Tuesday, January 03, 2006

Menata Ulang Harapan

Image hosted by Photobucket.com

Layaknya tradisi, setiap tarikh dipenggal dengan tahun. Mungkin sekedar jeda dari optimisme yang tinggi, atau juga menjadi pertanda bahwa kita kalah, dan perjuangan harus berhenti dulu. Seakan-akan peristiwa dapat dipotong-potong. Maka tengoklah kemudian setiap media mengajak kita untuk mengingat apa yang menjadi optimisme dan dimana kita harus berpesimis-ria.

Ya, saatnya tiba untuk “catatan akhir tahun”, kaladeoskop, year review, hingga gosip pun direkonstruksi ulang. Tengoklah bagaimana infotainment mencoba menyegarkan ingatan kita tentang gosip-gosip yang pernah menjadi sekedar bumbu pembicaraan hingga yang betul-betul kita ikuti dengan sangat detail. Perceraian si Anu, ultah si Dia, sampai makanan favorit keluarga sang Itu. Lalu bagaimana kita menyebut 2005?
* * *
Dr. Morrie Schawrtz, sosiolog di Harvard University ketika menjelang ajalnya berujar, “Aku mulai menikmati ketergantunganku”, katanya. “Seperti kembali menjadi anak-anak...Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya”. Ada prihatin dalam tuturnya..

Ia seperti menyadarkan kita bahwa makin dewasa sebenarnya kita makin kanak-kanak saja jadinya. Tergantung kepada ini dan itu. Bangsa ini pun rasanya tidak jauh dari hal yang sama. Makin jauh rentang kita dengan saat merdeka, makin rumit pula hidup menjadi. Utang yang menumpuk di beberapa negara besar, harga BBM yang sangat bergantung kepada harga minyak dunia, korupsi yang sangat bergantung kepada siapa yang punya kekuasaan, hingga media yang sangat bergantung kepada pemasang iklan. Meski tidak sepenuhnya bulat, tapi itulah gambaran wajah bangsa ini. Adakah harapan di sini?

Dari Morrie Schawrtz kita juga harusnya belajar, bahwa perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud maut. Perlawanan terakhir adalah perlawanan terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang penting...

Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana menjadikan diri kita tak terlalu pusing dengan dalih. “Hidup memang tidak adil”, atau yang lebih brutal, “karena hidup tidak pernah adil untuk kita, maka pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong,”. Demikianlah, kita pun berargumen bahwa persoalannya adalah terletak pada pilihan.

Bukankah banyak yang jadi korban tanpa pernah tahu alasannya? Ya, dan yang menarik adalah bahwa banyak juga yang tak memilih amarah dan membuat orang lain menjadi korban. Inilah yang harus menjadi semangat hidup. Semangat yang melihat harapan ketika memberi. Mungkin dengan sedih dan penuh kegetiran. Tapi akhirnya Morrie Schawrtz memberi tahu kita bahwa tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan, kawan?

Bagaimana harapan di tahun mendatang? Tak ada yang pasti. Sama dengan tidak pastinya memperkirakan rupiah akan menguat terhadap dollar, atau membayangkan akan harga BBM yang terus turun. Namun seperti kata Bernstein, “Ketidakpastian membuat kita merdeka”. Sebab andai pun semua berjalan laik hukum probabilitas, kita rasanya tak beda dengan manusia primitif, tak punya alternatif lain selain berdoa dan melafalkan mantra, semoga hidup menjadi lebih baik. Tak lebih.

Di atas semua, rasanya perlu dipikirkan untuk menata ulang harapan. Jangan ngotot, kawan. Di sisi ini rasanya kata-kata Keynes perlu didengar, “In the long run we are all dead.” Kelak, akhirnya kita semua akan mati—-sebuah pesan tentang kehidupan dan harapan yang sesungguhnya..

No comments: