Monday, January 31, 2005

Dibalik itu Semua...

SEDANG menanti pete-pete untuk menuju tempat kursus, aku tiba-tiba dihampiri oleh seorang anak muda. Ia berjanggut "tanggung", panjang tidak pendek juga tidak sebab kira-kira hanya ditumbuhi oleh bulu-bulu yang baru sekali ini nongol. "Hutan gundul", begitu istilah kawan saya untuk gambaran janggut seperti ini.
Setelah bersalam-salam dan memperkenalkan diri, ia langsung menanyakan nama dan aktivitasku. Kujawab singkat tanpa merinci apa yang menjadi aktivitasku sambil kualihkan dengan pertanyaan ada keperluan apa ia denganku. Tak ada perasaan curiga sesungguhnya, seperti yang selalu diajarkan oleh media-media untuk waspada dengan orang yang tidak dikenal. Tiap hari peristiwa kejahatan di jalanan membuat sebagian besar kita tak berminat lagi untuk berinteraksi dengan orang lain, apalagi untuk orang yang tidak dikenal. Kutepiskan kekhawatiran itu, toh jika ia berniat jahat, tubuh ceking ini rasanya masih lebih "kekar" dibanding miliknya. Bukannya ge er, tapi sisa-sisa pengetahuan bela diri yang dulu kupelajari waktu sekolah, masih teringat meski samar-samar. Yang teringat jelas, larilah sekencang-kencangnya jika ada kesempatan.....

Kembali soal keperluannya tadi, ia menjelaskan bahwa ia bersama kawan-kawannya sedang melakukan aksi pengumpulan tanda tangan sebagai dukungan terhadap penegakan syariah Islam di Indonesia. Terlihat jelas hamparan spanduk hitam di seberang jalan. Sedari tadi aksi itu memang sempat memancing perhatian, tapi dasar aku memang tak terlalu menaruh cukup "sense" untuk aktivitas seperti itu jadi aku tak mencoba cari tahu dan tak berminat. Rupanya anak muda di depanku ini adalah bagian dari aksi itu.

Ia lalu menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Indonesia dan kehancuran yang siap menghadangnya jika masih terus dalam kubangan seperti ini, tak menjalankan perintah Allah dengan kaffah (ini istilah yang diberikannya untuk menyebut tidak sempurna). Ia melanjutkan pula dengan gambaran akan Indonesia yang damai jika menegakkan hukum Allah. Aku lalu membayangkannya seperti politikus saat berkampanye, meski amsal ini rasanya terlalu kejam juga, menurutku. Sebab apa yang ia sampaikan sebenarnya aku juga tahu dan memang itulah gambarannya (ideal).

Setelah lama menjelaskan, ia juga meminta pendapatku akan apa yang telah ia sampaikan. Tak langsung kukabulkan, sebab aku sedikit cemas dengan keterbatasan waktu dan aku takut terlambat tiba di tempat kursus. Kutengok arloji, masih ada 15 menit lagi sebelum waktu dimana aku seharusnya sudah berada di atas pete-pete (ini hitungan yang berdasarkan pengalaman selama beberapa kali berangkat kursus dengan pete-pete-caterus paribus). Berarti ia mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan penjelasan dariku. Meski sungguh, aku tak bersemangat sebab aku sadar diri bahwa apa yang aku sampaikan itu tak sungguh-sungguh kuamalkan seluruhnya. Ringkasnya, tak sesuai apa yang di mulut dan lakunya. Ah, tapi tak apalah. Egoisme dan kenangan berdiskusi dulu membuatku "mengabulkan" apa yang dimintanya.

Panjang tapi tidak lebar kujelaskan argumenku dan pandanganku atas apa yang telah disampaikannya. Meski dalam satu hal rasanya ia selangkah lebih hebat, sebab ia melengkapi argumennya dengan ayat serta hadist sementara aku lebih banyak dengan ungkapan "kalau tak salah ingat ada ayat/hadist yang menyebutkan bahwa....bla...bla...." (kalau tidak salah berarti benar, kan?).

Tampak ia gelisah juga mendengarkan ocehanku. Kucoba mengimbangi dengan memberinya kesempatan, sambil berharap bahwa ini adalah sesi terakhir dari diskusi kami. Toh, yang ia inginkan sebenarnya adalah kesedianku untuk membubuhkan tanda tangan sebagai rasa setuju atas aksi mereka. Dan sebenarnya pula aku sudah menolaknya dalam penjelasanku yang tidak berbobot. Intinya, aku memang Islam (meski belum sempurna) tapi tak setuju dengan garis perjuangan mereka, yang bagi saya tak membedakan dengan jelas Islam dan Arab. Kelihatannya sedikit melenceng dari tema pemerintahan khilafiyah, tapi itu karena ia sendiri yang mengajak masuk pada wilayah itu. Ia berbicara tentang janggut, model pakaian, yang menurut penilaianku, ya itu tadi, tidak mampu membedakan dengan baik antara Islam dan budaya Arab sebagai entitas sendiri.

Akhir cerita diskusi kami dihentikan sepihak olehku, bukan apa-apa, lebih karena jadwal kursus yang harus aku patuhi (tepatnya coba kupatuhi) dan juga karena tema dan tempatnya tidak pas. Bayangkan berdiskusi di tengah lalu-lalang orang, baik sedang menanti pete-pete atau mereka yang sekedar lewat. Tapi semua mereka terlihat memandang, entah untuk apa, aku juga tak tahu. Tapi rasanya risih juga, soalnya tak ada bakat jadi public figur.
Kepadanya sempat kukekalkan lagi penolakanku, tentu dengan bahasa yang penuh halusinasi (maksudnya dihalus-haluskan, gitchu lho...). sambil menjabat tanganku ia juga menunjukkan ketidakberatannya.

Di atas pete-pete aku lalu memikirkan tentang apa yang dikatakannya tadi, termasuk penilaianku terhadap perilaku dan budaya mereka. Dibalik protes dan rasa tidak setuju, sebenarnya aku kagum dengan itikad baik dan konsistensi mereka. Ini juga berlaku terhadap penilaianku terhadap ustadz-ustadz yang sering ceramah di televisi dengan berbagai gayanya, yang menurutku tak lebih dari pedagang yang coba menjual popularitas dan pengetahuan luar biasa terhadap kebutuhan pasar. Dibalik itu semua, mereka memiliki makna dari kehadiran mereka, minimal mampu menjadi pengingat dan jeda dari kerakusan untuk mengumpulkan materi duniawi. Tapi betulkah mereka cuma jeda???

Saturday, January 29, 2005

pagi yang indah

jam 10 malam. bunyi sms (kata kawan saya, nada sms milikku luarbiasa, langsung dari Finlandia--tempat asal NOKIA) membunyarkan konsentrasi. kubaca dan isinya cukup mengangetkan. pengirimnya kakakku dan aku diminta segera menelpon ke rumah, tepatnya rumah ibuku. untung masih ada pulsa di fleksi, segera kutelpon dan berharap tidak ada kabar yang perlu dikhawatirkan.

kebetulan ibuku yang menganggkat telpon, setelah salam dan menanyakan kabar, langsung kutanyakan kenapa aku dimintanya menelpon. ternyata ia bermaksud menengok pamanku yang baru tiba dari haji dan ia tak tahu deatil menuju kesana. ia memintaku mengantarnya sambil bertanya apakah itu tidak mengganggu kegiatanku yang lain?? segera kuiyakan dan meyakinkannya bahwa tidak ada yang terganggu jika itu untuknya (maaf, ini bukan gombal).

inilah pagi yang akan menjadi pagi yang indah, begitu pikirku. betapa tidak, sejak aku ngekos semester satu hingga ngontrak rumah saat kerja, tak pernah sekalipun ibuku mampir. meski kuyakin ketidakmampirannya bukanlah karena ia tak ingin, tapi lebih karena ia tidak punya cukup pengetahuan untuk sampai ke tempatku. nah, saat ini aku mendapatkan kesempatan itu. rencananya, dari rumah paman ia akan kugiring (dengan paksa sekalipun) untuk sekedar menjenguk tempat berteduhku selama ini. satu lagi, agar ia tak perlu cemas akan hdiup meski tak berada disisinya.

singkat cerita, ia pun datang ke rumah (tepatnya rumah teman tempat aku menumpang). tak terlalu banyak komentar. ia cuma kaget ketika di ruang tamu dlihatnya ember tempat aku menampung air yang menetes karena genteng yang bocor. aku bersikap sepeerti pejabat daerah yang sedang dikunjungi atasannya, menjelaskan kenapa hal itu terjadi serta letak dan fungsi masing-masing item dalam rumah serta hal remeh temeh lainnya.

tak lama ia di rumah, ia katakan harus bergegas karena akan segera keluar daerah. padahal aku ada niatan untuk sekedar menghidangkan secangkir teh. tapi tak apalah, walau sebentar, menurutku itu sudah cukup berharga.

sebuah pagi yang indah....

Friday, January 28, 2005

protes

nikotin, kafein, begadang, makan tak teratur, membuat tubuh ini seperti menjadi ringkih. tiba-tiba semua onderdil minta waktu untuk sekedar jeda...

butuh istirahat nih...

Thursday, January 20, 2005

Kurban



seberapa berkurbankah kita hari ini?

Pertanyaan seperti ini tentu saja mengajak kita untuk sesekali merenungi hidup dan perjalanan kita mengitarinya. dalam hidup dan kehidupan, seringkali banalitas kita mengalahkan rasa kemanusiaan. padahal dalam agama kita diajarkan untuk membuat hidup berarti bagi diri sendiri, orang lain dan tentu saja nilai kemanusiaan itu sendiri.

berkurban, laiknya meringankan beban dan tentu saja menyucikan kepemilikan kita atas sesuatu yang pada hakikatnya bukanlah milik kita. tapi sejauhmana memanifestasikannya?

Ibadah kurban tidak semata-mata pengorbanan dari orang yang berkurban. Dengan kata lain, ibadah kurban justru memberi keuntungan kepada yang bersangkutan. Secara bahasa kurban diambil dari kata qaraba-yaqrabu-qurbanan (waktu pesantren dulu diajarkan dalam mata pelajaran bahasa arab), yang artinya pendekatan atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah kurban, dengan begitu, memberi makna bahwa segala perbuatan yang menyebabkan bertambah dekatnya seseorang dalam perjalanannya menapaki ridho Allah SWT.

Dengan makna seperti itu, maka esensi atau nilai ibadah kurban bukan terletak pada besar kecilnya atau sedikit banyaknya hewan kurban yang disembelih. Tetapi, yang justru terpenting, adalah bagaimana tingkat ketakwaan seseorang ketika melaksanakan ibadah kurban. Allah SWT berfirman: ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhoan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.'' (Al-Hajj: 37).

beberapa waktu MUI mengeluarkan fatwa bahwa mengalihkan kewajiban kurban untuk korban bencana Aceh tidak dibenarkan. Sebagai pribadi saya tidak setuju, meski saya harus paham bahwa argumentasi saya tidaklah dilandasi dengan pengetahuan teoritis yang memadai. tapi sungguh, apa iya menafsirkan haruslah tanpa melihat konteks yang ada?

***

Di hari raya kurban yang esok insyaallah akan kita rayakan (meski hari ini katanya ada yang sudah merayakan duluan), mudah-mudahan saya diberikan kesadaran untuk berkurban demi saudara-saudara, dan bukan malah mengorbankan saudara.

Selamat Idul Adha 1425 H

Tuesday, January 18, 2005

mereka juga anak muda



mereka memang muda, sebuah usia yang pas untuk menghabiskan waktu bersenang dan bersenandung. tersedia cukup alasan untuk menikmati hidup dengan cara yang "unik". tapi mereka menempuh cara lain, berkarya.

mereka memang anak muda yang hebat...

Friday, January 14, 2005

happy birthday



Tak ada
Selamat Ulang Tahun
Bagi kematian
Sebuah Umur

kekuasaan



kondisi belakangan ini membuatku tidak nyaman. bukan cuaca benar yang membuat ktidaknyamanan itu. meski saya harus sadar, kecemasan akan cuaca bukannya tidak ada. dengan kondisi rumah yang bocor, banjir yang siap menghanyutkan rumah sekaligus penghuninya, tentu tiodak bisa diabaikan begitu saja.

tapi yang satu ini betul-betul membuatku tidak nyaman. sebagai seorang yang baru (new comer), kami (saya dan beberapa orang lainnya) ditempatkan dalam posisi dilematis.

sebentar lagi pemilihan dekan, dan kami masuk dalam lingkaran tarik-menarik, yang jujur saja sangat tidak menyenangkan. satu kelompok berusaha memanfaatkan dan kelompok lainnya memasang posisi sebagai lawan. dilematisnya ini tentu dengan mudah ditampik dengan berusaha menjadi diri sendiri dan tidak terpengaruh. tapi jujur saja, itu sulit untuk ditempuh.

dalam ranah yang bersentuhan dengan kepentingan seperti ini, berucap saja rasanya tak cukup. namun bersikap akhirnya menimbulkan pikiran yang serba salah. ini memang resiko yang harus dihadapi, tapi apakah sepicik ini?

saat ini makin kentara saja terlihat, siapa yang cuma bisa menijilat, mengeluh dan tidak bersikap. semuanya tentu melahirkan konsekuensi tersendiri. parahnya, setiap konsekuensi yang ada, selalu menyisakan pertanyaan? sampai kapan dan bla...bla...bla...

andai aku bisa memilih, hari ini aku ingin di rumah saja, dengan beberapa koleksi film dan menikmatinya seperti Mpret....

Thursday, January 13, 2005

This is real#2

Lama tak ada kabar darinya, mungkin ia sedang sibuk dengan berbagai aktivitas "baru"nya. menjadi seorang yang berbeda, tentu tak mudah. sama tak mudahnya dengan menghadapi orang seperti itu. ah, apa salahnya jika kita berubah?

bukankah hari ini perubahan adalah sebuah keniscayaan? (ehm...seperti aktifis mahasiswa aja rasanya). okelah, perubahan memang niscaya, tapi keniscayaan itu tentu tak harus menafikan akarnya, bukan? tentu tidak fair jika harus men-judge seseorang karena perubahan yang dialaminya. tidak fair juga jika memposisikan diri sebagai orang yang curiga terhadap bau perubahan.

mencoba berfikir positif, itu lebih baik mungkin. tak sepenuhnya salah, kawan. it's all abou habitat!

Saturday, January 08, 2005

tantangan

globalisasi seperti mendapatkan tantangannya hari ini. bencana aceh makin menunjukkan tak banyak yang bisa dilakukan dengan kemampuan umat manusia yang toh memang sangat terbatas.

tiba-tiba solidaritas menjadisemacam alternatif untuk menjawab tantangang itu.

adakah yang mau ber-solidaritas denganku melewati malam minggu sambil menonton PSSI vs Singapura???

sungguh tidak menyenangkan nonton bola sendiriann...

tidak ada lagi

wah, malam minggu ini kemana lagi ia gembalakan sepi itu???

refleksi mistik

banyak yang coba menjalani refleksi mistik (istilah apa pula ini) dengan bencana yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu. salah satunya, saya sendiri. tiba-tiba langsung teringat bahwa bencana dan kematian begitu misterius. tak banyak kebaikan rasanya yang sudah kulakoni, tapi takut juga rasanya jika harus berhadapn segera dengan misteri itu.

jadi teringat dengan syair abu nawas, yang juga didendangkan dengan baik oleh haddad alwi dan sulis. aku ini hambanya yang tahu bahwa belum banyak kebaikan yang dilakukan tapi takut juga akan neraka-Nya. dosaku bagaikan buih dilautan dan berharap ampunan-Nya yang pasti tak akan terputus.

masalahnya, saya (untuk tidak menjadikannya sebagai KITA) ;lebih sering lupa daripada mengingat-Nya.

yah, memang perlu sedikit berrefleksi, meski dengan keengganan yang juga masih melekat.

Thursday, January 06, 2005

menikah



"wah hebat sekali dia, nalumbamaki sede", begitu sontak jawaban Ac ketika kukabarkan padanya bahwa Jo', teman kami akan segera melepas masa lajangnya (uh, istilah koran lagi).

apa pernikahan dilihatnya sebagai sebuah perlombaan, kali yaa? ah, tidak juga rasanya. ungkapan itu mungkin untuk menunjukkan kebahagiaan (ehm...berbohong lagi deh) atau bisa juga karena betul-betul merasa didahului. tapi emang pernikahan harus berjalan sesuai urutan?

bicara soal pernikahan, belakangan ini saya sering diberondong pertanyan yang serupa. masalahnya, yang memberondong itu orangnya yang itu-itu juga. masalah lainnya, (ini yang paling parah, rasanya) ia memintaku menikah sementara ia sendiri belum. akan halnya dengan saya, ia juga memiliki segudang alasan, meski alasan itu tak tepat betul.

apakah untuk menikah memang membutuhkan alasan? bisa saja, tapi bisa juga tidak. yang masalahmungkin adalah banyaknya ketakutan-ketakutan yang (bisa saja) tidak perlu. "emang anak orang mau dikasi makan rumput?", contohnya. meski dengan kemampuan luar biasa dalam hal self defense mecanism, kami sendiri pula yang akhirnya menjawabnya. "ada tongji itu rezeki...." atau "menikah itu memperlancar rezeki", dan bla...bla...bla...

lalu, dimana masalahnya? ah, bicara soal ini seperti "perih" tak berujung. perlu laku, tak perlu.... (Aan, jawablah>>>)

Tuesday, January 04, 2005

empati (2)

banyak yang bilang bencana Aceh memberikan semangat solidaritas baru bagi bangsa ini. tengoklah di jalan-jalan sekarang, mulai dari mahasiswa sampai masyarakat biasa seperti berlomba untuk memberikan apa yang mereka bisa.

tapi jika kita perhatikan iklan terbitan baru majalah-majalah remaja yang ada di Kompas dalam beberapa hari ini, rasanya solidaritas itu tidak ada, khususny bagi mereka, generasi MTV. tema-tema klasik dan yang jadi kredo bagi kaum muda........"20 kesalahan wanita jika ngedet, bagaimana trend rambut 2005, bla...bla....bla..."

ah, dimanakah solidaritas itu gerangan?

thanks

pokoknya thanks...