Friday, November 09, 2012

Sebuah Catatan Merayakan Perkawanan

catatan ini diniatkan sebagai kado buat kawan yang bulan depan melangsungkan pernikahan...

Gary S. Backer, seorang ekonom dari University of Chicago pernah menulis sebuah artikel menarik dengan judul “A Theory of Marriage”. Bagi Gary, teori-teori ekonomi sebenarnya bisa digunakan untuk menjelaskan banyak hal, termasuk perkawinan. Hal ini diungkapkannya untuk memperkuat argumen bahwa sesungguhnya teori-teori ekonomi memiliki kekuatan analitik untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Dalam penjelasannya, Gary menggunakan dua prinsip dasar ekonomi. Pertama, jika diasumsikan bahwa perkawinan itu bersifat sukarela, entah itu oleh calon pengantin dan dengan kerelaan dari pihak orang tua, maka sesungguhnya pernikahan menjadi upaya untuk meningkatkan tingkat utilitas (berdasarkan theory of preference) ketimbang tetap melajang. Prinsip kedua, sejak pria dan wanita ‘bersaing’ untuk mendapatkan pasangan, maka bisa dikatakan bahwa ‘pasar’ dalam pernikahan itu ada dan setiap orang akan berusaha mendapatkan pasangan ideal sesuai dengan mekanisme pasar yang ada.

Tapi tak setiap pernikahan memberi pembenaran atas teori Gary tersebut. Dan saya percaya, pilihan kawan Boge untuk menikah, tak melulu atas pertimbangan ekonomi, sebagaimana yang diisyaratkan Gary. Prinsip persaingan rasanya juga tak ada dalam daftar ‘motivasi untuk menikah’ Boge. Memakai istilah Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi 2002, keputusan menikah ini ‘mungkin’ merupakan perpaduan karakter berpikir dalam otak kita yaitu ‘Sistem 1’ dan ‘Sistem 2’ sekaligus. Artinya, keputusan ini diambil dalam keadaan sadar dan tidak sadar sekaligus, juga cepat tapi lambat pada dasarnya.

Dalam beberapa kesempatan, pilihan untuk menikah, selalu disebutnya sebagai upaya untuk menyempurnakan ke-Islamannya dan mencari bahagia yang paripurna. Ya, sebab kebahagiaan hanya milik mereka yang berani. Nah, kembali ke pembagian dalam otak sebagaimana yang dikemukakan Kahneman tadi, keputusan berani, yang merupakan kombinasi dari kesadaran, keinginan, dan intuisi ini berpadu menjadi satu dalam diri Boge.

Bicara soal berani ini, kami sering berbagi canda dan sindiran soal mengapa kawan-kawan masih memilih menjadi bujangan. Tentu saja, soal keberanian menjadi senjata andalan, bahwa mereka yang memilih untuk membujang cukup lama itu berarti tidak cukup berani. Tentu, dengan segala hormat, ini hanya lelucon dan sindiran dalam konteks pertemanan kami yang terbatas, tidak lebih. Begitulah cara kami merayakan perkawanan. Bahwa melajang pun butuh keberanian berlipat, tentu beberapa pihak setuju dan membenarkannya.

Saat mendengar Boge akan menikah, saya sebenarnya masih ragu akan informasi ini. Bukan mengapa, selain sebagai kawan yang paling besar, ia juga menjadi kawan yang selalu jadi korban hoax dan beragam ‘informasi tak benar’ lainnya. Klarifikasi menjadi penting untuk urusan serius semisal perkawinan. Setelah telpon sana-sini, saya berhasil diyakinkan dan meyakinkan diri bahwa informasi ini sifatnya A1. Tidak ada keraguan lagi di dalamnya.

Sebagai kawan, saya tentu bahagia, dan sekali lagi, berbagi kebahagiaan selama ini adalah cara kami merayakan perkawanan. Dari sekedar traktiran, hingga cerita soal anak masing-masing kami yang sudah mulai bisa menyebut nama dan memanggil papa, ayah dan abi. Jika sudah sampai pada bagian yang terakhir, kami yang sudah menikah duluan kadang tak enak hati kepada kawan lain yang masih bujang. Jika bukan karena perkawanan, maka habislah kami ini dicaci –maki dan dianggap tidak manusiawi. Tapi ya itu tadi, begitu cara kami merayakan perkawanan.

Dan sebagai kawan, saya juga percaya, Boge sudah menemukan cinta sejatinya, meski dengan cara yang tidak saya duga sama sekali. Benar kata orang, cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya sebagai jalan. Tapi saya percaya ini bukan kebetulan semata. Menurut kabar, tak kecil usaha dan kerja keras Boge untuk tiba pada keputusan menikah ini.

Saya pun percaya ini bukan pembuktian, sebab ia tak perlu membuktikan apa-apa. Sebagai lelaki, ia kawan yang tangguh, penuh percaya diri dan rajin belajar. Dalam beberapa hal, ia termasuk kawan yang kreatif dan menyenangkan. Perpaduan aneh tapi nyata. Kreatif karena ia sering memilih cara-cara yang tak lazim dan berbuah lelucon, bahkan untuk urusan kecil dan remeh-temeh. Namun begitu, ia juga menyenangkan, sebab mereka yang tak setuju tak berarti tidak suka dengannya. Paling tidak, dengan begitu kami punya tambahan stok dalam berbagi canda.

Pada akhirnya Boge sudah memutuskan untuk menikah tanpa berteori. Marilah kita berdoa dan berbahagia saja. Mari merayakan kehidupan baru.

Baraka-alahu-lakuma
Wa Baraka alaikuma
Wa jam’a bainakuma fil khair