Thursday, December 14, 2006

CSI's effect

Berita tentang pembunuhan terhadap beberapa PSK (aduh, istilah ini pasti ditentang oleh feminists dan pemerhati masalah gender) di Ipswich menjadi berita hangat selain ditemukannya bukti baru tentang kematian Putri Diana, dan dimintainya keterangan dari Tony Blair tentang sebuah kejahatan.

Pembunuhan ini menjadi berita hangat karena efek yang ditimbulkannya, sampai pihak kepolisian menganjurkan wanita untuk tidak keluar malam sendirian.. Belum lagi jumlah korban yang banyak dan model pembunuhannya yang mirip dengan cerita-cerita detektif di pilem-pilem atau novel. Media Inggris menyebutkan bahwa pembunuhan ini berseri dan meninggalkan semacam "trademark" yang tentu saja menantang polisi untuk mencari siapa dalangnya.

Namun, tak luput pula beberapa kalangan melihat pengaruh televisi terhadap timbulnya pembunuhan berseri ini. Serial CSI (Crime Scene Investigation) ditunjuk sebagai ilham bagi terjadinya pembunuhan. Serial lainnya tak luput dari argumen ini seperti, Waking the Dead, Cracker and Silent Witness, dimana mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memcahkan kasus. Benarkah?

Serial ini sebenarnya bercerita tentang bagaimana polisi dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan alat canggih mampu memecahkan kasus-kasus yang dianggap sulit. Ada dua seri dari serial CSI ini, CSI Miami dan CSI Newyork. Jam tayangnya berurut, dimulai dengan CSI Miami, setiap rabu malam. Nah, kalangan yang menilai bahwa televisi, dalam hal ini CSI, sebagai ilham bagi pembunuh menganggap bahwa serial CSI ini memperlihatkan kemampuan dan metode polisi dalam memecahkan kasus. Ini tentu saja memberi kesempatan bagi pembunuh untuk mencari celah dari kapasitas polisi tersebut.

Saya lalu teringat ketika banyak pihak menyayangkan pemberitaan kriminal serupa BUSER, Sergap dan sejenisnya. Menurut mereka, tayangan itu tak lagi murni tayangan kriminal dan sekedar mencari sensasi dan keuntungan dari kesalahan penajahat-penjahat kecil. Teman saya yang wartawan pasti sangat bisa menjelaskan masalah tayangan ini. Tayangan ini pun dituding membeberkan rahasia kepolisian termasuk dalam hal memecahkan kasus. Entah benar apa tidak, yang jelas saya ingat bagaimana seorang pencuri ayam mengaku mendapatkan ilham dari menonton tayangan kriminal semacam ini.

Pengaruh tayangan televisi pun makin kuat dipertanyakan. Apalagi kasus Smackdown yang sampai menelan korban jiwa, meski, jika ingin disangkal sekali lagi, LaTivi sebagai media yang menayangkan Smackdown telah menjalankan program tersebut sesuai dengan aturan yang ada. Artinya, secara de jure, mereka tidak bisa dinyatakan bersalah.

Kembali ke soal CSI dan pembunuhan di Ipswich, beberapa pihak juga mengatakan bahwa tak perlu merisaukan tayangan-tayangan televisi itu. Toh, seperti klaim Sharlock Holmes, detektif favorit saya, "Every contact leaves a trace". Dan lagi, polisi Inggris kini punya "Bible" yang baru (Murder Investigation Manual 2006). Mereka yang berpendapat ini mungkin jelas melihat televisi sebagai industri semata.

Bagi saya, tayangan televisi tetap memberikan pengaruh luar biasa bagi penonton. Terlepas dari CSI's effect dan Smackdown effect, rasanya masih banyak acara-acara lain yang harus diwaspadai, sebab cenderung mencederai logika dan menghilangkan kesadaran. Serupa yang terjadi di Indonesia, ketika televisi dengan semena-mena menjajah dengan beragam acara yang kadang dipaksakan sebagai hiburan atau informasi, bahkan kadang dicampur adukan sehingga makin membingungkan. Dalam kesempatan lain pun, televisi tak luput menjajakan mimpi bagi kita. Lalu? Tak perlu parno, menontonlah secukupnya dan seperlunya. Jangan banting televisi anda, apalagi jika itu tivi plasma keluaran terbaru..

No comments: