Wednesday, April 19, 2006

Gelisah

Bicara soal gelisah, kemarin saat reuni "dadakan" dengan teman-teman SMA, banyak kegelisahan yang kudengar. Seorang kawan yang sudah menempati posisi sales manager pada sebuah perusahaan distributor mobil di Makassar menceritakan kegelisahannya. Prestasi yang ia miliki sebenarnya luar biasa dalam urusan jual-menjual mobil. Dalam setahun, ia telah berhasil menjual lebih dari 100 unit, dan atas prestasinya itu ia dipromosikan sebagai kepala cabang bulan depan. Dengan latar seperti ini, rasanya ia menjadi “tidak wajar” untuk gelisah.

Namun prestasi dan keberhasilannya itu tetap saja tidak dapat membuatnya nyaman. Ia menceritakan bagaimana ia harus berbohong dan membantu orang lain untuk melakukan korupsi. Saat itu ia mendapatkan order dari salah satu pemerintah kota di daerah ini. Order yang lumayan besar, 10 unit. Bukannya girang ia malah bimbang, sebab pejabat yang mengurus order tersebut memintanya untuk memark-up nilai penjualan sampai 30% lebih. Belum puas dengan penggelembungan, sang pejabat juga meminta diskon yang sebenarnya bisa menjadi fee-nya, tentu saja secara legal dan lazim aja dalam dunia bisnis.

Ia sadar betul bahwa uang yang dipakai untuk membeli mobil dinas tersebut berasal dari uang rakyat, dan mungkin juga uang darinya sebagai pembayar pajak. Makin merasa bersalah ia ketika mengetahui bahwa hampir tiap tahun pemerintah kota mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk membeli mobil-mobil dinas. Mobil dinas yang lama pun kemudian menjadi milik pribadi pejabat melalui mekanisme dome, dimana mereka membeli mobil yang sebenarnya masih bagus dan sangat layak untuk dihargai dengan nilai tinggi, tapi kemudian dihargai dengan harga yang di luar akal sehat.

Masih ingat kisah pajero yang hanya dihargai tak lebih dari 5 juta rupiah? Begitulah nasib mobil-mobil dinas yang dianggap harus segera diganti dengan mobil keluaran terbaru. Alasannya pun kadang menggelikan. Teringat bagaimana salah seorang bupati pernah beralasan membeli mobil Nissan Terrano yang berharga ratusan juta rupiah dengan mengatakan bahwa kendaraan itu untuk membantu kelancaran tugas-tugasnya dan membuatnya mudah untuk menjenguk warganya.

Seorang kawan yang lain juga memiliki kegelisahan. Ia seorang karyawan bank plat merah terbesar di Indonesia. Posisinya di bagian controlling (sebenarnya ada nama bekennya tapi lupa) yang tugasnya mengawasi kinerja dari kantor wilayah. Ia juga dipromosikan di posisi ini setelah beberapa tahun sebagai staf di kantor pusat di Jakarta. Posisi bagus ini tak sebagus suasana yang ia rasakan. Bagaimana ia harus membiarkan kejahatan perbankan berlangsung di depan matanya. Meski kejahatan itu tak sebanding dengan BLBI yang menghisap trilyunan rupiah uang rakyat, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Bukannya tidak ada usaha untuk menghentikan, sebab ia tahu prosedur standar dalam pemberian kredit, misalnya. Tapi tetap saja ia selalu mendapatkan argumen bahwa aturan itu dibuat untuk dilanggar. Belum lagi katebelce-katebelece yang sering ia terima dari pejabat-pejabat untuk kepentingan beberapa orang.

Mendengar kisah-kisah mereka, saya merasa bersyukur untuk kondisi saya sekarang ini. Meski menjadi abdi negara yang relatif “kering” duit adalah anugerah, tapi tetap saja potensi menyimpang terhampar luas di depan.

Ini juga yang sering membuat gelisah, sebab soal kesempatan saja yang belum aku miliki yang membuat kondisi sekarang jadi aman-aman saja. Tapi entah beberapa tahun ke depan, ketika kesempatan itu ada dan menyapa. Meski demikian, selalu ada jalan ketika kita konsisten dengan apa yang diyakini. Memang contoh buruk dan tidak patut selalu ada, namun bukan berarti tidak ada juga contoh baik dan laik jadi inspirasi. Masalahnya, terinspirasikah saya? Ah, gelisah juga jadinya...