Tuesday, June 29, 2004

kita masih di Indonesia, kawan.

keamrin aku terima undangan untuk mengikuti rapat penentuan mata kuliah di jurusan manajemen. jamnya kulihat pukul 9 pagi. maka dengan menyesal aku putuskan untuk tak ikut kursus dulu besok harinya. itung-itung ini adalah rapat pertamaku. kata kak Santi, akan perkenalan secara umum juga.

bangun jam 7 setelah berdingin-dingin ria dan berusaha melawan rasa kantuk dan dingin yang menusuk sum-sum. tiba dijurusan tepat pukul 8.30 pagi. kupikir aku memang harus datang duluan, agar terbiasa dan tidak kaku. belum lagi masih banyak dosen-dosen senior yang tidak aku kenal.

tiba di jurusan tak satu pun dosen yang tampak. hanya pak Haris seorang, sedang mengatur kursi untuk tamu terhormatnya. sampai jam 9 (sesuai dengan jadwal di undangan, baru tiga orang-termasuk diriku-yang hadir. pikiran nakalku muncul lagi. tapi seorang kawan dengan santainya bertutur, "kita masih di Indonesia, Doel".....

Friday, June 25, 2004

pram

Pram

Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.

Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.

Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya—dan ia disambut.

Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".

Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang ayah".

Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.

George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.

Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?

Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.

Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."

Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.

makalah

Pemilu dan Konsensus Pemberantasan KKN

Kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini, enam tahun setelah tumbangnya rezim Soeharto, ternyata belum seperti yang diharapkan rakyat kebanyakan. Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) masih merajalela dalam berbagai tingkat, meski pada saat yang sama pers telah memiliki kebebasan `luar biasa` untuk mengekspos kasus-kasus KKN tersebut.

Logikanya, pintu masyarakat untuk mengakses informasi seputar kasus korupsi pun dengan sendirinya terbuka lebar. Anehnya, kondisi ini seakan tidak berbanding lurus dengan upaya pemberantasan KKN. Lebih parah lagi, korupsi malah meluas dengan merambah ke bidang-bidang yang semula diharapkan menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi seperti; partai politik, DPR dan DPRD, pengadilan, dan daerah-daerah yang telah lama menikmati otonomi.

Penyalahgunaan wewenang oleh birokrat dengan sendirinya menjadi inti dari permasalahan. Dari sisi ini terlihat betapa sikap birokrat, sangat dipengaruhi oleh identitas dan status sosial masyarakat. Otonomi daerah sebagai salah satu jalan menuju Indonesia yang berkeadilan malah menjadi ajang desentralisasi KKN. Dalam artian bahwa semangat desentralisasi juga tak lepas dari sikap birokrat yang cenderung melakukan KKN.

Kita pun dibuat frustasi dengan kondisi ini. Apalagi pemerintah tampaknya tidak serius mengatasinya. Kalau toh serius, pemerintah nyatanya tidak sanggup mengubah keadaan `status quo`. Contoh paling nyata dapat kita lihat pada pelayanan publik, yang sampai saat ini belum terjadi banyak perubahan. Pengurusan KTP, paspor, akte kelahiran dan ijazah, masih diselimuti dengan aroma kolusi. Ini bisa kita lihat beritanya di banyak media massa. Dalam kasus-kasus semacam ini, praktek suap masih terbukti `ampuh` sebagai sebuah penyelesaian.

Contoh ini memperlihatkan betapa kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini masih belumlah banyak berubah. Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pihak akademisi, LSM, dan mereka yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti masih membentur tembok yang tak kasat mata.

`Penyakit` yang bernama KKN itu begitu jelas terlihat, tapi semua `obat` yang diberikan untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada tinggal pemberantasan KKN sebagai sebuah komoditas dagangan dan jargon politik.

Pada Pemilu 1999 lalu sebagian besar partai peserta Pemilu punya dagangan yang sama yaitu penumpasan KKN sebagai salah satu `jualan` dalam kampanye. Semua seperti memberikan harapan besar terhadap masa depan bangsa. Nah, Pemilu kali ini pun rata-rata partai politik menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu isu kampanye mereka. Ibarat kaset, lagu yang mereka coba perdengarkan adalah lagu lama (Kompas, 12/03/2004).

Payahnya, tak satu pun partai politik yang dengan tegas memaparkan apa yang akan mereka lakukan dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Semua masih sebatas jargon. Lebih sakit lagi bahwa mereka yang selama ini diduga menikmati hasil korupsi selama bertahun-tahun, kini malah sibuk mengkampanyekan anti korupsi.

Hal lain yang juga turut andil dalam penyebaran korupsi adalah dari masyarakat sendiri. Tak salah jika kemudian banyak yang meragukan efektifitas dari gerakan menolak politisi busuk beberapa waktu lalu. Hal ini beralasan, sebab selama ini masyarakat kita memang begitu toleran terhadap pelaku korupsi. Bahkan menurut Todung Mulya Lubis, masyarakat kita ambivalen terhadap koruptor. Ambivalensi ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku korupsi yang mendapatkan perlakuan terhormat dalam pergaulan sosial (Kompas, 12/04/2004).

Perjuangan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) memang masih panjang. Beberapa agenda jangka pendek yang perlu dilakukan untuk mewujudkan itu beberapa diantaranya adalah; pertama, reformasi pelayanan publik dan birokrasi (public service and bureaucracy reform), dimana proses pelayanan publik, seperti pengeluaran ijin, perpajakan, pengadaan barang/jasa dan penganggaran, dilakukan secara transparan.

Yang kedua adalah adanya perubahan sikap dan perilaku (changing of attitude and behaviour) termasuk di dalamnya adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan aparat negara/PNS mengenai praktik tata pemerintahan yang baik serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.

Ketiga, reformasi sistem peradilan dan perundang-undangan (judicial reform). Keempat, meningkatkan tekanan dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah (increasing the pressure and monitoring). Kelima, memberikan pendidikan dan informasi tentang bagaimana korupsi berlangsung, dimana lembaga pemerintah harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat. Terakhir, adanya reformasi di sektor bisnis dan militer, yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi kehancuran ekonomi bangsa.

Agenda-agenda di atas memang telah sering diserukan oleh banyak pihak. Namun tanpa dukungan dari masyarakat luas, agenda-agenda tersebut hanyalah omong kosong belaka. Selain itu, perlunya kita untuk terus menerus mendesak pelaksanaan riil dari agenda-agenda tersebut. Olehnya, Pemilihan Presiden kali ini selayaknyalah kita jadikan momentum untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik. Pilihan ada di tangan kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan pilihan tersebut.

Sebab bagaimanapun kondisinya kini, putus asa atau frustasi jelas akan membuat keadaan lebih buruk lagi. Upaya untuk terus membenahi tata pemerintahan Indonesia tetap harus terus dilakukan dan diupayakan, sekalipun upaya tersebut baru akan membuahkan hasil 10 atau 20 tahun lagi

sekedar coba

Ambon

SEORANG teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku.
Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk
menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi,
komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia
seorang Katolik.

Fakta itu. perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang
menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan
sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan
mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun
dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya
Slamet Riyadi masih hidup....

Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60:
agama kian sering di­pakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama
dianggap jadi latar konflik Maluku, per­juangan di Palestina, "benturan
peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama,
agama jadi dalih per­buatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.

Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa
antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu,
ada korespondensi yang: lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku
menegaskan diriku "Islam", segala yang ku­lakukan dengan sendirinya
merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam
kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan
kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.

Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan
napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?"
Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "se­kadar
aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa
maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan
identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau
"Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti
air dalam dua bejana yang berhubungan.

Pada. zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa
dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan
fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada. hanya
be­lantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak
selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang
tak kunjung tunggal. Bah­kan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran
apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.

Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu
dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham
dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba
memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan
kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisih­kannya,
atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang
memberinya kearifan.

Dalam Perang Siffin" musuh'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar
pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah.
Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:

"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan,
aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah
menyatakan bahwa'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah
dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit
antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan
penafsir, dan penafsir adalah manusia."

Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir ada­lah orang-orang yang datang
dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas
Quran atau warisan keagama­an kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan
itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.

Pertanyaannya kemudian: di mana kebenar­an dan keadilan? Dalam konflik,
dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi
juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan
kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti
dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir,
dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan
berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang. Tak berarti, kata Farid Esack,
sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan,"
katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah
menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain...
bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang
memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat
pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus mene­mukan satu ukuran untuk
menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan
kecende­runganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata
hanya milik komunitasku. "

Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan
selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack.
Sesuai dengan argumen­nya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap
ter­buka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan
kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan'Ali Ibn Abi Talib.

Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang
bisa dengan gampang ditafsirkan se­bagai pedoman untuk menampik toleransi.
Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita
dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.

Goenawan Mohamad

TEMPO Edisi 3-9 Mei 2004