Thursday, December 04, 2008

Pemuda

Hari ini saya membawakan materi dalam sebuah acara yang diadakan oleh Dinas yang berhubungan dengan pemuda. Nama ini disingkat dengan sangat baik, DISPORA, Dinas Pemuda dan Olahraga. Entah mungkin maksudnya hanya pemuda yang wajib berolahraga atau karena atlet-atlet yang ada saat ini adalah pemuda. Jangan tanya kenapa namanya bukan Dinas pemuda dan pemudi. Untuk yang terakhir, saya tak tahu juga alasannya apa.

Undangan saya terima kemarin, tepatnya sms dan telpon. Undangan resminya tak saya terima. Petugas pengantar undangan katanya sedang sibuk dan banyak urusan, makanya undangan untuk saya tak bisa diantar.

Saya diminta membawakan materi tentang negotiation skills. Sebuah materi klasik sebenarnya. Saya tak tahu apa relevansi materi ini, terlebih lagi tema besar pelatihan ini juga tak saya ketahui. Yang pasti, demi menjaga nama baik seorang kawan, saya iyakan saya dan menerima undangan ini.

Oh yah, acara ini diadakan di sebuah hotel bintang lima di Makassar. Hotel lama yang direnovasi dan berganti nama. Mewah betul hotel ini, begitu pikirku ketika tiba di lobby hotel. Saya tiba jam 8, takut terlambat karena undangannya jam 9. Tapi hingga pukul 8.45, tidak ada konfirmasi dari panitia dan juga ternyata ruangan yang kemarin diberitahukan kepada saya ternyata dipindahkan. Tahu ruangan apa yang akhirnya dipakai, sebuah ruangan besar bernama presidential suite. Wuih...

Saaat masuk ruangan, baru 5 orang peserta yang hadir, dari sekitar 40-an yang terdaftar. Maka kami pun menunggu peserta yang lain. Setelaha sekian lama, satu per satu dari mereka pun hadir, yang sayangnya, banyak dari mereka yang jujur saja, tak bisa lagi dikategorikan pemuda. Entahlah, ketegorisasi pemuda di negeri ini memang unik. hampir semua organisasi pemuda, yang resmi dan memiliki sekretariat yang dibiayai negara, dipimpin oleh mereka yang tak layak lagi disebut pemuda. Atau kalau toh pemuda, entah indikator apa yang kemudian dipakai untuk mentasbihkan kategori ini.

Terlepas dari itu semua, acara ini jauh dari harapan, paling tidak itu yang tergambar dari sesi yang saya ikuti. Ada kesan acara ini hanyalah upaya menghabiskan anggaran di tengah tuntutan kepada pemerintah daerah untuk segera menghabiskan anggaran 2008. Belum lagi dalam beberapa kesempatan, fasilitator yang tak lain pegawai dari Diaspora selalu mengingatkan bahwa peserta yang tidak hadir tidak akan mendapatkan penggantian biaya trasnportasi dan konsumsi. Model-model (yang dibawa bank dunia dan lembaga-lembaga asing) seperti ini telah lama dikeluhkan merusak social capital yang ada di masyarakat. Tak ada lagi yang dengan tulus menghadiri acara-acara sosial tanpa penggantian biaya trasnportasi. Kalo sekedar mengganti trasnport sebenarnya tidak ada masalah. Parahnya, banyak yang kemudian menjadikan ini ibarat proyek bisnis, untuk tidak menyebtunya sebagai profesi.

Model-model pelatihan ala Pemda ini pun tidak pernah berubah dari dekade yang lalu. Seelain selalu diadakan di hotel-hotel mewah, target psertanya pun ternyata tidak jelas. Beberapa diantara peserta ternyata hanya keluarga beberapa pegawai.

Saya tak katakan menyesal. Malah saya berharap materi yang saya bawakan itu bermanfaat, dan paling tidak membantu. Tapi jika model seperti ini terus dipertahankan, maka berapa banyak lagi anggaran negara yang terbuang percuma tanpa tujuan yang jelas. Meski secara hukum tentu hal ini tidak dilanggar, tapi esensi dan hakikat (wuih, keren juga bahasa ini) dari pelatihan itu sendiri bakal tidak maksimal.

Tapi kalo mau model yang lain, mau seperti apa? Nah, itu yang masih harus dicari lagi. Tapi bukan berarti tidak ada alternatif lain, kan?

Monday, December 01, 2008

Gratis itu Artinya Bayar

Hari itu saya bersama istri membawa anak kami ke rumah sakit. Bukan karena anak kami sedang sakit, tapi karena ia masih luput imunisasi Hepatitis dan polio. Sudah coba kami bawa ke Puskesmas dan Posyandu, tapi dokter dan perawat di sana agak takut memberikannya. Menurut mereka vaksin itu sudah diberikan saat kami di Inggris beberapa waktu lalu. Meski, dari dokter di sana, mereka malah menganjurkan kami mengambilnya di sini. Akhirnya terpikirlah kemudian untuk ke rumah sakit Wahidin.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, ada dua baligo besar yang kami lewati. Pesannya, pemerintah daerah kini punya program kesehatan gratis. Saya tak tahu dalam batas mana biaya kesehatan ini menjadi gratis. Ini karena baligo itu tidak mengandung informasi tambahan lainnya, selain foto gubernur dan wakilnya terpampang besar.

Saat tiba di rumah sakit, ternyata kami harus bayar sejumlah 26 ribu rupiah. Padahal ada poster besar di dalam poli anak itu yang menyebutkan vaksin untuk imunisasi bisa diperoleh gratis. Saat diminta kuitansinya, staf bagian poli anak tersebut tak bisa memberikan.

Saya tak ingin terlibat lebih jauh dengan staf ini. Apalagi dia pula yang kemudian mengambil tugas mengurusi anak saya. Singkat cerita, ia pun berkonsultasi dengan dokter, dan rupanya, tak ada vaksin Hepatitis. Yang ada cuma vaksin polio. Sang dokter merekomendasikan beberapa nama kawannya berpraktek sebagai alternatif.

Ingin rasanya menagih kembali duit yang sudah bayar itu. meski jumlahnya tak seberapa, tak puas aja rasanya dengan jawaban sang staf. Belum lagi perlakuan terhadap pasien yang lain. Beberapa pasien mengeluhkan hal yang sama. Ada yang sudah jauh-jauh dari Sinjai untuk pengobatan sang anak, tapi mendapatkan pelayanan yang sangat tidak membantu.

Agaknya, iklan-iklan layanan sosial dari pemda itu harus lebih jelas dan informatif. Tampang wajah gubernur dan wakilnya, yang tidak percaya diri, lebih baik diganti dengan informasi tambahan mengenai batas mana pasien bisa mendapatkan pelayanan gratis. Ini agar kesehatan yang menjadi hak dasar warga negara betul-betul dijalankan dengan sepenuh hati.

Wednesday, November 05, 2008

Miskin

Membicarakan kemiskinan memang selalu lebih menarik jika dilakukan di ruangan yang berpendingin. Apalagi ditemani soft drink dengan merek global, yang nilai asetnya masih jauh berlipat-lipat ketimbang beberapa negara digabung sekalipun.

Wakil dari perusahaan-perusahaan hadir disini untuk berbagi kisah tentang betapa dermawannya mereka. Ada perusahaan kertas yang dengan bangga mengklaim diri sebagai perusahaan peduli lingkungan. Di lain kesempatan, ada pula perusahaan rokok yang menjadi kampiun dalam kompetisi perusahaan yang paling bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Berjam-jam duduk di ruangan dingin ini membuatku jadi bertanya, apa betul orang-orang miskin itu tahu bahwa mereka sekarang jadi pusat perhatian? Atau mereka hanya dijadikan obyek, either dari pemerintah atau pengusaha yang serakah.

Di Bangkok, saya pura-pura menjadi orang yang tak miskin, seperti yang lain.

Wednesday, October 15, 2008

Serial Pamitan

Tinggal berbilang hari kami akan meninggalkan kota ini. Tak ingin ada yang terlupa, pamitan kepada tetangga kami cicil setiap hari di pekan terakhir ini. Semalam saya ke tempat Martin, orang yang selalu namanya ada dalam tulisan di blog ini. Tetangga ini salah seorang yang terdekat dengan kami. Meski ia selalu mengaku kesulitan untuk melafalkan nama kami dalam sentuhan yang lebih "Indonesia".

Martin pula salah seorang yang terunik yang kutemui selama lebih dua tahun di sini.

Ia sampai harus "cuti" sore ini dari kerja rutinnya. Sebagai loper koran gratis, ia memiliki jadwal tetap pagi dan sore untuk mengedarkan koran city council dan koran iklan ke rumah-rumah di sekitar wilayah Roman Way.

Sore itu ia kemudian (kembali) bercerita tentang pengalaman hidupnya. Dirampok saat mencari kerja di Jerman, merasakan panas yang sangat saat di Amerika, dan juga menerima tindakan rasis saat berada di kampung halaman, Irlandia. Ujungnya, ia menjadi loper koran di Birmingham.

Kelar topik soal pengalaman "jadul" pribadi, topik beranjak pada masalah aktual, krisis keuangan global. Ia tak habis pikir, si Gordon Brown memutuskan untuk mem-bail out bank-bank besar yang ada di Inggris. Tentu, dengan duit pemerintah yang berasal dari duit pajak dan juga utang luar negeri. Sebagai pembayar pajak, meski ia akui pajak yang dibayarnya tak ada apa-apanya dibanding Beckham atau Sir Alan Sugar, tapi tetap saja ia tak rela duitnya dihamburkan untuk sesuatu yang dalam istilahnya ia sebut sebagai "membiakkan kapitalisme".

"Tapi itukan pilihan terburuk dari yang ada. Kalau tidak, bisa kolaps sistem keuangan di negaramu ini", begitu kataku. Dengan sigap iya menjawab. Iya, tapi tetap saja tak bisa diterima. Kalau perusahaan rugi, itu resiko bisnis. Kalo harga saham mereka anjlok, masak saya yang harus nanggung semua? Salah mereka sendiri, mau terlibat dalam 'dunia spekulasi' yang kejam namun tak mau jadi korban.

Seperti ingin mengganti topik lain, ia kemudian berujar, "It doesnt really matter anyway, I dont have any bank account". Case closed kalau begitu.

Pembicaraan kemudian berputar di soal kenangan, dan harapan. Sedih rasanya akan meninggalkan Martin, dan orang-orang baik yang selama ini bersama kami. Tapi begitulah, tahapan hidup ini harus berpindah ke episode baru. Semoga kawan-kawan baik ini selalu terkenang dan mengenang kami.

Sebelum berpisah, ia sempat berharap doa. "Doel, doakan semoga saya menang lotere. Kalau saya menang, akan saya jenguk Rafi di Indonesia". Saya tak tahu harus bilang amin atau tidak.

Thursday, October 09, 2008

Duka

Kemarin, saya terima pesan singkat dari seorang kawan. Isinya pendek, mengabarkan berita duka. Pak Wempi, begitu ia sering disapa telah berpulang ke hadirat penciptanya.

Sedih saya membacanya. Ia adalah kolega, guru, dan juga kawan yang baik, teramat baik, bahkan. Darinya saya banyak belajar. Tak hanya soal ekonomi, tapi juga soal hidup dan beragam pilihannya, termasuk dengan bagaimana menikmatinya.

Dalam aras akademik, dia juga menjadi pioneer, paling tidak begitu anggapan saya. Ia bagi saya adalah orang pertama yang membuat suasana jurusan lebih dinamis dan juga lebih up to date. Ketika dosen-dosen lain masih berkutat dan berbangga dengan beragam buku "tua", ia yang dengan diam berbagi artikel terbaru dan juga buku baru dengan mahasiswanya.

Banyak waktu yang saya habiskan bersama beliau, meski tak seluruhnya sepadu padan. Kadang ada juga perbedaan dan debat panjang, tapi begitulah, semuanya berjalan baik-baik saja.

Selamat jalan untuk pak Wempi. Sedih tak bisa hadir di rumah duka, yang juga tak jarang menjadi rumah suka bagi saya dan kawan-kawan.

Sunday, September 28, 2008

Lebaran

Selamat Lebaran, Selamat iDOEL Fitri
Mohon maaf lahir dan batin..

Monday, September 15, 2008

Nomor Buntut

Saat bertemu Martin, salah seorang tetangga di flat, di depan lift, ia langsung bertanya soal nomor keberuntungan saya. "Just give me any number, from 1 to 49", desaknya ketika kujawab saya tak punya nomor tertentu yang jadi lambang keberuntungan. Ia rupanya sedang terburu-buru menuju convinent store di seberang jalan untuk membeli euro million.

Ini kali kedua ia bertanya dengan point yang sama. Sekali waktu saat menikmati cream tea bersama di flatnya, secara tak sengaja ia memakai dua sendok secara bersamaan untuk mengaduk kopi. Baginya, ini sebuah tanda keberuntungan. Maka sontak ia tanya kepada saya mengenai nomor keberuntungan. Kala itu, saya menjawab sekenanya, setelah beberapa kali coba menolak. Esoknya, saya bertemu dengannya, masih dengan penampilan khasnya. Tak ada tanda ia telah menang jutaan poudnsterling seperti yang diharapkannya kala itu. Ia memang memasang taruhan lotere euro million, yang hadiahnya jutaan pounsdterling. Jumlah ini tentu masih jauh lebih banyak ketimbang APBD beberapa daerah di Indonesia.

Taruhan dengan beragam macam dan bentuknya memang sangat akrab dengan kehidupan orang Inggris. National Lotere, lotere yang mirip dengan SDSB zaman orba dulu, adalah yang paling favorit. Dengan taruhan 1-5 pound, orang yang pasang pun sangat banyak. Jumlah taruhan ini masih lebih murah ketimbang seporsi fish and chips plus minuman kaleng. Jadi, sekali lagi, menjadi favorit. Mendapatkannya pun tak sulit. Hampir semua toko dan supermarket punya stand lotere ini. Tak ketinggalan, mereka juga punya stand khusus di mall. Sangat affordable dan reacheable deh pokoknya. yang khusus taruhan pun tak sedikit jumlahnya. Rumah-rumah taruhan seperti william hill, selalu ramai setiap pekan, bahkan setiap hari. Akhir pekan ramai dengan taruhan bola, sedangkan hari-hari biasa ramai dengan taruhan pacuan kuda atau olahraga-olahraga lainnya.

Atas nama pembiayaan sosial pulalah yang membuat lotere dianggap sebagai sumbangan sosial. Hampir 1/2 dana tim Great Britain untuk mengikuti Olimpiade kemarindi Beijing didapat dari dana lotere. Begitu pula tak terhitung Kastil dan gedung bersejarah Inggris yang direnovasi dan diperbaiki dengan uang 'panas' ini, juga sekolah dan rumah sakit.

Soal uang panas ini memang diakui sendiri oleh mereka yang beli lotere, termasuk Martin. Ia pernah menang lotere yang jumlahnya 20 pound, jumlah yang masuk kategori jumlah terkecil. Dapat duit sigtiu, abis juga untuk beli rokok, bir dan makanan layak seperti whole chicken dan jacket potato. Ini tak membuatnya kapok, sebab meski kalah, ia tetap saja tak patah semangat. Kalo ini, memang nature-nya judi dan taruhan, yang bakal membuat orang tak kenal dengan kata berhenti dan kapok. Seorang tetangga yang lain, yang juga rutin membeli lotere setiap minggunya, punya pengalaman yang sama. Hadiah tertinggi yang pernah dimenangkannya adalah 100 pound. Jumlah ini langsung abis untuk membeli rokok, bir dan sepatu. Kapok kah ia? Tak juga. Baginya, ini adalah rutinitas mingguan yang mengasyikkan. Apalagi lotere yang dipasangnya pun tak pernah lebih dari 5 pound/minggu.

Saya tak tahu apa Martin menang esok dengan nomor "seadanya" dari saya. Yang pasti, saya berharap kali ini dia tidak dapat lagi. Sebab kalo ia menang, ia berjanji akan memberi saya separuhnya. Bayangkan, separuh dari sejuta poundsterling saja jumlahnya sudah banyak sekali, ini tentu masalah. Masalah lainnya, saya tentu tak punya cukup kenekatan untuk menolaknya....

Saturday, September 06, 2008

Terima Kasih

Pekan ini adalah pekan sibuk bagi banyak mahasiswa, khususnya postgraduate students. Deadline untuk submit disertasi tinggal berbilang hari. Saat di kantor administrasi siang kemarin, beberapa kawan telah mengumpulkan disertasi mereka. Selain disertasi, banyak dari teman-teman yang juga menitipkan 'oleh-oleh' kepada supervisor dan beberapa professor melalui kantor akademik.

Makanya, meja utama di kantor tersebut penuh dengan beragam titipan. Kebanyakan terbungkus dengan kertas khas mandarin. Memang, hadiah-hadiah itu kebanyakan dari mahasiswa asal Cina. Salah seorang kawan bercerita bahwa itu adalah tanda terima kasih mereka kepada supervisor. Beberapa dari mereka juga bermurah hati dengan menyisihkan 'tanda terima kasih' kepada pegawai akademik yang ada di kantor itu.

Nah, disinilah yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi. Seorang pegawai akademik yang akrab dengan saya bercerita bahwa pimpinan universitas tegas melarang dosen dan staf menerima pemberian dari mahasiswa. Terlebih lagi jika ada kaitannya dengan kegiatan akademik. Lagipula, itu agak diluar mainstream kultur mereka untuk menerima pemberian. Makanya, hampir semua pemberian-pmebrian itu disimpan saja di atas meja atau dipajang di kantor akademik. Tak ada yang dibawa pulang. Itulah mengapa meja utama itu tak pernah sepi dari makanan khas dari berbagai negara dan juga cokelat beraneka rasa. Siapa pun bisa menikmatinya. Ruangan kantor pun tak ubahnya seperti galeri. Beragam lukisan mini dan cenderamata khas asia menempel di dinding. Jangan tanya soal gantungan kunci, banyak macam dan jumlahnya.

Nah, di lain sisi, kawan-kawan dari Asia itu tentu tak pernah bermaksud untuk menyogok, atau apalah namanya. Paling tidak, begitu kata teman Cina saya yang turut memberi tanda terima kasih pada siang itu. Kalau toh memang niat awalnya untuk mempengaruhi keputusan akademik, itu sih sudah keterlaluan. Baginya, itu tak lebih dari tanda terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang selama ini mereka terima. Tidak memberikan hadiah, takutnya mereka akan dicap tak tahu terima kasih.

Repot juga pikirku. Pihak kampus tentu tak enak hati menolak pemberian-pemberian yang bejibun itu. Apalagi 65% mahasiswa asing di Inggris berasal dari Cina. Jumlah yang sangat signifikan bagi universitas-universitas disini yang sangat bergantung dari tuition fee mahasiswa asing. Tentu, ini terlepas dari faktor integritas dan kemerdekaan berakademik. Ini tak berarti pula meyederhanakan soal pendidikan dan kaitannya dengan kultur mahasiswa asing. Tapi ketika jumlah signifikan yang berbicara, perbedaan sekecil apapun tentu harus dihindari.

Dalam konteks yang lain, konon, tingkat kelulusan di Inggris bagi mahasiswa asing membuahkan simalakama bagi dosen-dosen di universitas. Jika tak diluluskan, dikhawatirkan ini akan berbuntut kepada jumlah pendaftar untuk tahun berikut. Jika diluluskan, tentu akan menurunkan kualitas yang telah lama dijaga. Pernah di koran nasional seorang profesor mengaku frustasi. Mahasiswa yang ia tahu betul tak bisa bercakap, meski untuk percakapan dasar sekalipun, tak pernah bersih dari plagiarism dari setiap assignment-nya, dan tak pernah dikasi lulus olehnya, tiba-tiba telah mendapat gelar master dari universitas. Baginya, ini adalah sebuah penghianatan dan saatnya untuk ditinjau ulang.

Kembali ke soal tanda terima kasih tadi, bagi saya pribadi itu memang sedikit bermasalah. Apalagi hadiah-hadiah itu diberikan saat nilai untuk disertasi belum resmi keluar. Betapapun itu dikilahkan sebagai sebuah tanda terima kasih, tetap saja etiketnya terasa ada yang aneh. Lalu, sampai kapan hadiah-hadiah yang diterima ditinggalkan begitu saja di atas meja?

Tarawih

Ini ramadhan ketiga saya di sini. Selama itu pula, saya harus mengakui tak pernah sekalipun ikut tarawaih berjamaah di masjid. Ada tiga alasan mengapa ini tejadi. Pertama, karena malas. Kedua, malas dan ketiga karena mesjidnya yang cukup jauh yang membuat saya malas lagi.

Atas dasar itulah, bersama beberapa kawan yang seiman (yang tak pernah ikut tarawihan di masjid) berikrar untuk bertarawih bersama. Hari pertama ramadhan menjadi pilihan, selepas pengajian ruitin masyarakat Indonesia di sini, kami berkumpul bersama.

Mesjid yang kami tuju adalah mesjid Pakistan. Persepsi kami selama ini terhadap mesjid ini adalah khutbah disampaikan dalam bahasa urdhu dan dalam jangka waktu yang lama. ”Wah, ini mesjid yang pas untuk menguji keimanan kita, paling tidak, puasa kan menuntut kesabaran”, begitu canda seorang kawan.

Sebenarnya pilihan lain bukannya tidak ada. Tapi ketika komunitas muslim di inggris dimayoritasi oleh mereka (Pakistan, India dan Bangladesh), pilihan lain itu menjadi tidak berarti. Yang membuat beda paling cuma jumlah rakaat dan enak tidaknya bacaan sang imam.

Singkat cerita, kami pun bertarwih. Oh yah, ternyata tidak ada ceramah sebelum tarawih. Entah karena tidak ada khatib, atau karena mereka memang tak perlu selalu diingatkan. Seperti kita di indonesia, dengan sederet ceramah, dan bahkan terkadang dilengkapi dengan segudang sambutan.

Setelah tarawih yang panjang, dalam perjalanan pulang, sang kawan tadi berkomentar lagi. ”Betul-betul kesabaran kita diuji malam ini. Tak hanya 23 rakaat, tapi cara mereka shalat pun berbeda dengan apa yang saya tahu.” Kawan lain menimpali, ”Itu artinya pengetahuan agamamu memang pas-pasan, ha..ha..”. Untung dua imam yang bergantian memimpin jamaah bacaanya enak didengar dan perlu. Paling tidak, itulah yang membuat betah meski semalam tarawih mereka menghabiskan bacaan dua juz.

Soal perbedaan melaksanakan tarawih ini, kemudian menjadi perbincangan panjang. Soal panjang bacaan, soal lama rukuk, juga soal qunut dan witir. ”Yang penting itu tidak berarti kalian akan berhenti pergi tarawih berjamaah”, kata kawan lain coba mem-bijak. Betul juga. Apalagi latar belakang budaya yang berbeda tentu saja melahirkan produk budaya yang berbeda. Perbedaan mazhab tentu berujung pada perbedaan eksekusi ibadah.

Lagipula, mengapa memaksa mereka, atau tepatnya berharap orang-orang Pakistan itu bersembahyang seperti sembahyangnya orang-orang di istiqlal juga tak elok. Tak boleh ada yang memonopoli kebenaran. Yang masalah jika kemudian ada yang sok berkuasa dan memaksakan kebenaran itu, dengan kekerasan, bahkan. Lagian, kita yang numpang shalat di mesjid mereka, kan?

Begitulah, namanya juga tarawih kesabaran.

Sunday, August 31, 2008

Selamat yang tak jelas

Saya tak tahu, masihkah ada gunanya menulis ucapan selamat puasa. Tak jelas betul ditujukan buat siapa. Saya sekali lagi tak tahu, masihkah ada gunanya menulis ucapan selamat. Inbox penuh dengan kutipan kata-kata mutiara dan religius, yang takutnya malah kehilangan arti...

Yang jelas cuma satu, yang empunya blog ini seklipun tak pernah kembali mengisi jatah halaman gratis dari blogger. Tapi mungkin ada saja yang dengan sadar atau celaka membaca halaman ini, maka untuk mereka ucapan selamat puasa tentu tak mengapa. Kalau tak puasa? Tak apa, tetap kita butuh puasa. Puasa dari segala yang tak baik.

Selamat puasa, semoga kita tak sekadar 'mendadak religius' di Ramadhan kali ini.

Sunday, June 29, 2008

Setelah Pesta Berakhir

Piala Eropa akhirnya kelar juga. Sebuah pesta sepakbola dengan banyak kejutan. Satau hal yang pasti, terima kasih karena Inggris akhirnya tidak lolos ke Swiss dan Austria. Entah bagaimana nasib perhelatan ini jika mereka turut serta. Gerrard sendiri mengakui, bahwa orang Inggris, media Inggris, serta komentatotr an politisinya selalu berbicara berlebihan akan diri mereka. "We talked ourselves up too much", begitu katanya ketika mereka ditekuk Jerman pada piala Eropa sebelumnya.

Saya menonton banyak acara olahraga selama di sini. Tak seperti di Indonesia, ketika sepakbola menjadi satu-satunya tontonan favorit. Ada rugby, golf, tennis, cricket, renang, atletik dan dart, yang ternyata juga menjadi bagian dari olahraga dunia. Terbukti, semua olahrag itu punya piala dunia masing-masing. Tapi tentu saja, cuma sepakbola yang menjadi tontonan paling menarik bagiku. Bahkan konser Coldplay di BBC Three tak cukup mencuri perhatianku untuk mengalihkan pandangan dari pertandingan perdelapan final di BBC one.

Kembali ke piala Eropa, tim jagoan saya Portugal tak berhasil mencapai puncak dengan generasi emasnya. Mereka toh tak bisa berkutik ketika dihadapkan pada tim dengan mental juara yang kental seperti Jerman. Tapi sekali lagi, tak mengapa. Saya akhirnya terhibur dengan Turki, yang semua orang seperti sepakat menjadikannya tim paling hebat. Mereka begitu mencintai apa yang mereka lakukan, hingga ungkapan klise bahwa pertandingan baru usai ketika peluit panjang berbunyi seperti mendapatkan momentumnya. Seorang kawan punya komentar sendiri mengenai tim Turki ini. "Andaikan Presiden Indonesia seperti Fatih Terim, tentu kita tidak butuh tentara untuk bicara soal negara. Andaikan pemuda Indonesia seperti para pemain Turki, kita tidak pernah merasa malu meskipun mungkin tidak juara", begitu katanya.

Tim paling sial siapa lagi jika bukan France. Mereka seperti sekumpulan hantu yang tak jelas ingin membuat tim lawan takut atau terbahak. Mereka perlu ganti generasi, dan yang tua, tak lagi mengambil jatah generasi baru.

Begitulah, pesta akbar itu telah berakhir. Kita yang hanya menyaksikan lewat layar tivi telah menjadi saksi betapa kameramen dan produser tivi telah membuat sebuah dunia baru bagi kita. Merekalah yang kemudian membangun cerita dan drama bagi kita. Tapi sekali lagi tak mengapa, toh mereka telah menghibur dan menemani waktu saya melewati petang dengan beragam drama. Setelah pesta ini usai, hidup harus kembali lagi. Tentu, tidak dengan meninggikan diri berlebihan seperti pesan Gerrard.

Sunday, June 22, 2008

Bohemian Manifesto

Banyak cara yang dipilih orang untuk mengekspresikan perasaan, entah itu sedih, gembira, marah atau tanpa rasa sekalipun. Saat larangan membawa minuman beralkohol di dalam tube (kereta bawah tanah) di London akan diberlakukan, malam sebelum larangan itu berlaku, hampir seluruh penumpang membawa kaleng bir atau botol vodka. Tak sedikit yang mengutuk larangan itu, namun yang biasa-biasa saja dan gembira bukannya tak banyak. Beberapa stasiun akhirnya ditutup. Tak perlu menjadi ahli kriminal untuk tahu sebabnya. Minuman keras dan kegaduhan, bedanya tak lebih dari tinggi kaleng bir.

Begitu juga saat tim Glasgow Rangers takluk dalam final piala Uefa. Kota Manchester seperti menjadi kota yang habis dijarah dan diporak-porandakan oleh suporter yang tak terima kekalahan tim mereka.

Nah, bagaimana dengan orang-orang yang memilih telanjang sebagai ekspresi perasaan mereka?

Siang itu, selepas dari Guild of student membeli kopi dan cemilan, saya melewati tower clock dan gedung pusat administrasi menuju library. Clock tower ini seperti Big Ben London modelnya, tapi dengan terowongan yang dapat dilalui kendaraan di bawahnya. Ia bangunan tunggal dengan tinggi menjulang yang terpisah dari gedung pusat administrasi, sebagai penanda dan khas kampus kami. Sejarah dan info lengkap, ada disini.

Beberapa meter dari clock tower, 6 orang mahasiswa berkumpul, dua diantaranya adalah wanita. Mereka seperti mendiskusikan sesuatu. Mereka berselonjor bebas di taman. Hal yang lumrah di tengah musim panas seperti ini. Bagi mereka (orang lokal), sengatan matahari adalah berkah. Tapi bagi mereka yang berasal dari kawasan tropik, itu adalah bencana. Bencana karena panasnya yang berbeda dan lebih terasa kering, dan juga bencana pada mata. Kok mata? Tak perlu penjelasan untuk pernyataan ini...

Kembali ke sekelompok mahasiswa itu. Tiba-tiba semua mereka berlari menuju clock tower. Dan tanpa komando, satu-satu mereka melepas pakaian. Literally, mereka melepas semua pakaian, dan tak menyisakan sehelai benang pun (maaf, ini mengingatkan saya pada "bacaan-bacaan nakal" saat sekolah dulu). Ekspresi wajah mereka tampak gembira, dan tak ada beban. Dengan sorak-sorai mereka berlari mengelilingi clock tower, seperti ingin memafhumkan semua orang bahwa mereka bisa.

Saya tak tahu apa alasan mereka. Apakah itu bagian dari kampanye dan protes atas kebijakan atau sekedar sebuah eskpresi kegembiraan, sebutlah sebagai exhibitionist belaka. Hari jumat kemarin memang adalah hari pengumuman untuk mahasiswa undergraduate. Mungkin mereka lulus, dan semua mereka pernah ber-nazar untuk melakukan itu. Entahlah..

Aksi mahasiswa-mahasiswa itu tak bertahan lama. Petugas keamanan segera menghampiri mereka dan sejurus kemudian mereka kembali "normal".

Tapi kenapa memilih ber-primitif ria? Sejarah memang banyak menunjukkan kepada kita bahwa tak berbusana adalah salah bentuk ekspresi paling berpengaruh. Setidaknya itu bisa disimpulkan dari banyaknya kampanye-kampanye civil society organizations. Kita masih ingat Agustus 2007 ketika Greenpeace mengumpulkan ratusan orang telanjang di sungai es Swiss. Cancer research di Inggris pernah juga melakukan kampanye penyadaran soal bahaya kanker, dengan dua volunteer rela tak berbusana di tengah kota sambil membagikan brosur dan aneka pesan. Semua itu ada maksud dan target yang jelas. Lain soal dengan cara mereka, yang bagi banyak orang tentu dianggap tak patut secara moral.

Saya jadi mikir, jangan-jangan saya terkucil dari pengetahuan bahwa menjadi bohemian dalam tataran tertentu, adalah cara terbaik memunculkan diri di permukaan, seperti mereka dengan aksi sekilas yang kemudian menjadi bahan perbincangan hampir semua orang di kampus. Ah, aneh-aneh saja...

Friday, June 20, 2008

DVD

"Hi mate, do you sell DVD?" Ditanya begitu saya jadi kaget. Saat antri di toilet mall di city center pagi tadi, seseorang tiba-tiba mendekatiku sambil mengucapkan pertanyaan tadi. Saya tentu saja jawab tak punya, sambil menekankan bahwa saya tak menjual kalau pun ada. Emang tampang saya kayak penjual DVD? Dan pasti, DVD yang ia maksud adalah DVD bajakan. Kalau yang ori, tentu ia tak perlu menghabiskan waktu di toilet umum sambil berharap ada penjaja DVD yang asli. Duh, jauh-jauh kesini saya tak perlulah jualan DVD untuk sekedar bertahan hidup, apalagi DVD bajakan dengan genre yang satu itu...

Bisnis ilegal ini memang marak di sini. Di tengah harga DVD original yang relatif mahal, teramat mahal bahkan. Untuk new release, kisaran harganya bisa 12 pound lebih. Yang paling murah, itu pun jika ada sale season, kisarannya 3-5 pound. Nah, dari cerita teman, pelanggan DVD bajakan, denga harga sale sekalipun, ia merasa masih kemahalan. DVD bajakan yang kebanyakan dari Cina dan India itulah jadi tumpuan. Murah, meriah dan membuat sumringah. Soal kualitas, jangan terlalu berharap. Tapi jika beruntung, kadang malah serasa menonton tipi dengan format H-D.

Nah, soal tampang penjualnya gimana, saya sendiri penasaran. Saya merasa tak begitu percaya diri memiliki tampang penjual DVD bajakan. Mungkin apa karena saya membawa tas ransel yang lumayan gede. Dari ukurannya, tas saya bisa memuat lebih dari 50 DVD, he..he..

Setelah menyelesaikan urusan toilet, saya lihat orang tadi masih ada di depan pintu masuk. Saya menghampirinya dan berkata, "Kalo ketemu teman saya, akan saya sampaikan bahwa ada yang cari DVD di sini. Asal kau mau bersabar menunggu".

Monday, June 09, 2008

Maen Bola Lagi yuk..

Lima tahun lalu, Carlos A Pareira, pelatih Brasil, negara penghasil banyak talenta bola sepak itu pernah berkata, masa depan formasi sepakbola adalah 4-6-0. Tidak akan ada lagi striker murni. Torres di Liverpool dan Adebayor di Arsenal mungkin akan kita temukan posisinya di tengah, saat line up tim diumumkan.

Tak ada yang pernah menyangka, teknologi dimanfaatkan sedemikian rupa untuk sepakbola. Tapi kini, wasit pun memakai perlengkapan komunikasi untuk bercakap denga sejawat di pinggir lapangan dan dua wasit pembantu di setiap sisi lapangan. Melihat mereka, seperti melihat Britney Spears dan Justin Timberlake yang memakai microphone lengket di pipi karena akan bergoyang pinggul di panggung sehingga mike statis tentu jadi tak pas.

Itu hanyalah sedikit contoh tentang radicalism yang melekat dalam perjalanan sejarah sepakbola. Tak semua upaya itu berujung pada kemaslahatan umat. Radikalisasi sepakbola dalam wujud bisnisnya telah mengubah permainan rakyat ini menjadi lebih tercabut dari akarnya (suporter) dan menjadi sebuah produk serupa minuman ringan berkarbonasi.

Tapi lupakanlah analisis mendalam tentang pengaruh korporasi itu dalam sepakbola. Seperti yang lain, tentu ini saat tepat untuk menikmati hidup, sejenak saja tak apa. Euro 2008 sudah dimulai. Prediksi Carlos di atas belum juga terwujud, dan syukurnya, kita masih bisa lihat aksi striker murni beradu taktik dan speed dengan pemain belakang lawan. Tapi soal gol, sepakbola modern tak lagi ramah dengan skor banyak. Begitu ramalan saya, yang tak perlu disimpan rapi dalam box dan dijaga oleh tim keamanan hanya untuk bikin sensasi tak lucu. Tak perlu jugalah ada pakar yang sok ngurus semua urusan negeri, dari urusan foto telanjang hingga lagu kebangsaan yang menanggapi tebakan saya.

Yunani, juara bertahan hanya mendapat sedikit peminat pada pasar taruhan William Hill di dekat rumah. Pemain-pemain Inggris pada menikmati liburan summer mereka, dan tim Jerman tampil lebih percaya diri kali ini. Soal juara? Saya berharap Portugal. Pertandingan pertama mereka sungguh nyaman ditonton. Meski Ronaldo masih sering show off dan menjengkelkan, tapi saya butuh juara baru. Ini sama kondisinya dengan kebosanan saya terhadap Man UTD, Liverpool, Arsenal yang merajai Premier League. Setara pula dengan keengganan untuk mensupport Inter-Milan, Roma, dan Juve untuk memungkasi Serie A liga Itali.

Euro 2008, who will you support?

Saturday, May 17, 2008

PSM Inc.

Walikota Makassar yang juga ketua umum PSM mengisyaratkan untuk mengubah PSM menjadi PT atau perseroan terbatas, (Tribun-timur online, 23/04/08). Ini isyarat yang membahagiakan sekaligus menyimpan kekhawatiran jika dilaksanakan ‘sekenanya’.

Setelah sekian lama dimanjakan dengan supply APBD, memang sudah seharusnya PSM dan klub-klub liga Indonesia lainnya berpikir untuk mandiri. Niatan untuk mandiri ini tidak hanya agar menjadi sebuah organisasi yang betul-betul professional namun juga karena subsidi dari APBD itu sendiri melanggar asas kepatutan dan menafikan kepentingan masyarakat yang jauh lebih penting. Selama ini, PSM memang hanya ‘seolah-olah’ professional.

Daftarnya bisa panjang jika kita ingin mengurai betapa tidak positifnya milyaran rupiah dana masyarakat di APBD yang telah dikeluarkan bertahun-tahun itu dipakai hanya untuk sebuah klub sepakbola.

13 miliar rupiah dana APBD Makassar dan 1 milliar APBD provinsi yang disuntikkan ke PSM untuk musim ini sekali lagi adalah bukti betapa skala prioritas tidak pernah menjadi frame dalam kebijakan publik. Alasan yang selalu didengungkan adalah bahwa PSM merupakan kebanggaan masyarakat Sul-sel dan sepakbola adalah olahraga paling menghibur masyarakat banyak. Sebuah alasan yang mencederai logika dan akal sehat di tengah kemiskinan, gizi buruk dan himpitan hidup berkepanjangan masyarakat. Apalagi yang namanya olahraga bukan hanya sepakbola dan PSM.

Tanggung jawab APBD terhadap olahraga adalah dalam konteks pembinaan, dan bukannya pengelolaan. Ini yang coba dicampur adukan oleh pengurus dan manajemen kebanyakan klub sepakbola di Indonesia. Pengelolaan (yang amburadul) selalu diklaim sebagai sebuah bagian dari pembinaan. Parahnya lagi, amburadul dan tidak profesionallnya klub-klub ini justru mengambil contoh dari PSSI sebagai induk organisasi.

Dan seperti sebuah keputusan yang dianggap wajar, secara otomatis kepala-kepala daerah yang dana APBD-nya digunakan sekaligus merangkap sebagai ketua umum klub sepakbola. Tak perlu belajar ilmu bisnis dan kepemimpinan untuk tahu bahwa dengan dua jabatan ini akhirnya malah tak ada yang optimal dijalankan. Konsekuensinya, dan ini yang lebih parah, klub-klub sepakbola ini secara langsung maupun tidak langsung dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik.

Lalu ketika keinginan untuk menjadikan PSM sebagai sebuah organisasi bisnis dilontarkan, kita harus mendukungnya. Ada beberapa alasan mengapa ini kemudian menjadi isyarat membahagiakan. Pertama, pengelolaan PSM selanjutnya akan lebih profesional. Tidak ada lagi tiket gratisan yang dibagikan kepada dinas-dinas atau jajaran pemda, hanya karena APBD digunakan oleh klub. Jika ini alasannya, bukankah yang lebih berhak mendapat tiket gratis adalah masyarakat yang notabene memiliki hak tertinggi dalam penggunaan APBD?

Kedua, tidak ada lagi orang-orang amatir yang sekedar mengambil manfaat dari PSM sebagai batu loncatan untuk pencapaian politis. Ketiga, proses pembinaan akan menjadi fokus utama, sebagai bagian dari pengembangan sumber daya. Keempat, profesionalisme yang diharapkan akan diikuti sikap transparan dan akuntabilitas sebagai prasayarat utama perusahaan terbuka. Ringkasnya, berubahnya PSM diharapkan akan turut menghapuskan budaya ”whateverism” yang selama ini lama menjagkiti.

Tantangan bukannya tidak ada. Klub sepakbola, meski telah menjadi entitas bisnis sekalipun memiliki target yang berbeda dengan perusahaan, sebagai misal. Prestasi mengkilat di laporan keuangan tak akan berarti apa-apa tanpa prestasi di lapangan.


Berbasis Suporter
Ada beberapa pilihan yang bisa jadi bahan pertimbangan. Jika mengacu kepada liga-liga profesional di negara-negara maju, menurut Allen (2006) pilihan itu bisa terbagi ke dalam empat bentuk dasar.

Pertama, kepemilikan berbasis suporter. FC Barcelona sebagai salah satu tim terbaik di Eropa adalah contoh untuk bentuk ini. Kedua, klub yang dimiliki oleh taipan, Chelsea kita tahu dimiliki oleh Roman Abramovich, salah seorang dalam deretan manusia terkaya sejagat. AC Milan juga bisa kita masukkan didalam kategori klub yang dimiliki oleh seorang milyuner dan politikus. Ketiga, klub yang berbasis pasar modal. Keempat, klub yang dimiliki oleh konsorsium, dengan saham yang tidak dijual bebas di pasar modal seperti Arsenal yang dimiliki konglomerat dari Inggris, Rusia maupun timur tengah.

Soal bagaimana bentuk yang pas bagi PSM, biarlah menjadi bahan bahasan tim manajemen saat ini. Tulisan ini hanya memberi masukan agar posisi suporter tak hanya sebagai penyorak dalam pertandingan. Mereka haruslah mendapat tempat dalam manajemen klub.

Pelibatan suporter ini tentu saja diandasi oleh semangat demokrasi. Demokratisasi seharusnya juga menjadi roh sepakbola. Semangat mutualisasi, jika boleh kita sebutnya seperti itu, haruslah menjadi jiwa dan roh dalam menjalankan PSM. Mutual berarti kepemilikan bersama, yang tentu saja berbeda dengan perusahaan. Mutual berarti dimiliki oleh suporter (costumer) sedangkan perusahaan dimiliki oleh pemegang saham (shareholder).

Karena berbasis suporter seperti inilah maka klub akan terhindarkan dari upaya menjadikannya sebagai sapi perah dengan keuntungan berlimpah. Suporter dapat mendesakkan berbagai upaya. Upaya-upaya yang bisa dilakukan diantaranya adalah menentukan batasan maksimum jumlah deviden yang dibayarkan kepada pemilik saham, keterlibatan suporter dalam menentukan kebijakan yang sifatnya strategis seperti harga tiket masuk yang lebih terjangkau namun tidak merugikan posisi keuangan klub. Ringkasnya, keterlibatan suporter menjamin terlaksananya good club governance yang menekankan trasparansi dan akuntabilitas.
Mengubah PSM menjadi sebuah perseroan terbatas adalah upaya mulia yang perlu didukung. Namun tentu saja, dibutuhkan pembahasan lebih jauh dan kebesaran hati untuk tidak sekedar menjadikan bisnis sebagai nakoda utama perjalanan proses ini.

Jika bisnis yang menjadi tujuan utama, berarti kita harus bersiap kehilangan pertandingan indah dan hiburan menyegarkan. Seperti yang pernah dikatakan Aime Jacquet, mantan pelatih kesebelasan Perancis. Menurutnya, jika sisi bisnis pertandingan sepakbola menjadi lebih penting ketimbang pertandingan itu sendiri, maka sebernanya sepakbola tidak lagi eksis. Bersiapkah kita?

Sunday, May 11, 2008

Dari Surga

Masih soal bayi, tepatnya Rafi. Banyak sekali yang bisa dicerita soal dia, maklum namanya juga masih dalam sindrom first baby excitement. Umurnya sudah seminggu, dan sekarang beratnya sudah bertambah 200 gram sejak pertama ia lahir. Kata tetangga saya, ia akan tumbuh menjadi besar, lebih dari bapak dan ibunya. Tentu saja, dan semoga saja, begitulah harapan kami. Selain kuat makan, ia juga kuat nangis. Sejurus dengan kuat makannya, kuat pula ia untuk urusan buang hajat.

Tak terbayang rasanya bagaimana mengurus dia jika hanya mengandalkan tenaga kami berdua. Apalagi saya harus membagi pikiran untuk mempersiapkan diri menghadapi final exams. Untunglah, kami memiliki keluarga se-flat dan juga tetangga yang sangat baik hati. Kepada mereka kami berharap ada jeda waktu untuk sekedar istirahat dan melakukan hal-hal lain. Sang tetangga ini saban pagi mampir ke flat, sekedar berbagi kabar dengan Rafi. Seperti cucu sendiri, setiap hari dibelinya pakaian atau mainan untuk si kecil. "Saya tak bisa menahan diri untuk tak membelikan sesuatu buat Rafi", begitu alasannya.

Kepada mereka juga saya dan istri banyak belajar. Hal-hal kecil namun berarti serupa cara memandikan bayi, mengganti nappies, breast feeding, dan lain-lain. Untuk urusan beajar ini, kami memang sudah sejak lama berusaha cari info seputar kehamilan dan bayi. Informasi dari situs-situs di internet menjadi tambahan pengetahuan bagi kami.

Ngomong-ngomong soal pengetahuan baru, kemarin saat belajar di salah satu library di kampus, saya kemudian tertarik pada satu rak besar di samping rak buku-buku bisnis. Rak itu isinya semua tentang anak. Banyak buku-buku menarik di sana. Ada "Children are from heaven", "Parenting skills", serta buku-buku ber-genre "how to" lainnya. Saya sangat tertarik dan merasa ini penting untuk dibaca. Mungkin setelah ujian kelar, buku-buku itu harus juga masuk dalam library list.

Satu lagi yang menjadi perhatian saya selama proses hamil dan bersalinnya istri saya. Keterlibatan laki-laki, entah itu sebagai suami atau sekedar pasangan (disini, tak keren tuh menyebut suami sebagai husband, my partner, begitu kebanyakan yang berlaku sama untuk istri). Mulai dari hal kecil seperti menciptakan suasana yang positif hingga membantu proses persalinan. Saya juga dilibatkan dalam parenting class saat di rumah sakit. Ringkasnya, sosok lelaki dan pasangan disini tak lagi sekedar sosok cemas yang mondar-mandir di depan pintu sambil terus berharap mendengar tangis bayi dari dalam ruangan. Setelah bayinya lahir, senang seketika. urusan menjaga dan membereskan popok bayi menjadi urusan ibu dan neneknya.

Terlepas bahwa isu kesetaraan gender dan feminisme yang masih menjadi perdebatan dan tetap saja masih ada yang coba memperdebatkannya, tapi menurut saya kesadaran seperti ini harus juga disebarkan. Ini tidak kemudian masuk pada wilayah perdebatan ideologis dengan bahasa-bahasa sulit itu, tapi sekedar sebagai sebuah wacana job description semata. Ini juga tidak berarti bahwa peranan lelaki selama ini hanya melulu menanti hasil. Yang pasti, ini adalah sebuah proses untuk lebih menghargai anak dan masa depannya.

Untuk yang seperti ini, tak perlulah menunggu fatwa MUI untuk sekedar mencari tahu bahwa ada tugas lelaki juga disana. Apalagi MUI sekarang lebih senang ngurusin aliran sesat dan memancing kemarahan ketimbang membantu umat keluar dari perangkap kemiskinan dan pengaruh sinetron jahat.

Sebagai seorang yang lahir dari lingkungan yang sangat "lelaki", tentu saya tak bisa begitu saja menganggap ini sebagai sesuatu yang mudah. Apalagi ego sebagai kepala rumah tangga juga tak pupus dari pandangan sempit dan dangkal. Tapi namanya juga usaha dan belajar. Ada naik turunnya, ada juga lebar sempitnya.

Lelaki katanya dari Mars, dan Venus adalah tempat asal wanita. Tapi anak-anak adalah makhluk surga, yang harus dijaga oleh lelaki dari mars dan wanita dari venus.

Saturday, May 03, 2008

2 Mei

Birmingham Women Hospital, pukul 23.59, Junior, biasa kami memanggilnya, lahir juga. Sekarang ia sudah punya nama (ia minta untuk dirahasiakan dulu sampai ibunya pulih benar). 3,5 Kg dia punya berat. 50,5 cm panjangnya. What a relief..

Sunday, April 20, 2008

Apa kata bintang

Sore tadi saya bersama istri menyaksikan sebuah acara kuis di tipi. Namanya All star Mr and Mrs, seperti judul film yang dibintangi oleh seseorang yang mirip saya, Brad Pitt dan seorang lain yang tak mirip saya, Jolie, sang istri. Ini kuis yang katanya menguji pengetahuan seseorang terhadap pasangannya. Pertanyaan mulai dari yang ’ringan’ serupa apa makanan favorit pasangan, warna pakaian paling disukai hingga toko kelontongan mana tempat pasangan sering berbelanja.

Edisi ini ada tiga pasangan yang diuji sejauh mana mereka sudah berbagi cerita dan ke-favorit-an. Mereka semua (katanya) selebriti atau mantan selebriti. Tak ada yang saya kenal. Tapi bukan itu yang penting.

Dalam sesi final, tinggal sepasang yang tersisa. ketika muncul pertanyaan apa zodiak pasangan Anda? Bapak tua yang ditanya kelihatan bingung dan mencoba menebak. Telihat dia sedang berusaha menghafal bintang-bintang versi tabloid dan koran itu. ”Taurus” dan ternyata jawaban itu benar. Itu pulalah yang disampaikan sang istri saat suaminya di karantina dalam ruang kecil tembus pandang dengan mata ditutup dan telinga disumbat. Ah, saya jadi ingat sebuah kuis serupa yang pernah ada di tipi indonesia. Saya lupa namanya, tapi kadar kemiripannya tinggi saya pikir.

Nah, istri saya tiba-tiba bertanya ”Apa coba zodiak saya?”. Ditanya seperti itu saya jadi bingung. Saya cuma tahu tanggal dan tahun lahirnya. Soal bintang, zodiak atau apa pun itu namanya, saya tak pernah menaruh minat luar biasa. 1 juli itu masuk taurus, neptunus atau sagitarius, saya jujur tak tahu. Istri saya tak begitu saja terima jawaban sekenanya dari saya. ”ini soal perhatian atau tidak”.

Waduh, soal bintang ini membawa kita kepada soal perhatian atau tidak. Tapi apakah zodiak ini sebenarnya? Saya penasaran aja kenapa ia menjadi sesuatu yang diburu dan selalu dicari. Ia bahkan bisa menjadi halaman perdana yang dibuka pembaca saat membeli majalah atau koran.

Saya tahu soal ini sebab saya pernah kerja di sebuah koran lokal dan ’mengasuh’ rubrik zodiak. Tapi tunggu dulu, pernah mengasuh rubrik zodiak tapi tak tahu kalo 1 juli itu masuk zodiak apa, sungguh sebuah keterlaluan yang luar biasa, kan? Iya, itu memang keterlaluan, tapi dude, bukankah tadi sudah kusampaikan saya tak menaruh minat luar biasa untuk urusan yang satu ini? Meski saya tahu bahwa zodiak ini adalah semua razi bintang di sepanjang garis imajiner di atas langit, tapi masa iya ini menjadi penentu berhasil atau berjodoh tidaknya seseorang. Itulah mengapa saya tak hapal siapa aja yang masuk di kelompok sagitarius maupun ta(k)urus.

Dalam mengolah rubrik ini, saya punya semacam template, yang biasa kugunakan sebagai bahan dasar siap olah. Setiap hari template ini terdiri dari penjelasan mengenai tiap-tiap bintang beserta ’bumbu’nya. ’Rezeki hari ini’, ’jodoh’, ’keuangan’, tiga item ini rasanya jadi favorit banyak orang. Saya kemudian mengolahnya dan ditambahi sekedarnya. Karena frekeuensinya yang harian, saya kemudian mengambil jalan pintas untuk mempertahankan rubrik ini.

Alih-alih mencari template baru untuk bahasan bintang terbaru, saya kemudian dengan kreatifnya menukar atau mengganti penjelasan taurus, misalnya, menjadi penjelasan aries. Begitu pula sebaliknya, meski dengan sedikit perubahan yang tidak begitu berarti. Saking malasnya, kadang malah penjelasan ini sama setiap hari, meski nama bintangnya beda. Bagi mereka yang tiap hari memelototi rubrik ini, pasti mereka berterima kasih, bahwa ramaan bintang mereka tetap baik-baik saja. Tak tega rasanya menulis bahwa hari ini keuangan anda terganggu. Pun sama tak seudinya membuat orang sedih hanya gara-gara ramalan bintangnya berbicara tentang kesulitan mendapatkan pasangan.

Begitulah, zodiak ini telah menjadi penyelaras hidup banyak orang di tengah beragam himpitan. Meski jelas-jelas harga minyak masih tinggi, harga sembako yang naik, serta politikus bangsa yang makin lama makin busuk, kita masih bisa bersenyum ria karena kata ramalan bintang akan ada kejutan kuangan minggu ini. Apa kata ramalan bintang Anda?

Saturday, April 05, 2008

Lelucon

Entah mengapa pejabat-pejabat sekarang suka membuat lelucon yang tidak-tidak. Setelah hampir semua orang penting menonton film ayat-ayat lelaki, ups.. ayat-ayat cinta, sekarang giliran cd dan rok yang akan digembok. Atas nama penghindaran terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, begitu salah satu alasan yang muncul. Lelucon terbaru, youtube akan dilarang di Indonesia setelah situs itu menayangkan film Fitna. Ah, selalu saja cara sederhana dan tidak cerdas ini yang dikedepankan.

Mungkin sekarang ada yang telah menemukan formula baru tentang hubungan lelucon dan harga minyak goreng yang makin dikeluhkan ibu saya. Makanya, mereka rame-rame membuat lelucon serupa Aming dan Komeng. Berhasilkah? Luapan lumpur yang makin meluas, antrian orang-orang di pom bensin, serta makin tingginya tingkat pengangguran mungkin bisa menjadi jawabnya. Setidaknya kita tak perlu bertanya kepada rumput yang tak lagi bergoyang..

Tuesday, March 25, 2008

Pemandangan

Alhamdulillah acara barbeque party kemarin lancar, meski ramalan BBC menyatakan bahwa hari itu akan hujan bercampur salju. Meski tak percaya, tiba-tiba saya merindukan sosok pawang hujan, kalo perlu cari pawang salju. Tapi untunglah, kali ini weather forecast BBC sedikit melenceng. Walau sempat turun salju selama satu menit (iya, cuma semenit), setelah itu cerah kembali mewarnai langit.

Bersama student dan masyarakat Indonesia lainnya yang ada di Birmingham, kami bakar-bakar sate ayam, ikan dan kambing. Lumayanlah, untuk sekedar mengobati kenangan terhadap makanan-makanan indo yang sejak lama tak tersantapi. Pengalaman soal makanan indo ini juga yang menjadi pengalaman saat mengawal kehamilan istri. Mulai dari sekedar jagung bakar, coto, hingga putu cangkiri, kue khas daerah yang memang menggoda selera itu.

Kembali ke acara BBQ, bagian yang paling seru tak lain adalah sesi untuk anak-anak. Lomba mewarnai dan menggambar, ini yang paling layak dilaksanakan, takut jika mereka terlalu banyak di luar ruangan dengan udara dingin yang cukup menusuk. Yang menarik, tak ada satupun gambar mereka yang khas gambar anak-anak Indonesia, meski mereka semua masih orang Indonesia asli dan paling tidak pernah ke Indonesia. Khas? yah, saya ingat ketika kecil kami (ah, yang benar, saya) selalu menggambar dengan pola yang hampir seragam, gunung dengan matahari di tengahnya, burung-burung yang menggambarnya cukup dengan menulis huruf 'W' dengan terbalik. Ada juga sawah dan sepetak jalan di tengahnya. Jalannya ini bisa berliuk kadang juga lurus menuju ke tepi gunung. Sesekali saya tak lupa memberi tiang listrik di tepi jalan dan garis terputus-putus pada bagian tengah jalan. Bu guru mengkategorikan gambar ini dalam klasifikasi gambar pemandangan.

Nah, gambar anak-anak siang itu lebih didominasi oleh gambar robot dan boneka-bonekaan. Instruksi kepada mereka memang menggambar dengan tema bebas. Meski begitu, saya berharap ada yang menggambar pemandangan. Tapi yah, robot dan boneka panda yang muncul. Saya lalu menyebutnya realis dan futuristik, ini mungkin cara aman dan "seenaknya" untuk mendefinisikan gambar-gambar itu. Realis karena begitulah, tak ada sawah dan gunung yang mereka saksikan disini. Tak ada tiang listrik, juga tak ada pohon pisang. Futuris, robot itu yang menjadi bahan tunjuk. Benar-benar seenaknya dan sekenanya, kan?

Membandingkan jaman saya dengan jaman mereka tentu tak patut. Sekarang saja, saya tak yakin jika anak-anak Indonesia masih menggambar pemandangan seperti pola seragam yang saya miliki. Apalagi memang tak ada lagi sawah dan gunung yang bisa digambar. Kalau tak tertutup lumpur dan banjir, pasti sudah berubah menjadi ruko atau mall. Tiang-tiang listrik sudah tak ada, berganti menara seluler perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang tak berhenti membodoh-bodohi konsumennya.

Saya lalu berpikir untuk menggambar lagi "pemandangan" seperti tahun-tahun pertama saya di taman kanak-kanak. Tapi kali ini saya akan menambahnya dengan robot dan boneka panda yang asyik menikmati buah pisang di tepi sawah yag letaknya tak jauh dari lereng gunung.

Benar-benar (un)realistic dan futuristik...

Wednesday, March 19, 2008

Hak

Apa yang akan Anda lakukan jika menemukan blackberry 8100?

Kemarin, saat membunuh waktu menanti jadwal kereta yang masih sejam lagi, saya bersama seorang kawan bersepakat ke toko buku. Di lantai 2 tempat buku-buku second hand dijajakan, saya menemukan blackberry 8100. Handphone pintar ini tergolek di dekat deretan buku-buku musik.

Kami pun memutuskan untuk menunggu setengah jam sampai pemilik handphone ini menyadari bahwa barang berharga miliknya ini terlupa. Sambil menunggu, pikiran saya dipenuhi oleh saran-saran bejat dan bijak. Berhalo-halo dan mengecek email dengan blackberry, tentu luar biasa gayanya. Apalagi tak harus keluar duit hingga ratusan pound untuk memilikinya.

Tapi sisi lain pikiran mengingatkan petuah lama, bahwa mengambil barang yang bukan hak adalah tercela. Bersiap pulalah untuk kehilangan yang lebih besar kelak. Perasaan senada ternyata dirasakan juga oleh kawan saya itu. Baginya, blakcberry ini adalah pengganti untuk handphone butut miliknya, yang kadang membuat iba orang yang melihatnya.

Ah, ternyata tak cukup waktu untuk bijak dan bejat ini berdiskusi. Kami pun memutuskan untuk menyerahkan ke kasir barang panas ini. Sambil berterima kasih, sang kasir berujar kaget bahwa kami mau mengembalikan barang sebagus blackberry ini.

Dalam perjalanan menuju stasiun, saya berkata kepada kawan, kita memang tak jadi mengambil blackberry ini, tapi itu tak berarti kebajikan telah memenangkan pertarungan. Mungkin soal kami tak tahu menggunakannya saja yang membuat cemas. Syukurlah, ternyata kami masih pandai menghibur diri..

Thursday, March 13, 2008

Presiden


Harry si "Viking" itu memang akhirnya tidak terpilih dalam pemilihan president guild of student. Tapi dari seluruh kandidat, ia yang paling banyak dibicarakan. Atas nama inovasi, ia kemudian berjanji untuk menjadikan minuman di guild dijual lebih murah.

Begitulah, sesuatu yang sederhana kadang malah lebih memikat, meski tak melulu keluar sebagai kampiun. Tak seperti kebanyakan kampanye yang selalu mengajak kita bermimpi ke awan tanpa pernah sadar bahwa kaki haruslah tetap bepijak di bumi. Sesuatu yang besar-besar selalu menjadi perhatian utama, tanpa sadar bahwa yang besar itu berbangun dari hal yang kecil.

Bush pernah berjanji untuk menciptakan kedamaian di muka bumi ini. Brown tak luput pula untuk memberantas korupsi dan terorisme sekaligus. SBY tak kurang janjinya untuk menuntaskan kemiskinan. Hasilnya? Si presiden Amerika itu masih terus memelihara hobinya untuk berperang, meski masa jabatannya sebentar lagi paripurna. Pengganti Tony Blair kebakaran jenggot ketika partainya ternayata bermasalah dengan kasus suap dan korupsi. Yang terakhir, mantan tentara itu ternyata asyik saja bersafari kemana-mana ketika ada rakyatnya yang kebanjiran air dan lumpur.

Harry, andai saja engkau menang dan jadi presiden...

Tuesday, March 11, 2008

Analisa Tak Bermutu

Kegagalan tim Indonesia dalam All England kali ini sudah kami duga sebenarnya. Seperti tahun lalu, tak banyak dari kami yang membeli tiket pertandingan untuk partai Final. Bukannya tak optimis, tapi berdasar fakta dan sedikit pemikiran ekonomis, akhirnya kami hanya memfokuskan menonton pada partai perempat final belaka. Ini dengan asumsi yang valid, bahwa level inilah langkah terjauh kebanyakan pemain Indonesia di segala nomor. Asumsi kami tak salah, meski ada yang meleset, bahkan nomor ganda campuran tembus hingga Final. Jujur, saya berharap bahwa tebakan kami salah, dan akhirnya ada pemain Indonesia yang berhasil keluar sebagai juara setelah lama negeri ini paceklik gelar di bulutangkis, cabang olahrag yang menjadi andalan, dulunya.

Suporter Indonesia tahun ini lebih banyak ketimbang tahun lalu. Meski jika dibandingkan dengan suporter Malaysia, Korea atau Denmark, jumlah kita masih seiprit. Jangan pula dibandingkan dengan suporter Cina dan tuan rumah England. Meski begitu, ribut dan sorak-sorai tetap saja bikin suasana hidup. Bahkan sempat tribun tempat kami berkumpul didatangi security, yang entah dengan alasan apa. Mungkin ada yang gatal tangannya memakai kamera yang jelas-jelas sudah dilarang untuk menghargai license.

Banyak konspirasi yang kemudian timbul dari saya, dan juga teman-teman penonton lainnya, yang dari Indonesia tentu. Kritik terbesar saya adalah bahwa tidak ada semangat juang luar biasa dari mereka. Begitu gampang menyerah dan mungkin juga malah meng-under estimated lawan. Ada pula yang menyatakan bahwa ini taktik lama tim Indonesia aja. Kalah di Birmingham agar lawan menganggap enteng saat piala Thomas dan Uber Cup Mei mendatang di Jakarta. Jika itu benar, saya tak tahu apa taktik ini masuk akal atau malah mencederai logika di tengah minim gelar tim Indonesia di ajang All England sejak beberapa tahun terakhir. Soal gaya hidup tak lepas juga dari perbincangan kami.

Bagaimana bisa mencapai gelar tertinggi jika asupan gizi tidak menjadi perhatian serius. Saya tak tahu apa ini memang pembiaran atau memang tidak ada upaya untuk sekedar memperhatikan faktor satu ini. Di tengah modernisasi dunia olahraga dan juga sistem olah tubuh, gizi tentu menjadi faktor yang tidak bisa dianggap enteng. Sepakbola menjadi contoh bagaimana asupan gizi pemain menjadi faktor kunci keberhasilan tim. Tak hanya dalam hal hasil akhir pertandingan, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang tim.

Sulit rasanya membayangkan atlet akan maksimal prestasinya dengan hanya mengkonsumsi indomie dan juga junk food lainnya. Soal selera mungkin tak banyak cocok dengan makanan disini, tapi membiarkan atlet makan makanan seperti ini sebelum bertanding dan saat bertanding, tentu ada yang salah dengan pengurus olahraga ini. Saya sempat mampir di beberapa kamar atlet di hotel tempat mereka nginap, dan indomie seperti barang wajib sebagai bekal. Indonesia bukan sekali ini ikut All England, dan kunjungan mereka ke Birmingham bukanlah kali pertama. Singkatnya, ada yang "lupa" belajar dari pengalaman.

Hal yang lain lagi, masih dalam lingkup gaya hidup sebagai sorotan. Belum juga pertandingan dimulai, hal yang paling dicari oleh mayoritas atlet Indonesia adalah tempat hiburan dan belanja. Saya tentu bisa saja terjebak pada sikap generalisasi yang berlebihan, apalagi memang ada juga atlet yang tampil seperti atlet yang ”seharusnya”. Atlet baik ini terpaksa saya ”tenggelamkan” untuk menggambarkan keadaan lainnya. Belanja dan hiburan, satu sisi ini tak luar biasa amat, apalagi jika mengunjungi tempat baru. Tapi tujuan mereka kesini kan bertanding, bukan berpelesir dan sekadar study tour. Jika pertandingan kelar dan masih ada waktu, you’re more than welcome. Apalagi jika mereka kemudian berhasil menjadi kampiun. Tapi, dengan segala hormat terhadap latihan mereka dan juga kerja pelatih, berbelanja dini tentu saja bisa memecah konsentrasi.

Setelah pertandingan, memang akhirnya mereka semua berbelanja. Saya tak sempat menemani mereka, cuma dari cerita-cerita teman-teman, belanjaan mereka sudah seperti kalangan jet set Inggris yang tak ada beban untuk menghabiskan lebih dari 60 pound uang untuk sekedar alas kaki. Tak berhenti sampai disitu, produk fashion dan garmen lainnya juga menjadi incaran. Sadar merek juga mereka rupanya. Apalagi status atlet terkenal tentu mengharuskan mereka untuk tampil berbeda dan tentu saja bergaya.

Sekali lagi, saya tak ada urusan dengan gaya hidup dan belanja. Sebulan yang lalu saya juga diminta menemani pengusaha Indonesia yang datang ke Birmingham untuk mengikuti pameran. Selain minta dicarikan tempat makan yang menyediakan nasi, belanja parfum yang harganya diluar akal sehat anak-anak penerima beasiswa, rombongan ini juga minta dicarikan tempat striptease. Parahnya, yang dicari tempat striptease dengan penari berkulit hitam. Selain rasis, permintaan itu memang sudah keliru sejak awalnya.

Kembali ke pemain Indonesia, tak sekedar belanja, casino juga menjadi tujuan menghibur diri. Mungkin sebagai pelarian dari kekalahan. Tapi toh, tetap saja ada yang tak sreg. Dimana letak ketidak sreg an itu? Tahun lalu, menpora berjanji untuk menganggarkan 20-25 milyar rupiah untuk PBSI sendiri. Entah segitu jumlah pastinya di APBN atau tidak, yang jelas duit rakyat jelas terpakai untuk mengirim mereka ke sini. Memang, sebagian atlet ada yang memang kaya, khususnya atlet senior dan bintang iklan produk seperti Yonex. Apalagi jika pernah menjadi juara di turnamen seri dunia. Menghabiskan duit tak ada salahnya buat mereka. Tapi Ronaldo, Kaka, dan Beckham, tidak langsung berfoya-foya begitu rupa setelah mereka terkenal. Mereka tetap latihan keras dan tetap sedih jika tak juara. Yang lebih parah, tak hanya pemain, pengurus pun ada juga yang ber-casino ria di tengah kekalahan ini.

”Habis-habisin duit rakyat aja”, begitu kata salah seorang teman. Apalagi ada informasi bahwa uang saku mereka selama seminggu disini masih jauh lebih besar dari beasiswa yang kami terima untuk hidup sebulan. Sekali lagi, ini terlepas apakah mereka diberi performance fee atau duit lain dari sponsor. Kekalahan mereka itu sakit dan menyedihkan bagi kami, penonton yang haus gelar. Tapi menghabiskan duit rakyat tentu jauh lebih menyakitkan. Tentu, tak ada permintaan untuk meratapi kekalahan dan kemudian hanyut di dalamnya. Tapi mbok yah, saatnya introspeksi dan mencoba memperbaiki kelemahan. Jika memang rasa ”nyaman” untuk lupa belajar pada pengalaman ini sulit untuk dihilangkan, maka tidak ada pilihan lagi selain sabar. Ah, kalo ini, kata ustad surga balasannya...

NB: Diberi judul sekenanya, juga takut apa ini sekedar curhat karena sirik...

Sunday, March 02, 2008

Sejenak

Ujian akhir term pertama telah selesai. Lega sekali rasanya. Untuk merayakannya, teman-teman pun mengajak ke Gun Barrel, pub langganan kami yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah. Pub ini sudah seperti library aja rasanya. Tak jarang diskusi kelompok kami dilaksanakan disini. Jika penat, ada dua meja bilyar dan beberapa Xbox yang siap menghibur. Bagi yang percaya keberuntungan, ada dua fruit machine di pojok ruangan. Meski namanya menyegarkan dan menjanjikan kebugaran, fruit machine tak lebih dari mesin poker lainnya. Dengan model satu pound, berharaplah dapat jackpot.

Kembali soal ajakan teman, tak enak rasanya menolak, apalagi sudah terdesak. Baiklah, kataku, tapi tak boleh lama sebab tidur panjang telah terjadwal dengan rapi. Masih ada pula daftar panjang film yang harus segera ditonton, hasil download-an istri tersayang.

Saya memesan segelas coke serta fish and chips, pesanan favorit saya. Bukan favorit benar sesungguhnya, sebab utamanya karena tak ada menu lain yang “bisa” saya pesan selain dua itu. Pub ini memang sedia burger, pizza dan aneka makanan lainnya. Namun, sepengetahuan saya, cuma ikan yang tak meragukan kehalalannya untuk dimakan. Apalagi tidak ada sign halal di depan pub.

Oh yah, kelompok saya ini terdiri dari lima orang dengan beragam latar belakang. Saya seorang dari Indonesia, empat lainnya berasal dari Jordania, Inggris, Canada dan Rusia. Mereka selau tahu bahwa saya tak bisa menikmati carlsberg, heineken, stella artois atau cobra, minuman favorit mereka. Tapi terakhir, mereka sedikit ”protes”, kok Muhammad, si Jordania itu bisa dengan senang hati menuntaskan dua pint stella artois sementara saya tetap tak tahan untuk mencium baunya sekalipun. Mereka seperti meragukan alasan sebagai muslim untuk tidak minum bir yang sering saya lontarkan.

Saya katakan pada mereka, saya ini bukan seorang yang alim dan belum pula menjadi muslim yang baik. Sangat jauh rasanya untuk sampai tahap seperti itu. Saya katakan saja bahwa saya memang tidak bisa, dan tidak bisa. Kalau toh Muhammad memilih untuk minum, itu pilihannya. Penjelasan seperti ini tentu tak cukup, dan jauh dari memadai. Tapi itu penting ketimbang menjawab yang berakibat pertanyaan baru bermunculan.

Muhammad sendiri yang jadi bahan perbincangan hanya tersenyum. ”Hey, u know, the future belongs not to the East or the West but to those who are trans-culturally competent”, begitu jawabnya sambil terbahak dengan sangat. Kami pun ikut terbahak. Ah, rupanya ia masih ingat module knowledge management kemarin. Apa yang ia katakan persis sama dengan apa yang ditekankan oleh Trompenaars, seorang konsultan bisnis internasional dalam bukunya Riding the waves of culture.

Saya lalu tanya, apa kaitannya itu dengan minum bir? ”Ini bagian dari upaya saya untuk lebih membaur dan tidak membatasi diri terhadap nilai dan culture yang berbeda”. Sebagai seorang entrepreneur, ini tentu modal besar menuju kesuksesan, begitu ia percaya. Saya sebenarnya ingin protes, kurang sreg dengan jawabannya, dan menganggap analogi yang ia paparkan itu tidak menyentuh hal yang esensi dari kalimat diatas. Trans-culturally tak berarti memperbandingkan jeruk dan tiang listrik. Apa yang disampaikan Muhammad sebenarnya adalah respon terhadap tesis Huntington tentang pertentangan peradaban yang salah satunya bakal timbul antara timur dan barat.

Tapi sudahlah, ujian final term sudah cukup menguras isi kepala. Saatnya untuk sejenak menikmati “libur”. Mungkin bisa pula dipake untuk mengisi blog ini yang makin jarang kukunjungi...

Saturday, February 09, 2008

Tahun Baru (lagi)

Semalam saya menghadiri sebuah perayaan tahun yang baru atas undangan Singapore society di Birmingham. Acara berlangsung di China town, di sebuah restoran China yang katanya sih salah satu yang terbaik di UK. Tahun baru Cina, ini tahun baru ketiga dalam dua bulan tahun terakhir.

The year of rat, tahun tikus yang penuh keberuntungan, begitu kata tuan rumah. Perjamuan luar biasa, dengan sepuluh macam hidangan. Tak semua tentu yang bisa saya santap, sekedar salmon, udang goreng dan oseng sayur. Selebihnya, meski menggoda selera, tetap tak bisa.
Setiap sajian punya makna tersendiri. Ikan misalnya, menggambarkan kebersamaan dan rezeki yang berlimpah-limpah. Yang lain? Maaf, tak semua berhasil masuk memori saya. Yang pasti, semua menuju satu muara, keberlimpahan rezeki dan kemakmuran. Apa ini yang kemudian membuat Cina, menjadi sebuah negara yang luar biasa saat ini?

Kalau ada yang kurang dari acara semalam, hanyalah iringan musik yang menyertai perjamuan. Menjadi aneh rasanya bertahun baru Cina dengan iringan Rihanna dengan Umbrellanya dan juga Take That. Atau ini yang namanya globalisasi?

Monday, January 21, 2008

Penonton Setia

Kaget juga saya ketika cek di BBC 3 hari ini ada highlight piala Afrika 2008. Luar biasa betul piala Afrika yang dilaksanakan di Ghana ini, rupanya. Belum lama rasanya piala Asia berlangsung, tapi berita tentang hajatan besar bangsa Asia ini tak semeriah warna-warni piala Afrika. Yang teringat jelas terliput oleh media Inggris saat itu hanya Irak yang berhasil keluar sebagai juara di tengah morat-marit kehidupan bangsanya. Selebihnya, tak ada yang luar biasa dalam hal liputan dan pewartaan.

Piala Afrika memang berbeda. Selain karena banyak pemain dari benua ini yang merumput di Inggris, kualitas mereka pun tak setara dengan benua coklat, Asia, yang masih dianggap dunia ketiga dalam sepakbola. Meski ini terus diperdebatkan dan coba digugat, termasuk dengan menyentuh lapisan ideologis dari perspektif globalisasi, tetap saja, kita harus akui ketimpangan kelas ini. Akhirnya, tak hanya highlight, siaran langsung hampir seluruh pertandingan piala asia pun disaksikan gratis di Inggris.

Memang ada banyak muka Asia di English Premier League (EPL), dan mereka tak hanya di klub-klub gurem lagi kecil. Tapi kelas mereka hanya kelas pelengkap, kalau tak ingin menyebutnya sebagai pemain cadangan sepanjang musim. Kalau toh ada yang muncul di permukaan, jumlah mereka tak perlu memakai kalkulator untuk menghitungnya. Beda jauh dengan pemain Afrika, yang hampir menjadi pemain kunci dan sangat berpengaruh di klub mereka masing-masing. Drogba, Yakubu, dan beberapa pemain Arsenal meninggalkan sedih bagi manajer mereka. Saking stressnya, banyak manajer klub Inggris yang meminta piala Afrika dipindahkan pelaksanaannya saat summer, saat dimana klub-klub Inggris libur kompetisi.

Tak perlu paham teori konspirasi, kita tentu bisa lihat betapa curangnya juga klub-klub Inggris ini memperlakukan bangsa Asia. Pemain-pemain itu hanya dikontrak untuk meningkatkan pangsa pasar klub Inggris di kawasan dengan pertumbuhan ekonomi paling mencengangkan di dunia ini. Nakata, pemain Jepang yang berpindah dari satu klub Italia ke klub lainnya itu adalah fenomena pertama dan terus jadi bahan perbincangan. Ini kemudian diikuti dengan pemain-pemain lain, yang kaos replikanya diharapkan menutupi bahkan melebihi biaya kontrak, dan kalau bisa membuka pasar bagi cenderamata klub lainnya di negara asalnya.

Ini pula yang kemudian meningkatkan jumlah suporter ”fanatik” dari klub. Suporter fanatik MU contohnya yang kebanyakan berada di Asia, dengan tingkat pembelian cinderamata yang paling tinggi. Mereka betul-betul fanatik, hingga misalnya memborong seluruh aksesoris berbau MU. Orang Asia yang berada di Inggris pun tak lepas dari ’serangan’ klub-klub sepakbola, hingga kemudian banyak iklan berbahasa Cina yang menjajakan paket tour menonton langsung ke stadium yang umumnya ditujukan bagi mahasiswa Cina di Inggris. Tak jarang mereka juga ikut pertandingan klub favoritnya, dimana pun mereka bertanding. Seperti orang Manchester saja mereka kelihatannya, meski minus teriakan dan nyanyian sepanjang pertandingan.

Kefanatikan mereka sebenarnya telah diprotes oleh seporter lokal, yang merasa makin terpinggirkan. Sir Alex ferguson boleh protes bahwa stadion sekarang telah kehilangan roh oleh diamnya suporter dan minimnya teror mental terhadap pemain lawan. Namun ia mungkin lupa, bahwa suporter sepakabola Inggris terbentuk dari kelas pekerja yang setia terhadap permainan menawan dan penuh kerja keras. Tempat mereka, yang biasanya berada di bagian atas stadium, telah tersisih tak saja dengan invasi penonton musiman seperti saya, tapi juga dengan harga tiket yang makin mencederai akal sehat.

Tetangga saya, seorang suporter fanatik Arsenal bahkan telah menganggap gila orang-orang yang membayar tiket seharga 35 – 40 pound untuk sebuah pertandingan klub papan atas EPL. Harga itu bisa melambung lebih tinggi jika klasifikasinya sudah masuk liga champion dan uefa. Ia pun kemudian lebih memilih ke pub, menonton bareng suporter lain dengan harga yang lebih manusiawi, cukup dengan membeli beberapa gelas bir.

EPL, laga paling populer sejagat ini memang tak tertandingi oleh piala Afrika, meski banyak bintang dan bakat disana. Tapi mereka, paling tidak telah berhasil mencuri perhatian. Asia, masih harus sabar untuk menjadi penonton. Atau kelas kita memang cuma segitu?

Saturday, January 12, 2008

Tahun Baru

Selamat Tahun baru Hijriyah, 1429 H.
Semoga kita bisa berhijrah ke arah yang lebih baik, dan juga lebih peduli.

Personal New year resolution?
Wah, banyak hal yang harus diperbaiki dalam hal kehidupan beragama ini.
Semoga terus dikuatkan dan dimudahkan. Tapi mau lebih baik kok pengennya mudah aja yah?

Tuesday, January 01, 2008

2008

New year, new you..
No, thanks..