Tuesday, June 26, 2007

An Apology

Banyak cara menjaring dana masyarakat. Salah satu yang unik seperti yang dilakukan NSPCC (National Society for the Prevention of Cruelty to Children) ini. Lembaga derma berbasis kemasyarakatan ini aktif menggalang dana untuk pencegahan kejahatan terhadap anak.

Cara unik mereka seperti yang hari ini saya terima melalui surat. “An Apology”, begitu tertulis dengan huruf besar di amplop bagian depannya. Karena tak ada informasi lain, maka penerima pun kemudian tertarik untuk membukanya. Saya sendiri awalnya kaget, siapa pula yang minta maaf dengan cara seperti ini. Rasanya tidak ada juga kesalahan “resmi” yang pernah terjadi kepada saya hingga mengharuskan permohonan maaf yang resmi pula, dengan bersurat maksud saya.

Bunyi surat di dalamnya pun cukup menarik juga.

Dear friend,

First of all: an apology.

I know you didn’t ask me to write to you. Yet, here I am—writing to you anyway—expecting you to give up a few moments of your time. You’re probably just thinking, “oh dear, not another charity asking me for money…”

Setelah itu kemudian paparan data serta penjelasan singkat mengenai sejauh mana pencapaian program dan kampanye mereka. Termasuk sebuah formulir kesediaan untuk secara rutin menyisihkan 2 pound per bulan sebagai bagian dari kegiatan donasi. Awalnya saya pikir ini serupa spam letter aja, yang agak meragukan. Setelah mengcek situs mereka, ternyata benar adanya. Mereka pun terdaftar di pemerintah. Satu lagi, patron (pelindung) lembaga ini; Her Majesty The Queen. Tentu lembaga gadungan tak seenak itu memasang nama ratu.

Tidak juga unik sebenarnya. Mungkin kreatif aja. Unik memang sering dipadankan dengan kreatif, meski dalam beberapa konteks unik menjadi lebih dekat dengan aneh. Terlepas dari perbedaan terminologii itu, satu hal yang menjadi perhatian saya adalah upaya mereka menggalang dana tanpa menimbulkan kesan memaksa dan membuat penderma pun merasa terpanggil untuk terlibat, meski dalam tingkat yang berbeda.

Cara unik/kreatif ini sering pula dilakukan oleh lembaga-lembaga derma lainnya di Inggris. Salah satu yang palingn kreatif adalah Oxfam. Selain dengan charity shopnya, lembaga ini juga kerap menawarkan program derma sesuai dengan minat dan keinginan kita melalui Oxfam Unwrapped. Pernah membayangkan membeli toilet? Melalui program ini, Oxfam misalnya menawarkan kepada masyarakat membeli toilet seharga 30 pound. Dana yang terkumpul kemudian dipakai untuk membuat toilet di negara-negara tempat Oxfam bekerja. Menurut kawan yang pernah terlibat di Oxfam, program ini pernah dilakukan untuk membangun puluhan toilet di Aceh setelah daerah itu terkena tsunami. Ada pula penawaran voucher gift, yang menerima hadiah itu berarti telah menyumbang atau berderma sejumlah uang yang kemudian diwujudkan dengan penanaman pohon, penyedian fasilitas air bersih kepada masyarakat miskin di Afrika.

Ide kreatif, akuntabilitas, dan bertanggung jawab tentu menjadikan mereka tak terlalu sulit untuk menjalankan banyak program. Sama tak sulitnya bagi mereka untuk membagi-bagikan dana kepada lembaga sosial dan LSM di Indonesia, yang orang-orangnya masih kebanyakan bertindak sebagai pencari kerja ketimbang membantu masyarakat. Saya tak alergi terhadap LSM dan lembaga sosial. Banyak—banyak sekali bahkan—dari mereka yang tulus dan sangat pantas diberikan apresiasi positif terhadap langkah dan tindak mereka. Namun niat dan rencana baik saja tidak cukup. Tak perlu tunggu menjadi negara maju dan kaya untuk berwujud seperti itu. Perlu ide kreatif , program jelas dan tak muluk-muluk, serta tentu saja bertanggung jawab agar rencana tersebut terealiasasi. Masyarakat yang ingin berderma tentu saja tak sedikit jumlahnya. Masalahnya, jumlah yang banyak ini lebih sering jadi peluang bisnis pribadi daripada bisnis lembaga untuk masyarakat yang manfaatnya untuk masyarakat.

Thursday, June 21, 2007

Iseng

Saat pulang belanja kemarin, taman di depan flat telah ditumbuhi tanaman baru dengan kuncup bunga berwarna merah, putih. Sungguh indah. Tentu akan lebih indah lagi 3 atau 5 minggu ke depan, saat seluruh bunganya mekar dengan warna-warninya. Sebelumnya kami memang telah ‘kerja bakti’ menanam tulip dan bunga mawar. Namun karena hujan yang hampir tiap hari mengguyur kota, tumbuhan-tumbuhan itu mati sebelum memancarkan keindahannya.

Siapa gerangan yang menanam bunga-bunga indah ini, sebab tak ada undangan kerja bakti yang masuk di flat kami? Ternyata pasangan tua Arthur dan Audry yang tinggal di lantai 10. Mereka sedang santai duduk menikmati sandwich dan orange juice. Saya pernah membahas mereka sedikit disini. Setelah berbasa-basi dan coba menyapa, saya pun bertanya kenapa mereka menanam bunga-bunga itu. Ini juga sekedar mengkonfirmasi jika saya luput dalam kerja bakti yang mungkin undangannya tak kesampaian. Meski tak ada paksaan, sebagai pendatang tak elok rasanya jika tidak berpartisipasi dalam acara-acara di lingkungan sekitar.

“Sekedar iseng, my dear. Bunga-bunga ini kami ambil dari taman kami di lantai 10 dan rasanya sayang jika keindahan di lantai 10 tak ternikmati oleh orang lain. Saya dan Arthur juga bosan di flat terus, tak ada kegiatan,” jawab Audry yang usianya seumuran nenek saya di kampung.

Arthur kemudian menimpali, “Kurang kerjaanlah kami ini, maunya berkebun tapi tidak punya lahan maka taman flat inilah yang kami kerjakan”. Mereka berdua tertawa, saya juga ikut tertawa jadinya.

Pasangan ini memang istimewa dan menyenangkan. Tak seperti kebanyakan orang Inggris yang tertutup, mereka seperti devian dari karakter orang Inggris yang menurut antropolog Kate Fox dalam bukunya “Watching the English” sangat tertutup terhadap orang asing. Dalam bahasa Fox, mereka lebih memilih “memandang langit hitam ketimbang menyapa orang asing”.

Audry, sang istri terlihat sangat menikmati aktivitas ‘iseng’ ini. Deretan lubang yang dibuatnya sangat rapi. Jarak antar lubang pun sangat pas, tak sama saat kami kerja bakti dulu. Saat itu mereka memang tak terlibat. Kami, saya dan penghuni flat lainnya saat itu bisa dikatakan menanam tulip dan rose seadanya. Di kantong bibit sudah jelas aturan pakai dan standar tanam yang meminimalkan 6 cm kedalaman lubang. Seperti tak tahu aturan aja, lubang-lubang yang kami buat hanya kisaran 3 cm, itu pun dengan jarak yang sangat jauh dari rapi.

Iseng, kurang kerjaan, begitu sekali lagi mereka menyebut aktivitas itu. Namun bagi saya itu sungguh bermakna. Banyak hal besar di dunia ini memang yang lahir dari iseng dan orang kurang kerjaan. Meski banyak juga yang membuat dunia jadi seperti neraka dengan segala keisengan dan kurang kerjaannya, tapi saya percaya, 3 minggu ke depan saya bisa membuktikan hasil kerja iseng mereka yang begitu indah. Setidaknya saya bisa menikmati “wangi bunga dimana-mana…”

Thursday, June 14, 2007

Tentang Hujan

Kembali saya berhadapan dengan perbandingan. Membandingkan Indonesia dengan negara maju seperti Inggris ini. Ceritanya begini. Saat ada festifal Indonesia di Nothingham kemarin, saya bertemu dengan beberapa mahasiswa Indonesia lainnya. Di sela perbincangan mengenai desertasi yang menanti, muncul topik “pulang kampung” dengan resiko ketidakpastian dan ancaman tak termanusiawikan atau tinggal dengan fasilitas yang nyaman, kota yang ramah dan manusiawi di negeri ini.

Beberapa mahasiswa yang tampangnya mirip bintang sinetron mengatakan bahwa nasionalisme sekarang tak harus mengikuti model Hatta dan Sjahrir saat mereka dengan gagah berani meninggalkan Belanda dan memilih pulang kampung untuk membangun Indonesia. Nasionalisme toh tak sesempit itu. Kontribusi terhadap negara kan tidak harus dengan berdiam (apalagi dengan segala carut-marutnya) di Indonesia. Mereka pun mebandingkan kehidupan yang dijalin saat ini dengan kehidupan yang teah dijalninya saat di Indonesia. Namun pihak berseberangan menganggap “pulang kampung” bukanlah pilihan jelek. Hujan uang di negeri orang tetaplah kalah meski hujan batu di negeri sendiri.

Oh yah, soal beberapa yang mirip bintang sinetron, kabar yang saya dengar malah memang ada yang bintang sinetron beneran. Saya tak tahu, sebab saya bukan pencinta sinetron. Kalau toh dia bintang sinetron, ‘so what?’. Asal dia bukan bintang sinetron rohani yang pura-pura jadi ustad dengan lafalan alquran keliru saja.

Saya memilih mendengar saja saat itu. Selain selama ini memang sudah akrab dengan hujan batu, saya juga tak pandai diri bersiap dengan hujan uang. Entah hujan seperti itu memang ada atau tidak.

Kembali ke perbincangan nasionalisme tadi, tidak ada kesimpulan memadai dari dua pendapat yang berbeda. Perbincangan ini pun memang tak diniatkan untuk mencapai mufakat, toh soal keyakinan dan nilai, siapa yang bisa pengaruhi siapa, kan? Lagi pula, tema seperti ini memang lebih enak dibahas, tapi tak enak untuk dipraktekkan. Kenikmatan itu selalu membuai, begitu kata mutiaranya.

Saya lalu teringat saat di kedutaan beberapa waktu lalu, saya bertemu beberapa TKI yang sedang mengurus berkas keimigrasian. Kami lalu berbagi cerita, termasuk bagaimana mereka memendam rindu yang mendalam akan kampung halaman. Menikmati hujan air di teras rumah, dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng. Alangkah nikmatnya..

Ramalan cuaca menyebutkan besok akan hujan..