Friday, November 09, 2012

Sebuah Catatan Merayakan Perkawanan

catatan ini diniatkan sebagai kado buat kawan yang bulan depan melangsungkan pernikahan...

Gary S. Backer, seorang ekonom dari University of Chicago pernah menulis sebuah artikel menarik dengan judul “A Theory of Marriage”. Bagi Gary, teori-teori ekonomi sebenarnya bisa digunakan untuk menjelaskan banyak hal, termasuk perkawinan. Hal ini diungkapkannya untuk memperkuat argumen bahwa sesungguhnya teori-teori ekonomi memiliki kekuatan analitik untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam penjelasannya, Gary menggunakan dua prinsip dasar ekonomi. Pertama, jika diasumsikan bahwa perkawinan itu bersifat sukarela, entah itu oleh calon pengantin dan dengan kerelaan dari pihak orang tua, maka sesungguhnya pernikahan menjadi upaya untuk meningkatkan tingkat utilitas (berdasarkan theory of preference) ketimbang tetap melajang. Prinsip kedua, sejak pria dan wanita ‘bersaing’ untuk mendapatkan pasangan, maka bisa dikatakan bahwa ‘pasar’ dalam pernikahan itu ada dan setiap orang akan berusaha mendapatkan pasangan ideal sesuai dengan mekanisme pasar yang ada.

Tapi tak setiap pernikahan memberi pembenaran atas teori Gary tersebut. Dan saya percaya, pilihan kawan Boge untuk menikah, tak melulu atas pertimbangan ekonomi, sebagaimana yang diisyaratkan Gary. Prinsip persaingan rasanya juga tak ada dalam daftar ‘motivasi untuk menikah’ Boge. Memakai istilah Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi 2002, keputusan menikah ini ‘mungkin’ merupakan perpaduan karakter berpikir dalam otak kita yaitu ‘Sistem 1’ dan ‘Sistem 2’ sekaligus. Artinya, keputusan ini diambil dalam keadaan sadar dan tidak sadar sekaligus, juga cepat tapi lambat pada dasarnya.

Dalam beberapa kesempatan, pilihan untuk menikah, selalu disebutnya sebagai upaya untuk menyempurnakan ke-Islamannya dan mencari bahagia yang paripurna. Ya, sebab kebahagiaan hanya milik mereka yang berani. Nah, kembali ke pembagian dalam otak sebagaimana yang dikemukakan Kahneman tadi, keputusan berani, yang merupakan kombinasi dari kesadaran, keinginan, dan intuisi ini berpadu menjadi satu dalam diri Boge.

Bicara soal berani ini, kami sering berbagi canda dan sindiran soal mengapa kawan-kawan masih memilih menjadi bujangan. Tentu saja, soal keberanian menjadi senjata andalan, bahwa mereka yang memilih untuk membujang cukup lama itu berarti tidak cukup berani. Tentu, dengan segala hormat, ini hanya lelucon dan sindiran dalam konteks pertemanan kami yang terbatas, tidak lebih. Begitulah cara kami merayakan perkawanan. Bahwa melajang pun butuh keberanian berlipat, tentu beberapa pihak setuju dan membenarkannya.

Saat mendengar Boge akan menikah, saya sebenarnya masih ragu akan informasi ini. Bukan mengapa, selain sebagai kawan yang paling besar, ia juga menjadi kawan yang selalu jadi korban hoax dan beragam ‘informasi tak benar’ lainnya. Klarifikasi menjadi penting untuk urusan serius semisal perkawinan. Setelah telpon sana-sini, saya berhasil diyakinkan dan meyakinkan diri bahwa informasi ini sifatnya A1. Tidak ada keraguan lagi di dalamnya.

Sebagai kawan, saya tentu bahagia, dan sekali lagi, berbagi kebahagiaan selama ini adalah cara kami merayakan perkawanan. Dari sekedar traktiran, hingga cerita soal anak masing-masing kami yang sudah mulai bisa menyebut nama dan memanggil papa, ayah dan abi. Jika sudah sampai pada bagian yang terakhir, kami yang sudah menikah duluan kadang tak enak hati kepada kawan lain yang masih bujang. Jika bukan karena perkawanan, maka habislah kami ini dicaci –maki dan dianggap tidak manusiawi. Tapi ya itu tadi, begitu cara kami merayakan perkawanan.

Dan sebagai kawan, saya juga percaya, Boge sudah menemukan cinta sejatinya, meski dengan cara yang tidak saya duga sama sekali. Benar kata orang, cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya sebagai jalan. Tapi saya percaya ini bukan kebetulan semata. Menurut kabar, tak kecil usaha dan kerja keras Boge untuk tiba pada keputusan menikah ini.

Saya pun percaya ini bukan pembuktian, sebab ia tak perlu membuktikan apa-apa. Sebagai lelaki, ia kawan yang tangguh, penuh percaya diri dan rajin belajar. Dalam beberapa hal, ia termasuk kawan yang kreatif dan menyenangkan. Perpaduan aneh tapi nyata. Kreatif karena ia sering memilih cara-cara yang tak lazim dan berbuah lelucon, bahkan untuk urusan kecil dan remeh-temeh. Namun begitu, ia juga menyenangkan, sebab mereka yang tak setuju tak berarti tidak suka dengannya. Paling tidak, dengan begitu kami punya tambahan stok dalam berbagi canda.

Pada akhirnya Boge sudah memutuskan untuk menikah tanpa berteori. Marilah kita berdoa dan berbahagia saja. Mari merayakan kehidupan baru.

Baraka-alahu-lakuma
Wa Baraka alaikuma
Wa jam’a bainakuma fil khair


Saturday, October 20, 2012

64 Tahun FE Unhas, Berhentilah Merasa Tua (Bagian 2)

baiklah dilanjutkan....


Lalu, bagaimana dengan FEB-Unhas sendiri? Tak perlu jauh-jauh mencari perbandingan dengan sekolah-sekolah bisnis terkenal itu. Perbandingan seperti itu hanya membuat kita frustasi tak berkesudahan. FEB-Unhas saat ini masih belum bisa beranjak dari masalah-masalah elementer. Soal minimnya anggaran, atmosfer akademik yang tidak terasa, rendahnya penelitian dari dosen baik dari segi kuantitas maupun kualitas hingga pelayanan akademik yang mengecewakan bagi dosen dan mahasiswa. Infrastruktur yang ada pun layak dimasukkan dalam dafatar masalah yang setia menemani perjalanan FEB-Unhas. Lihatlah kampus Magister Manajemen yang tak lebih baik dari gedung beberapa SD Inpress di Makassar.

Ingin melihat yang lebih jauh dan substantif lagi? Tengoklah bagaimana dosen dan mahasiswa berinteraksi di kelas. Interaksi yang ada memberi gambaran bahwa mengajar dan diajar tak lebih sekedar rutinitas belaka. Tak ada gairah yang terlihat sebagai sebuah aktifitas untuk mendapatkan dan bermanfaat bagi pengetahuan. Dosen masuk kelas dengan minim persiapan, materi yang disampaikan tidak uptodate, hingga waktu perkuliahan habis untuk membahas masalah pribadi sang dosen masih sering kita dengar hingga saat ini. Belum lagi tugas yang diberikan kadang tidak relevan dengan mata kuliahnya, hingga kasus jual-beli nilai yang sulit untuk dibuktikan namun gaungnya ramai terdengar.

Tentu, menuntut mereka untuk berlaku layaknya civitas akademika idel mensyaratkan ketersediaan sumber pengetahuan seperti buku dan jurnal ilmiah. Lalu, bagaimana mengharapkan yang terbaik jika persputakaan yang ada dikelola layaknya kantor kelurahan?

Lembaga kemahasiswaan yang ada pun saat ini masih belum bisa 'move on' hingga tak ingin berbuat sesuatu yang berbeda dari seniornya yang dulu. Dialektika yang ada di antara mereka masih seputar hal remeh-temeh seperti pengkaderan, penggunaan anggaran kemahasiswaan dan demo-demo yang sifatnya reaksional semata. Tak pernah ada upaya serius untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu mahasiswa, meskipun slogan dalam setiap aksi mereka adalah 'everybody has the right for their own history'. Ada dua kemungkinan hal ini bisa terjadi. Pertama, kondisi FEB-Unhas saat ini dirasa sudah cukup memuaskan hingga tak perlu ada diskusi lagi. Kondisi kedua, lembaga mahasiswa bingung untuk memutuskan kontribusi apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada dan dari mana memulainya. Hubungan yang ada jadinya seperti 'LDR' padahal jarak kantornya cuma sepelemparan batu.

Mengurai satu per satu masalah yang pasti tak ada habisnya. Namun demikian, kita tak bisa meminggirkan peran universitas yang juga sangat menentukan. Sebagai sebuah institusi yang perannya terhadap pengetahuan dan pengembangannya terhadap kehidupan begitu berpengaruh, maka FEB-Unhas hanyalah bagian kecil dari harapan itu. Sayangnya, dalam lingkup Universitas, kondisi yang sama juga terjadi. Universitas dikelola layaknya kantor pemerintah semata hingga yang lahir dari dalamnya serupa kebijakan-kebijakan tanpa dasar dan kadang tidak masuk akal. Padahal, menurut Lyotard (1984): "The university’s relation to knowledge is articulated by a metanarrative of ‘the realization of the life of the spirit or the emancipation of
humanity and its ‘unifying idea’ and ideal of aligning culture and society".


Ambil contoh pelarangan masuk angkutan kota ke dalam kampus namun kendaraan pribadi tetap tak dibatasi. Apalagi alasan yang digunakan adalah demi lingkungan dan keteraturan kampus. Padahal, kendaraan pribadi dosen dan mahasiswa luar bisa banyaknya hingga parkir di pinggir jalan dan membuat kemacetan setiap jam-jam padat. Pola pikir seperti ini tentu sangat disayangkan muncul dari kalangan kampus. Belum lagi perpustakaan kampus yang tidak pernah mendapat perhatian lebih seperti gedung rektorat yang sudah direnovasi beberapa kali. Artinya, hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan pengetahuan tak begitu berarti untuk mendapat perhatian ketimbang hal-hal artifisial dan seremonial lainnya.

Lalu Bagaimana?

Ada pendapat yang mengatakan seperti ini, bahwa marah terhadap kondisi yang buruk itu adalah sesuatu hal yang bagus. Namun marah-marah saja karena keadaan yang buruk, lama-lama menjadi aktifitas yang meletihkan dan menjengkelkan. Nah, agar tak terjengkelkan dan terletihkan, maka ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian FEB-Unhas di 64 tahun usianya kini.

Pertama, berhentilah selalu merasa tua. Dalam setiap perayaan Dies Natalis, selalu didengungkan bahwa FEB-Unhas adalah yang tertua di Indonesia. Tidak salah memang, apalagi dokumen sejarah yang ada membuktikan itu. Tapi pemikiran dan kebanggaan semu seperti ini membuat kita jumawa dan lupa bahwa usia bukan segalanya. Kerja dan bakti nyata itu yang perlu. Perlu juga dipikirkan perayaan Dies Natalis itu dibatasi sekali dalam dua tahun saja. Seremoni yang tidak jelas sudah terlalu banyak di kampus. Perlu menitikberatkan esensi daripada seremoni belaka.

Kedua, perlu upaya serius membenahi fasilitas kampus yang ada saat ini. Fasilitas ini tentu saja sangat bergantung pada ketersediaan dana yang dialokasikan universitas. Namun alternatif pembiayaan bukannya tidak ada. Wadah alumni bisa dimanfaatkan dan juga pihak ketiga lainnya seperti korporasi dan individu. Tentu saja, akuntabilitas dan transaparansi menjadi syarat dasar agar hal ini bisa dijalankan.

Ketiga, tak boleh lagi sekedar duduk bersama mendiskusikan soal bagaimana sebaiknya iklim akademik di fakultas bisa dibenahi. Road map dan diskusi tak terhitung lagi berapa kali dilaksanakan namun minim implementasi. Meski tata-kelola dan prosedur tak boleh dilanggar, namun ini seharusnya tidak memberi batas akan kreatifitas dan pikiran berbeda untuk berkembang. Sudah saatnya pengelola fakultas berhenti berpikir dan berparadigma pejabat kelurahan.

Dalam konteks perkuliahan, perlu dibangun kesadaran bersama dari dosen untuk tidak lagi sekedar menggugurkan kewajiban semata. Insentif untuk mereka yang serius di riset perlu juga dikaji. Selain itu, perlu pula dipikirkan kerjasama dengan pihak swasta untuk menjembatani teori-praktek yang selama ini terkesan diabaikan. Tak ada salah memanggil praktisi untuk mengisi jadwal kuliah. Tentu, tak sekedar mengisi kuliah semata, tapi diharapkan mampu berbagi pengalaman tentang realitas di luar yang mungkin saja luput dari perhatian kita di kampus. Generasi hi-tech saat ini sudah tidak dapat lagi didekati dengan pendekatan a la 'jadul', meski prinsip-prinsip dasar dalam belajar masih tetap harus dipertahankan. Prinsip-prinsip seperti kesungguhan, kerja keras dan kejujuran harus menjadi basis dalam setiap aktifitas pembelajaran. Pelibatan makin banyak dan beragam

Kampus sudah selayaknya tak hanya berfungsi sebagai penyebar pengetahuan (disseminator of the knowledge) tp menjadi basis dari pengetahuan itu sendiri (a site of knowledge production). Namun jika masih dikelola seperti kondisi yang ada saat ini, rasanya keinginan itu masih jauh sekali. Kampus puh tidak boleh lepas dari akar kulturalnya. Dalam visi besar FEB-Unhas, semangat bahari jelas termaktub. Bagaimana implementasinya? Sederhana menjawabnya, tidak ada mata kuliah khusus yang membahas dan menerjemahkan visi ini.

Padahal, jika betul dipahami dengan baik, maka ini bisa menjadi basis pembeda FEB-Unhas dengan FEB yang lain. Selain itu, semangat bahari dan ekonomi kerakyatan yang menjadi spiritnya, bisa digunakan sebagai dasar dalam membentuk ‘narratives of expertise’ dari FEB-Unhas.

Akhirnya, semoga Dies Natalis kali ini menjadi langkah awal menjadi lebih baik dan bermanfaat. Tak harus selalu merasa tua.. Dirgahayu FE-Unhas ke-64.





64 Tahun FE Unhas, Berhentilah Merasa Tua

Setiap bulan Oktober adalah bulan istimewa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas (FEB-Unhas). 8 Oktober 1948, Fakultas ini dibentuk sebagai bagian dari upaya desentralisasi pendidikan tinggi saat itu. Niat awalnya untuk memenuhi kebutuhan guru-guru ilmu ekonomi dan pemegang buku di sekolah-sekolah menengah di Indonesia.

Tahun ini, tepat 64 tahun FEB-Unhas. Sebuah usia yang tak bisa dikatakan muda lagi. Namun sayangnya, dalam setiap tahun acara peringatan Dies Natalis ini, praktis tidak banyak perubahan berarti. Usia yang tak muda lagi rupanya berimplikasi pada kinerja kelembagaan yang tak juga beranjak meninggi. Ini tak menafikan beberapa perubahan yang ada. Namun demikian, perubahan itu seharusnya sudah terjadi beberapa tahun lalu.

Perubahan paling sederhana (dan mungkin malah yang paling tinggi tingkat pencapaiannya) adalah perubahan nama dari Fakultas Ekonomi (FE) menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Perubahan ini sayangnya tidak diikuti dengan perubahan paradigma yang berarti. Sederhananya, perubahan ini sekedar mengikuti trend perubahan nama di beberapa perguruan tinggi lain. Perubahan lain yang juga mencolok adalah pembangunan fisik dan kampus yang sedikit tertata. Namun sekali lagi, tak perlu visi dan usaha luar biasa besar untuk perubahan 'kecil' seperti ini.

Mengelola FEB-Unhas memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi, sebagai bagian integral dari Unhas dan kementrian pendidikan dan kebudayaan, tentu ada mekanisme dan tata-aturan yang harus diikuti. Pemahaman prosedural memang menjadi penting ketika ingin melihat institusi ini secara utuh.

Meski begitu, hal ini tak bisa menjadi alasan pembenar dari 'lambat-gerak' FEB-Unhas menghadapi masa depan. Apalagi disadari, tantangan pendidikan tinggi ke depan semakin besar. Tantangan yang besar ini dibarengi pula dengan tuntutan yang tinggi akan kontribusi institusi pendidikan tinggi, yang bagi beberapa kalangan dirasa belum berarti (untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali).

FEB-Unhas sebagaimana Fakultas Ekonomi yang lain sebenarnya berdiri di persimpangan jalan. Berbicara ekonomi dan bisnis maka kita tentu tak bisa melepaskan diri dari persinggungannya dengan sosial, politik dan budaya. Ini pula yang melatari banyak kritik terhadap pendidikan ekonomi di perguruan tinggi. Kita mungkin bisa belajar dari perjalanan panjang sekolah-sekolah bisnis di Amerika dan Eropa. Di era pasca perang dunia II, di Amerika khususnya, sekolah-sekolah bisnis (business schools) dikritik tak ubahnya sebagai 'trade schools'. Hal ini dilatari dari minimnya kontribusi pengetahuan, yang diakibatkan oleh lemahnya riset-riset dari perguruan tinggi tersebut. Kesenjangan ini ditambah lagi dengan kurang aplikatifnya riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya.

Beberapa sekolah-sekolah bisnis top kemudian memperkenalkan model pengajaran berbasis kasus (case study) sebagai upaya untuk menutup celah 'ketidak-sesuaian' antara teori dan praktek ini. Kelas-kelas yang bersifat aplikatif seperti program MBA dan kelas eksekutif pun diperkenalkan. Dengan harapan, ini bisa menjadi jembatan antara kebutuhan bisnis dan tuntutan riset yang harus dilakoni oleh civitas akademika.

Sampai di sini kritik bukannya tidak ada. Beberapa kalangan kemudian menilai bahwa sekolah-sekolah bisnis telah berubah menjadi sebuah industri tersendiri, yang melihat mahasiswa tak ubahnya sebagai konsumen semata. Kritik lain menyebutkan bahwa sekolah-sekolah bisnis itu sudah tak berideologi mulia lagi, dimana keuntungan finansial menjadi tujuan utama layaknya sebuah korporasi dan mempertaruhkan integritas akademiknya.

Tak berhenti di situ, kondisi ekonomi global yang tidak menggembirakan juga ditengarai sebagai akibat dari sistem pendidikan ekonomi dan bisnis yang sangat kaku dan tidak bermoral. Diawali dari runtuhnya Enron dan diikuti dengan beberapa korporasi besar lainnya. Semuanya bermuara pada pengajaran ekonomi dan bisnis yang dianggap menjadikan orang menjadi rakus dan amoral. Keuntungan finansial menjadi segalanya tanpa perlu merisaukan urusan lain.

Yang paling anyar kritik (tepatnya refleksi) disampaikan oleh Professor Howard Davies yang mengambil kisah dari ketidak-puasan Jean-Claude Trichet, mantan gubernur bank sentral Eropa, terhadap terbatasnya kemampuan 'ilmu ekonomi' untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang mendera banyak negara kini. Menurutnya, model-model konvensional yang ditawarkan ilmu ekonomi tak lagi cukup dan mumpuni untuk digunakan sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Akhirnya, gubernur bank sentral Eropa ini meminta bantuan kepada ahli dari bidang lain seperti ahli fisika, biologi, hingga ahli psikologi untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan ekonomi global.

to be continued


Saturday, October 13, 2012

Analysis of Non-Market Strategies Implemented by Firms In Emerging Economies (The Case of Indonesia)

Abstract

Over the last two decades, a growing body of research, both theoretical and empirical, on exploring the relationship between business and government has been emerging. While in the past, the performance of the firms mainly relied on market environment, many scholars revealed that non-market environment also play an important role in the firm’s performance. Non-market strategies include political donation, lobbying, CSR and business owners turning into politicians themselves. This proposed research will identify and examine the nature of the non-market environment as well as non-market strategies implemented by firms in emergent economies. In addition, the proposed research will analyse the relationship between non-market strategies and the performance of firms. In-depth case studies will be carried out in two firms in the region South Sulawesi, Indonesia. The expected outcomes of this study are: 1) knowledge of how the non-market environment influences the choice of non-market strategies in emergent economies; 2) knowledge on how non-market strategies influence business performance; 3) clarification of the role of government in an emergent economy with particular emphasis on government policies on business development under volatile market conditions. It is expected that this study will fill in the gap in literature on various types of non-market strategies in conditions of emergent economies.

Karena Ibadah Bukan Hanya Shalat Jumat

Sudah berapa jumat yang saya lewati, khutbah jumat siang tadi adalah yang paling berani dan paling berbekas. Berani sebab sang khatib bicara soal sederhana namun menyentuh. Ia berbicara tentang betapa Sahalat Jumat, yang seharusnya dimuliakan dan utama sering kita abaikan.
Sang khatib memberi contoh. Rasulullah menganjurkan kita melihat ibadah Jumat sebagai ibdaha utama di setiap pekan kita. Makanya, persiapan seperti berbersih diri, memakai pakaian bersih dan wewangian hingga menyegerakan datang sebelum khatib berbicara adalah sebagian anjurannya. Namun yang terjadi, shalat jumat sering dianggap biasa. Kita kadang memilih datang telat, hanya karena selalu menganggap khutbah jumat itu lebih bahaya dari obat tidur. Bahkan, beberapa jamaah memang lebih memilih bermain dengan telepon genggam mereka ketimbang mendengarkan khatib berbagi kebenaran. Tentu saja, tidak semua khatib sesuai harapan dan keinginan kita. Tapi dalam ilmu psikologi kita juga tahu, sebagai manusia kita lebih sering mencari informasi yang sesuai keinginan. Nah, dalam urusan beragama, keinginan dan harapan itu kadang dibenturkan dengan perintah dan larangan.
Padahal, lanjut sang khatib, film berdurasi lebih 2 jam tak membuat kita ngantuk dan mengalihkan perhatian. Intinya, urusan dunia sering membuat kita menjadi perhitungan dengan Allah.
Betul, di negara ini yang Islam bukan mayoritas, kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun ini lebih banyak dipakai sebagai kedok ketimbang berbicara soal kenyataan yang ada. Selalu punya banyak alasan untuk kemalasan. Alasan memang begitu dekat dengan kemalasan. Kita sering berharap doa dikabulkan, namun tak pernah perhatikan apa yang menjadi kewajiban.

Thursday, August 16, 2012

A Separation-- Semacam Review


Suntuk dengan bacaan dengan topik yang itu-itu saja, serta lelah dengan paper yang rasanya tak beranjak dari halaman terakhir, menonton film adalah pilihan bijak, meski tak pasti bestari. Masalahnya, tak ada toko dvd bajakan disini. Beberapa alternatif sebenarnya tersedia. Blockbuster, atau VideoEazy sebenarnya bisa. Tapi karena tak tahu bagaimana caranya, maka pilihan jatuh ke i-tunes.

Banyak pilihan film, tapi tak banyak menarik. Apalagi harga film rental yang terbaru masih relatif mahal. Bosan juga dengan genre action yang masih mendominasi. Setelah browsing beberapa lama, pilihan jatuh ke film independent "A Separation" yang disutradarai oleh Asghar Farhadi. Testimoni yang ada cukup menjanjikan. Film ini berhasil meraih Oscar 2011 untuk film berbahasa asing terbaik. Penghargaan dari festifal film dari beberapa negara juga telah diraih film ini. Review singkat film ini pun menjanjikan alur cerita yang menarik.

Film ini bercerita tentang sepasang suami istri kelas menengah Iran. Sang istri bernama Simin (saya duga) adalah seorang Dosen dan suaminya, Nader adalah seorang karyawan bank. Simin berniat pindah ke negara lain demi mencari penghidupan yang lebih baik. Sampai disini, sebenarnya tidak banyak disinggung mengapa ia mau keluar dari Iran. Dalam film, kehidupan mereka sebenarnya baik-baik saja, standar kelas menengah kota besar. Apartemen ada. Anak gadis yang pintar dan penurut pun melengkapi kehidupan mereka.

Masalahnya, Nader tak setuju dengan ide sang istri. Apalagi ia memiliki ayah yang mengidap Alchezemir dan butuh perawatan. Gambaran anak berbakti dengan jelas bisa kita lihat dari peran Nader ini. Ia memandikan sang ayah, mengganti pakaiannya dan membelikan koran setiap hari. Ia tak tega meninggalkan sang ayah, meski Simin berkali-kali mengatakan bahwa bahkan ayahnya tak tahu siapa nama anaknya. Toh, meninggalkan ayah dalam kondisi seperti itu tak berarti apa-apa. Akhirnya, Simin memutuskan untuk menggugat cerai sang suami. Di pengadilan, bukannya persetujuan, tapi ceramah hakim yang didapatnya. Menurut sang hakim, alasan untuk bercerai yang disampaikan Simin tak cukup kuat. Tak ada kekerasan rumah tangga, pun sang suami tidak ada kendala dalam memberi nafkah lahir dan batin.

Tanpa restu pengadilan, Simin akhirnya meninggalkan sang suami dengan anaknya. Ia pergi entah kemana. Dalam kondisi seperti ini, Nader tak punya banyak pilihan. Kerjaan tak mungkin ditinggal, sementara ayahnya butuh perawatan maksimal. Ia rekrutlah seorang wanita bernama Razieh untuk menjadi semacam pembantu rumah tangga, yang tugasnya mengatur rumah dan menjaga sang ayah. Razieh digambarkan sebagai wanita dengan seorang anak perempuan, taat beribadah dan memegang teguh prinsip ke-Islaman. Gambaran khas wanita Iran dengan tutup kepala besar dan hitam.

Dalam perjalanannya, konflik kemudian muncul. Baru 2 hari bekerja, Nader pulang ke rumah dan menemukan ayahnya terjatuh dari tempat tidur dengan selang oksigen yang tidak terpasang dengan baik. Ia panik tak terkira dan berusaha membangunkan ayahnya. Selang beberapa lama, Razieh sang pembantu datang ke rumah. Murkalah Nader kepada Razieh, yang menurutnya tidak bertanggung jawab atas kerjaan yang diberikan. Belum lagi ia kemudian menemukan bahwa sejumlah uangnya hilang. Konflik yang khas dan sarat dalam film-film Indonesia bergenre 'sedih - berakhir bahagia'.

Razieh berusaha membela diri dan meyakinkan Nader bahwa ia tak seperti yang dipikirkannya. Namun dengan penuh murka Nader mengusir Razieh, yang parahnya membuat Razieh terbanting keluar dari pintu hingga terjatuh. Sampai disini semuanya berjalan biasa, hingga beberapa hari kemudian Razieh ditemukan terbaring di rumah sakit karena keguguran. Razieh, si pembantu itu ternyata hamil dan tuduhan beralih ke Nader sebagai penyebab keguguran. Konflik pun beralih antara Nader dan suami Razieh, yang tentu saja tak terima istrinya tersakiti dan kehilangan jabang bayi dalam waktu bersamaan.

Dan ternyata saudara-saudara, Simin yang sebelumnya digambarkan telah pergi ke negeri seberang, masih ada di Iran. Ia tinggal dirumah orang tuanya. Ternyata ia tak begitu berani pergi meninggalkan negeri tanpa anaknya. Kekhawatiran terbesar pada anaknya itulah yang membuatnya tak jua meninggalkan kota. Dan sang istri pun mengikuti dibalik layar kehidupan suaminya, yang ternyata tak mulus. Ia pun berinisiatif mengatur jalan damai dengan keluarga korban agar suaminya tak sampai harus mendekam di penjara. Ia bahkan rela menjual mobilnya untuk membayar denda 'uang kemantian' sebagaimana disyaratkan pengadilan.

Ini tak berjalan mulus. Ada konflik lain yang dihadirkan sang sutradara. Hingga disini saya merasa film ini tak ada habisnya. Habis satu konflik terbit konflik yang lain. Dalam rumus film, ini mungkin kriteria film yang bagus, entahlah..

Singkat cerita, pertemuan untuk jalan damai antara dua keluarga pun disiapkan. Nader bersedia membayar tebusan, dengan satu syrat, Razieh mau bersumpah di atas Alquran bahwa Naderlah penyebab kematian calon bayinya dan mengakibatkannya masuk rumah sakit. Razieh, yang digambarkan sebagai seorang muslimah yang taat, menolak. Baginya, ia sendiri tak yakin dengan itu. Apalagi suaminya memang berkepentingan terhadap pembayaran denda itu karena telah dikejar-kejar kreditor yang ingin menagih utang yang telah menumpuk.

Film ini ditutup dengan adegan pengadilan, sekali lagi. Kali ini, pengadilan dalam kasus perwalian anak. Scene film ini tak jauh dari apartemen Nader, dan pengadilan. Dua jam lebih tak terasa, dan film ini terus mengaduk-ngaduk perasaan. Namun film ini rasanya tak menggambarkan Iran dengan utuh. Atau jangan-jangan ini film diniatkan menjadi 'duta perdamaian' bagi Iran di dunia global yang terlanjur mencitrakan negara ini sebagai negara ekstrimis dan tidak bershabat dengan kaum perempuan.

Namun dibalik pertanyaan itu, saya menikmati betul dialek Persia yang enak di dengar itu. Sebab kenikmatan menonton film ini tentu akan rusak jika disulih-suarakan. Dan syukurlah, karena kategori Oscar yang didapatnya adalah film berbahasa asing, maka hal itu tidak terjadi.

Sebuah film yang bagus, namun agak sangsi ini bisa diterima oleh orang Iran sendiri.


Photo credit: http://www.disassociated.com

Monday, July 23, 2012

Ramadhan 2012


Alhamdulillah, akhirnya bertemu Ramdahan lagi. Selayaknya resolusi hidup itu dimulai di ramadhan. Memperbaiki diri dan hidup. Banyak manfaat dan berkah di bulan ini. Meski jauh dari rumah dan keluarga, tapi pengalaman puasa ini tetap berkesan,
Yang selalu dinanti orang berpuasa biasanya saat berbuka. Katakanlah ini anak tangga paling rendah dari tingkat keimanan. Tapi bukankah Rasulullah sendiri berkata demikian?
Nah, soal berbuka ini, karena dirumah semua kawan tak berpuasa, maka saya memilih berbuka di kampus. Dari kawan, saya dengar bahwa mesjid kampus menyediakan takjil untuk mahasiswa.


Setengah jam sebelum waktu berbuka, saya sudah berada di mesjid. Ini kali pertama, dan tepat di ramadhan hari pertama. Jejeran takjil sudah tersedia. Beberapa pengurus islamic society dari guild sedang sibuk menyiapkan takjil. Sederhana memang. Ada kurma, biskuit dan susu yang dicampur sari buah. Semua dikerjakan bersama. Saya hanya membantu menyiapkan tikar dan tidak ingin terlibat terlalu jauh. Toh, sudah banyak pemuda disana.
Saat adzan dikumandangkan, kami semua berbuka. Duduk mengitari piring berisi takjil tadi, sekitar 4-5 orang per piring. Makan bersama jadi pengobat rindu akan puasa di kampung sendiri. Setelah Maghrib, kami pun kembali ke tempat semual. kali ini, yang disediakan nasi sebakul besar beserta ayam kari. Satu baki dimakan 4-5 orang lagi. Jangan bicara hyginietasnya, ini makan bersama dan sesuai sunnah nabi, begitu saya dengar dari seorang jamaah disamping. Menariknya, selain mahasiswa, banyak juga kaum muslimina lain yang hadir. Ada sopir taksi, teknisi perusahaan listrik, hingga para manula. Kebanyakan mereka bersala dari Pakistan, Afghanistan, Libya dan negara timur tengah. Tak heran, model berbuka yang dipakai adalah khas dari tumur tengah.
Alhamdulillah, Ramdahan karim.. semoga berkah puasa menyertai kita semua.

Wednesday, July 11, 2012

Hubungan Gelap

Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun bagaimana jika satu atau beberapa bagian dari rakyat lebih kuat dan berdaya ketimbang yang lain?
Pertanyaan ini menarik jika kita mengacu pada ramainya berita tentang sumbangan beberapa pengusaha kepada Polda Sulsel-Bar beberapa waktu lalu. Sumbangan yang diterima beragam, tanah dan bahan bangunan, hingga kendaraan bermotor. Jumlahnya pun luar biasa, total lebih dari Rp 7,8 Milyar, (Tribun-timur.com)
Kritikan bukannya tidak ada. Beberapa pihak menilai keputusan Polda untuk menerima sumbangan itu menunjukkan betapa institusi ini belum punya niat kuat untuk melaksanakan reformasi kepolisian dengan sungguh-sungguh. Apalagi ada kesan bahwa sumbangan tersebut akan menyandera kepolisian sebab pengusaha tersebut disinyalir bermasalah dan pernah berperkara.
Namun betulkah semua kesalahan layak ditimpakan kepada pihak kepolisian semata?
Hubungan antara pengusaha dan pengambil kebijakan, termasuk kepolisian, memang menjadi faktor penting, khususnya dalam bidang manajemen strategi. Dalam prakteknya, perusahaan mempunyai dua strategi besar. Pertama, strategi yang berkaitan dengan pasar (corporate market strategy). Strategi ini berkaitan langsung dengan produk/jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Kedua, strategi yang tidak berkaitan secara langsung dengan produk/jasa yang dihasilkan atau biasa juga disebut non-market strategy.
Nah, dalam konteks Indonesia, strategi yang paling dominan dijalankan perusahaan dan pengusaha (kelihatannya) adalah strategi non-pasar ini. Rupa-rupa implementasinya. Mulai dari menjadi dermawan, memberikan bantuan sosial, dan hingga menjadi politisi. Dalam bentuk ekstrim, penyuapan juga menjadi pilihan. Strategi-strategi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mempercepat urusan dan menghindarkan dari kondisi ketidakpastian.
Dalam literatur strategi politik perusahaan, ada dua hal utama yang menyebabkan mengapa pengusaha memilih strategi non-pasar ini. Pertama, tingginya tingkat ketidakpastian kebijakan yang berkaitan dengan dunia usaha. Dalam kondisi ini, pengusaha praktis tidak memiliki informasi yang baku dan kemudian bisa dipakai dalam menentukan strategi jangka panjang.
Meski pemerintah (pusat dan daerah) selalu mengklaim perbaikan iklim usaha, termasuk dengan pembentukan pelayanan satu atap, namun realitanya membuktikan hal yang berbalik. Kutipan tidak resmi masih menghantui kalangan pengusaha.
Kedua, lemahnya penegakan hukum. Kondisi ini bukan baru terjadi belakangan ini, namun sayangnya, belum banyak perubahan berarti yang bisa kita lihat. Kepolisian, sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab untuk hal ini, belum mampu menunjukkan perubahan berarti. Maka, dalam konteks ini kita bisa pahami mengapa penolakan beberapa kalangan terhadap sumbangan yang diberikan pengusaha muncul.
Dalam menghadapi dua kondisi di atas, pengusaha dituntut untuk cerdas. Maka strategi non-pasar ini menjadi penting. Strategi ini sebenarnya tak lebih dari membangun hubungan baik dengan penentu kebijakan. Harapannya adalah, agar perusahaan mendapatkan ‘keunggulan kompetitif’ dibanding perusahaan yang lain.
Tanpa memperbaiki lingkungan bisnis yang ada, maka ‘hubungan gelap’ pengusaha dan penguasa akan terus berkembang. Bahkan bisa jadi, meski aturan makin banyak dan berlipat, tapi hubungan gelap ini akan mewujud dalam bentuk yang lebih canggih. Konflik kepentingan sebagaimana kekhawatiran banyak kalangan, akan terus tumbuh.
Ke depan, untuk meminimalisir konflik kepentingan yang mungkin timbul, perlu dibuat aturan yang jelas dan detail. Aturan ini tentu saja harus diikuti dengan penegakan hukum yang serius. Hal lain yang perlu dilakukan adalah membangun koalisi strategis antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiganya harus berhubungan dalam koridor yang harmonis, sehat, transparan, dan akuntabel. Intinya, prinsip keadilan untuk semua. Dalam hal ini penikmat dari semua kebijakan bukan hanya pengusaha, tetapi juga seluruh komponen bangsa.
Menuntut kontribusi perusahaan dalam pembangunan memang wajar di tengah minimnya anggaran Negara. Namun itu tidak berarti membenarkan segala macam cara. Sekali lagi, bantuan beberapa pengusaha kepada Polda beberapa waktu itu lalu tentu saja menyisakan cerita tentang konflik kepentingan yang bakal timbul di masa mendatang.
Para pengusaha tidak berarti mengabaikan pentingnya strategi non-pasar ini. Namun penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang bergantung dengan strategi seperti ini, tidak akan bertahan lama. Energi pun akan habis untuk urusan yang tidak produktif. Perusahaan menjadi tidak berkembang dan akan berputar dalam isu-isu yang tidak ada kaitannya dengan kemajuan perusahaan. Keunggulan kompetitif yang didapat pun akan dengan mudah hilang seiring pergantian kekuasaan dan politik.
Kombinasi penguasa dan pengusaha bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk pengembangan bangsa ini. Namun jika ini tidak diawasi, maka keputusan politik dan bisnis bisa terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil semata, yang tentu saja berdampak negatif bagi kemajuan bangsa.
Kita butuh polisi yang tangguh, dan pengusaha yang tidak manja. Sebuah harapan berat, namun bukan berarti tidak bisa.

Tuesday, June 26, 2012

Sekolah Kehidupan

Namanya Juan, asli Chile. Usianya sudah 66 tahun. Bersama seorang teman dari Makassar, kami sering mempelesetkan namanya dengan 'Iwang'. Ya, dengan huruf 'g' di belakang, khas makassar. Tepat setahun ia pensiun dari kerjaannya sebagai supervisor di pabrik bata merah. Kami bertemu beberapa kali. Sebelumnya kami haya duduk menanti bis yang datang. Tapi kali ini kami berbagi kisah. Tepatnya, ia membagi kisahnya. Porsi saya, 30 % mendengarkan. Mirip dengan penguasaan bola tim Inggris saat melawan Italia lah di piala Eropa kali ini.

Awalnya ia bercerita soal buah Nenas dan Nangka yang ia kenal dari Indonesia. Sejurus kemudian ia berbagi tentang kekamampuannya bercakap lima bahasa. Chile (tentu saja), English (ini juga tentu saja--ia PR disini dan telah hidup 45 tahun di Perth), Portugis, Spanyol, dan Italia. Wah, kagum juga gumam saya. Namun seperti mengerti gumaman saya, ia pun berujar, "tak perlu kagum anak muda, semua bahasa itu, kecuali English, adalah bahasa serumpun. Kamu relatif bisa memahaminya karena bahasa itu mirip-mirip adanya, meski banyak juga kata yang berbeda makna".

Lepas soal bahasa, ia bertanya soal kehidupan saya. Tak banyak yang bisa saya bagi, dan memang niat saya ingin mendengar saja. Sejak pagi saya sudah bicara dalam diskusi dengan pembimbing saya. Kali ini, ijinkan saya hanya mendengar.

"Anak muda, sekolahmu memang tinggi. Tapi tahukah kamu, sekolah yang tertinggi itu adalah kehidupan. Saya memang hanya tamat sekolah kejuruan di Chile sebelum saya menjadi imigran dan sampai disini. Tapi saya belajar banyak dalam rentang waktu itu."

Ia lalu bercerita bagaiman usia mudanya diisi dengan pesta. Rokok, bir dan wanita. Tapi ia kemudian berkata, "semuanya itu menjadi pelajaran bagi saya. kamu boleh salah, tapi jangan sampai mengulang kesalahanmu. Hidup ini juga singkat, maka jangan habiskan hidupmu dengan mengurusi urusan orang lain. Berbicaralah seperlunya. Tapi jika itu menyangkut hakmu, maka kamu harus berani berteriak".

Saya lalu bertanya, pertanyaan retorik sebenarnya. "Mengapa di usia 66 taun, kamu masih terlihat muda?". sambil tertawa dia berujar, " Kuncinya, nikmati hdiupnmu. Kamu hanya bisa menikmatinya hanya jika kamu tenang, maka tenangkan dirimu dengan mengecilkan porsi mengurusi urusan orang lain. Sayangin keluargamu, dan bermainlah sebagai manusia".

Bis yang dia nanti telah tiba. percakapan kami belum tuntas. Dia beranjak dan saya tetap saja di tempat. Saya pikir-pikir, pesannya tidak ada yang baru. Sejak kecil dan di sekolah, kami semua rasanya diajar seperti itu. Tapi mengapa ketika yang menyampaikannya itu Juan aka Iwang, rasanya menjadi lebih dalam. Betul, kehidupan ini adalah sekolah. Dan hari ini, gurunya Juan.

Kembali (Lagi)

Entah sudah berapa kali, isi postingan serupa ini saya posting. Niatnya sederhana, bahwa blog yang semata wayang ini akan kembali diaktifkan. Rupa-rupa alasan selalu mengemuka. Maka, kini tak ada lagi alasan. Semoga bisa istiqamah.. Menulis, memang sebuah upaya mengekalkan kenangan juga.

Beberapa komen yang masuk di beberapa postingan, soal pulau Tunda dan artikel 'serius' soal penguasa - pengusaha. Menyesal sangat diri ini tak sempat membalas. Memoderasi komentar yang masuk, dan ternyata tak pernah mengecek dashboard, maka komen lama itu pun tak pernah dijawab. Bagi mereka, maafkanlah diriku, dan saya berkenan berkirim email dan informasi. Mari, seilahkan datang.