Saat transit di bandara Dubai International, sekelompok perempuan berwajah melayu menghampiri saya. Jumlah mereka sekitar 7 orang, semuanya berpenampilan biasa. Umur mereka kutaksir sekitar 35 ' 40 an. Mereka sepertinya bingung dan cemas. Tak salah, ternyata mereka tak tahu harus menuju terminal kemana. Bandara ini emang besar, teramat besar dan modern malah. Kami awalnya satu pesawat sejak dari Jakarta, namun di Dubai, mereka harus melanjutkan perjalanan dengan pesawat berbeda dan teminal serta pintu yang berbeda.
Setelah melihat boarding pas dan tiket mereka, saya kemudian menanyakan kepada bagian informasi, yang untungnya agak kooperatif. Sangat beda dengan petugas imigrasi yang memeriksa kami sebelumnya. Tak satupun luput dari incarannya, termasuk bagian dalam sekalipun.
Kembali ke kelompok perempuan tadi, ternyata pesawat mereka baru berangkat jam 5 sore sedangkan saat ini masih jam 06.00 waktu Dubai. Petugas informasi kemudian menunjukkan kepada mereka terminal dan pintu yang harus mereka lewati saat check in nanti.
Kami pun berbagi cerita, mereka menanyakan kemana tujuan saza dan apa yang akan saya lakukan disana. setelah menjawab, saya ganti bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab akan ke Arab Saudi, dengan tujuan menjadi pembantu rumah tangga. Mereka sebenarnya telah ke arab saudi sebelumnya, namun rute yang mereka lalui berbeda dengan saat ini.
Banyak cerita yang mereka bagi, termasuk siasat untuk menghindari terminal 3 di bandara Soekarno Hatta, yang menurut mereka tak ubahya dengan kuburan bagi para TKI. Calo, petugas resmi, seolah berlomba mengambil jatah dari hasil keringat TKI. Jangankan yang tidak remsi, tarif resmi pun sering dimainkan oleh petugas. Belum lagi preman2 yang katanya diberi ruang bebas oleh petugas untuk memalaki mereka.
Tak ingin ambil resiko, mereka pun terbang ke Arab Saudi dengan menyembunyikan status TKI mereka dengan memakai penerbangan lain, beda dengan yang selama ini dipakai TKI pada umumnya. Tentu saja dengan resiko, bahwa biaza tiket menjadi lebih mahal karena harus mengambil rute yang agak jauh dan tidak langsung ke arab saudi.
Saya kemudian teringat sambutan presiden beberapa waktu lalu yang meminta negara untuk menghargai jasa TKI yang dianggap sebagai penghasil devisa terbesar. Gagah betul sebutan untuk mereka, Pahlawan Devisa.
Mereka harus menunggu hingga jam sore, itu berarti mereka akan membutuhkan bekal. Tapi, tak satupun dari mereka zang punza bekal cukup, bahkan air minum sekalipun. Untunglah bandara ini menyediakan air mimum gratis yang kemudian saya tunjukan kepada mereka kerannya.
Panggilan untuk chek in akhirnya membuat saya harus berpamitan dengan mereka. Sambil tersenyum kuberpesan kepada mereka untuk membungkus semua makanan yang diberikan di pesawat agar setibanya di tujuan tak harus bingung karena tak ada bekal.
Ooh Pahlawan, malang benar nasibmu.
1 comment:
Betul-betul miris nasib mereka. Dulu waktu pulang sekolah untuk penelitian awal 2001, saya sempat transit di Hongkong dan dilecehkan (karena dikira TKW! hanya karena saya berjilbab dan pakaian ala kadarnya: sweat pants dan simple t-shirt plus jilbab pendek nan praktis saya. Deh, sapa tong mo pake' baju cantik-cantik dalam perjalanan panjang lebih dari 20 jam dari Canada ke Indonesia?) oleh pejabat salah satu BUMN. Trus sampe' di Cengkareng dibentak-bentak petugas dan disuruh ambil jalur lain untuk check-out (beacukai). Nassami saya balas membentak (kluarmi Bugis aslinya!) dengan mata melotot... malah saya sempat menantang bapak petugas itu. Kagetki setengah mati... lebih kaget lagi waktu dia lihat paspor di tanganku paspor biru... langsung ki berlalu padahal sa masih mo ladeni (untung ada petugas lain yang datang dan dengan sopan mengambil tas jinjingan saya dan menenangkan saya yang betul-betul marah). Bah! itulah... orang Indonesia memang suka "makan" bangsanya sendiri. Entah bagaimana perlakuan mereka kalo sa mudik tahun depan... mo bawa bayi pula (insya Allah). Nanti dikira babysitter lagi *sigh*
Post a Comment