat, sata hanya jalan berdua denganmu, kita pernah mampir ke KFC. Mamamu sebenarnya sudah peringatkan untuk tidak sembarangan memberimu makan. Makanya kita dibekali dengan makanan dari rumah. Cuma karena saya berfikir saat itu kamu baik-baik saja dan tidak sedang sesak, maka mampirlah kita ke KFC. Kita makan berdua, dan sesekali saya membolehkanmu mencicipi ayam goreng yang kulit kriuknya sudah saya bersihkan. Singkat cerita, kamu ternyata baik-baik saja dan tidak ada efek berarti di tubuhmu. tak seperti biasa yang jika ada barang yang tak cocok, tubuhmu langsung bereaksi instan. Entah itu anggota tubuh yang memerah, atau batuk dan sesak napas.

Begitulah nak, lima tahun usiamu kini dan belum banyak perkembangan berarti dari kesehatanmu. Dalam seminggu, paling banyak kamu masuk sekolah itu cuma 5 hari. Ada saat dimana kamu sebulan bersekolah full. Tapi lebih banyak rasanya kamu masuk sekolah dua hari, dan ijin untuk sisa harinya. Meski begitu, selalu menarik mendengarmu kisah ketika pulang sekolah. Tentang kawan-kawanmu yang tak henti saling mengerjai, termasuk cerita tentang beberapa kawanmu yang sering menjadikanmu objek penderita. Mungkin karena tubuhmu yang paling kecil. Kamu pernah cerita berada dalam posisi dilema karena ada dua kawan 'besar' yang erbkelahi. Kamu dipaksa memilih bermain dengan siapa, dan jika tidak akan kena pukul. Ketawa saya mendengar ceritamu itu nak. begitulah dunia anak-anak. Kepadamu saya cuma cerita bahwa kamu harus tentukan pilihan sendiri dan belajar mandiri. Soal berkelahi, biasalah itu. Asal tak melukai saja, semuanya oke-oke saja.

Tapi saya tak mau cerita soal derita saja. Meskipun sebenarnya itu bukan derita. Itu bagian dari hidup bersamamu. Tak elok rasanya jika hanya menanti tawamu tanpa mau ambil tangismu juga. Semangat ini saya bagi juga dengan mamamu, dan syukurlah kini dia lebih kuat.

Oh yah, satu kebanggaan lagi saat kamu menang lomba mewarnai. Tak main-main, lomba mewarnai se-BTP raya. Guru dan teman-temanmu tidak pernah tahu ternyata kita tiap malam punya aktifitas wajib, yaiut mewarnai. Tak terhitung sudah berapa buku mewarnai yang kita tamatkan berdua. Dan entah kenapa, saya selalu menjadi pilihan utamamu dalam mewarnai. Mungkin karena saya selalu terima jiak diminta mewarnai apa saja, termasuk dengan warna apa saja. Nah, saat kamu menang itu, kamu dapat piala. Luar biasa nak. Saat seusiamu, saya tak pernah dapat piala. Jadi paling tidak kamu sudah lebih baik dari saya saat seusiamu. Tapi jangan dulu berbangga. Saat TK dulu lomba mewarnai belum begitu populer di sekolahku, jadi masih masuk akallah alasanku.

Bercerita tentangmu selalu tak ada habisnya. Tapi baiklah, kini kau sudah lima tahun. Tak banyak yang saya minta pada tuhan nak. Semoga kamu tetap dilimpahi kekuatan dan kesehatan. Kami pun akan selalu menjagamu, sepanjang yang kami bisa. Jadi kuatlah. Kau tahu, banyak orang yang menyayangimu. Jadi kuatlah, supaya kamu bisa menjelajah lagi. Kita akan pergi ke banyak tempat, sebab hanya dengan begitu kita jadi banyak tahu dan makin sadar bahwa kita belum tahu banyak. Kita masih punya banyak rencana besar bersama mamamu. Makanya, di usiamu yang kelima ini, banyak doa kami panjatkan. Be strong, my boy...