Thursday, November 19, 2009

Unfair

Perancis Vs Ireland. Pertandingan ini sebenarnyar seru, butuh 120 menit untuk menentukan tim yang lolos ke Afrika Selatan. Tuan rumah akhirnya berhasil lolos. Pelatihnya pasti dianggap paling berhasil dalam sejarah sepakbola modern Perancis. Lolos dalam tiga kejuaraan secara beruntun, memang bukan prestasi yang buruk.

Kalau ada yang kurang berkesan dari pertandingan subuh tadi, hanyalah hilangnya sportifitas sepakbola. Henry memang mengaku melakukan handsball. Tapi komentar selanjutnya yang mengejutkan, "I'm not the ref". Ok, you're not the ref, but don't you think you do it by intention?.

Jangan-jangan ada konspirasi besar yang sudah menentukan negara-negara mana saja yang patut ada di Afrika Selatan untuk bermain sepak. Bisa jadi, Irlandia tak ada dalam list itu. Jika ini betul, jutaan orang terhianati oleh lembaga besar bernama FIFA.

Thursday, September 17, 2009

Permen Sebagai Alat Bayar

Semalam bersama istri saya berbelanja di Ramayana. Bukan, bukan karena ingin mengejar late night shopping-nya yang menawarkan diskon murah yang mencederai logika itu. Niatan kami sederhana, membeli barang-barang kebutuhan pokok yang makin menipis cadangannya di rumah. Melihat-liat barang murah, itu adalah bonus.

Nah, ketika di kasir saya sebenarnya sudah punya prasangka buruk. Plastik besar pembungkus permen terebar di lantai dekat meja kasir. Ini pertanda bakal ada 'diskusi panjang' lagi..

Ketika tiba giliran saya membayar, saya kemudian menyerahkan sejumlah uang. Di layar monitor tertera sejumlah nilai yang menjadi kembalian saya. Ada nominal kecil sejumlah 300an rupiah. Sang kasir kemudian mengembalikan duit saya, plus dua biji permen. Saya tanya, "kok permen, mbak". Sang mbak cuma menjawab bahwa ia tidak punya duit kecil.

Berkeliling sejenak, istri saya menemukan barang yang ia cari dan pas dengan kantong. Saya dimintanya untuk antri di kasir dan membayar. Kejadian yang sama berulang. Pengembalian duit saya masih dibarengi dengan permen. Saya kemudian bertanya, bisakah saya membayar dengan permen? Sang mbak kasir diam seribu bahasa. "Kalau tidak bisa membayar dengan permen, jangan mengembalikan dengan permen".

Satu orang dengan nominal 200-300 rupiah memang tak seberapa. Tapi coba bayangkan jika semua orang yang berbelanja di ramayana diperlakukan hal yang sama. Taruhlah ada 3000 orang yang berbelanja, dan setengah dari jumlah itu mendapatkan kembalian permen. Berapa banyak yang bisa didapatkan Ramayana dari unwanted transaction ini? Unwanted (Tidak diinginkan) karena pembeli tetap mendapatkan permen sebagai ganti duit receh yang tak dimiliki oleh Ramayana.

Moral ceritanya, jika ingin berbelanja di Ramayana, maka siapkan permen sebanyak-banyaknya. Kali aja di sana permen sudah jadi alat transaksi resmi.

Thursday, August 27, 2009

Sampah

Peningkatan GDP di banyak negara termasuk Indonesia, telah membuat efek positif yang luar biasa. Ini mengindikasikan pula terjadinya peningkatan kesejahteraan, perubahan pola konsumsi serta standar hidup yang meningkat. Hal kecil yang bisa kita lihat sebagai efeknya adalah meningkatnya tingkat konsumsi banyak dari kita. Peningkatana jumlah konsumsi berimplikasi pula pada peningkatan jumlah sampah.

Jika di banyak negara, khususnya negara maju melihat ini sebagai sebuah ancaman di masa datang, tidak demikian yang terjadi dengan negara berkembang, termasuk Indonesia. Sampah masih dianggap 'biasa-biasa' saja, untuk tidak mengatakannya tidak berbahaya dan bukan ancaman sama sekali.

Tak jauh dari rumah saya, ada tanah lapang. Nah, karena tidak ada penampungan sampah sementara yang disediakan oleh pihak developer, maka tanah lapang yang dulunya betul-betul lapang itu, mendadak menjadi tempat pembuangan sampah. Parahnya, ini tidak hanya terjadi di dekat rumah saya, tapi juga di sekitar rumah yang posisinya di pojok dan ada tanah kosong di sekitarnya.

Saya pernah memasang papan pengumuman, bahwa dilarang membuang sampah di sekitar tanah lapang itu. Tentu, tak perlu pakai kosakata 'terlarang' sebagaimana banyak dijumpai di daerah terlarang buang sampah. Mungkin mereka yang pasang itu sudah frustasi berat dengan sampah yang makin menggunung. Tak sampai seminggu, papan itu hilang tanpa jejak.

Kembali ke kasus saya, sampah yang dibuang pun bukan sampah kering. Banyak diantaranya sisa-sisa makanan, dan yang pasti, plastik. Tak habis pikir saya betapa plastik ini makin banyak menyertai perjalanan hidup kita. Mulai dari kemasan sabun, sampo, hingga plastik kresek untuk belanjaan dan bungkus makanan.

Ke depan, pemakaian plastik harusnya dikurangi. Selain karena jenis ini sangat sulit untuk diuraikan oleh tanah, efek bagi kesehatan juga banyak. Saya tak tahu pasti efeknya apa, tapi yang saya ingat, lebih banyak negatifnya. Untuk bisa mengurangi, banyak cara yang bisa dilakuka. Dengan tidak meminta tas plastik untuk barang-barang yang bisa dibawa dengan tangan, atau dengan menggunakan tas serta plastik bekas. Untuk lebih menekan, pemerintah perlu membuat regulasi yang mengharuskan toko dan supermarket untuk menekan penggunaan plastik. Bisa juga dengan mengenakan bayaran kepada konsumen jika tetap meminta plastik.

Sekarang mungkin masih banyak tanah lapang, meski tak lagi luas, yang bisa jadi tempat pembuangan sampah. Saya tak yakin ke depan, akan terus bertahan seperti ini. Apalagi, bau sampah dan juga sisa kotoran yang dibuang dekat rumah saya, makain lama makin membuat tak nyaman. Mungkin saatnya saya harus memasang papan larangan membuang sampah yang baru, kali ini dengan kata yang lebih keras lagi.

Friday, August 21, 2009

Ramadhan

Sebuah mesjid diperebutkan oleh dua jamaah yang berbeda aliran. Satu aliran menganggap aliran lainnya sesat dan kerap mendominasi cara beribadah di mesjid tersebut.

Di lain tempat, sekelompok orang dengan mengatasnamakan Islam merusak dan menghancurkan beberapa gerobak dagangan yang buka menjelang ramadhan. Tak ketinggalan, mereka pun layaknya jagoan memburu dan memukul secara membabi buta orang-orang yang melawan dan menganggap mereka kafir.

Di tempat terpisah, petugas ketertiban me'nertibkan' wanita-wanita PSK, yang dianggap akan mencemari bulan ramadhan. Mereka diuber bagaikan penjahat dan juga pencemar masyarakat.

Selamat datang Ramadhan...

Wednesday, August 19, 2009

Nationalist

Proudly, I declare that I'm a nationalist now. What, a nationalist?

Here's the story. Few days before independence day, I incidentally heard a news on a local TV. The news stated that official of Makassar major ask for the citizen to place a flag in front of their houses.

So, I've placed a flag in front of my house, Am I a nationalist?

Tuesday, August 04, 2009

Home

Di koran KOMPAS, ada satu rubrik, khususnya di Kompas Minggu yang paling saya suka. Aku dan Rumahku, begitu nama rubriknya. Rubrik ini bercerita tentang tokoh terkenal dengan rumahnya, termasuk cerita dibalik itu semua. Tak semua dari mereka yang ditampilkan itu memiliki rumah "wah" serupa di sinetron-sinetron tipi kita. Beberapa bahkan memiliki rumah sederhana dan biasa-biasa saja.

Namun yang paling menginspirasi saya bukan bentuk dan desain rumah mereka. Cerita dibalik rumah itu yag begitu mengena. Bagaimana sulit dan rumitnya mewujudkan impian memiliki rumah idaman, serta kerja keras yang menyertainya, itu yang betul-betul 'enak dibaca'. Rubrik ini sungguh menginspirasi saya untuk memiliki rumah "sendiri".

Satu lagi yang turut menginspirasi, saat sekolah master dulu, saya paling suka dengan lagu Michael Bubble, Home. Lagu ini tak hanya membuat rindu akan kampung halaman terus tumbuh, tapi juga memberi sprit, untuk menyelesaikan segala urusan yang terkendala.

Nah, ketika terinspirasi inilah, yang membuat saya ingin segera memiliki rumah sendiri. Setengah tahun tinggal di rumah orang tua, membuat diri tidak kreatif. Apalagi memiliki orang tua yang luar biasa baiknya, adalah penyiksaan tersendiri. Tak ada aktifitas inovatif yang bisa dilakukan, tak pula bisa beli barang sembarangan. Pokoknya, begitu deh..

Ini yang kemudian membuat kami segera mencari rumah. Pilihan lokasi dan harga tentu jadi pertimbangan. Namun tidak memonopoli, yang jelas, pindah lebih cepat lebih baik.

Singkat cerita, rumah itu kami dapat, dan culturally, kami sudah menempati rumah baru kami. Culturally? Iya, sudah dengan acara-acara kultural khas orang-orang tua. Awalnya sih menolak, tapi yah diakomodasi saja. Rumah ini, meski mungil, namun alhamdulillah tanahnya cukup luas. Kalau toh ada yang kurang, ya kurang ramai aja. Rumah di sekitar tempat kami masih kosong. Pemiliknya belum pada menempati rumah-rumah mereka.

Ini hanya awal untuk mewujudkan impian-impian kecil. Semoga menjadi berkah, rezki dan jalan kami dilapangkan. Terima kasih Tuhan...

Thursday, July 09, 2009

Dia Lagi

Dia menang lagi. Semua lembaga survey menunjukkan angka kemenangan mutlak baginya. Tak sesuai dengan prediksiku memang. Eh, bukan prediksi tepatnya, harapan.

Semalam kumpul dengan beberapa kawan seharapan. Banyak kecewa dan konspirasi yang keluar. Saya tak menyalahkan. engkau pun pasti tahu, jika sesuatu yang kau dukung habis-habisan, seluruh jiwa raga dan yang kau punya (kecuali nyawa), tiba-tiba dinyatakan kalah. Apalagi semangat dalam tim sebelum hari penting itu betapa tingginya. Dahsyat, keyakinan dan rasa percaya diri yang belum pernah kutemukan sebelumnya.

Tapi hidup ini harus berlanjut. Semangat jangan kendur. Selamat buat bapak yang berbadan besar itu. Ia telah membuktikan bahwa ia banyak kuasa dan usaha. The question then, masihkah ini mengasyikkan??

Saturday, April 25, 2009

Ujian (tak perlu) Nasional

Kalau banyak yang menyerukan peninjauan ulang terhadap Ujian Nasional (UN), maka saya setuju dengan mereka.

Pengalaman selama mengawas UN di salah satu sekolah di Luwu Timur ini makin menegaskan pendapat itu. Sebagai bagian dari upaya untuk menjadikan hasil UN sebagai bagian dari penilaian jika siswa ingin melanjutkan pendidikan ke universitas, maka pihak universitas dilibatkan dalam pelaksanaan UN kali ini. Satu tim dari universitas yang terdiri dari dua orang, terlibat dalam pelaksanaan UN di sekolah. Tugas kami sebenarnya sederhana, sekedar memastikan pelaksanaan UN berjalan lancar dan tindakan-tindakan tidak terpuji dapat dikikis seminimal mungkin. Begitu kutipan pidato saat pelepasan di kampus dan juga harapan dinas pendidikan saat penymabutan.

Hari pertama semuanya berjalan biasa-biasa saja. Bersama pengawas lain, kami sepakat ini adalah “bonus” sambil melihat-lihat kondisi yang ada dan juga bagian dari pengenalan medan. Bonus karena kami tak melakukan pengawasan keliling di ruang-ruang kelas dan sekedar menghabiskan waktu di ruang guru dan kepala sekolah. Bonus ini juga berangkat dari upaya “berbaik sangka”, bahwa semuanya akan berjalan normal dan biasa-biasa saja.

Saat hari kedua berlangsung, kami kemudian melakukan inspeksi mendadak keliling ruangan kelas. Tentu, ini atas seizin dan sepengetahuan kepala sekolah sebagai ketua pelaksana tingkat satuan pendidikan. Tindakan ini kami ambil saat melihat pelaksanaan hari pertama yang berjalan “tidak semestinya”, paling tidak jika aturan dan standar operasional dari Diknas yang menjadi acuan.

Pengawasan yang longgar, teramat longgar, bahkan. Bayangkan siswa berjalan hilir mudik berbagi jawaban di dalam kelas. Sementara pengawas ruangan asyik begosip ria di pojok kelas, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Di ruangan lain, kami temukan beberapa handphone, yang berisi kunci jawaban. Parahnya, dari salah satu hp yang kami periksa, terdapat sms yang berasal dari salah satu guru di sekolah itu.

Pelanggaran lain bukannya tidak ada. Terlalu banyak jika mau dituliskan di sini.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah UN telah melembagakan praktik kecurangan di sekolah. Sekolah sebagai tempat mencari ilmu dan berkreasi, serta menjadi wadah menemukan karakter diri, berubah menjadi tempat penuh dusta.

Jika dirunut ke belakang, tentu siswa, guru dan sekolah tak bisa disalahkan begitu saja. Tepatnya, mereka hanyalah korban dari elite yang berniat meninggikan status pendidikan di negeri ini dengan cara-cara yang keliru.

Tes ujian masuk perguruan tinggi tentu tak sama dengan UN. Ada perbedaan mendasar diantara keduany. Yang pertama lebih fokus pada proyeksi kemampuan calon mahasiswa untuk menjalani pendidikan di perguruan tinggi sementara yang kedua lebih fokus pada pengukuran keberhasilan siswa dalam menyerap materi yang telah diberikan.

Belum lagi kegenitan aparatur negara dan daerah yang melihat prestasi sebagai sebuah barometer kebanggaan. Tak heran dalam pertemuan dengan bupati dan kepala sekolah, para kepala sekolah diancam akan dimutasikan jika tingkat kelulusan siswa di sekolah mereka “mengecewakan”. Akibatnya, kerja mereka membuat sekolah tak lebih serupa bimbingan belajar. Targetnya sederhana, bagaimana murid mampu menjawab soal-soal dalam ujian nasional. Soal bagaimana mereka mendapatkan jawaban, itu soal lain. Ini ditambah lagi dengan kerjasama sekolah dengan bimbingan belajar, khususnya menjelang akhir tahun pelajaran. Parahnya, perhatian terhadap mata pelajaran yang tidak diujikan di UN menjadi minim dan sekedarnya sahaja.

Melibatkan dosen dan juga polisi dalam pengawasan ujian ini juga menjadi perhatian serius. Kehadiran “orang-orang kota”, begitu beberapa guru memanggil kami, dan juga korps cokelat membuat UN serupa hajatan besar yang sungguh penting luar biasa. Seorang guru dengan bercanda bahkan mengatakan kehadiran polisi dan dosen membuat mereka merasa tak dipercaya oleh Negara.

So, pelaksanaan UN harusnya ditinjau ulang. Biarkan sekolah dan guru yang menjadi penentu dari keberhasilan siswa. Sebab mereka tentu yang lebih tahu kondisi dan kapasitas siswa. Orang-orang kota perlulah dilibatkan, tapi tak lebih pada upaya peningkatan kapasitas guru dan mendekatkan mereka dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ketimbang membuang duit milyaran rupiah, ada baiknya peningkatan mutu pendidikan tak lagi dilakukan dengan pendekatan birokratis. Itu saja.

Tuesday, March 03, 2009

Banyak Nama

Saat ini, hampir tak ada ruas jalan yang bebas dari spanduk, baligo dan foto-foto caleg. Tak kebayang berapa banyak nama dan wajah yang harus dihapal, sebagai bagian dari persiapan pemilu. Ini dengan asumsi, pemilih memang ingin tahu lebih banyak tentang calon mereka. Kalau yang cuek aja, rasanya banyak nama dan gambar ini seperti mengganggu hak mereka untuk mendapatkan suasana nyaman saat di jalan. Apakah para pemilik nama dan gambar ini sadar? Kalau saya di tempat mereka, rasanya jawabn kami serupa. Tak ada pilihan lain. Untuk dikenal, promosi standar seperti ini menjadi pilihan terbaik.

Tapi tak selalu harus negatif melihat itu. Paling tidak, bagi mereka yang mencari nama anak, akan banyak referensi nama tanpa harus membeli buku nama-nama muslim atau nama-nama bagus untuk bayi mereka. Atau paling tidak, mereka akan tahu nama-nama yang tidak baik untuk anak mereka kelak.

Mungkin setelah pemilu ini akan ada yang membuat buku kumpulan nama-nama untuk bayi, yang bahannya diambil dari nama-nama caleg di banyak ruas jalan. Siapa tahu ada yang berminat...