Monday, July 23, 2012

Ramadhan 2012


Alhamdulillah, akhirnya bertemu Ramdahan lagi. Selayaknya resolusi hidup itu dimulai di ramadhan. Memperbaiki diri dan hidup. Banyak manfaat dan berkah di bulan ini. Meski jauh dari rumah dan keluarga, tapi pengalaman puasa ini tetap berkesan,
Yang selalu dinanti orang berpuasa biasanya saat berbuka. Katakanlah ini anak tangga paling rendah dari tingkat keimanan. Tapi bukankah Rasulullah sendiri berkata demikian?
Nah, soal berbuka ini, karena dirumah semua kawan tak berpuasa, maka saya memilih berbuka di kampus. Dari kawan, saya dengar bahwa mesjid kampus menyediakan takjil untuk mahasiswa.


Setengah jam sebelum waktu berbuka, saya sudah berada di mesjid. Ini kali pertama, dan tepat di ramadhan hari pertama. Jejeran takjil sudah tersedia. Beberapa pengurus islamic society dari guild sedang sibuk menyiapkan takjil. Sederhana memang. Ada kurma, biskuit dan susu yang dicampur sari buah. Semua dikerjakan bersama. Saya hanya membantu menyiapkan tikar dan tidak ingin terlibat terlalu jauh. Toh, sudah banyak pemuda disana.
Saat adzan dikumandangkan, kami semua berbuka. Duduk mengitari piring berisi takjil tadi, sekitar 4-5 orang per piring. Makan bersama jadi pengobat rindu akan puasa di kampung sendiri. Setelah Maghrib, kami pun kembali ke tempat semual. kali ini, yang disediakan nasi sebakul besar beserta ayam kari. Satu baki dimakan 4-5 orang lagi. Jangan bicara hyginietasnya, ini makan bersama dan sesuai sunnah nabi, begitu saya dengar dari seorang jamaah disamping. Menariknya, selain mahasiswa, banyak juga kaum muslimina lain yang hadir. Ada sopir taksi, teknisi perusahaan listrik, hingga para manula. Kebanyakan mereka bersala dari Pakistan, Afghanistan, Libya dan negara timur tengah. Tak heran, model berbuka yang dipakai adalah khas dari tumur tengah.
Alhamdulillah, Ramdahan karim.. semoga berkah puasa menyertai kita semua.

Wednesday, July 11, 2012

Hubungan Gelap

Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun bagaimana jika satu atau beberapa bagian dari rakyat lebih kuat dan berdaya ketimbang yang lain?
Pertanyaan ini menarik jika kita mengacu pada ramainya berita tentang sumbangan beberapa pengusaha kepada Polda Sulsel-Bar beberapa waktu lalu. Sumbangan yang diterima beragam, tanah dan bahan bangunan, hingga kendaraan bermotor. Jumlahnya pun luar biasa, total lebih dari Rp 7,8 Milyar, (Tribun-timur.com)
Kritikan bukannya tidak ada. Beberapa pihak menilai keputusan Polda untuk menerima sumbangan itu menunjukkan betapa institusi ini belum punya niat kuat untuk melaksanakan reformasi kepolisian dengan sungguh-sungguh. Apalagi ada kesan bahwa sumbangan tersebut akan menyandera kepolisian sebab pengusaha tersebut disinyalir bermasalah dan pernah berperkara.
Namun betulkah semua kesalahan layak ditimpakan kepada pihak kepolisian semata?
Hubungan antara pengusaha dan pengambil kebijakan, termasuk kepolisian, memang menjadi faktor penting, khususnya dalam bidang manajemen strategi. Dalam prakteknya, perusahaan mempunyai dua strategi besar. Pertama, strategi yang berkaitan dengan pasar (corporate market strategy). Strategi ini berkaitan langsung dengan produk/jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Kedua, strategi yang tidak berkaitan secara langsung dengan produk/jasa yang dihasilkan atau biasa juga disebut non-market strategy.
Nah, dalam konteks Indonesia, strategi yang paling dominan dijalankan perusahaan dan pengusaha (kelihatannya) adalah strategi non-pasar ini. Rupa-rupa implementasinya. Mulai dari menjadi dermawan, memberikan bantuan sosial, dan hingga menjadi politisi. Dalam bentuk ekstrim, penyuapan juga menjadi pilihan. Strategi-strategi ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mempercepat urusan dan menghindarkan dari kondisi ketidakpastian.
Dalam literatur strategi politik perusahaan, ada dua hal utama yang menyebabkan mengapa pengusaha memilih strategi non-pasar ini. Pertama, tingginya tingkat ketidakpastian kebijakan yang berkaitan dengan dunia usaha. Dalam kondisi ini, pengusaha praktis tidak memiliki informasi yang baku dan kemudian bisa dipakai dalam menentukan strategi jangka panjang.
Meski pemerintah (pusat dan daerah) selalu mengklaim perbaikan iklim usaha, termasuk dengan pembentukan pelayanan satu atap, namun realitanya membuktikan hal yang berbalik. Kutipan tidak resmi masih menghantui kalangan pengusaha.
Kedua, lemahnya penegakan hukum. Kondisi ini bukan baru terjadi belakangan ini, namun sayangnya, belum banyak perubahan berarti yang bisa kita lihat. Kepolisian, sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab untuk hal ini, belum mampu menunjukkan perubahan berarti. Maka, dalam konteks ini kita bisa pahami mengapa penolakan beberapa kalangan terhadap sumbangan yang diberikan pengusaha muncul.
Dalam menghadapi dua kondisi di atas, pengusaha dituntut untuk cerdas. Maka strategi non-pasar ini menjadi penting. Strategi ini sebenarnya tak lebih dari membangun hubungan baik dengan penentu kebijakan. Harapannya adalah, agar perusahaan mendapatkan ‘keunggulan kompetitif’ dibanding perusahaan yang lain.
Tanpa memperbaiki lingkungan bisnis yang ada, maka ‘hubungan gelap’ pengusaha dan penguasa akan terus berkembang. Bahkan bisa jadi, meski aturan makin banyak dan berlipat, tapi hubungan gelap ini akan mewujud dalam bentuk yang lebih canggih. Konflik kepentingan sebagaimana kekhawatiran banyak kalangan, akan terus tumbuh.
Ke depan, untuk meminimalisir konflik kepentingan yang mungkin timbul, perlu dibuat aturan yang jelas dan detail. Aturan ini tentu saja harus diikuti dengan penegakan hukum yang serius. Hal lain yang perlu dilakukan adalah membangun koalisi strategis antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiganya harus berhubungan dalam koridor yang harmonis, sehat, transparan, dan akuntabel. Intinya, prinsip keadilan untuk semua. Dalam hal ini penikmat dari semua kebijakan bukan hanya pengusaha, tetapi juga seluruh komponen bangsa.
Menuntut kontribusi perusahaan dalam pembangunan memang wajar di tengah minimnya anggaran Negara. Namun itu tidak berarti membenarkan segala macam cara. Sekali lagi, bantuan beberapa pengusaha kepada Polda beberapa waktu itu lalu tentu saja menyisakan cerita tentang konflik kepentingan yang bakal timbul di masa mendatang.
Para pengusaha tidak berarti mengabaikan pentingnya strategi non-pasar ini. Namun penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang bergantung dengan strategi seperti ini, tidak akan bertahan lama. Energi pun akan habis untuk urusan yang tidak produktif. Perusahaan menjadi tidak berkembang dan akan berputar dalam isu-isu yang tidak ada kaitannya dengan kemajuan perusahaan. Keunggulan kompetitif yang didapat pun akan dengan mudah hilang seiring pergantian kekuasaan dan politik.
Kombinasi penguasa dan pengusaha bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk pengembangan bangsa ini. Namun jika ini tidak diawasi, maka keputusan politik dan bisnis bisa terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil semata, yang tentu saja berdampak negatif bagi kemajuan bangsa.
Kita butuh polisi yang tangguh, dan pengusaha yang tidak manja. Sebuah harapan berat, namun bukan berarti tidak bisa.