Tuesday, December 25, 2007

Ini soal Ide, Bung

Hari ini ada berita menarik dari koran kampus. Seorang mahasiswi tertangkap mata berbohong saat mengatakan dirinya sakit dan tidak bisa masuk kelas. Sang dosen, entah karena penasaran atau karena facebook maniak, mendapatkan foto sang mahasiswa sedang asyik berpesta pada hari saat dia harusnya memaparkan tugas presentasinya di depan kelas. Facebook pun telah terbukti ampuh untuk menjadi alat deteksi kebohongan, rupanya. Kepopulerannya pun terihat jelas saat berada di computer cluster, di main library. Tak ada PC yang aktif tanpa ada tab yang membuka facebook di monitornya.

Ini hanya sebuah contoh tentang bagaimana facebook, telah menjadikan 2007 sebagai tahunnya. Tak hanya sekedar social network belaka, tapi facebook telah menjadi sebuah instrumen monumental tentang kekuatan ide dan kesanggupannya memberi materi yang luar biasa banyaknya. Tak percaya? Tanyalah Mark Zuckerberg, CEO Facebook, yang kemudian menjadi CEO termuda dengan kapitalisasi lebih dari milyaran US dollar. Ditaksir Yahoo, Google dan Viacom, tak membuatnya goyah. Facebook kemudian menjadi saingan tersendiri bagi Google, di jagat maya dan jagat modal.

Lalu apa kaitan ini semua? Ide, teknologi, dan kerja keras, tentunya, telah membuat beberapa orang (tentu tak banyak) menjadi luar biasa ketimbang yang lain. Dalam jagat bisnis, kemampuan seperti ini yang kemudian dikatakan lebih berharga ketimbang pabrik berhektar-hektar dan mesin bergulung-gulung. Orang-orang dengan talent dan skill yang luar biasa pun kemudian diperebutkan. Talent Management, meski bukan sesuatu yang baru, terus dikampanyekan dan dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan value dari perusahaan. Dalam laporan keuangan persuhaan, mereka termasuk dalam kelompok intagible assets. Maka tak heran, perusahaan-perusahaan farmasi sekarang ini lebih banyak memiliki asset yang ber'hantu' ketimbang pabrik. Mereka lebih memilih meng-outsource kan bagian produksi dan menjual licence kepada perusahaan lain.

Soal talent management sendiri, ide ini sebenarnya telah lama dikenal dalam dunia olahraga modern. Contoh sederhananya adalah LA Galaxy, klub sepakbola dengan prestasi biasa, tak dikenal di luar Amerika, menjadi luar biasa terkenal dan dikenal dengan masuknya Beckham. Jangan tanya soal penjualan merchandise, dan tiket pertandingan. Semuanya menunjukkan grafik yang meningkat. Membayar gaji miliaran rupiah per minggu buat bintang-bintang itu tetap saja tak berarti jika membandingkannya dengan apa yang klub dapatkan.

Kembali ke soal ide tadi, tahun depan pun kemudian diramalkan penuh dengan ide dan kreasi yang baru, dan Facebook pun kemudian menjadi sebuah pengalaman "tahun lalu". Website dengan beragam fitur dan penawaran pun kemudian ramai menjajakan diri, berharap keberuntungan serupa Ebay, Amazon, Facebook, Bizrate, dan lain-lain. Maka hadirlah etsy (www.etsy.com) yang meminjam konsep Amazon.com untuk barang kerajinan tangan, twitter yang seperti PDA yang punya kemampuan mem-push pesan, dan moshimonsters.com, facebook versi anak-anak dengan beragam game dan program edukasi.

Sekali lagi, kuncinya adalah ide dan kreasi yang biasa tapi terkemas luar biasa, begitu selalu yang didengungkan. Itu pula yang akan kita dapat saat membali-balik halaman autobiografi dari person-person ini. Persoalannya, mengapa yang namanya kreatif, menarik, selalu ditentukan dari sono? Oh yah, saya lupa. "Kreatif" ini juga kan bukan sesuatu yang gratis?

Thursday, November 22, 2007

Breaking News

Malam ini Inggris belajar sepakbola dari Kroasia. Sumbangan mereka dalam menemukan olahraga ini tak menjamin tempat khusus di piala eropa 2008. Bintang besar terbukti hanya besar dalam gaji dan fasilitas.

Menyaksikan kesebelasan ini bertanding, yang menarik bagi saya malah komentar dari komentator dan running text di tipi tentang furstasi pendukung Inggris. "No passion, no soul, no determination", kata Alan Shearer sang komentator. "Devastating", kata Ian Wright, rekan tukang koment lainnya. Gary Lineker, berkelakar bahwa summer depan ia bisa berlibur dengan tenang sebab tak ada tim Inggris di piala eropa.

Kekalahan ini menjadi sebuah "Breaking News" yang mencuri perhatian pemirsa dari fokus kehilangan data di salah satu kementrian pemerintah Inggris. Tak terbayang bagaimana koran-koran Inggris esok hari mencaci pelatih dan pemain mereka. Apalagi pers Inggris terkenal dengan kritiknya yang tajam, dan panjang, membuat orang yang membacanya pun tertular amarah saja rasanya. Setidaknya mereka (harus) belajar. Bintang besar dan kompetisi yang luar biasa, tak memberi garansi bagi tempat terhormat di daratan eropa.

Bagaimana dengan PSSI? Ah, bukankah yang satu ini memang tak punya niat untuk belajar? Sudah gitu, keras kepala pula. Apa kata dunia???

Thursday, November 15, 2007

Geography

Ternyata, saya tak sendirian 'buruk' dalam geography. Menurut survey yg ada di Guardian, anak-anak Inggris sangat buruk untuk ilmu bumi ini. Tak sampai setengah dari responden yang disurvey menjawab benar ketika ditanya dimana letak gunung tertinggi di dunia. Kebanyakan mereka menganggap Everest berada di tanah Eropa. Sungai Amazon masih dianggap sebagai sungai terpanjang di dunia, meski jawab yg benar (setelah cek di national geography) adalah sungai Nil.

Analisis dari riset ini kemudian menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa mereka buruk dalam ber-geography adalah tingginya tingkat kunjungan anak-anak ke pusat pertokoan dan game centre. Dua tempat ini adalah tempat favorit mereka. Museum dan public library berada di deretan bawah. Meski masuk dua tempat itu gratis, survey ini menemukan bahwa keduanya tak semenarik mall dan game centre, tempat mereka berbuai mimpi.

Saya lalu membayangkan Makassar, dan Indonesia pada umumnya tempat dimana mall bisa hadir sesuka hati. Ia hadir di dekat kampus, sekolah atau bisa tepat di dekat pasar tradisional. Tak peduli pasar tradisional itu kemudian mati tak terurus, kemacetan lalu lintas dan sakit sosial yang ditimbulkannya. Saya tak anti mall. Sungguh, saya juga menyukainya. Menyukai etalasenya yang tak henti menjajakan mimpi. Baiklah, saya juga sering ngopi dan beli buku disana. Tapi tak jadi aktifitas rutin, sesekedarnya saja.

Ponakan saya yang masih sekolah menengah sudah tak terpisahkan dengan mall. Janjian ama teman di mall. Beli baju tak mau lagi kalo bukan di mall. Jangan tanya soal makan, segala franchise dan warung yang ada semua sudah dicoba. Tak ada lagi tempat untuk sekedar berniat ke pasar batangase--di dekat rumah--yang becek itu. Meski beberapa kali saya katakan padanya, pasar itu adalah surga makanan enak. Semuanya serba segar dan mengenyahkan. Soal hygiene atau tidak, toh terbukti saya hingga kini baik-baik saja. Apa jawabnya? Gaul dikit dong, paman..

Saya belum sempat konfirmasi kemampuan geographynya. Satu sisi saya juga mengerti gejolak muda dan segala tetek bengeknya. Mengekang itu tak meluruskan, malah bisa jadi makin membuatnya bengkok tak berbentuk. Tapi tetap saja ada rasa khawatir (ini khas orang lebih tua yang sok tahu). Semoga saja berbanding lurus dengan kegenitannya ber-gaul ria. Atau jangan-jangan dia malah lebih tahu bahwa air terjun tertinggi itu ada di Venezuela?

Ah, makin sok tahu saja saya rasanya..

Friday, October 12, 2007

Eid Mubarak

Ada yang Lebaran hari ini. Tak sedikit juga yang memilih berhari raya besok.
Nantilah, setelah lebaran usai kita berkumpul agar esok mungkin bisa kita cari waktu sembahyang yang sama dan tak membingungkan.

Selamat Idul Fitri 1428 H.
Maaf lahir bathin dan segala apa yang tidak menyenangkan.

Thursday, October 11, 2007

Kita berteman

“Bloody Facebook wastes my time”, begitu tulis seorang kawan di profile facebooknya. Saat bertemu di kelas pagi tadi, saya lalu menyapanya dan bertanya apa kabar dengan facebooknya? Ia cuma nyengir.

Entah karena kuliah business ethics yang tidak menarik baginya atau sang dosen yang memberi presentasi seadanya, ia pun asyik membuka-buka halaman account facebook melalui handphonenya. Kawan ini duduk tepat di sebelah saya. Setengah berbisik, kukakatakan padanya untuk tidak menghabiskan waktu dengan facebook. Lagi, ia kembali nyengir. Facebook, benci tapi rindu.

Begitulah, social network seperti facebook, friendster yang spesialis benua asia, myspace, tagged, hi5, to name a few, telah menjelma menjadi penanda sebuah generasi. Seperti MTV dengan beragam mode dan musiknya yang sering menjadi acuan banyak anak muda. Entah MTV kini masih menjadi trendsetter, tapi social network kini telah memiliki tempat tersendiri di hati banyak orang. Tak hanya monopoli anak muda saja sebenarnya. Yang berumur dan masuk kategori lansia pun tak sedikit yang punya halaman di banyak social network. Banyak? Yah, tak sah rasanya jika cuma bergabung di satu network belaka.

Dengan network-network ini, saya bisa memiliki teman yang banyak. Teman yang bisa lebih saya kenali ketimbang teman beneran yang bersama kami banyak menghabiskan waktu. Ada yang request jadi teman hanya karena saya membeli bukunya di Amazon. Siapa dia? Tak sekalipun saya pernah ketemu dan bahkan namanya pun tak kuingat dengan baik.

Friendship? Wah, paradigma berteman dan berkawan kini sudah berubah, sobat. Teman dalam kenangan dan kenyataan kini beradu dalam ruang maya yang makin tak terbatas. Tapi apakah ini kemudian bebas dari kritik? Di koran Financial Times edisi weekend kemarin dalam rubrik konsultasi bisnis ada seorang karyawan yang ‘curhat’ soal dilemma yang dihadapinya. Bos di kantornya mengirimkan ‘aplikasi’ permohonan untuk menjadi kawan di facebooknya. Ia ragu luar biasa untuk mengklik ‘confirm’ sebagaimana presedur standard berteman ala facebook. Kebayang jika sang bos ternyata tahu ia suka keluar malam menikmati pengalaman dari satu pub ke pub yang lain. Tak tahan juga ia jika sang bos melihat foto usilnya ‘mengerjai’ inventaris kantor. Dalam rubrik ini meminta saran, apakah ia menerima atau menolak permintaan ‘berteman’ dari sang bos. Bagaimana pula dengan konsekuensi jika ia kemudian memilih untuk menolak?

Seorang lainnya menulis betapa facebook telah melampaui apa yang ia harapkan. Tak habis pikir ia harus merespon tawaran poke, tattoo, dan bermacam aplikasi dari facebook yang dikirimkan ‘teman-teman’ mayanya. Ia mengeluh betapa over aggressive nya proses berteman di social network. Saya juga sebenarnya mengalami hal yang sama. Poke, tattoo, aquarium, dan aplikasi-aplikasi lainnya dari facebook, membuat saya jadi tak mengerti tentang facebook. Dasar gaptek dan tidak punya banyak waktu mengamati dan mendalami, request-request itu menumpuk tanpa pernah saya jamah. Selain tak mengerti, sekali lagi, niat saya emang cuma menambah account di social network yang lagi trend. Soal teman baru yang sedikit beda dengan account lain, itu bonus. Popularitas saya sebagai orang yang kenal dan dikenal banyak orang pasti akan terdongkrak. Oh yah, popularitas, itu mantranya.

Tengok betapa kandidat calon presiden di Amerika sana tak melewatkan sedikitpun peluang ini. Hillary Clinton, Obama, dan juga yang lain, pasti memiliki account di facebook, myspace, yang muaranya tentu untuk mendongkrak popularitas. Nama mereka juga tercatat sebagai pemilik account di youtube. Tapi apakah selalu jelek ketika berbicara popularitas?

Saya percaya bahwa social network ini punya nilai positif juga. Saya akhirnya bisa bertemu (paling tidak di dunia maya) dengan seorang kawan lama yang kini ada di Jakarta. Sejak berpisah beberapa tahun yang lalu, praktis tak kontak-kontak dengannya. Tak ada kabar berita serta surat kangen sebagai seorang kawan. Tak itu saja, ia bisa pula dipakai untuk bertukar informasi, jika perlu berdagang. Seorang kawan melelang barang-barang yang dimilikinya melalui friendster dan facebook.

Desakan untuk junta militer di Burma juga kencang disuarakan di banyak social network. Juga kepedulian terhadap bencana di Afrika dan kepedulian terhadap sesama melalui jejaring komunikasi. Jadi, tak hanya sekedar berbagi pesan dan foto. Tak juga melulu sekedar berbagi komen. Namun tetap saja, fungsi utamanya sebagai penghubung bagi teman lama dan mencari teman baru.

Maukah Anda jadi teman saya?

Saturday, September 29, 2007

Tak sekedar Lapar

Ramadhan sudah setengah jalan. Sudah seberapa penuh kantong amal dan ibadah kita terisi?

Di time edisi online ada link menarik. Photos of the week, berisi foto-foto tentang ramdhan. Ada satu foto dari Indonesia. di situ digambarkan beberapa lelaki sedang berbaring di masjid. Mungkin mereka lelah dan lapar, hingga perlu sedikit istrirahat. Pemandangan seperti ini memang biasa saat ramadhan. Mesjid dan surau terisi, meski tak penuh, saat shalat jamaah dilakukan. Setelah itu, dengan berjamaah pun kita pulas.

Menahan lapar dan haus serta tidak berhubungan dengan pasangan, begitu yang biasa kita memaknai puasa. Sesederhana itukah?

Kata seorang imam, ketiga aktifitas halal yang ditahan itu hanyalah katalisator dalam jejak langkah kita mengisi ramadhan. Ada yang jauh lebih esensial dari sekadar menahan kebutuhan purba kita itu. Kesalihan social, kepedulian terhadap sesama dan harapan untuk terus melepas diri dari nafsu duniawi menjadi ujian sesungguhnya.

Soal korupsi misalnya. Data tranparansi internasional menyebutkan bahwa deretan pertama negara-negara terkorup di dunia justru adalah negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Indonesia sebagai contoh, adalah negara muslim terbesar di dunia. Tapi tingkat korupsinya jauh diatas negara-negara yang tak memutar sinetron religi di stasiun televisi mereka. Di lain pihak, Jepang, sebuah negara dengan mayoritas rakyatnya bisa dikatakan tak beragama, selalu menjadi contoh bagi pelaksanaan rasa malu dan kejujuran.

Salahkah agama? Tentu tak elok jika agama kemudian menjadi sasaran tembak dari semua ini. Yang keliru mungkin adalah konsep keberagamaan dan bagaimana agama dilihat dalam perspektif kekinian. Dalam beberapa hal, ada tentu bagian yang tidak bisa digugat dan sebab itulah keimanan berarti percaya. Namun tak berarti tak ada ruang untuk, katakanlah ‘meninjau kembali’ konsep beragama.

Dalam kitab suci, tak sedikit ayat yang mengingatkan untuk berbuat adil, peduli terhadap sesama, dan bersikap jujur. Yang jadi soal, adalah peletakan kesalihan dalam konteks ritual dan dalam tampilan yang cenderung jauh dari esensi ibadah dan saleh itu sendiri. Tak heran jika kemudian terjadi reduksi besar-besaran akan ibadah. Kesalihan kemudian menjadi domain individu dan tidak pernah ditekankan untuk muncul dan berkembangnya kesalihan social. Lebih utama rasanya memperbincangkan pahala dan timpalan api neraka ketimbang berkutat dengan korupsi biaya KTP dan sogok-menyogok polisi dan masyarakat saat terkena tilang. Tak pernah pula kita dengar tokoh agama bereaksi terhadap penggusuran, ketimpangan social atau korupsi dalam masyarakat.

Kemegahan juga kian mewarnai kehidupan beragama. Tak habis pikir rasanya sebuah kabupaten seperti Maros, tempat saya menghabiskan banyak umur saya, lebih membangun sebuah mesjid megah berbilang milyar namun masyarakatnya masih banyak yang kesulitan makan. Di Kalimantan timur malah kabarnya mesjid dibangun dengan biaya yang bisa dipakai untuk membuat banyak sekolah dan madrasah. Ini mungkin wujud kecintaan terhadap agama. Tapi segitu parah dan kelirukah cinta itu dijewantahkan?

Menjelang ramadhan, fokus utama justru pada penutupan tempat-tempat hiburan. Rasionalisasinya adalah keinginan untuk menghormati ramadhan. Tak jarang penutupan paksa bahkan penghancuran satu tempat menjadi aksi reaksioner terhadap ajakan dialog yang sebenarnya bisa lebih dikedepankan.

Lalu, akankah individu yang salih mendapatkan berkah ramadhan? Bagi saya, kesalihan dan keimanan haruslah termanifestasi dalam ruang kehidupan yang lebih nyata. Ibadah, kesalihan, haruslah disertai pengorbanan. Jika tidak, yang lahir hanyalah hamba salih yang egois. Pengorbanan untuk sesama, itu yang masih langka. Saya pun rasanya masih demikian. Celakalah saya…

Monday, September 17, 2007

Berdamai dengan Interupsi

33 jam seminggu, begitu hasil riset Ac Nielsen soal berapa waktu yang kita habiskan menonton tipi. Kita? Kalau toh bukan saya, Anda, berarti ada orang lain yang punya 33 jam waktu untuk menonton. Bahkan ada yang menghabiskan waktu lebih lama menonton tipi ketimbang bekerja. Bisa jadi, orang itu menonton sambil bekerja, atau ia merupakan pegawai tim pengawas siaran tipi. entahlah, pokoknya kotak ajaib itu telah mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Apa arti angka ini? Taruh kata kita kerja 8 jam sehari, sebagaimana dicatat dalam kontrak kerja, maka hasil riset Nielsen itu menyebutkan bahwa lebih dari 4 hari dalam seminggu waktu kita habis untuk nonton tipi, dgn asumsi tdk mengerjakan pekerjaan lainnya. Like must always be compared with like, tapi ini sekedar analogy sederhana betapa banyaknya waktu yang diminta oleh kotak ajaib itu. Angka ini tentu menghkawatirkan sebagian kalangan. Mulai dari orang tua, pengamat dan praktisi pendidikan, ahli jiwa, sampai pada aktivis lingkungan.

Namun yang bahagia tentu tak sedikit jumlahnya. Pengiklan salah satunya. Tak ada hari tanpa kreasi mereka untuk sekedar mencuri perhatian dalam keseharian kita. Entah itu di kereta, billboard di jalan, bioskop, mall, hingga rumah ibadah. Praktis tidak ada tempat yang sunyi dari iklan atau upaya-upaya sejenisnya.

Beruntung saya bisa menikmati siaran BBC. Mengapa? Tak ada iklan sebagai jeda dalam setiap programnya. Siaran langsung sepakbola tim Inggris pun bisa ternikmati dengan nyaman., sebagai contohnya. Atau menikmati serial Heroes yang tak diinterupsi oleh iklan parfum Armani terbaru atau Volvo SUV keren, yang tentu saja tak cuocok buat kantong saya. Lalu, Darimana mereka dapat dana untuk segala operasionalnya? Mirip TVRI jaman dulu, selain dapat suntikan pemerintah, mereka juga narik dana dari masyarakat melalui TV licence, semacam iuran/pajak televisi.

Tapi bisakah kita lari dari pelbagai interupsi ini? Maaf, tak ada ruang yang zero interruption. Friedman menyebutnya sebagai the age of interruption, zaman gila yang penuh dengan beragam interupsi. Praktis tak ada hari tanpa email spam bagi pengguna email gratisan dari yahoo atau gmail. Menyebutkan Anda pemenang lotre berhadiah jutaan pound, meski tak sekali pun memeasang taruhan. atau email palsu yang meminta pembaca untuk berbaik hati meminjamkan rekening bagi harta rampasan perang dengan jumlah jutaan dollar dengan nama pangeran dari negara antah beranta sebagai pengirim.

Jangan pula berharap lepas dari sms iklan atau telepon berdering menawarkan ragam produk dan segala bujuk rayunya. Di depan flat saya, meski telah terpasang pengumuman bahwa pedagang keliling dilarang masuk, tetap saja ada yang berhasil curi-curi perhatian untuk sekedar menunjukkan brosur mereka. Atau dengan modus yang lebih elegan, menitipkan brosur kepada loper atau pak pos. Jadilah bank statement yang saya terima setiap bulannya selalu disertai dengan brosur pakaian renang atau tujuan wisata baru dengan tarif miring.

Sebenarnya begitulah mekanisme yang ada. Tak perlu rumit memahami teori pemasaran dan perilaku konsumen untuk tahu bahwa iklan dan segala macam interupsi itu juga memberi andil bagi kita, para konsumen. Dengan interupsi-interupsi itulah kita bisa mengenal produk dan apa saja yang bisa memuaskan hasrat dan kebutuhan kita. Hasrat dan kebutuhan? Ya, tak usah malu untuk menyadari bahwa kebanyakan belanja kita lebih untuk memuaskan hasrat ketimbang kebutuhan. Tak heran jika saya sering membeli barang yang tak jelas benar manfaatnya buat saya, toh tetap juga terbeli karena hasrat yang menggunung. Sementara kebutuhan utama sering terpinggirkan dengan beragam dalih. Sebuah interupsi yang menyenangkan, begitu kilah yang jadi umum.

Sekali lagi, berharap tak ada interupsi?

Saturday, September 15, 2007

Selamat Puasa



Semoga puasa hari ini memberi banyak berkah untuk kita semua dan tentu, makin meningkatkan kesalehan sosial kita.

Selamat berpuasa.

Saturday, September 01, 2007

Mobil sport

Saya memang bukan pembelanja yang baik, paling tidak itu kata istri saya. Setiap habis ‘tugas’ belanja, saya selalu lupa berapa harga barang yang sudah saya beli. Jika sebelum belanja saya selalu bersiap dengan daftar belanja, itu memang nilai tambah. Tapi kelar belanja yang jadi masalah. Pertanyaan istri saya semisal, “tadi beli bawang merah ini berapa, daging sapi ini beli 1 pound, ya?” Atau “kenapa beli susu yang mahal?”

Jawaban saya untuk semua pertanyaan itu bisa ditebak, “tidak tahu”. Atas nama variasi saya sih sering ganti dengan “lupa” atau “tadi struk belanjanya jatuh”. Saya memang bukan pembelanja yang baik. Jarang sekali saya bisa menghapal—baik di dalam maupun di luar kepala—soal harga barang yang sudah (dan akan) dibeli. Ia memang sangat detail untuk urusan satu ini. selain mencatat setiap pengeluaran, ia pun membuat daftar prioritas belanja. Satu sisi ini tentu tak sejalan dengan jiwa merdeka saya yang sejak lama tak terkekang. Namun sisi lainnya kok berkilah bahwa tak ada yang terkekang. Justru saya yang boros ini jadi terbantu untuk lebih well planned. “Biar nanti bisa beli mobil sport”, hiburnya.

Mobil sport? Ha…ha…ha... Menabung seabad pun rasanya tak kesampaian. Ini memang lelucon khas dengan banyak kawan saat mengajukan beberapa lamaran kerja setelah kuliah dulu. Carilah kerja yang gajinya bisa buat beli mobil sport, begitu motto hidup pencari kerja yang tak tahu diri. Kalo PNS, mau nabung berapa keturunan? (tak ada opsi untuk korupsi, ya..).

Bukan mobil sport itu benar yang membuat saya jadi ingin hapal dan ingat harga barang-barang belanjaan saya. Cuma penasaran aja, bawang merah tadi belinya berapa ya, kok bisa lupa.

Friday, August 24, 2007

Buku Untuk Semua

Saat jeda di library siang tadi, saya melintasi rak buku yang berlabel “free book”. Heran juga, kok ada buku gratis hari gini? Tertarik, saya pun mencoba mengambil satu buku. Setelah membaca brosur dan keterangan di sampul buku, ternyata buku-buku yang ada di rak itu memang gratis.

Dari om Wiki saya kemudian jadi tahu bahwa program free book ini diluncurkan oleh kelompok bookcrossing sejak tahun 2001 yang anggotanya disebut bookcrossers. Niatnya untuk “membebas”kan buku dan menjadikan kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Modelnya sederhana. Tinggalkan buku-buku anda di ruang publik dan biarkan orang kemudian mengambilnya dan membacanya. Pembaca kemudian bisa menyerahkan lagi buku itu di collect point atau sekedar menaruhnya di kafe, toko, atau public space lainnya dan nanti akan diambil dan dibaca lagi oleh orang lain. Ini seperti slogan “3R” mereka, Read a good book, Register to bookcrossing, and just Release it into the wild so others can read it.

Tak ada aturan rumit. Siapa saja bisa mengambil buku yang tersedia. Namun untuk mewakafkan buku, kita perlu register ke situsnya dan kemudian menuliskan kode yang disediakan. Biar menarik, kode di setiap buku yang bisa dicatatkan di situs bookcrossing itu kemudian dimasukkan lagi oleh pembaca untuk kemudian kita semua bisa tahu jejak rekam perjalanan buku dan pembacanya.

Buku yang saya ambil contohnya. Ternyata telah dibaca oleh banyak orang. Komentar dan rating akan buku ini juga ada. Termasuk data dimana mereka mengambilnya dan kapan.
Tentu saja, program ini tidak lepas dari kritik. Penerbit, pengarang dan juga jaringan distribusi buku akan teriak keras bahwa kegiatan ini akan menurunkan nilai buku. Tak akan ramai lagi toko buku, serta amazon si raja buku itu akan tersedot keuntungannya. Lalu, bukankah kritikus-kritikus ini harus berkaca pada industri musik? Meski gencar melawan pembajakan, tak sulit amat untuk mendapatkan album terbaru dari top ten chart atau lagu terbaru Letto atau Tukul Arwana. Social network ala Multiply memungkinkan kita mendapatkan semua itu. Tinggal buka account, dan Anda bisa mengunduh lagu dan video sepuasnya. Toh artis musik tetap saja bisa beli land cruiser atau berjejal di butik-butik mewah. Ini tentu tidak kemudian menjadi alasan pembenar bahwa pembajakan dan perampasan hak cipta benar adanya. Tapi apa salahnya berbagi buku. Bukankah ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak dibagi?

Saya lalu ingat pengalaman saat kuliah dulu. Beberapa kawan dan saya sendiri tentunya, pernah bertanding soal siapa yang memiliki buku paling banyak. Soal lain itu urusan baca atau tidak. Kesan banyak buku banyak ilmu, dan pintar, adalah tema seksi bagi mahasiswa baru dan adik-adik junior. Ada juga dosen yang dengan bangga memajang deretan buku di ruang tamu mereka, seperti mengabarkan pada setiap yang datang, ”Hey, saya punya buku yang banyak, lho”. Lalu kalau banyak kenapa? Wong mau pinjam beberapa buku saja ceritanya jadi panjang. Yang penting adalah bagaimana buku itu tidak saja bermanfaat bagi diri tapi juga bisa dibagi dengan yang lain.

Menjadi soal memang jika watak peminjam ”yang baik”—meminjam buku adalah hak, mengembalikannya bukanlah kewajiban—masih tertanam kuat di dalam kepala. Ini juga memang penyakit. Apalagi memang harga buku yang kelewat mahal di Indonesia. Saatnya pemerintah meninjau kembali pajak-pajak yang menghambat tumbuh dan berkembangnya industri buku.

Kembali ke bookcrossing ini. Singapura ternyata telah ”meratifikasi” ide ini dengan menjadi negara resmi pertama yang menjadikannya sebagai semacam 'program nasional'. Tak terbilang manfaat bagi rakyat Singapura. Padahal mereka juga sudah terkenal dengan budaya dan fasilitas baca yang lengkap. Belum lagi infrastruktur dan teknologi mereka yang mendukung. Sungguh, kampanye membaca tak lagi sekedar slogan dengan gerakan seperti ini.

Bagaimana kemudian ini bisa diaplikasikan di Indonesia? Tak perlulah sampai sedrastis Singapura atau sesuai konvensi bookcrossing, saya kira. Cukup dengan memperbanyak perpustakaan-perpustakaan gratis bagi masyarakat. Mereka yang punya buku-buku banyak di rak-rak juga bisa membagi akses bagi yang lain, ketimbang buku-buku itu tersimpan rapi tak terbaca dan bisa jadi tak terawat.

Tahun lalu, kakak saya yang guru SMA meminta ijin agar buku-buku saya yang menumpuk di kamar bisa dia bawa ke perpustakaan sekolahnya. Menurutnya, lebih banyak buku saya ketimbang buku yang ada di perpustakaan sekolahnya. Seperti kebanyakan sekolah negeri, fasilitas minim dan perpustakaan sepi adalah gambaran umum. Belum lagi letak sekolahnya yang memang jauh dan tak masuk dalam radius keramaian. Dengan begitu, ia berharap bahwa ada bahan bacaan alternatif bagi murid-muridnya. Meski kebanyakan buku-buku saya itu hanyalah novel, biografi, buku sejarah dan kumpulan tulisan dari beberapa penulis.

Awalnya saya khawatir, takut buku-buku itu rusak dan yang paling ekstrim, hilang. Tapi ketimbang menumpuk di rumah dan membuat ibu saya repot merawat dan membersihkannya, kuizinkan saja. Sekarang baru sadar, bisa jadi buku-buku saya itu telah berpindah tangan ke beberapa murid, dan siapa tahu ada saja yang mendapat manfaat dari membacanya.

Nah, saatnya membebaskan buku dengan berbagi kepada yang lain. Masuk akal, kan?

Friday, August 17, 2007

Merdeka, Bung

“Kita belum merdeka, bung”, begitu kata teman saya via emailnya. Panjang ia bercerita tentang kondisi buruh yang selama ini dibelanya. Menurutnya, tak ada kata merdeka dalam kosa kata mereka. Gaji yang dipotong seperti tak ada henti, lembur yang tak terukur, harga minyak tanah yang tak terjamah, semuanya membuat mereka merasa tak merdeka.

Bukan tak ada saya pikir, cuma belum merdeka aja kali. Tapi apa artilah perdebatan semantik ini, toh pada kenyataannya masih banyak nasib buruh, dan bukan hanya buruh, yang belum merdeka dari kebutuhan dasar kemanusiaan seperti makan dan tempat tinggal. Amrtya Sen, peraih hadiah nobel ekonomi mengemukakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah terletak pada tidak adanya yg akan dimakan, juga bukan masalah pendanaan atau pengadaan makanan. Namun lebih banyak karena masalah distribusi atau tidak adanya pemerataan.

Merdeka dari ketakutan, itu juga yang masih menjadi barang mahal bagi bangsa Indonesia. Ya, rakyatnya tentu saja. Toh para penguasa itu memiliki pengawal yang setiap saat bisa menjaganya, so mereka tak masuk bagian orang takut ini.

Kemarin presiden sudah baca pidato kenegaraan di DPR, termasuk rencana-rencana pemerintah setahun ke depan. Terdengar banyak duit yang dibicarakan. Belum lagi highlight dari pidatonya yang ber-trend naik. Anggaran pendidikan naik, anggaran kesehatan naik, gaji PNS dan TNI naik, anggaran ini-itu naik. Melelahkan juga baca pidato yang panjang itu. Tapi intinya semua naik, bagus bukan? Tapi waspadalah, orang statistik punya anekdot sendiri akan ilmu mereka. Ada tiga model kebohongan, bohong, luar biasa bohong, dan statistik itu sendiri. Tapi namanya harapan harus terus disemai, sebab itulah yang membuat hidup lebih berarti.

Merdeka, Bung!!

Monday, August 13, 2007

Pasar Halal

Tiba-tiba hampir seluruh restoran dan warung makan yang ada di sepanjang Bristol road dekat kampus itu memajang tanda Halal di depan pintu mereka. Seingat saya, tahun lalu masih terhitung dengan sebelah tangan restoran dan tempat jual makanan halal di sepanjang jalan ini. Salah satunya warung burger yang sering jadi andalan kalau sudah malas balik ke rumah untuk memasak. Pemiliknya orang Turki dan memang muslim. Burgernya lebih maha dari harga burger pada umumnya. Tapi mau giman alag, tdk ada pilihan lain. Namun kini jumlah warung halal itu telah berlipat. Mulai dari restoran besar sampai warung tradisional semacam fish and chips. Soal apakah sign halal yang mereka pajang itu telah melalui proses sertifikasi panjang dari Halal Food Authority atau tidak, itu urusan lain.Makanan halal, atau produk muslim secara umum memang menjadi salah satu bisnis paling menarik saat ini. Di Amerika sendiri, sebagai pusat kapitalisasi dunia telah menunjukkan trend ini sejak lama. Penelitian yang dilansir majalah the economist menyebutkan bahwa lebih dari 6 juta masyarakat muslim disana berpenghasilan diatas rata-rata atau sekitar $50,000 - $100,000. Sementara penghasilan rata-rata kebanyakan hanyalah kisaran $40,000. Mereka juga berpendidikan lebih tinggi ketimbang masyarakat lainnya, dimana dua per tiga dari jumlah itu memiliki satu atau lebih gelar kesarjanaan. Satu lagi yang membuat kaum muslim menjadi target pasar yang menggiurkan, mereka punya kecendrungan untuk memiliki anak lebih dari dua. Nah, komplit kan pasar ini?

Segmen yang paling menarik dan menjadi perhatian kaum muslim kebanyakan adalah sector makanan, keuangan dan pasar konsumen yang memang banyak bersinggungan hokum-hukum syariat. Laporan economist menyebutkan bahwa pasar produk halal tumbuh 16% per tahun atau sekitar $580 milyar setiap tahunnya. Jumlah yang menggiurkan, bukan?

Namun apakah persepsi soal halal ini kemudian sudah selesai? Ternyata tidak. Beberapa penjual daging dan orang Inggris kebanyakan cuma tahu bahwa halal itu berarti daging selain daging babi. Maka daging sapi atau domba meski tidak disembelih dengan proses halal akan menjadi halal dengan asumsi seperti ini.

Bahkan awal-awal kedatangan saya banyak diisi dengan berbagi cerita soal halal dan tidak suatu makanan. Saya sering ditanya macam-macam, mulai dari ikan yang halal dan tidak halal, atau adakah babi halal (halal pork) dalam Islam? Meski secara pribadi saya tak suka bicara soal halal-haram ini sebab banyak dai dan ustad yang akhirnya lebih sibuk dan siap ribut soal ini ketimbang mengingatkan masyarakat bahwa menyogok polisi atau menaikkan harga barang secara tak wajar adalah dosa juga adanya. Untungnya saya bukan dai terlebih ustad. Tapi yah namanya beda budaya dan kebiasaan, proses cerita ini menjadi unik dan enak saja jalannya.

Kembali ke bisnis produk halal, Mc Donald di London juga telah melakukan uji coba penjualan makanan halal. Di Southall, bagian utara kota London, salah satu restoran cepat saji itu menyediakan paket halal. Meski tak memasang info dan sign di depan toko mereka, namun permintaan paket ini ternyata tinggi. Terbukti, waktu itu paket ini sampai membuat antrian panjang dari pengunjung.

Produk lainnya tidak kalah. Ada Barbie versi islami, yang disini namanya diganti Fulla. Tak seperti Barbie yang blonde, berbusung dada, serta gonta-ganti pacar, si Fulla adalah tokoh idola banyak calon mertua. Rajin belajar, membaca, shalat dan masak. Sempurna, bukan? Produk keuangan jangan ditanya. Mulai dari HSBC hingga Barclays sudah punya divisi syariah dimana target buruan mereka adalah raja-raja minyak timur tengah dengan jumlah uang yang melimpah. Tentu saja pasar besar lainnya adalah kaum muslim (kebanyakan imigran) yang ada di Inggris.

Namun apakah ini yang kemudian menjadi titik awal kebangkitan Islam? Banyak pihak yang menilai demikian. Namun bagi saya, bisnis tetaplah bisnis, tak perlu menjadi Adam Smith untuk tahu soal ini. Soal kemudian ada berkah dan manfaatnya, anggaplah itu sebagai bonus.

Tuesday, August 07, 2007

Tepuk Tangan Sepakbola

“Cuma mengumpan kok ditepu’i kayak gitu”, teman saya berkomnetar saat bersama kami menyaksikan pre season friendly Aston Villa Vs Inter Milan di Villa Park beberapa hari yang lalu. Begitulah memang, apresiasi penonton dalam menyaksikan pertandingan sungguh luar biasa. Sepanjang pertandingan gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai terus saja menjadi atraksi menarik tersendiri selain pertandingan itu tentunya.

Mengumpan tepat sasaran, habis nendang mengarah ke gawang—meski tak masuk hingga atraksi individual menawan, semua mendapat tepuk sorak yang membahana. Namun itu hanya berlaku sebagian besar untuk pemain tuan rumah. Lawan, tetap saja memperoleh terror yang pantas. Ibrahimovic, striker Inter yang saat itu tak tampil optimal harus rela di “booo” hampir separuh pertandingan. Aksinya yang sering jatuh tanpa sebab, membuat penonton tuan rumah menjadi gregetan—untuk tidak menyebutnya marah. Luis Figo juga bernasib serupa, akibat tindakannya mengusik keputusan wasit.

Tapi semuanya tetap dalam bingkai hiburan. Saya malah curiga pertandingan disini pakai scenario segala. Tak ada lemparan botol bekas, atau penonton yang lari mengeroyok pemain. Ini yang kemudian menjadi catatan penting dari keberhasilan industri bernama premier league yang konon merupakan liga terkaya dan berpenghasilan paling tinggi sejagat ini.

Sebagai industri, liga ini digerakkan oleh kreatifitas, termasuk dalam menjaring penonton. Karena tingkat mahasiswa internasional yang datang ke Inggris setiap tahun menunjukkan trend meningkat, maka strategi pasar klub-klub pun kini masuk kampus. Aston Villa, yang di liga termasuk klub menengah hampir selalu membuka stand penjualan tiket sebelum pertandingan regular dimulai.

Belum lagi program-program seperti stadium tours, valentine day at Villa Park, penjualan merchandise sampai kasino. Tak terbilang rupiah pemasukan klub dari kreasi-kreasi seperti ini. Itu baru klub-klub gurem atau menengah. Tentu ceritanya akan lain jika klub itu bernama Manchester United, Arsenal, Liverpool atau Chelsea.

Ada seorang mahasiswa asal Indonesia yang merupakan fans berat MU. Hampir setahun ia disini tiket yang dikoleksinya saat menonton pertandingan MU di Old Trafford sudah lebih dari 20 lembar. Ini termasuk liga regular, champion dan friendly match MU. Jika harga satu tiket pertandingan itu £35, maka duit yang dihabiskannya itu setara dengan sewa rumah 3 kamar tidur, termasuk biaya listrik, air, dan gas selama sebulan. Bonus? Ya, termasuk biaya makan selama sebulan di Inggris. Nah, jumlah orang seperti ini tentu tak sedikit. Mahasiswa asal Cina punya kegilaan luar biasa terhadap klub-klub Inggris. Mungkin liga utama Inggris ini salah satu alasan mereka memilih kuliah di sini.

Kembali ke teman saya itu, ia pun mengungkapkan sulit rasanya sepakbola Indonesia akan maju seperti yang ia rasa dan tonton kali ini. Saya menyanggahnya. Tak selalu fair membandingkan langit dan empang. Meski tak simpatik dengan PSSI yang dikelola tak ubahnya partai politik, tapi sepakbola Indonesia tuh punya bukti (sedikit dan sejenak) untuk bisa berkontribusi.

Jika ungkapan Pele yang pernah berkata bahwa “pada sepak bola, Anda bisa melihat kehidupan di dalamnya” bisa dipakai, sepakbola Indonesia rasanya memang menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Tapi bukankah dalam kehidupan ada juga peluang untuk maju? Perhelatan piala Asia kemarin semoga menjadi anak tangga pertama. Meski banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum kemudian berjejak ke anak tangga berikutnya. Tidak lagi pakai dana APBD salah satunya.

Wednesday, July 18, 2007

You shop we drop

Jika coba menghitung mundur 10-20 tahun ke belakang, harga-harga barang hari ini tentu sudah di luar akal sehat. DVD player, komputer, serta alat elektronik lainnya menjadi murah tak terkira, tentu saja dengan asumsi ada uang untuk membelinya. Sejak tahun 1996, menurut index harga konsumen, tingkat penurunan untuk barang-barang elektronik sebesar 56%. Ini berarti, harga televisi beberapa tahun lalu kini kurang dari setengahnya. Tanpa mengecilkan kondisi negara-negara berkembang, harga murah menjadi sebuah keniscayaan di negara-negara maju.

Economic of scale, begitu mantranya. Makin banyak barang yang diproduksi, maka makin bisa pula harga ditekan. Ini ditambah pula dengan proses otomatisasi yang meminggirkan peran manusia sebagai faktor produksi, yang upahnya tentu menjadi variable dalam penentuan harga. Kalau toh tetap memakai tenaga manusia, maka buruh murah menjadi pilihan wajib para pengusaha.

Cina kemudian menjadi sebuah rumah bagi segala yang murah, the home of cheap. Hampir tidak ada produk yang berhubungan dengan ‘hajat hidup orang banyak’ yang tidak diproduksi di cina. Mulai dari mainan, garmen, elektronik, hingga otomotif. Cina tak lagi dikenal hanya dari kaos dalam, peniti, silet serta perkakas ‘imut’ lainnya.

Murah selalu berpadanan dengan belanja. Di negara-negara maju, taraf belanja masyarakatnya memang sudah mencapai taraf kecanduan. Consumer democracy, ‘the age of cheap’, begitu kata David Booshart. Menurutnya, makin beragamnya pilihan terhadap produk membuat konsumen menjadi bebas dan merdeka untuk menentukan pilihan. Ini pun kemudian diramalkan menjadi sebab dari bergesernya kekuatan image. Dalam hal fashion misalnya, yang kini tak lagi menjadi monopoli desainer kecuali untuk kalangan artis dan jet set yang memang tak bisa hidup tanpa merek. Sampai ada ada anekdot bagi kalangan sophalic, style desainer tapi harga high street. Muncul pula kemudian istilah Fast fashion, desain baru hari ini akan Anda jumpai esok di toko-toko pinggir jalan.

Dalam sebuah program dokumenter di BBC, digambarkan betapa kebiasaan belanja masyarakat Inggris yang sudah ‘mencederai’ akal sehat. Belanja menjadi kegiatan harian serupa lunch dan meeting di kantor. Jadilah mereka belanja tanpa pernah berpikir bahwa barang yang mereka beli itu betul-betul dibutuhkan atau tidak. Rayuan ‘buy one get one free’ juga menjadi sihir bagi konsumen. Banyak teori pemasaran kemudian lahir dan menggantikan model pemasaran yang ‘jadul’. Tentu saja muaranya agar semua orang shop till drop.

Lalu, benarkah barang yang murah selalu memberi keuntungan bagi konsumen? Terlepas dari kualitas barang, rasanya kita perlu waspada dengan apa yang diperingatkan Booshart, although manufactured goods have been getting cheaper, with that trend, comes cheap morals and cheap ethics. Sisi gelapnya adalah budaya throwaway, dimana barang-barang yang tidak dipakai (meski masih berfungsi dengan baik) langsung masuk ke tong sampah.

Charity shop yang sangat bergantung dari derma orang-orang akan barang bekas namun layak pakai pun kehilangan banyak pemasukan. Tak banyak lagi yang memilih mendermakan barang-barang itu. Pikir mereka, toh barang ini saya beli dengan sangat murahnya. Jika harus di charity shop-kan lagi, jadi berapa harganya? Budaya throwaway ini juga menjadi ancaman bagi masa depan yang lebih cerah. Turunanannya tentu soal lingkungan dan kesinambungan kehidupan.

Hal lain, konsumen tidak pernah mau berpikir bahwa barang murah yang dibelinya tak begitu saja ada. Ia lahir dari pengorbanan buruh-buruh yang diupah murah, dengan kondisi kerja yang kadang mengenaskan. Kurang udara, sumpek, tekanan kerja yang tinggi, minim asuransi, serta sederet isu social lainnya yang tak ada dalam label barang. Paling yang muncul di label hanyalah “Made in China”, “Made in Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya (... you name it). Buruh NIKE Indonesia mau di-PHK, it’s not my problem.

Saatnya berhenti belanja? Ah, iklan obral produk-produk Nike di JJB Clearance membuatku berhenti menulis.



foto: pushindaisies

Monday, July 09, 2007

Warming Up

“Global Warming”, istilah itu begitu popular belakangan ini. Banyak gerakan yang kemudian mencoba ‘memasarkan’ kecemasan terhadap perubahan iklim bumi yang sepertinya jauh melebihi ekspektasi umat manusia di muka bumi ini.

Banjir yang menimpa sebagian wilayah Inggris turut 'melambungkan' nama global warming. Tetangga saya weekend kemarin punya cara unik mengisi liburan. Mereka berencana mengunjungi tempat banjir di selatan kota. Wilayah itu memang ‘kena getah’ yang lumayan parah. Tinggi genangan air tak lagi sebatas mata kaki, bahkan koran lokal menyebutkan tinggi air sudah mencapai mata beneran.

Tetangga saya itu mungkin merasa wilayah banjir itu sesuatu yang unik. Untuk sebuah negara dengan sistem drainase yang baik seperti Inggris, banjir tentu menjadi sebuah kejadian ‘unik’. Apalagi wilayah banjir itu tak dikenal memiliki sejarah kebanjiran yang parah. Ia pun bercerita tentang global warming yang menjadikan cuaca tak menentu dan imbasnya banjir datang meski tak diundang.

Beberapa hari lalu, Al Gore, mantan calon presiden Amerika (yang pongah itu) juga mencoba menjadi pionir dari gerakan global ini. Konser di delapan negara pun dilaksanakannya. Tujuannya sederhana, “biar orang tahu global warming itu betul-betul ada dan mereka jadi aware akannya”, begitu komentarnya.

Lucu juga, global warming yang salah satunya disebabkan oeh konsumsi energi yang berebihan, harus dikampanyekan dengan serupa konser, yang tentu saja juga menghabiskan tak sedikit energi. Madonna, yang mengisi konser ddi London, tentu saja tak ingin berjubel di antrian pesawat komersial bersama penumpang lain. Jet pribadi dan helicopter tentu disiapkan untuk mengangkut Madonna dan segala timnya. Belum lagi tata cahaya yang digunakan saat konser di stadion Wembley (yang megah itu). Lampu-lampu yang digunakan tentu bukan seukuran lampu di kamar saya yang cuma 60 watt.

Hypocrite? Ah, tak mengapa. Toh panitianya juga telah menjamin dengan iklan ciamik bahwa mereka menggunakan energi yang ramah lingkungan dan menggunakan bahan-bahan yang recyclable. Perdebatan ini juga mirip dengan kondisi Indonesia yang event-event olahraganya disponsori perusahaan rokok.

Jauh lebih penting memang kecemasan ini diwabahkan. Asal negara-negara besar dan maju tidak saja menyalahkan negara-negara miskin seperti Indonesia. Toh mereka tak terbayang energi yang telah mereka habiskan, yang tentu saja telah mengotori lapisan bumi kita. Jika dimulai dari zaman revolusi indsutri sekalipun, jumlah ‘sampah’ mereka tentu sudah tak ketulungan.

Global warming=banjir dan cuaca yang tak menentu, begitu definisi tetangga saya.


Link: Cerita lain tentang Global Warming

Foto: www.neatorama.com/2006/05/


Tuesday, June 26, 2007

An Apology

Banyak cara menjaring dana masyarakat. Salah satu yang unik seperti yang dilakukan NSPCC (National Society for the Prevention of Cruelty to Children) ini. Lembaga derma berbasis kemasyarakatan ini aktif menggalang dana untuk pencegahan kejahatan terhadap anak.

Cara unik mereka seperti yang hari ini saya terima melalui surat. “An Apology”, begitu tertulis dengan huruf besar di amplop bagian depannya. Karena tak ada informasi lain, maka penerima pun kemudian tertarik untuk membukanya. Saya sendiri awalnya kaget, siapa pula yang minta maaf dengan cara seperti ini. Rasanya tidak ada juga kesalahan “resmi” yang pernah terjadi kepada saya hingga mengharuskan permohonan maaf yang resmi pula, dengan bersurat maksud saya.

Bunyi surat di dalamnya pun cukup menarik juga.

Dear friend,

First of all: an apology.

I know you didn’t ask me to write to you. Yet, here I am—writing to you anyway—expecting you to give up a few moments of your time. You’re probably just thinking, “oh dear, not another charity asking me for money…”

Setelah itu kemudian paparan data serta penjelasan singkat mengenai sejauh mana pencapaian program dan kampanye mereka. Termasuk sebuah formulir kesediaan untuk secara rutin menyisihkan 2 pound per bulan sebagai bagian dari kegiatan donasi. Awalnya saya pikir ini serupa spam letter aja, yang agak meragukan. Setelah mengcek situs mereka, ternyata benar adanya. Mereka pun terdaftar di pemerintah. Satu lagi, patron (pelindung) lembaga ini; Her Majesty The Queen. Tentu lembaga gadungan tak seenak itu memasang nama ratu.

Tidak juga unik sebenarnya. Mungkin kreatif aja. Unik memang sering dipadankan dengan kreatif, meski dalam beberapa konteks unik menjadi lebih dekat dengan aneh. Terlepas dari perbedaan terminologii itu, satu hal yang menjadi perhatian saya adalah upaya mereka menggalang dana tanpa menimbulkan kesan memaksa dan membuat penderma pun merasa terpanggil untuk terlibat, meski dalam tingkat yang berbeda.

Cara unik/kreatif ini sering pula dilakukan oleh lembaga-lembaga derma lainnya di Inggris. Salah satu yang palingn kreatif adalah Oxfam. Selain dengan charity shopnya, lembaga ini juga kerap menawarkan program derma sesuai dengan minat dan keinginan kita melalui Oxfam Unwrapped. Pernah membayangkan membeli toilet? Melalui program ini, Oxfam misalnya menawarkan kepada masyarakat membeli toilet seharga 30 pound. Dana yang terkumpul kemudian dipakai untuk membuat toilet di negara-negara tempat Oxfam bekerja. Menurut kawan yang pernah terlibat di Oxfam, program ini pernah dilakukan untuk membangun puluhan toilet di Aceh setelah daerah itu terkena tsunami. Ada pula penawaran voucher gift, yang menerima hadiah itu berarti telah menyumbang atau berderma sejumlah uang yang kemudian diwujudkan dengan penanaman pohon, penyedian fasilitas air bersih kepada masyarakat miskin di Afrika.

Ide kreatif, akuntabilitas, dan bertanggung jawab tentu menjadikan mereka tak terlalu sulit untuk menjalankan banyak program. Sama tak sulitnya bagi mereka untuk membagi-bagikan dana kepada lembaga sosial dan LSM di Indonesia, yang orang-orangnya masih kebanyakan bertindak sebagai pencari kerja ketimbang membantu masyarakat. Saya tak alergi terhadap LSM dan lembaga sosial. Banyak—banyak sekali bahkan—dari mereka yang tulus dan sangat pantas diberikan apresiasi positif terhadap langkah dan tindak mereka. Namun niat dan rencana baik saja tidak cukup. Tak perlu tunggu menjadi negara maju dan kaya untuk berwujud seperti itu. Perlu ide kreatif , program jelas dan tak muluk-muluk, serta tentu saja bertanggung jawab agar rencana tersebut terealiasasi. Masyarakat yang ingin berderma tentu saja tak sedikit jumlahnya. Masalahnya, jumlah yang banyak ini lebih sering jadi peluang bisnis pribadi daripada bisnis lembaga untuk masyarakat yang manfaatnya untuk masyarakat.

Thursday, June 21, 2007

Iseng

Saat pulang belanja kemarin, taman di depan flat telah ditumbuhi tanaman baru dengan kuncup bunga berwarna merah, putih. Sungguh indah. Tentu akan lebih indah lagi 3 atau 5 minggu ke depan, saat seluruh bunganya mekar dengan warna-warninya. Sebelumnya kami memang telah ‘kerja bakti’ menanam tulip dan bunga mawar. Namun karena hujan yang hampir tiap hari mengguyur kota, tumbuhan-tumbuhan itu mati sebelum memancarkan keindahannya.

Siapa gerangan yang menanam bunga-bunga indah ini, sebab tak ada undangan kerja bakti yang masuk di flat kami? Ternyata pasangan tua Arthur dan Audry yang tinggal di lantai 10. Mereka sedang santai duduk menikmati sandwich dan orange juice. Saya pernah membahas mereka sedikit disini. Setelah berbasa-basi dan coba menyapa, saya pun bertanya kenapa mereka menanam bunga-bunga itu. Ini juga sekedar mengkonfirmasi jika saya luput dalam kerja bakti yang mungkin undangannya tak kesampaian. Meski tak ada paksaan, sebagai pendatang tak elok rasanya jika tidak berpartisipasi dalam acara-acara di lingkungan sekitar.

“Sekedar iseng, my dear. Bunga-bunga ini kami ambil dari taman kami di lantai 10 dan rasanya sayang jika keindahan di lantai 10 tak ternikmati oleh orang lain. Saya dan Arthur juga bosan di flat terus, tak ada kegiatan,” jawab Audry yang usianya seumuran nenek saya di kampung.

Arthur kemudian menimpali, “Kurang kerjaanlah kami ini, maunya berkebun tapi tidak punya lahan maka taman flat inilah yang kami kerjakan”. Mereka berdua tertawa, saya juga ikut tertawa jadinya.

Pasangan ini memang istimewa dan menyenangkan. Tak seperti kebanyakan orang Inggris yang tertutup, mereka seperti devian dari karakter orang Inggris yang menurut antropolog Kate Fox dalam bukunya “Watching the English” sangat tertutup terhadap orang asing. Dalam bahasa Fox, mereka lebih memilih “memandang langit hitam ketimbang menyapa orang asing”.

Audry, sang istri terlihat sangat menikmati aktivitas ‘iseng’ ini. Deretan lubang yang dibuatnya sangat rapi. Jarak antar lubang pun sangat pas, tak sama saat kami kerja bakti dulu. Saat itu mereka memang tak terlibat. Kami, saya dan penghuni flat lainnya saat itu bisa dikatakan menanam tulip dan rose seadanya. Di kantong bibit sudah jelas aturan pakai dan standar tanam yang meminimalkan 6 cm kedalaman lubang. Seperti tak tahu aturan aja, lubang-lubang yang kami buat hanya kisaran 3 cm, itu pun dengan jarak yang sangat jauh dari rapi.

Iseng, kurang kerjaan, begitu sekali lagi mereka menyebut aktivitas itu. Namun bagi saya itu sungguh bermakna. Banyak hal besar di dunia ini memang yang lahir dari iseng dan orang kurang kerjaan. Meski banyak juga yang membuat dunia jadi seperti neraka dengan segala keisengan dan kurang kerjaannya, tapi saya percaya, 3 minggu ke depan saya bisa membuktikan hasil kerja iseng mereka yang begitu indah. Setidaknya saya bisa menikmati “wangi bunga dimana-mana…”

Thursday, June 14, 2007

Tentang Hujan

Kembali saya berhadapan dengan perbandingan. Membandingkan Indonesia dengan negara maju seperti Inggris ini. Ceritanya begini. Saat ada festifal Indonesia di Nothingham kemarin, saya bertemu dengan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya. Di sela perbincangan mengenai desertasi yang menanti, muncul topik “pulang kampung” dengan resiko ketidakpastian dan ancaman tak termanusiawikan atau tinggal dengan fasilitas yang nyaman, kota yang ramah dan manusiawi di negeri ini.

Beberapa mahasiswa yang tampangnya mirip bintang sinetron mengatakan bahwa nasionalisme sekarang tak harus mengikuti model Hatta dan Sjahrir saat mereka dengan gagah berani meninggalkan Belanda dan memilih pulang kampung untuk membangun Indonesia. Nasionalisme toh tak sesempit itu. Kontribusi terhadap negara kan tidak harus dengan berdiam (apalagi dengan segala carut-marutnya) di Indonesia. Mereka pun mebandingkan kehidupan yang dijalin saat ini dengan kehidupan yang teah dijalninya saat di Indonesia. Namun pihak berseberangan menganggap “pulang kampung” bukanlah pilihan jelek. Hujan uang di negeri orang tetaplah kalah meski hujan batu di negeri sendiri.

Oh yah, soal beberapa yang mirip bintang sinetron, kabar yang saya dengar malah memang ada yang bintang sinetron beneran. Saya tak tahu, sebab saya bukan pencinta sinetron. Kalau toh dia bintang sinetron, ‘so what?’. Asal dia bukan bintang sinetron rohani yang pura-pura jadi ustad dengan lafalan alquran keliru saja.

Saya memilih mendengar saja saat itu. Selain selama ini memang sudah akrab dengan hujan batu, saya juga tak pandai diri bersiap dengan hujan uang. Entah hujan seperti itu memang ada atau tidak.

Kembali ke perbincangan nasionalisme tadi, tidak ada kesimpulan memadai dari dua pendapat yang berbeda. Perbincangan ini pun memang tak diniatkan untuk mencapai mufakat, toh soal keyakinan dan nilai, siapa yang bisa pengaruhi siapa, kan? Lagi pula, tema seperti ini memang lebih enak dibahas, tapi tak enak untuk dipraktekkan. Kenikmatan itu selalu membuai, begitu kata mutiaranya.

Saya lalu teringat saat di kedutaan beberapa waktu lalu, saya bertemu beberapa TKI yang sedang mengurus berkas keimigrasian. Kami lalu berbagi cerita, termasuk bagaimana mereka memendam rindu yang mendalam akan kampung halaman. Menikmati hujan air di teras rumah, dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng. Alangkah nikmatnya..

Ramalan cuaca menyebutkan besok akan hujan..

Tuesday, May 15, 2007

Melihat Perang dari Kacamata Bisnis

Dangerous places can be hugely profitable, begitu pameo orang bisnis dalam meyakinkan diri. Ya, setiap bahaya selalu menyiratkan keuntungan luar biasa, tentu bagi mereka yang memiliki cara pandang berbeda melihat perang, misalnya. Baghdad Business School, sebuah buku yang menyajikan bagaimana pertaruhan masa depan dari seorang manajer bersama sebuah nama besar dalam bisnis logistik. Ini sebenarnya buku lama (ditulis tahun 2004) dan saya beruntung mendapatkannya dengan harga murah (£0.01) dari sebuah marketplace di Amazon.

Setiap kita tentu melihat Irak dengan perangnya adalah tempat yang tidak “sehat” untuk berbisnis. Semua prasyarat normative tak dimiliki negeri itu, saat perang berlangsung, tentu. Keamanan, stabilitas, infrastruktur, dan sederet indicator lain adalah mustahil untuk terpenuhi sejak amerika yang gila perang itu menginvasi Irak.

Tapi bagi orang seperti Heyrick Bond Gunning, perang adalah tantangan dan jika berdamai dengannya kita bisa, kesuksesan adalah ganjaran setimpal untuk sebuah kenekatan.

Terlepas bahwa alasan ekonomi juga menjadi pendorong bagi Bush untuk mengirimkan ribuan tentaranya ke Irak, banyak kalangan bisnis yang melihat apa yang tidak dilihat oleh mata kebanyakan. DHL, salah satunya. Perusahan logistic terbesar di dunia ini melihat peluang yang tidak kecil. Tentu, mereka tak sekedar bertaruh selayaknya taruhan pacuan kuda atau pertandingan premiership di William Hill. Jadilah reputasi DHL sebagai perusahan logistic terbesar bertemu dengan Irak, one of the world’s most inhospitable markets.

Heyrick mungkin tak cukup bagus jika buku ini diniatkan sebagai sebuah catatan perjalanan yang dalam. Namun buku ini juga menjadi bagus sebagai sebuah catatan diluar mainstream ilmu bisnis yang sangat mengagungkan stabilitas. Tiap chapter dari buku ini pun coba mem”bisnis”kan diri. Maka judul seperti “developing a business plan”, “first mover advantage” atau “risk management” menjadi pembuka dari setiap bagiannya.

Ia bercerita tentang dilema saat ia ditawarkan merintis DHL di Baghdad. Padahal, ia telah mapan dengan profesinya di perusahaan jasa keuangan, Mergermarket. Akhirnya ia pun memilih tantangan DHL dan langsung berangkat selang beberapa hari setelah ia pulang liburan. Untungnya, pengalaman sebagai tentara ia miliki dan tentu saja berharga di tempat seperti Baghdad yang mencekam saat itu. “It was a chance to do something potentially life-changing”, begitu ia menghibur diri.

Singkat cerita, dalam kurun beberapa bulan armada DHL makin bertambah banyak dan Heyrick pun membawahi lebih dari 30 karyawan. Sebuah pencapaian luar biasa dalam lingkungan yang tidak biasa. Strategi yang diterapkan pun sebenarnya standard saja. Berkawan dengan tentara, mengincar pasar diplomatic dan kedutaan, serta melacak jejak bisnis baru yang bakal muncul.

Cerita menarik ia sajikan tentang bagaimana pekerja Irak yang harus bolak-balik bandara untuk mengurus logsitik dan ternyata belum pernah sekalipun menginjak bandara. Tercatat pula bagaimana orang-orang Irak itu dibayar rendah ($300/bln) namun masih sempat pula berhias dengan kalung dan cincin emas. Bagaimana pula ia harus berkawan dengan wartawan dan mencoba mengambil peran dalam kerja-kerja NGO hanya untuk mendapatkan informasi keamanan.

Hambatan dan kesulitan bukannya tidak ada. Namun begitulah bisnis besar dibangun. Google, Microsoft, dan sederet nama-nama besar dalam dunia bisnis tak lahir hanya dari proposal dan sekedar “berusaha”. Ada mission impossible yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum mendapatkan saham mereka menjadi rebutan di bursa.

Perang Irak kini memang belum ada tanda akan berakhir. Namun Heyrick tentu telah mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari sekolah bisnis bernama Baghdad. Saya tidak telalu heran, jika kemudian ia memang ternyata merupakan satu kesatuan dari paket “let’s rescue Iraq dari pasukan kolisi pimpinan Amerika. Tapi pelajaran bisnis yang dibaginya, tetap sungguh berarti.

Thursday, May 10, 2007

Dibuang sayang…

Berburu barang bekas selalu memberi pengalaman luar biasa. Setelah mengenal charity shop, saya lalu menjajal car boot market. Encarta mengartikannya sebagai, open sale of people's things: a sale of second-hand and new merchandise from the trunks of people's cars, usually taking place on an open-air site rented for the purpose.

Yah, inilah pasar yang memuaskan hasrat mereka yang berburu barang bekas. Untungnya lagi, ini juga menjadi wadah bagi mereka yang ingin menjual barang-barang, yang tentu saja sayang untuk dibuang begitu saja. Tak ada batasan dalam hal barang yang diperdagangkan. Mulai dari mainan anak-anak, keramik hingga lemari pakaian. Namun periksa sebelum membeli menjadi pedoman utama, sebab tidak ada garansi, apalagi minta uang kembali.

Jika beruntung, Anda bisa mendapatkan barang-barang langka dari sang pemilik yang merasa sudah tidak punya ruang untuk memarkir barang itu. Seperti sempat tertangkap mata ini, ada satu set alat makan yang terbuat dari perunggu. Barangnya udah tua, ini terlihat dari tahun pembuatan yang tertera di dalam kotaknya. Ada juga komik-komik tua pilem-pilem jadul. Tak ketinggalan keramik-keramik ukir yang ukurannya luar biasa serta hiasan-hiasan dinding khas kerajaan. Ada niat untuk membelinya, Cuma terpikir tidak ada lagi ruang tersedia di flat untuk menampung “kegenitan berestetika” dan kesadaran menjadi kolektor yang telat dari saya ini.

Selain barang-barang bekas, juga terdapat barang-barang baru, yang kebanyakan merupakan barang impor dari Cina dan India. Webcam, produk elektronik, serta barang-barang lain yang tentu saja harganya jauh jika dibandingkan dengan banderol toko di city centre. Soal kualitas, yah sedikit mendekati standard lah.

Satu lagi, ada juga yang berjualan cd dan dvd bajakan. Pilem Spiderman 3, shooter, bahkan sudah ada dalam format cakram digital ini, meski secara resmi belum dirilis. Namanya bajakan, selalu selangkah lebih maju. Apalagi harga dvd original yang sangat tidak rasional bagi kantong kebanyakan, maka jadilah counter penjualan dvd bajakan ini menjadi salah satu favorit pengunjung. Plus, ada banyak pilihan untuk pilem blue. He..he..Terbukti, mereka pun rupanya tak cukup kuat melawan pembajakan.

Satu hal yang saya lihat, tak semua dari pedagang itu menargetkan untung. Meski mereka dikenakan retribusi untuk berdagang, namun tak sedikit yang berpartisipasi demi kesenangan belaka, tak ubahnya berekreasi.

Sejam berkeliling, tak ada yang berhasil saya beli. Namanya kunjungan pertama, mungkin butuh kunjungan kedua, ketiga dan berikutnya untuk berkeputusan. Tak apa, kali lain mungkin ada yang melego keramik Cina dari dinasti Ming, atau barang langka lain dan saya beruntung mendapatkannya. Urusan ruang pasti bisa disiasati.

Foto: Wikipedia

Tuesday, April 17, 2007

War with next door

BPS-nya Inggris menyatakan bahwa tahun 2006 yang lalu ada 6 juta keluhan resmi yang diajukan sebagai protes terhadap tingkah tetangga. Rupa-rupa sebabnya tak lain adalah “selfish attitudes” yang bisa jadi berupa berisik suara musik, kembang api, tangis bayi, bunyi alarm, dan gonggongan anjing. Mereka menyebutnya sebagai gangguan terhadap “expectation of quiet”. Ah ada-ada saja. Itu yang resmi, yang tidak resmi bisa jadi lebih banyak. Salurannya pun bisa berupa balasan teriak, telpon tetangga, atau atau lempar atap rumah tetangga.

Makin modern sebuah kehidupan sepertinya punya implikasi positif terhadap meningkatnya keinginan untuk komplain. Ini memang dimungkinkan, dimana kesadaran masyarakat terbangun untuk kemudian berani menyuarakan aspirasi dan hak mereka dengan jalur yang resmi dan menihilkan keinginan bertindak seenak diri. Muaranya tentu adalah terciptanya sebuah tatanan social yang demokratis dan berkeadaban. Tapi sesederhana itukah?

Ah, rasanya jika ukurannya kenikmatan, sekali lagi kenikmatan, dalam batasan tertentu lebih bisa ternikmati hidup bertetangga di batangase sana. Meski di Indonesia sendiri sudah banyak muncul kritik terhadap perilaku hidup modern yang meminggirkan rasa kekeluargaan. Saya bisa dengan tenang saja menikmati suara merdu Tommy J Pisa atau Dian Pisesa dengan lagu-lagu sedih mereka dari tape tetangga depan rumah. Atau alunan lagu-lagu barat yang cadas dari anak tetangga belakang rumah yang mungkin niatnya agar bisa dikatakan gaul. Meski kadang menjengkelkan karena tak kenal waktu, tapi tak membuat saya menjadikannya alasan untuk mengkomplain ria. Oke, ini bisa jadi karena tenggang rasa yang tinggi, ga mau ribut ama tetangga, atau karena tidak ada saluran untuk menyalurkan komplen.

Jadi ingat juga saat kos dulu. Teman disamping kamar saya seorang katolik yang taat. Ia rajin memutar lagu-lagu rohani, hampir sepanjang ia di kosan. Teman kamar sebelah lagi larut dalam alunan rock Jamrud. Tetap aja ternikmati, meski jika magrib tiba saya suka ngetok dinding pembatas kamar sebagai peringatan. Pernah sekali mereka tak mengindahkan, maka pintu kamar mereka pun yang kemudian saya ketuk. Memasang muka masam meski tak bermaksud menakuti.

Modern, modernitas, atau apapun namanya selalu menyisakan kompleksitas. Entah kenikmatan hidup yang telah terasa itu akan bertahan atau tergusur dengan komplain-komplain yang tak ada niat lagi untuk mencari solusinya sambil rujakan atau rapat RT. Setelah itu, semua orang akan merasa punya “neighbour from the hell”. Hey, bukankah dulu ada pelajaran toleransi di sekolah?

Sunday, April 08, 2007

The Hardest Part

Malam kemarin, saat pulang dari rumah teman saya bertemu dengan sepasang tetangga jauh. Jauh, karena mereka tinggal di lantai 10 dan saya di lantai 5. Mereka sering saya jumpai. Paling sering di lift. Ini tempat kami sering bertukar sapa, sekedar tanya kabar dan diam dengan pikiran masing-masing. Mungkin sambil menerka apa yang ada di pikiran masing-masing.

Setelah sekian lama bertukar sapa, baru semalam saya berani menanyakan nama mereka. Kayak aneh aja rasanya sering jumpa tanpa tahu nama. Yang laki, Arthur (78) dan pasangannya Audry (82). Oh yah, Audry ini mengingatkan saya dengan Barbara dalam video klip Coldplay, The hardest part. Gila aja, Barbara yang lebih pas jadi nenek itu dengan lincah dan tanpa ragu menari dan berakrobat layaknya penari latar Madonna yang lincah. Lengkap dengan kostum yang serupa Britney Spears dan Madonna itu sendiri.

Kembali ke laptop, pasangan tetangga saya ini unik juga. Mereka punya dua anjing yang sangat disayangi. Saya lupa nama kedua anjing itu, soalnya nama Jerman yang agak tidak bersahabat dengan lidah saya. Yang jelas, satu betina dan lainnya jantan. Keduanya sangat sensitive dan suka mengonggong. Sepatu dan celana jadi incarannya untuk dijilat saat di lift. Kedua anjing ini begitu disayang, setidaknya dari cerita mereka berdua yang empat kali sehari rutin membawa anjing ini menghirup udara segar di taman samping flat. Terbayang kelelahan untuk pasangan tua seperti mereka turun dari lantai 10, menghabiskan 20 – 30 menit di taman menanti dengan sabar anjing-anjing mereka bermain dan kemudian kebali ke flat. Begitu seterusnya, setiap hari. Tapi saya tak yakin mereka menganggap itu sebagai the hardest part, mesi rutinitas kadang tak baik bagi akal sehat.

Lama kami ngobrol dan saling bertukar cerita. Namun saat itu saya lebih memilih mendengar. Mendengar pengalaman mereka, termasuk kisah cinta mereka, yang baru menikah sejak 8 tahun yang lalu, sesuatu yang biasa aja disini barangkali. Sesekali dalam cerita mereka sering bertukar pandang, sambil saling bertanya jika ada detail yang luput. Ah, sungguh menarik dan romantis juga. Belum lagi kisah Arthur yang banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling dunia sementara istrinya mengabdikan diri sebagai perawat hingga kemudian pension.

Saya tak tahu apa mereka punya anak. Cerita pengalaman hidup mereka membuat saya lupa tanyakan soal itu. Apalagi mereka lebih senang cerita soal anjing kesayangan. Jadilah kombinasi cerita anjing, nikah tua dan keliling dunia menjadi topik utama silaturrahmi.

Malam itu sebenarnya masih ingin saya dengar banyak cerita lagi. Tapi tak tega juga melihat badan tetangga tua saya itu yang mulai menggigil karena angin yang menusuk. Meski sudah spring, dingin bukan berarti pergi begitu saja. Saya pun rasanya tak tahan juga. Tak ber-jumper, dan pula tak ber-sepatu membuat pilihan menjadi terbatas. Tadi sekedar niat mengetes daya tahan tubuh, dan percaya dengan cerahnya cuaca. Namun salah, cerah tak berarti hangat. Maka pamitlah saya sambil berjanji untuk bersua mereka lagi dan berharap semoga besok ada cerita baru untuk didengar.

Friday, March 30, 2007

Syukur

Cerita tentang kehidupan individual di negeri ini sudah sering saya dengar. Wanti-wanti seperti ini juga yang banyak dilontarkan saat mengikuti training sebelum berangkat kesini. Yah tidak kenal ama tetangga lah, tak suka campur-urus perkara orang lain lah, hingga yang agak keren dikit, don’t put your foot on other’ shoes, sebagai nasihat mumpuni.

Namun kemarin, tepatnya minggu kemarin saya merasa perlu sedikit menata kembali pikiran sambil berucap syukur bahwa saya masih bisa punya tetangga. Contoh-contoh seperti yang terungkap diatas memang telah terjalani dengan baik. Namun yang ini, sungguh, tak sampai hati rasanya. Menjadi individu yang merdeka tentu punya resiko, tapi tetap saja, ada “rasa” yang hilang dari hidup itu sendiri. Kesadaran seperti ini sebenarnya sudah banyak dilontarkan. Dalam beberapa kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden (salah satunya Bush) di negara maju, kampanye untuk mengembalikan peran keluarga dan masyarakat sebagai kekuatan makin nyaring disuarakan. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.

Tetangga yang tinggal tepat diatas flat (lantai 6) kami meninggal. Parahnya, tubuh layunya ditemukan setelah seminggu lebih ia menghembuskan nafas terakhir. Itu pun berkat spekulasi Martin, si loper koran yang mencium bau menyengat saat mencoba memasukkan koran melalui lobang surat. Sang loper juga kebetulan tinggal seflat, tepatnya di lantai tujuh. Ia coba memanggil dan mengetuk pintu, lama tak ada jawab, ia pun menelpon polisi. Dan kekhawatirannya pun terbukti..

Operasi polisi ini praktis diam dan tanpa pelibatan tetangga. Buktinya, tetangga lain yang tinggal selantai dengan ia yang meninggal dunia pun tak tahu. Saya, istri dan teman serumah pun mengetahuinya dari cerita Martin, yang memang dekat dengan kami. Saat turun ingin keluar flat, ia melonjak dan kaget mendengar bunyi pintu kami buka. Rupanya bayangan buruk sejak ia mencium bau menyengat itu belum juga pergi. Awalnya ia tak mau berbagi cerita. Tapi setelah didesak, akhirnya ia pun menuturkan cerita itu, dengan catatan tak usah membagi cerita ke tetangga yang lain. Mungkin agar tak mengganggu stabilitas, begitu pikir saya.

Sehari setelah persitiwa itu pun, tak ada reaksi luar biasa. Bahkan, saya menjamin tidak banyak penghuni yang tahu. Kami memang tidak dekat dengannya, bahkan cuma sesekali berpapasan dengan tetangga itu. Tapi tetap saja, ada rasa yang mengganggu. Sebagai tetangga, tentu tak sekedar urusan "elok" jika memilih melibatkan diri, atau sekedar khawatir.

Oh yah, gedung tempat kami tinggal ini berisi flat yang kebanyakan penghuninya adalah pensiunan. Banyak diantara mereka malah tinggal sendiri, tidak ada keluarga dan anak. Mungkin karena tak ingin dianggap durhaka, anak mereka kemudian memilih menyewakan flat ketimbang membawa orang tua mereka ke panti jompo. Nasib yang sama menimpa tetangga yang meninggal itu. Ia sendiri, tidak ada sesiapa yang menemani.

Di negeri ini, teknologi dan masa depan sama tidak jelas ujungnya, kalau toh ia pas untuk disandingkan. Smartphone hari ini, akan menjadi purba dalam rentang tak terlalu lama dan tergantikan dengan sesuatu yang baru. Kita jadi tak bisa membayangkan, bagaimana akhir dari gerak maju teknologi ini. Hidup juga begitu, tua dan kematian seperti suatu yang tak tergambar. Banyak nilai yang kemudian tergantikan. Lalu, dimanakah kenikmatan hidup yang dicita-citakan itu?

Kembali, saya harus mengucap syukur..

Tuesday, March 20, 2007

Gombalisasi

Ini kali kelima ada orang yang menganggap saya orang India. Kali ini kawan dari Tanzania, setelah sebelumnya kawan dari Korea, Bangladesh, Pakistan dan India sendiri. Khusus yang India, sampai lebih dari dua orang. Apa karena saya mirip Saruk Khan atau karena kulit sawo yang kelewat matang khas asia? Yang lebih parah saat orang India sendiri yang mengira saya sekampung, sambil bertanya dengan bahasa India. Tak salah, saat itu saya jadi bingung sendiri, sambil menenangkan hati bahwa mereka tidak sedang mengejek saya. Sebelumnya pula, ada dugaan yang tidak terlalu buruk. Saya dari Philipina atau Thailand. Yah, ASEAN lah, skornya ga terlalu buruk untuk urusan tebakan.

Kasus saya mungkin masih mendingan. Teman dari Korea, yang dari tampang dan nama jelas khas Korea malah dianggap berasal dari Afrika. Ini kejadian saat ia mengurus SIM Inggris, mengalihkan status SIM Korea nya. Entah ini kesalahan pengisian form atau apa, yg jelas di SIM itu tertera asalnya dari Afrika. Terbukti, modern, teknologi tinggi, tak menjamin manusia menjadi lebih bercita rasa. Ini bukan soal rasisme atau upaya diskriminasi, tapi begitulah adanya.

Globalisasi, dari kaca mata bisnis dan ekonomi punya arti sederhana. Tidak ada batas, borderless, bahasa kerennya. Lupakan dulu definisi-definisi rumit dari scholar dan jurnal. Sederhananya ya seperti itu, ga terbatas. Dan ternyata, itu yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Tak ada batas, dalam arti bahwa tak terbatas upaya orang untuk mengira saya sebagai orang India. Tak terbatas pula upaya saya untuk menganggap diri sebagai Brad Pitt, meski untuk yang ini dijamin ga ada yang bakal percaya. Tapi yah, namanya juga usaha.

Atau, beberapa hari ke depan mungkin ada yang menganggap saya sekampung mereka di Shanghai. Siapa tahu…

Saturday, March 17, 2007

Bahagia

Pekan ini, saya terima banyak kabar bahagia. Maksudnya, mereka yang mengabarkan berita berbahagia, saya pun berbahagia mendengarnya. Dua orang kawan, akan “menuntaskan masa lajang”, begitu kutipan resmi dari pesan di milis.

Kawan pertama, ada di Bone. Ia pernah menjadi teman serumah. Ah, tepatnya saya yang menumpang di rumahnya. Tak ada nama siapa pendampingnya, tapi yang jelas, tetap semangat dan selamat untuknya. Sejak lama ia memang memiliki niatan itu, mungkin baru sekarang dapat jawaban dari shalat istikharahnya yang khusyuk itu.

Kawan kedua di tanah jauh sana, di Vermont. Undangan via milis dan harapan agar doa terkirim untuk mereka, disertai kutipan manis dari M. Scott Peck, M.D., “Love is the exercise of choice. Two people love each other only when they are quite capable of living without each other but choose to live with each other”. Sungguh luar biasa.

Dunia ini makin menarik memang, sejak kita sadar dan tahu bahwa tidak semua hal yang kita rancang, dengan matang sekalipun, akan berwujud. Begitulah adanya hidup.

Selamat berbahagia, kawan(s).

Tuesday, March 13, 2007

Terima kasih

Kaos tak dapat ditolak, kopi Turki tak dapat ditampik. Ya, saya beruntung rasanya mendapatkan 2 kaos dari teman yang baru pulang dari Cina. Saya lupa nama kota tempat ia tinggal, kalau tidak salah di bagian selatan Beijing.

Lalu, apa spesialnya kaos Cina itu? Pertama, tentu karena itu pemberian dan patut dihargai. Kedua, ini yang tidak penting, Oke, hampir 70% produk TPT (tekstil dan produk tekstil) yang ada di dunia ini rasanya made in China. Ini hanya kisaran kasar, tapi saking banyaknya, yah kisaran itu bisa jadi halus. Entah itu bermerek adidas, nike atau umbro. Tapi yang ini, asli buatan China tanpa merek-merek global yang "mengintimidasi" itu. Yang pertama tulisan kaligrafi cina yang artinya kesejahteraan. “Semoga ini menjadi doa bagi perjalanan hidup kamu”, begitu kata teman saya. Kaos yang kedua bergambar Deng Xiaoping, tokoh penting dibalik kesuksesan Cina. Ia terkenal dengan ungkapannya, “bukan kucing hitam atau kucing putih yang penting, melainkan kucing yang dapat menangkap tikus”.

Kopi Turki? Ah, itu hadiah dari teman Jepang yang baru menghabiskan weekend di Turki. Tahu saya penggemar kopi, maka jadilah kopi Arabica dengan sampul coklat berbahasa turki itu yang jadi pilihan cenderamata. Ketika saya tanya apa artinya, ia cuma yakin bahwa itu kopi enak. Soal arti, masihkah ia perlu saat kita menyeruputnya?

Terima kasih untuk mereka berdua. Semoga ada kesempatan untuk berbalas baik.

Thursday, March 08, 2007

Ini Hari

Lama tak mampir ke blog ini. Bukan soal tugas yang menumpuk, atau tidak ada ide. Bukan itu betul yang membuat rumah sederhana ini jarang ditengok. Cuma malas aja, ga lebih, itu agar tampak lebih bertanggung jawab aja kelihatannya. Selebihnya, yah emang belum cukup berdisiplin aja, begitu kata aan.

Saat antri menunggu pesanan cheese burger untuk makan siang, tiba-tiba dihampiri seorang kawan Indonesia yang mengajak nonton All England. Katanya ada tiket satu biji, gratis. Yang punya tiket lebih memilih ke Manchester nonton piala champion. Baguslah kalo begitu, rezeki memang tidak jauh-jauh, begitu kata orang bijak.

Sebenarnya sejak bulan lalu udah ada tawaran tiket yang diumumkan di milis. Namun karena bertepatan dengan jadwal sekolah dan assignment yang seperti janjian bikin deadline berdekatan, maka saya tak tertarik untuk beli tiket. Alasan lain, dan ini yang utama, harganya cukup membuat kita merogoh kocek lebih dalam [ini istilah koran yang sejujurnya ga pas], meski untuk sudent selalu ada diskon yang cukup membantu.

Tawaran itu rasanya sayang untuk dilewatkan, meski saya bahkan tidak tahu siapa pemain Indonesia yang akan main. Tapi tak apa, hitung-hitung cari pengalaman. Makan siang itu terpaksa panas-panas dibungkus, soal rasanya yang tidak gurih dan lezat lagi ga masalah.

Sesampai di National Indoor Arena, saya betul-betul serupa orang yang tak berpengalaman. Ada dua ganda Indonesia yang sedang bermain di lapangan, tak ada satupun yang saya tahu namanya. Kan ada nama mereka di belakang kaos? Iya, tapi entah siapa yang mendesain kostum itu, nama pemain jadi tidak jelas. Kalau toh warnanya jelas, pilihan hruf tegak jadi tidak pas dengan nama orang Indonesia yang panjang. Untuk pelupa dan bukan fans atlit bulutangkis seperti saya, itu tentu membuat diri menjadi sedih [sampai segitunya..] Terpaksalah teman sebelah duduk yang udah berbaik hati memberikan tiket gratis berubah fungsi seperti tourist guide menjelaskan siapa dan bagaimana jejak rekam pemain-pemain itu. Iya, sangat detail teman itu menjelaskan, lengkap dengan gosip-gosip serta item-item yang ada di ensiklopedia lainnya, entah itu tentang kejuaran yang pernah diikutinya atau tentang momen yang dikenangnya saat menonton pemain itu melalui tipi di rumahnya.

Kalau soal atmosfer, yah miriplah kalau nonton-nonton lainnya. Teriak dan rebut-ribut. Cuma gregetnya belum luar biasa, masih pecah karena dari enam lapangan yang tersedia semuanya terepakai. Jadi, agak susah untuk fokus nonton satu pertandingan. Yang menarik bagi saya adalah bahwa tadi ada beberapa pemain dengan nama yang sangat Indonesia (akhiran “to” atau “wan”) yang membela negara seperti Perancis, Hongkong dan juga USA. Partai ganda putra tadi, saat Indonesia versus Hongkong. Kedua ganda itu asli Indonesia, untungnya Indonesia menang. Kasian soalnya lihat tim Hongkong itu dicaci dan dianggap seperti penghianat. Teriakan seperti bukan “Indonesia asli”, “Dimana rumah Lo” sampai yang kasar seperti “penghianat Lo” tak henti bergema [duh, hyper lg nih]. Ah, kasian betul mereka. Bukankah mereka tak ada bedanya dengan insinyur Indonesia yang kerja di Shell atau BP? Atau Wirawan [sungguh, ini nama samaran] yang menghabiskan seperempat umurnya di lembaga riset pertahanan Inggris sebagai ahli rudal?

Yang menarik lainnya, cerita dari anak-anak di PPI tentang tingkah dan kebiasaan pemain Indonesia saat bertandang disini. Menurut kabar, ada pemain yang kalah saat pertandingan penyisihan pagi tadi, langung berangkat ke Manchester untuk nonton piala champion. Pokoknya banyaklah mereka cerita, sebab saat menjemput di bandara hingga menemani jalan-jalan, katanya selalu ada yang “menarik”, meski belum pas untuk dikonsumsi banyak orang. Apalagi kalau wartawan infotainment tahu, bisa kelewatan jadinya. Seberapa menarik, saya sendiri tidak tahu dan tidak berani berspekulasi.

Belum ada kabar terbaru apa besok hingga final hari akan ada tiket gratis lagi. Tapi semoga saja ada dan bisa nonton lagi. Kali ini akan lebih menarik, meski tidak ada jaminan pemain Indonesia akan terus berlaga hingga akhir pertandingan. Kalau toh tak ada, semoga tim Indonesia bisa berbuat yang terbaik, sambil membayangkan diri sebagai pejabat olahraga yang sedang melepas keberangkatan kontingen setelah di beberapa paragrap di atas mencoba menjadi wartawan olahraga plus gosip.