Friday, December 31, 2004
mat taon baru
Sesungguhnya, kehidupan itu dipenuhi oleh refleksi. Jika bertemu dengan orang yang dipenuhi cinta, maka hati kita pun terefleksikan oleh cinta. Pertemuan dengan orang-orang gelisah hanya melahirkan kegelisahan. Maka, kepada sesama, yang terbaik adalah memberikan cinta, bukan kebencian. Kesucian pikiran itu akan menular --dalam tempo lama atau sepintas.
7an
tak terasa 2005 telah kupijak. syukur kepada-Mu ya Allah.
aku sudah harus punya tujuan yang jelas, begitu ungkapku dalam hati. jika tidak, terlindas adalah pilihan yang pasti.
it's me
dari voice of america (VoA) ada penelitian menarik yang disampaikan. sekitar 65% masyarakat melewati tahun baru dengan segudang harapan dan janji. namun 85% dari mereka tak pernah menepati janjinya. mereka cenderung bertahan hanya dua bulan setelah awal tahun dimulai. setelah itu mereka melanggar janjinya.
tak bisa kusangkal, saya termasuk dalam 85% itu!!!
apa yang baru
sebentar lagi 2005 akan menyapa. hanya dalam hitungan menit lagi. dari rumah memang aku cuma punya tujuan ke warnet. tak ada tujuan lagi. diluar jalanansudah mulai ramai. entah mereka akan bertahun baru atau sekedar pengguna jalan biasa. tapi satu hal yang pasti, kredo tahun baru sebagai sebuah seremoni tiup terompet masih terasa aromanya.
tak cukup anak kecil saja, disana banyak remaja bahkan orang yang dari anatomi tubuh menggambarkan ketuaan (tentu saja sangat), juga tak mau ketinggalan.
bukannya aku tak mau larut dengan acara tahun baru seperti ini. tak juga aku seperti menunjukkan bahwa aku suci dan ingin jernih dari ritual ini. tapi kok rasanya dengan bergembira dan riang dalam suasana duka yang menyelimuti sebagian dari bangsa ini, membuatku mual dan bahkan muak (maafkan pilihan kataku yang tak sopan ini). tapi aku tak ingin menjadi orang yang ahistoris. tak ada perayaan luar biasa dalam aku melewati tahun demi tahun usiaku. meski soal ahistoris ini masih bisa kita perdebatkan. meski kita juga bisa berdebat bahwa ada sesuatu yang "istimewa" dalam hari itu.
tadi sore dalam sebuah siaran stasiun tv swasta tampil irfan hakim. presenter ini coba menjelaskan kepada khalayak mengenai acara tahun baru dan pesta dengan para selebriti (meski selebriti yang tampil sebagian besar selebriti yang lahir dari sms). berkembang pendapat dalam masyarakat bahwa tak layak untuk merayakan tahun baru dalam suasana duka di aceh seperti saat ini. toh mereka (pengelola tv dan artis) punya penjelasannya masing-masing.
kemasan acara diubah. doa bersama digelar dan kotak sumbangan pun tak ketinggalan dijajakan. tak ada yang salah memang, bahkan teramat mulia, kelihatannya. tap sekali lagi kemanusiaan kalah pamor dengan kekuatan modal dan citra.
***
tahun baru yang lalu dan sebelumnya, praktis tidak ada perbedaan mendasar. ia dilewati tak lebioh seperti sebuah ritual. tak ada bedanya dengan kita berganti baju, celana bahkan mungkin kekasih. lalu apa yang baru???
tak ada, tentu saja. jika kita masih terus berkutat dalam kubangan citra. tak ketinggalan saya, yang juga mengambil tempat disisi itu.
Thursday, December 30, 2004
berhitung
2004 akan tinggal deretan angka yang terbuang. terlalu banyak yang "tidak perlu" dalam daftar kelakuanku. sementara tak sedikit laku yang tak terlakoni. mungkin saatnya untuk berhitung sembari sesekali berfikir bahwa tua tak sekedar tujuan.
gadisku
ia seperti fatamorgana. terlalu banyak konsep dan sepertinya aku tak berpijak di bumi jika memikirkannya...tapi mengapa tetap saja aku berharap ada ia suatu saat kelak??
kagum
seorang kawan, dengan perawakan yang tak bisa dibilang gagah (untuk ukuran sinetron dan casting iklan), lebih sering tampil "ala kadar"nya, tak juga pernah berhasil dalam percintaan, dan selalu telat bangun pagi....ada kekaguman tersendiri yang kupendam terhadapnya.
peringatan atawa berkah
melihat kondisi Aceh hari ini, aku tiba-tiba aku teringat Tuhan dan mempertanyakn "kebijakan"nya ini. meski aku tahu, aku pun tak pantas untuk itu. aku pun bukan termasuk dalam hambanya yang beriman. ukuran apapun yang dijadikan barometernya, aku tetap bukan dari golongan itu.
tetapi mempertanyakan kebijakan itu sontak terlintas. mengapa penderitaan masyarakat Aceh harus ditambah lagi, setelah sekian lama mereka tak jua lepas dari derita dan nestapa. mengapa bukan Jakarta, tempat dimana koruptor dan penyamun berleha-leha. meski satu sisi kita tak boleh menghakimi orang lain dengan mengalihkan sebuah bencana. sederet mengapa tentu saja beranak-pinak kemudian dalam lintasan pikiranku.
tapi betulkah itu bencana? ah aku rasa ini bukan juga bencana "seutuhnya". bahasa apologianya bahwa ini adalah peringatan. kata inilah yang sering dipakai untuk menguatkan semangat dan berusaha mengambil meanfaat dari sesuatu kejadian. bukan masalah apakah ini menghibur atau mengobarkan semangat, tapi dari apa yang saya pelajari dulu, orang yang mati sesungguhnya tak "mati" benar. mereka diselamatkan oleh Allah untuk tidak terjamah dengan kotornya dunia. bukankah sebuah kredo mengenai orang baika mengatakan bahwa orang baik dari kamu akan selalu dijaga dan salah satunya dengan mempercepat hidup mereka?
aku rasa, untuk yang satu ini aku yakin. mereka tak sekedar dicoba, tapi dijaga. tak seperti kita, yang makin hari makin berkolaborasi dengan kejahatan....meski dengan berbagai alasan dan pembenarannya.
Monday, December 27, 2004
indonesia berduka
"bencana nasional", begitu pengumuman resmi dari pemerintah tentang bencana di aceh yang menewaskan lebih dari 4000 orang ini. seperti pada umumnya ketika terjadi bencana, posko-posko pun segera dibangun dan bantuan datang dari berbagai lapisan. tapi bukan rahasia lagi, di negeri dimana koruptor berkembang dan hidup dengan tenang ini, bantuan untuk bencana alam pun dikorupsi dan diselewengkan.
masih teringat bagaimana seorang bupati di daerah jawa ditahan karena disangka menyelewengkan dana bantuan untuk korban bencana. di tempat lain, beberapa pejabat pemda dibui karena menyelewengkan dana yang seharusnya dibelikan obat-obatan bagi mereka yang sedang kesusahan.
"bencana nasional", semoga tak menjadi korupsi dan penyelwengan nasional. sebab jika itu terjadi, tsunami rasanya tak ragu untuk datang lagi. dan kali ini, tentu saja dengan korban dan tumbal yang lebih banyak lagi........
stuck
entah mengapa belakangan ini aku seperti kehilangan elan, tanpa tahu harus berbuat apa dan bagaimana. seperti ada yang menutup pintu spirit dan keran energi. penyebab pastinya aku tak tahu pasti, tapi yang bisa kuduga bahwa aku seperti ingin melarikan diri dari sesuatu. apa itu?! aku juga tak paham benar, dan jujur, aku juga tak menghendakinya.
seorang kawan lalu menyarankan untuk memanfaatkan waktu libur ini untuk istirahat dan pelesiran. tapi ah, rasanya kok seperti gagah-gagahan. bukan apa, kurasa aku tak melakukan kerja yang berat amat, trus tak juga aku menghabiskan banyak (dalam artian luar biasa) waktu membaca dan belajar. semua biasa-biasa saja.
lalu apa yang salah? mungkin tidak ada yang salah. sekedar butuh jeda? bisa jadi....
bencana
........
mungkin tuhan telah bosan
melihat tingkah kita
yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa
.......
tapi apakah betul mereka yang bersalah, ya Allah..?
Friday, December 17, 2004
jagoan
unhas, tawuran lagi. slogan damai itu indah rasanya perlu diganti dengan tawuran itu indah.
untuk mereka yang jagoan dan merasa berhak mengusik ketenangan, dari apakah kalian terbuat sehingga melakukan itu semua....?
sebuah pelajaran
dalam menyelesaikan sebuah masalah, aku kadang terpikir untuk menyelesaikannya dengan cara-cara "biasa". biasa dalam artian bagaimana pada umumnya masyrakat dan kita untuk melihat dan bahkan pengen secepatnya meninggalkan masalah itu. ambil contoh dalam urusan tilang polisi lalu lintas. seenaknya saja kita coba berkelit dan bila dirasa mentok, tawaran untuk berdamai segera kita luncurkan kepada polisi.
kemarin, ada peristiwa menarik yang kualami. sewaktu naik mot0r dari kota aku helm yang aku gantung terjatuh di tengah jalan. sontak aku hentikan motor dan berharap bahwa tidak ada kendaraan yang "tega" menginjak helm itu. di sekitar kejadian itu ada seorang anak smp, dari postur tubuhnya kukira ia masih menginjak kelas pertama. dari jauh kulambaikan tangan dengan isyarat untuk memintanya mengambilkan helmku yang terjatuh itu, sebab jarakku dengan helm tersebut masih cukup untuk memberikan peluang kepada kendaraan untuk menghancurkan berkeping-keping.
ia berhasil. dari jauh tampak helmku dipegangnya. sambil mempercepat langkah aku langsung saj merogoh kantoong celana dan berharap ada recehan yang mungkin bisa kuberikan sebagai tanda terima kasih. saat bertemu kuucapkan terima kasih sambil menawarkan duit seribuh rupiah untuknya. tak kusangka ia menolak dan sekedar bergumam, "ndak usahmi, kak".
aku malu...padahal tidak ada niatku untuk merendahkan niat baiknya dan menukarnya dengan nilai selembar uang. tapi aku sadar, aku bahkan tak melihatnya sebagai manusia yang utuh, dimana setiap orang punya potensi untuk berbuat tanpa pretensi apa-apa. sekali lagi aku salah, menganggap semua masalah dapat diselesaikan dengan cara-cara primitif.
dari seorang anak kecil, aku mendapatkan sebuah pelajaran berharga, meski untuk itu aku harus memendam malu...
Monday, December 06, 2004
luka
hari ini aku terluka lagi. dengannya, aku lebih sering berbeda daripada mencari sepadan. soal persepsi memang, tapi begitulah kadang kusadar aku memang keras kepala.
perbedaan yang mungkin sepele baginya, tapi tidak untukku. dalam beberapa hal, aku lebih memilih untuk berfikir tradisional dan agak kolot. sebab saya masih percaya, dalam pikiran tradisional (tidak semua, tentunya) selalu ada kearifan tersendiri.
baiklah, saya terluka. tapi seperti seiya dan kesatria lainnya, aku berharap bertambah sakti, dengan luka segudang, tentunya.
perbedaan yang mungkin sepele baginya, tapi tidak untukku. dalam beberapa hal, aku lebih memilih untuk berfikir tradisional dan agak kolot. sebab saya masih percaya, dalam pikiran tradisional (tidak semua, tentunya) selalu ada kearifan tersendiri.
baiklah, saya terluka. tapi seperti seiya dan kesatria lainnya, aku berharap bertambah sakti, dengan luka segudang, tentunya.
Saturday, November 06, 2004
sia-sia
Kebenaran hari ini tidak lagi selalu berhadapan frontal dengan ketidakbenaran, seperti di film-film India. Tapi kebenaran satu sisi justru melawan kebenaran yang lain. Entahlah, rasanya memang ada banyak kebenaran yang terlalu dihayati dengan membabi buta. Kebenaran anutan kita yang menyakiti dan menistakan orang lain.
kudengar ada sedikit konflik internal di "rumah"ku dulu, identitas. sebenarnya konflik dan intrik tak pernah jauh-jauh dari tempat ini. ada saja yang bisa dijadikan pelatuk untuk sekedar membuat konflik kecil-kecilan. sebab ujung-ujungnya tentu maccalla, yang bagi sebagian besar penghuni identitas adalah sebuah kebiasaan yang menyenangkan.
tapi kurasa konflik ini agak terasa lain, baik dalam nuansa maupun bobotnya. anak magang kembali menjadi pemicu dari semua ini. anak magang, memang ditakdirkan untuk menjadi pemicu, barangkali. ceritanya begini, beberapa kru tidak bisa menerima intervensi atau campur tangan beberapa alumni yang sampai mengurusi urusan keredaksian, salah satunya adalah kaderisasi dan pembekalan bagi magang. tingkah beberapa alumni dinilai sudah over-acting alias tallewa-lewa (ini ungkapan asli sang kru yang bercerita kepadaku). saking berlebihannya, para kru pun tidak lagi diberi peran dan praktis semua hal dalam kaitannya dengan pemagangan diambil alih oleh alumni.
mereka pun (kru) merencanakanr apat aksi, dan parahnya yang dipilih sebagai tempat pelaksanaannya adalah rumah kontrakan saya. meski aku pada dasarnya tidak setuju, tapi kuterima saja niat mereka dan berkata bahwa yang tanggung jawab adalah mereka sendiri.
aku tidak bicara soal siapa benar dan siapa yang salah. meski sejujurnya kedua mereka salah, setidaknya menurut perhitungan kasarku. aku selalu tidak merasa comfort bila ada senior yang selalu dan cenderung mengintervensi. sebab aku percaya bahwa everybody has the right for their own history, betapapun jeleknya itu!! kalau toh kita merasa bahwa ini adalah upaya untuk kita mneyelamatkan identitas sebagai sebuah organisasi, tidakkah kita sudah meletakkan penilaian subyektif bahwa kita jauh lebih baik dari mereka? lalu dalam ukuran apa? sebab, dinamika yang kita hadapi dan yang mereka hadapi tentulah tidak sama. tantangan dan strategi menghadapinya pun tentulah berbeda. kecendrungan ini yang saya coba pegang dan pertahankan, termasuk saat di senat mahasiswa dulu.
para kru pun bukannya tanpa celah. mereka seperti berasyik masyhuk dengan dunianya sehingga melupakan esensi dari kerja-kerja media. hampir tidak ada pembekalan substansial yang diperoleh maganga, selain kedekatan emosional yang dangkal dan cendereung membodohkan saja. dari mereka pun aku diminta untuk membantu, tapi kukatakan tidak. sebab menjadi martir untuk sesuatu yang sia-sia adalah konyol. dan mereka, kuanggpa seperti itu. sebab mereka cuma tahu menghujat tingkah alumni tanpa pernah berfikir dan merencanakan apa yang akan mereka lakukan.
saya pun dihadapkan pada dua kubu yang sudah seperti "pasang badan" dan tampak seperti valdemort yang angkuh. tapi aku percaya, everybody has the right for their own history, bukanlah kalimat sakral tanpa makna. tapi minimal, ia menjadi semacam petunjuk bahwa keberagaman itu bukanlah sesuatu yang diciptakan sia-sia oleh-Nya.
bersyukur
sebuah pesan singkat datang dari kakakku. aku menduga ini pasti sekedar meminta pulsa atau ingin agar aku segera pulang dan berbuka puasa di rumah. tapi setelah kubaca agak kaget juga aku dibuatnya. aku diminta menelpon ke rumah sebab ada sesuatu yang penting sekali.
aku pun segera menelpon dan kebetulan diangkat oleh kakakku yang kirim sms tadi. segera kutanya ia ada apa sebenarnya, sampe-sampai ia memberi penilaian penting? ternyata ia dan ibuku telah berdiskusi kecil-kecilan. mereka membahas dan memikirkan bahwa aku sebagai anggota keluarga yang baru mendapatkan rezeki (pekerjaan) sebaiknya membuat acara syukuran, sebagai sebuah tradisi leluhur yang salah satu tujuannya untuk melapangkan jalan bagi rezeki selanjutnya. yang diundang pun kalangan terdekat keluarga, ya saudara-saudara dan keponakanku saja.
agak tidak masuk dalam rasioku, tapi begitulah, aku memang memilih tak melakukan konfrontasi untuk hal-hal seperti ini. lagi pula, adakah sebuah dunia yang dibangun atas rasionalitas semata?
aku pun mengambil sisi positif, itung-itung sebagai balas jasa terhadap kakakku yang selama ini selalu membantu, terutama dalam hal keuangan bagi pendidikan saya. tapi yang lebih penting sebenanrnya, adalah niat tulusku untuk meminta maaf kepada mereka sebab selama ini aku pasti punya salah dan khilaf, yang tentu saja tak ada niatanku untuk sengaja melakukannya.
syukuran, minta maaf, dan berkumpul bersama keluarga, semoga menjadi nikmat yang terindah, dan ya ALLah, jadikan aku hamba-Mu yang pandai bersyukur.
purba
Hari-hari ini aku merasa ujian terasa makin berat kurasakan. bukan soal lapar dan haus dalam menghadapi puasa itu yang kuanggap benar sebagai ujian. tapi ada ujian lain yang jauh lebih berat. dalam sebauah cermah agam di stasiun tivi swasta beberapa waktu lalu, seorang ustaz cobe menjelaskan tentang ujian, yang salah satunya kuingat adalah bahawa ujian itu tak melulu hanyalah kesusahan dan kepedihan tapi juga kenikmatan dan kesuksesan.
Tiba-tiba kusadar, lempengnya jalan yang kuhadapi untuk menggapai cita-cita mungkin adalah ujian. sebab dengan ini kurasa diriku jadi menggampang-gampangkan segalanya. entahlah, yang pasti, satu gejala yang kini terasa adalah tingginya intensitas aku untuk selalu menunda-nunda banyak hal.
Parahnya, aku pun dibuat seperti tak punya sikap. rasa ini sebenarnya telah lama kudeteksi, namun entah mengapa ia seperti langgeng dan adem di dalam diri ini. aku juga tahu bahwa yang kurasa ini pasti akan menjadi penghambat terbesar, baik dalam kehidupan duniawi dan spritualitasku. aku jadi takut, dan bayangan akan kegagalan tiba-tiba saja menjadi akrab dengan diri ini.
Ya Allah................ Sungguh aku takut dengan semua ini. Aku takut pada dosa yang tak Kau ampuni, pada do'a yang tak Kau dengar, pada nafsu yang tak berbatas. Pada keinginan-keinginan...yang tak ada habisnya. Kuatkanlah aku ya, Allah... Kuatkanlah...
Tiba-tiba kusadar, lempengnya jalan yang kuhadapi untuk menggapai cita-cita mungkin adalah ujian. sebab dengan ini kurasa diriku jadi menggampang-gampangkan segalanya. entahlah, yang pasti, satu gejala yang kini terasa adalah tingginya intensitas aku untuk selalu menunda-nunda banyak hal.
Parahnya, aku pun dibuat seperti tak punya sikap. rasa ini sebenarnya telah lama kudeteksi, namun entah mengapa ia seperti langgeng dan adem di dalam diri ini. aku juga tahu bahwa yang kurasa ini pasti akan menjadi penghambat terbesar, baik dalam kehidupan duniawi dan spritualitasku. aku jadi takut, dan bayangan akan kegagalan tiba-tiba saja menjadi akrab dengan diri ini.
Ya Allah................ Sungguh aku takut dengan semua ini. Aku takut pada dosa yang tak Kau ampuni, pada do'a yang tak Kau dengar, pada nafsu yang tak berbatas. Pada keinginan-keinginan...yang tak ada habisnya. Kuatkanlah aku ya, Allah... Kuatkanlah...
Tuesday, November 02, 2004
benarkah?
Waktu kecil dulu (bahkan sampai kini sekalipun) aku sering mendengar betap mulianya bulan ramdhan itu. dalam sebuah sabdanya, Rasul pun mengingatkan bahwa jika kita tahu manfaat dan ridha yang terdapat dalam bulan ramadhan, maka kita akan meminta kepada tuhan untuk menggenapkan 12 bulan dalam setahun itu sebagai ramadhan semua.
luar biasa....sehingga banyak doa dan lagu yang dilantunkan semuanya menggambarkan kerinduan akan ramadhan.
tapi seperti kemarin, aku selalu bertanya, betulkah aku rindu dengan ramdahan? bahkan hingga ramadhan memasuki fase ketiganya, tak ada getar berarti dari bulan suci ini yang terasa dalam diriku. entah karena tumpukan dosa dan khilafku atau karena aku berpuasa hanya karena persepsi sosial, dimana tentu aku harus menjaga image agar tak tampak sebagai manusia tak sempurna.
waktu kecil dulu, aku masih sedikit merasakan getaran sebelum ramadhan. mungkin saat itu karena aku masih polos dan lumayan "bersih" dibanding sekarang. saat ini, semua berjalan datar-datar aja rasanya. bahkan jujur kukatakan ada rasa untuk cepat-cepat mengakhirinya. bukankah banyak hal yang tak dapat kulakukan dengan adanya bulan ini?
tapi aku juga diam-diam mensyukuri ramdahan ini. ia setidaknya memberiku sugesti kecil untuk sekedar melongok tuhan yang selama ini lebih banyak aku lupa dibanding mengingatnya. ia juga menjadi rambu lalulintas, meski aku lebih sering melanggar daripada mematuhinya.
tuhan, izinkan aku mendapatkan berkahnya ramadhan. sebelum ia berakhir, kumohon tunjukkan aku hidayahmu. tunjukilah kepadaku bahwa sesuatu itu benar adanya, dan berikanlah aku kekuatan untuk melaksanakannya. serta tunjukkanlah kepadaku bahwa sesuatu itu salah dan berilah aku kekuatan yang memadai untuk berpaling darinya.
oh yah, satu lagi. aku selalu mendengar dan membaca tentang satu malam di bulan ramadhan yang nilainya sama dengan seribu bulan. dan segala pinta yang diajukan didalamnya akan dipenuhi oleh-Nya. Ya Allah....izinkan hambamu bertemu dengan malam itu, dan akan kumohon padamu doaku kedua kalinya.
luar biasa....sehingga banyak doa dan lagu yang dilantunkan semuanya menggambarkan kerinduan akan ramadhan.
tapi seperti kemarin, aku selalu bertanya, betulkah aku rindu dengan ramdahan? bahkan hingga ramadhan memasuki fase ketiganya, tak ada getar berarti dari bulan suci ini yang terasa dalam diriku. entah karena tumpukan dosa dan khilafku atau karena aku berpuasa hanya karena persepsi sosial, dimana tentu aku harus menjaga image agar tak tampak sebagai manusia tak sempurna.
waktu kecil dulu, aku masih sedikit merasakan getaran sebelum ramadhan. mungkin saat itu karena aku masih polos dan lumayan "bersih" dibanding sekarang. saat ini, semua berjalan datar-datar aja rasanya. bahkan jujur kukatakan ada rasa untuk cepat-cepat mengakhirinya. bukankah banyak hal yang tak dapat kulakukan dengan adanya bulan ini?
tapi aku juga diam-diam mensyukuri ramdahan ini. ia setidaknya memberiku sugesti kecil untuk sekedar melongok tuhan yang selama ini lebih banyak aku lupa dibanding mengingatnya. ia juga menjadi rambu lalulintas, meski aku lebih sering melanggar daripada mematuhinya.
tuhan, izinkan aku mendapatkan berkahnya ramadhan. sebelum ia berakhir, kumohon tunjukkan aku hidayahmu. tunjukilah kepadaku bahwa sesuatu itu benar adanya, dan berikanlah aku kekuatan untuk melaksanakannya. serta tunjukkanlah kepadaku bahwa sesuatu itu salah dan berilah aku kekuatan yang memadai untuk berpaling darinya.
oh yah, satu lagi. aku selalu mendengar dan membaca tentang satu malam di bulan ramadhan yang nilainya sama dengan seribu bulan. dan segala pinta yang diajukan didalamnya akan dipenuhi oleh-Nya. Ya Allah....izinkan hambamu bertemu dengan malam itu, dan akan kumohon padamu doaku kedua kalinya.
Revolusi
"Dalam hidup, kita perlu sedikit revolusi", begitu pesan singkat yang saya terima dari seorang kawan. Beberapa waktu lalu, aku memang sempat terlibat diskusi kecil dengannya. Waktu itu kami secara tidak sengaja bertemu di toko buku.
Dari toko buku kami lalu naik ke kafe, yah sekedar melapas rindu setelah beberapa lama tidak bertemu. Perbincangan dibuka dengan pertanyaan seputar aktivtas masing-masing. Tak lama kemudian pembicaraan tiba-tiba masuk pada tema pernikahan. Sebuah tema yang belakangan ini "sedikit" mengusikku.
"Sedikit" karena aku sadar aku memang pengen sekali untuk melakoninya, tapi di satu sisi aku tersadar dengan kondisi diri ini yang "belum siap". Aku utarakan ini padanya, termasuk soal keinginan yang sudah ada namun kondisi yang "mungkin" belum memungkinkan.
Dengan bijak ia mengeluarkan kalimat di atas. Aku tahu, ia tidak sedang main-main mengucapkan itu. Aku juga tahu bahwa kalimat itu keluar dari pengalaman dan kondisi yang dihadapinya. Meski satu sisi aku tetap harus menyimpan rasa tidak percaya, sebab ia sendiri belumlah menikah.
Revolusi kecil yang ia maksuda adalah sebuah kesdaran untuk keluar dari pakem yang berlaku secara umum, dimana pernikahan hanya bisa dilakoni oleh mereka yang sudah "mapan" secara ekonomi, mental dan tentu saja persepsi sosial.
Nah, yang terakhir inilah yang menurut saya adalah kendala terbesar. Ya, persepsi sosial. Bagaimana tidak, dalam dunia yang penuh realitas (semu) ini, kita dihadapkan pada banyak pilihan dan penilaian. Parahnya, kita (khususnya) saya lebih sering disetir dengan persepsi sosial ini. Apa kata orang jika aku menikah dalam kondisi "pas-pasan" seperti ini?
Mungkin menarik untuk menyimak apa yang dikatakan oleh Bertrand Russel. Menurutnya, dalam segala urusan hidup, sungguh sehat bila sesekali kita menaruh tanda tanya besar terhadap perkara-perkara yang sudah diterima sebagai kewajaran sampai tak pernah dipertanyakan lagi.
Jadi, hidup Revolusi............!
docta Ignorantia, Prospera Leasura
Judul di atas adalah sebuah tips yang dituliskan Wandi S Brata dalam bukunya "Bo Wero". Buku ini sangat bagus dan inspiratif bagi yang membacanya, termasuk saya.
Satu hal yang selama ini menjadi "penjara" bagi saya adalah keinginan untuk tampil sempurna dan ingin dilihat sebagai sosok yang sempurna. Berpenampilan, berjalan, berbicara sampai bersikap pun aku selalu berusaha untuk menjadi individu yang sempurna.
Keinginan untuk tampil sempurna inilah yang membuat aku serba terbatas dan tentu saja tidak menjadi individu yang otonom. Tapi begitulah, dalam dunia yang semu ini kita dituntut untuk melakukan hal ini, dan tidak pernah befikir untuk sedikit membuuhkan tanda tanya besar dari semua itu.
Padahal secara alamiah, kita sebagai manusia punya hak untuk salah dan keliru. Sebab apa jadinya hidup dan dunia ini jika semuanya berjalan dengan sempurna? Tentu akan sangat membosankan dan sangat datar perjalanan ini melaluinya.
Berangkat dari itulah, kita harus melihat ketidaksempurnaan (baca:ketidaktahuan) kita harus disyukuri. Masalahnya, sejauhmana kita mau "membaca" dengan amat positif ketidaktahuan itu???
Wandi menawarkannya dengan cara menjadikan ketidaktahuan itu sebagai ketidaktahuan terdidik, cerdas dan dinamis. Docta Ignorantia, begitu bahasa latinnya, adalah ketidaktahuan yang membuat kita belajar untuk menjadi tahu dan coba menjalaninya dengan positif. Bukannya menjadikan kita menyerah dan akhirnya pasrah dengan ketidaktahuan itu.
Hal lainnya adalah kebiasaan kita untuk bermalas-malasan. Nah, untuk yang satu ini, bagaimana kita menjadikan kemalasan kita menjadi kemalasan yang positif. Menyimak kisah Archimedes adalah contoh konkret dari hal ini. Dalam mandinya pun otaknya berputar dan terus mencari. Sampai ia menemukan rumusnya dan berlari telanjang dan berteriak "Eurika...." Ringkasnya, bagaimana kita membuat waktu senggang kita menjadi bermanfaat, Prospera Leasura.
Jadi, kenapa juga kamu masih seperti ini, Doel???
Satu hal yang selama ini menjadi "penjara" bagi saya adalah keinginan untuk tampil sempurna dan ingin dilihat sebagai sosok yang sempurna. Berpenampilan, berjalan, berbicara sampai bersikap pun aku selalu berusaha untuk menjadi individu yang sempurna.
Keinginan untuk tampil sempurna inilah yang membuat aku serba terbatas dan tentu saja tidak menjadi individu yang otonom. Tapi begitulah, dalam dunia yang semu ini kita dituntut untuk melakukan hal ini, dan tidak pernah befikir untuk sedikit membuuhkan tanda tanya besar dari semua itu.
Padahal secara alamiah, kita sebagai manusia punya hak untuk salah dan keliru. Sebab apa jadinya hidup dan dunia ini jika semuanya berjalan dengan sempurna? Tentu akan sangat membosankan dan sangat datar perjalanan ini melaluinya.
Berangkat dari itulah, kita harus melihat ketidaksempurnaan (baca:ketidaktahuan) kita harus disyukuri. Masalahnya, sejauhmana kita mau "membaca" dengan amat positif ketidaktahuan itu???
Wandi menawarkannya dengan cara menjadikan ketidaktahuan itu sebagai ketidaktahuan terdidik, cerdas dan dinamis. Docta Ignorantia, begitu bahasa latinnya, adalah ketidaktahuan yang membuat kita belajar untuk menjadi tahu dan coba menjalaninya dengan positif. Bukannya menjadikan kita menyerah dan akhirnya pasrah dengan ketidaktahuan itu.
Hal lainnya adalah kebiasaan kita untuk bermalas-malasan. Nah, untuk yang satu ini, bagaimana kita menjadikan kemalasan kita menjadi kemalasan yang positif. Menyimak kisah Archimedes adalah contoh konkret dari hal ini. Dalam mandinya pun otaknya berputar dan terus mencari. Sampai ia menemukan rumusnya dan berlari telanjang dan berteriak "Eurika...." Ringkasnya, bagaimana kita membuat waktu senggang kita menjadi bermanfaat, Prospera Leasura.
Jadi, kenapa juga kamu masih seperti ini, Doel???
Thursday, October 28, 2004
ibu
kemarin aku membuat ibuku bersedih lagi. sebenarnnya sudah lama ia memintaku untuk kembali tinggal di rumah setelah beberapa tahun sejak kuliah dulu aku tak pernah lagi bersamanya dalam rumah yang sama. bahkan actually, jauh sebelum kuliah pun aku sudah tak serumah dengannya. waktu itu aku dimasukkan almarhum ayahku ke dalam pesantren. selama enam tahun itu pulalah aku tidak serumah dengan mereka, termasuk dengan saudara-saudaraku yang lain.
keinginan ini bukan hanya untuk mengobati kerinduan setelah beberapa tahun tidak hidup "normal" sebagai ibu dan anak. akan tetapi keinginan ini dilandasi pula oelh kekhawatirannya terhadap saya. bukan hanya pergaulan yang memprihatinkannya, tapi juga kesehatan dan makanan saya selama tidak di rumah, itu yang selalu menjadi entry point-nya.
aku bukannya tidak ingin dan tidak menghargai niat mereka (khususnya niatan ibu). apalagi kusadar juga bahwa ibu bisa dikatakan "sendirian" dan sedikit kesepian, setelah hampir semua saudara-saudara saya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-
masing. aku juga sadar, inilah kesempatan terbaik saya untuk berbakti dan berdedikasi kepada bunda. tekanan ini datang pula dari saudara-saudaraku yang lain, yang melihat aktivitas saya tidak akan terganggu, pun jika aku tinggal di Maros bersama bunda.
aku sendiri paham dengan maksud mereka. aku juga berfikir bahwa dari sisi ekonomis jauh lebih efisien jika aku tinggal di rumaha aja, dimana tak perlu lagi repot memikirkan apa yang akan dimakan hari ini, dimana aku mandi dan siapa yang akan mencucikan pakaianku. aku juga paham bahwa bunda butuh teman untuk berbagi, dan aku sebagai bungsu adalah pengambil peran yang paling pantas untuk itu, setidaknya begitu penilaian saudara-saudara saya.
lalu, dimana letak masalahnya??? nah ini yang kadang memsuingkan. aku sadar, tapi aku tak bisa. hidup dalam kesenyapan dan jauh dari kehidupan yang "ramai' dan hiruk, rasanya aku belum siap. apalagi banyak kerja-kerja "kebudayaan" yang harus aku tuntaskan. belum lagi akses informasi yang minim di rumah sana membuatku akan terasa asing dengan perkembangan yang seharusnya terus mengiringi langkahku.
satu hal yang pasti, when all my work is over, i'll fly home, mom.
keinginan ini bukan hanya untuk mengobati kerinduan setelah beberapa tahun tidak hidup "normal" sebagai ibu dan anak. akan tetapi keinginan ini dilandasi pula oelh kekhawatirannya terhadap saya. bukan hanya pergaulan yang memprihatinkannya, tapi juga kesehatan dan makanan saya selama tidak di rumah, itu yang selalu menjadi entry point-nya.
aku bukannya tidak ingin dan tidak menghargai niat mereka (khususnya niatan ibu). apalagi kusadar juga bahwa ibu bisa dikatakan "sendirian" dan sedikit kesepian, setelah hampir semua saudara-saudara saya sudah berkeluarga dan tinggal di rumah mereka masing-
masing. aku juga sadar, inilah kesempatan terbaik saya untuk berbakti dan berdedikasi kepada bunda. tekanan ini datang pula dari saudara-saudaraku yang lain, yang melihat aktivitas saya tidak akan terganggu, pun jika aku tinggal di Maros bersama bunda.
aku sendiri paham dengan maksud mereka. aku juga berfikir bahwa dari sisi ekonomis jauh lebih efisien jika aku tinggal di rumaha aja, dimana tak perlu lagi repot memikirkan apa yang akan dimakan hari ini, dimana aku mandi dan siapa yang akan mencucikan pakaianku. aku juga paham bahwa bunda butuh teman untuk berbagi, dan aku sebagai bungsu adalah pengambil peran yang paling pantas untuk itu, setidaknya begitu penilaian saudara-saudara saya.
lalu, dimana letak masalahnya??? nah ini yang kadang memsuingkan. aku sadar, tapi aku tak bisa. hidup dalam kesenyapan dan jauh dari kehidupan yang "ramai' dan hiruk, rasanya aku belum siap. apalagi banyak kerja-kerja "kebudayaan" yang harus aku tuntaskan. belum lagi akses informasi yang minim di rumah sana membuatku akan terasa asing dengan perkembangan yang seharusnya terus mengiringi langkahku.
satu hal yang pasti, when all my work is over, i'll fly home, mom.
luput
ramdahan sudah memasuki babakn keduanya, fase pengampunan menurut ahlinya. tapi jujur saja aku belum menemukan "roh" ramadhan itu sendiri. sangat banyak waktu saya terbuang untuk hal-hal yang tidak relevan dengan ramadhan.
belum lagi intensitas dosa dan khilaf yang tak juga menunjukkan penurunan signifikan. padahal, jauh dalam hatiku paling dalam, aku punya kesadaran. di 24 tahun usiaku beragama, aku ingin menjadi hamba-Nya yang taat, minimal tidak melakukan banyak kesalahan dan dosa lagi. itu saja...
belum lagi intensitas dosa dan khilaf yang tak juga menunjukkan penurunan signifikan. padahal, jauh dalam hatiku paling dalam, aku punya kesadaran. di 24 tahun usiaku beragama, aku ingin menjadi hamba-Nya yang taat, minimal tidak melakukan banyak kesalahan dan dosa lagi. itu saja...
Monday, October 25, 2004
sabar
ramdhan katanya adalah bulan dengan segudang berkah dan pahala, tentu saja dengan godaan dan cobaan yang juga tidak ringan. salah satunya adalah ujian kan kesabaran kita.
sabar, itu pulalah yang kini sedang banyak mengujiku. interaksi sosial yang agak "terganggu", tuntutan kerjaan, dan minimnya kemampuan saya untuk mengelola ekspektasi (kayak presiden saja aku ini...........), membuat kemarahan dan ketidaksabaran kadang samapi di ubun-ubun.
kadang aku sedikit "cemburu" dengan mereka yang tak punya persoalan, meski sebenarnya itu tampak di luar saja dan lebih karena mereka mampu mengelolanya dengan baik. aku memang bukan orang yang suka marah besar, tapi aku juga bukan orang yang lebih suka diam.
ramdhan kali ini, semoga menjadi starting point untuk aku menjadi manusia sesungguhnya. amiiiiin.
sabar, itu pulalah yang kini sedang banyak mengujiku. interaksi sosial yang agak "terganggu", tuntutan kerjaan, dan minimnya kemampuan saya untuk mengelola ekspektasi (kayak presiden saja aku ini...........), membuat kemarahan dan ketidaksabaran kadang samapi di ubun-ubun.
kadang aku sedikit "cemburu" dengan mereka yang tak punya persoalan, meski sebenarnya itu tampak di luar saja dan lebih karena mereka mampu mengelolanya dengan baik. aku memang bukan orang yang suka marah besar, tapi aku juga bukan orang yang lebih suka diam.
ramdhan kali ini, semoga menjadi starting point untuk aku menjadi manusia sesungguhnya. amiiiiin.
yang terlupakan
beberapa anak kecil tampak mengiba memohon belas kasih para pengendara. dengan kaleng rombengan dan sedikit air muka yang membuat orang yang melihat menjadi terhenyuk. keberadaan mereka di bulan ini mendadak menjadi tak terkontrol. mereka ada hampir di tiap perempatan jalan kota ini.
banyak yang mengeluh keberadaan mereka tak lebih dari "sampah" yang merusak pemndangan kota yang latah dengan pembangunan ini. banyak pula yang entah karena kikir atau tidak sadar bahwa harta adalah titipan menjadi gundah karenanya. tapi jangan salah, ada juga yang sedikit bersyukur sebab Tuhan memberikan banyak jalan untuk mereka menjadi hamba yang pandai bersyukur.
aku mungkin bukan menjadi bagian dari kelompok yang bersyukur itu, meski dengan segmentasi yang sedikit berbeda. bukan karena aku berlebihan dengan harta, bukan pula karena aku melihat mereka sebagai perusak pemandangan.
sampahkah mereka? Tuhan, jangan jadikan aku hamba yang tak pandai mensyukuri anugrahmu. jangan pula jadikan aku hamba yang tak punya "rasa".
banyak yang mengeluh keberadaan mereka tak lebih dari "sampah" yang merusak pemndangan kota yang latah dengan pembangunan ini. banyak pula yang entah karena kikir atau tidak sadar bahwa harta adalah titipan menjadi gundah karenanya. tapi jangan salah, ada juga yang sedikit bersyukur sebab Tuhan memberikan banyak jalan untuk mereka menjadi hamba yang pandai bersyukur.
aku mungkin bukan menjadi bagian dari kelompok yang bersyukur itu, meski dengan segmentasi yang sedikit berbeda. bukan karena aku berlebihan dengan harta, bukan pula karena aku melihat mereka sebagai perusak pemandangan.
sampahkah mereka? Tuhan, jangan jadikan aku hamba yang tak pandai mensyukuri anugrahmu. jangan pula jadikan aku hamba yang tak punya "rasa".
ramadhan
bulan bagus, dengan sejuta pesonanya. namun jujur aku belum merasa begitu dekat. mungkin hati ini terlalu tebal dengan segala kebodohan dan dosa. mungkin pula "hidayah" itu belum jua hinggap tertanam dalam dada. atau karena hamba ini lalai akan fiman-Mu?
dengan segala kerendahan, kuberharap ada jejak tertinggal dari buloan penuh berkah ini.
dengan segala kerendahan, kuberharap ada jejak tertinggal dari buloan penuh berkah ini.
Saturday, October 09, 2004
bunda
ini masih soal prajabatan kemarin. selama disana, kami punya seorang ibu, atau tepatnya yang kami posisikan sebagai ibu. usia yang lumayan diatas rata-rata peserta lainnya, erphatian dan tutur yang santun membuat kami sepakat untuk memberinya posisi itu. kami memanggilnya "Bunda". selain ketua kelas yang sangat perhatian dan disiplin, ia juga menjadi kawan berbincang yang menyenangkan. perhatiannya merata untuk semua "anak-anak"nya. mulai dari kelengkapan tugas, kedisiplinan sampai perhatian soal kondisi tubuh.
satu hal yang membuat saya betul-betul kagum padanya adalah bahwa ke"rela"annya untuk mengikuti seluruh kegiatan dan tugas yang diembankan padanya dengan sepenuh hati. termasuk mengikuti perintah dari instruktur dalam kegiatan baris-berbaris, misalnya.
jujur, aku ak sepenuhnya mampu. bayangan menjadi senior ketika mahasiswa dulu, perlakuan yang heroik dan cenderung mendominasi, membuatku merasa jengah dan muak ketika mendapatkan instruksi. sepertinya aku tak rela jia merdeka yang selama ini kumiliki diinjak oleh mereka yang dalam pikiranku tak lebih baik daripada aku atau peserta lainnya.
tapi sekali lagi itulah hebatnya bunda. tak ada ungkapan protes atau cacian yang keluar dari mulutnya. sementara kami, tak terbendung sumpah serapah dan celaan ketika waktu istirahat atau saat pemateri dan instruktur tak berada dekat dengan posisi kami.
sekilas kita dengan mudah menuduhnya sebagai orang yang tidak punya kepribadian, seperti Rangga yang menilai Cinta tak punya itu ketika dihadapkan pada pilihan untuk bersama kawannya menonton konser. tapi saya melihat itulah kepribadian sesunngguhnya. menerima bukan berarti takluk dan diam, tapi melihatnya dalam binbgkai proses. perlawanan tentu tak begitu saja surut, sebab kutahu ia adalah salah satu "pahlawan kemausiaan" yang sejati. meski minim populariotas dan sokongan dana, ia tetap dalam jalur mencapai harkat sesungguhnya dari manusia, menjadi bermanfaat bagi mahasiswa lain dan kemanusiaan itu sendiri.
aku punya bunda satu lagi. kalau yang ini dari sisi usia agak relatif muda, meski terbilang tua jika ukurannya adalah usia saya. wajahnya masih menyisakan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, yang belum juga "aus". wawasan dan pengetahuan yang mumpuni terlihat jelas ketika melihat dan membaca posisi kerjanya selain PNS.
meski sebenarnya aku lebih tepat sebagai adiknya, aku tetap juga memanggilnya bunda. dan ia tak keberatan. apalagi perhatiannya yang tulus kepadaku. sifat keibuannya juga terbuncah kepadaku, meski sepintas (dan aku rasa ia juga begitu) terlihat sebagai hal yang biasa-biasa saja.
menyenangkan dan mengharukan, itu gambaranku ketika satu persatu peserta yang kebanyakan memakai koper seperti model koper peserta AFI, keluar dari asrama. terkesan berlebihan dan childish memang. tapi aku berharap, mereka tetap menjadi bunda bagi siapa saja, dengan segala cita-cita dan harapannya.
satu hal yang membuat saya betul-betul kagum padanya adalah bahwa ke"rela"annya untuk mengikuti seluruh kegiatan dan tugas yang diembankan padanya dengan sepenuh hati. termasuk mengikuti perintah dari instruktur dalam kegiatan baris-berbaris, misalnya.
jujur, aku ak sepenuhnya mampu. bayangan menjadi senior ketika mahasiswa dulu, perlakuan yang heroik dan cenderung mendominasi, membuatku merasa jengah dan muak ketika mendapatkan instruksi. sepertinya aku tak rela jia merdeka yang selama ini kumiliki diinjak oleh mereka yang dalam pikiranku tak lebih baik daripada aku atau peserta lainnya.
tapi sekali lagi itulah hebatnya bunda. tak ada ungkapan protes atau cacian yang keluar dari mulutnya. sementara kami, tak terbendung sumpah serapah dan celaan ketika waktu istirahat atau saat pemateri dan instruktur tak berada dekat dengan posisi kami.
sekilas kita dengan mudah menuduhnya sebagai orang yang tidak punya kepribadian, seperti Rangga yang menilai Cinta tak punya itu ketika dihadapkan pada pilihan untuk bersama kawannya menonton konser. tapi saya melihat itulah kepribadian sesunngguhnya. menerima bukan berarti takluk dan diam, tapi melihatnya dalam binbgkai proses. perlawanan tentu tak begitu saja surut, sebab kutahu ia adalah salah satu "pahlawan kemausiaan" yang sejati. meski minim populariotas dan sokongan dana, ia tetap dalam jalur mencapai harkat sesungguhnya dari manusia, menjadi bermanfaat bagi mahasiswa lain dan kemanusiaan itu sendiri.
aku punya bunda satu lagi. kalau yang ini dari sisi usia agak relatif muda, meski terbilang tua jika ukurannya adalah usia saya. wajahnya masih menyisakan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, yang belum juga "aus". wawasan dan pengetahuan yang mumpuni terlihat jelas ketika melihat dan membaca posisi kerjanya selain PNS.
meski sebenarnya aku lebih tepat sebagai adiknya, aku tetap juga memanggilnya bunda. dan ia tak keberatan. apalagi perhatiannya yang tulus kepadaku. sifat keibuannya juga terbuncah kepadaku, meski sepintas (dan aku rasa ia juga begitu) terlihat sebagai hal yang biasa-biasa saja.
menyenangkan dan mengharukan, itu gambaranku ketika satu persatu peserta yang kebanyakan memakai koper seperti model koper peserta AFI, keluar dari asrama. terkesan berlebihan dan childish memang. tapi aku berharap, mereka tetap menjadi bunda bagi siapa saja, dengan segala cita-cita dan harapannya.
abdi negara
menjadi abdi negara, begitu ungkapan pertama yang kudengar ketika pertama kali masuk di karantina untuk prajabatan. kalimat ini awalnya hanya menjadi jargon kosong ketika kudengar. ia tak ubahnya berita keberhasilan Leo AFI untuk tembus grand final, tak begitu berarti untuk saya, ringkasnya.
namun asumsi ini langsung bergerak seperti dalam sebuah centrifuges, ia berputar dalam tekanan tinggi untuk menghasilkan energi. baris berbaris, tata upacara sipil, etika PNS dan tanggungjawab sebagai abdi negara, wawasan kebangsaan, menjadi stimulan dalam centrifuges itu.
pola pikir untuk menjadi abdi negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah, seolah ingin menghancurkan ritme yang sudah ada. kiwa pemberontakanku bukannya tidak muncul. "Be real", begitu kata seorang kawan dulu.
tapi lupakanlah pikiran sedikit ideologis itu. bukannya aku berpaling dan beralibi dari keikutsertaanku, bukan pula karena kekhawatiran dicap dan dicela oleh kjawan-kawan. tapi perdebatan soal itu rasa-rasanya sudah usang dan tak up to date lagi. meski memang saya akui banyak hal yang kurang tepat dan sangat ketinggalan zasman dalam pola "baiat" gaya pemerintah itu.
berfikir positif, meski agak klise, pilihan itulah yang coba kutempuh. ketemu dengan banyak orang dengan berbagai ragam dan wujudnya membuat hidupku terasa lebih bermakna. ada dokter, guru, pegawai biasa sampai keluarga bupati dan bangsawan. tingkah polah mereka pun menjadi perhatian yang mengasyikkan. ada yang cenderung mendominasi, ada pula yang cenderung tertutup dan tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. pokoknya, komplit untuk menjadi laboratorium dan bahan peneltiian mengenai sikap dan motivasi.
intrik dan akal bulus bukannya tidak ada. tapi begitulah, semangat birokrasi membuat semuanya harus diselesaikan demi keutuhan bersama dan atas nama kebersamaan. ya, kebersamaan, kata itu tiba-tiba menjadi mantra ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan. apakah ada yang terpuaskan dan ada pula pihak yang merasa terpinggirkan, itu masalah lain. pokoknya semua harus terlihat rukun dan damai-damai saja.
potret bangsa ini rasanya mendapatkan tempatnya dalam dua minggu itu. tapi sekali lagi, atas nama berfikir positif (entah ini akan menjadi mantra atau tidak) aku pun terus saja menikmatinya.
waktu berlalu, tiba-tiba saja semua merasa dua minggu menjadi waktu yang tidak panjang. ada yang merasa menyesal karena terlambat akrab, ada yang syukur tapi kecewa juga sebab dalam dirinya selama ini yang ada hanya keterasingan, ada pula yang tidak ambil pusing. tapi aku menjadi bagian dari mereka yang bersyukur namun jyga sedih. bersyukur karena proses "pembodohan" yang kami alami akan segera berakhir sekalgus sedih karena berpisah dengan orang-orang pilihan dengan berbagai latarnya.
semoga ini menjadi starting point yang baik dalam mengarungi samudera kehidupan, yang entah akan mendamparkanku atau membuatku menjadi pelaut ulung. entahlah....
namun asumsi ini langsung bergerak seperti dalam sebuah centrifuges, ia berputar dalam tekanan tinggi untuk menghasilkan energi. baris berbaris, tata upacara sipil, etika PNS dan tanggungjawab sebagai abdi negara, wawasan kebangsaan, menjadi stimulan dalam centrifuges itu.
pola pikir untuk menjadi abdi negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah, seolah ingin menghancurkan ritme yang sudah ada. kiwa pemberontakanku bukannya tidak muncul. "Be real", begitu kata seorang kawan dulu.
tapi lupakanlah pikiran sedikit ideologis itu. bukannya aku berpaling dan beralibi dari keikutsertaanku, bukan pula karena kekhawatiran dicap dan dicela oleh kjawan-kawan. tapi perdebatan soal itu rasa-rasanya sudah usang dan tak up to date lagi. meski memang saya akui banyak hal yang kurang tepat dan sangat ketinggalan zasman dalam pola "baiat" gaya pemerintah itu.
berfikir positif, meski agak klise, pilihan itulah yang coba kutempuh. ketemu dengan banyak orang dengan berbagai ragam dan wujudnya membuat hidupku terasa lebih bermakna. ada dokter, guru, pegawai biasa sampai keluarga bupati dan bangsawan. tingkah polah mereka pun menjadi perhatian yang mengasyikkan. ada yang cenderung mendominasi, ada pula yang cenderung tertutup dan tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. pokoknya, komplit untuk menjadi laboratorium dan bahan peneltiian mengenai sikap dan motivasi.
intrik dan akal bulus bukannya tidak ada. tapi begitulah, semangat birokrasi membuat semuanya harus diselesaikan demi keutuhan bersama dan atas nama kebersamaan. ya, kebersamaan, kata itu tiba-tiba menjadi mantra ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan. apakah ada yang terpuaskan dan ada pula pihak yang merasa terpinggirkan, itu masalah lain. pokoknya semua harus terlihat rukun dan damai-damai saja.
potret bangsa ini rasanya mendapatkan tempatnya dalam dua minggu itu. tapi sekali lagi, atas nama berfikir positif (entah ini akan menjadi mantra atau tidak) aku pun terus saja menikmatinya.
waktu berlalu, tiba-tiba saja semua merasa dua minggu menjadi waktu yang tidak panjang. ada yang merasa menyesal karena terlambat akrab, ada yang syukur tapi kecewa juga sebab dalam dirinya selama ini yang ada hanya keterasingan, ada pula yang tidak ambil pusing. tapi aku menjadi bagian dari mereka yang bersyukur namun jyga sedih. bersyukur karena proses "pembodohan" yang kami alami akan segera berakhir sekalgus sedih karena berpisah dengan orang-orang pilihan dengan berbagai latarnya.
semoga ini menjadi starting point yang baik dalam mengarungi samudera kehidupan, yang entah akan mendamparkanku atau membuatku menjadi pelaut ulung. entahlah....
Wednesday, September 01, 2004
The First
All the first make nervous, begitu kata orang kebanyakan. Dan hari ini kau seperti menjadi pembenar dari asumsi ini. This my fisrt time become a lecturer, and it make me nervous. Sebenarnya tak perlu, aku tahu betul itu. Tapi kondisinya mungkin agak berbeda.
Kalau dulu aku membawa materi dihadapan mahasiswa dan adik-adikku, saat ini aku harus membawakan materi kuliah dihadapan mahasiswa. Tak substansial betul perbedaan itu. Tapi bagaimanapun sekali lagi, aku gugup juga dibuatnya.
Dorongan bukannya tidak ada, tapi suasana tegang tak begitu saja dapat kuabaikan. Meski dengan berbatang-batang rokok telah kuhabiskan. Begini saja, aku akan bisa jika kau pikir aku bisa. Jadi .........................Aku bisa!!!!!!
Kalau dulu aku membawa materi dihadapan mahasiswa dan adik-adikku, saat ini aku harus membawakan materi kuliah dihadapan mahasiswa. Tak substansial betul perbedaan itu. Tapi bagaimanapun sekali lagi, aku gugup juga dibuatnya.
Dorongan bukannya tidak ada, tapi suasana tegang tak begitu saja dapat kuabaikan. Meski dengan berbatang-batang rokok telah kuhabiskan. Begini saja, aku akan bisa jika kau pikir aku bisa. Jadi .........................Aku bisa!!!!!!
Perhitungan
Tunggulah, aku bersumpah untuk suatu saat akan membuat perhitungan dengan
mereka yang membuatke jadi seperti ini.
Tunggulah.........
mereka yang membuatke jadi seperti ini.
Tunggulah.........
Tuesday, August 31, 2004
Yang Terhormat
Langit Tamalanrea,
Hari ini aku bersumpah, untuk membuat perhitungan
dengan mereka yang membuatku
jadi seperti ini.
Hari ini aku bersumpah, untuk membuat perhitungan
dengan mereka yang membuatku
jadi seperti ini.
Monday, August 23, 2004
Merdeka!!!!
Merdeka! meski terlambat, aku ingin menjadi merdeka di 59 tahun bangsaku. tapi betulkah kita (dan saya, tentunya) sudah merdeka?
di koran berita kekerasan, seks dan pembodohan tumpah ruah seperti jajanan di pinggir jalan. di televisi adegan kekerasan, memanfaatkan kebodohan dan pelelangan paha dan bokong, saling menjejali. di kampus, mahasiswa berteriak soal demokrasi dan HAM sambil mengencingi mahasiswa barunya. dosen tak ketinggalan pamer harta kekayaan dan berubah menjadi proyektor. naggota dewan ramai-ramai bersedekah dari hasil korupsinya, dan memperbanyak gundik untuk teman santap malam dengan rumah di tempat lain.
di rumah, orang tua ramai-ramai cerai dan kawin lagi. anak-anak lebih sibuk dengan playstation dan alat band. kakek-nenek bercumbu dengan masa lalu dan asyik saja dibuatnya. ulama dan rohaniawan sibuk menjadi selebritis dan berjualan pahala, sambil sesekali ngutil duit dengan cara halus.
masihkah kita lantang berteriak merdeka?
di koran berita kekerasan, seks dan pembodohan tumpah ruah seperti jajanan di pinggir jalan. di televisi adegan kekerasan, memanfaatkan kebodohan dan pelelangan paha dan bokong, saling menjejali. di kampus, mahasiswa berteriak soal demokrasi dan HAM sambil mengencingi mahasiswa barunya. dosen tak ketinggalan pamer harta kekayaan dan berubah menjadi proyektor. naggota dewan ramai-ramai bersedekah dari hasil korupsinya, dan memperbanyak gundik untuk teman santap malam dengan rumah di tempat lain.
di rumah, orang tua ramai-ramai cerai dan kawin lagi. anak-anak lebih sibuk dengan playstation dan alat band. kakek-nenek bercumbu dengan masa lalu dan asyik saja dibuatnya. ulama dan rohaniawan sibuk menjadi selebritis dan berjualan pahala, sambil sesekali ngutil duit dengan cara halus.
masihkah kita lantang berteriak merdeka?
Satu Bab tentang Perpisahan
Setiap perjumpaan, selalu menyertakan sebuah harapan, namun kadang juga perpisahan. begitulah adagium lama untuk menggambarkan sebuah persuaan.
hari ini, betapa pun sedihnya, toh aku harus menghadapi kondisi ini, akhirnya. sebuah persuaan (yang tentu saja bukan tidak disengaja), dengan segala hambatan dan cemoohan, dengan segunung harapan besar yang mengawalinya, harus berhenti.
begitulah, tapi hidup terus berjalan. sebab, diam dan coba menghibur diri adalah penghianatan (bukankha ini juga menghibur namanya?). masih kuingat waktu belajar naik sepeda dulu. jatuh, bangun, kemudian jatuh untuk bangun kembali. tapi kenapa kini aku seperti tidak bisa bangun lagi?
atau mungkin aku butuh sosok pamanku dulu, yang selalu mengejekku bila terjatuh dan aku menangis. "anak lelaki tak pantas untuk menangis," begitu katanya. dimanakah, kau paman?
hari ini, betapa pun sedihnya, toh aku harus menghadapi kondisi ini, akhirnya. sebuah persuaan (yang tentu saja bukan tidak disengaja), dengan segala hambatan dan cemoohan, dengan segunung harapan besar yang mengawalinya, harus berhenti.
begitulah, tapi hidup terus berjalan. sebab, diam dan coba menghibur diri adalah penghianatan (bukankha ini juga menghibur namanya?). masih kuingat waktu belajar naik sepeda dulu. jatuh, bangun, kemudian jatuh untuk bangun kembali. tapi kenapa kini aku seperti tidak bisa bangun lagi?
atau mungkin aku butuh sosok pamanku dulu, yang selalu mengejekku bila terjatuh dan aku menangis. "anak lelaki tak pantas untuk menangis," begitu katanya. dimanakah, kau paman?
Monday, August 09, 2004
neraka
anda percaya neraka itu ada? baguslah kalau begitu. begini, menurut penelitian Federal Bank of St Louis di Amerika sana, untuk negara yang masyarakatnya kebanyakan percaya bahwa neraka itu ada mengindikasikan tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibanding negara yang masyarakatnya tidak percaya bahwa neraka itu ada.
mereka bukannya menafikan tingkat investasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, tapi yang jelas, pemilikan mindset tentang ada tidaknya neraka berhubungan positif dengan tingkat ekonomi. salah satunya adalah bahwa tingkat korupsi pun semakin sedikit. sebab jangan lupa, bahwa korupsilah yang selama ini merusak sendi perekonomian , khususnya lagi bagi negara berkembang.
boleh percaya atau tidak, tapi bagaimana kalau moraln dari penelitian itu saja yang kita lihat. perubahan mindset terhadap neraka. memperhatikan pelaku korupsi di Indonesia yang rata-rata alim dan taat beragama, jika kita menggunakan ukuran normatif dalam relasi sosial masyarakat. belum lagi kalau sekedar ukuran haji, diantara mereka bahkan ada yang telah menunaikan ibadah ini beberpa kali.
kembali ke moral tadi, sudah saatnya kita letakkan konteks ini dalam sebuah mindset tentang neraka yang lain. neraka bagi mereka yang memiliki hak dari sesuatu dan dikorupsi oleh para penjahat. dengan korupsi itu, neraka kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan menyapa mereka.
mereka bukannya menafikan tingkat investasi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, tapi yang jelas, pemilikan mindset tentang ada tidaknya neraka berhubungan positif dengan tingkat ekonomi. salah satunya adalah bahwa tingkat korupsi pun semakin sedikit. sebab jangan lupa, bahwa korupsilah yang selama ini merusak sendi perekonomian , khususnya lagi bagi negara berkembang.
boleh percaya atau tidak, tapi bagaimana kalau moraln dari penelitian itu saja yang kita lihat. perubahan mindset terhadap neraka. memperhatikan pelaku korupsi di Indonesia yang rata-rata alim dan taat beragama, jika kita menggunakan ukuran normatif dalam relasi sosial masyarakat. belum lagi kalau sekedar ukuran haji, diantara mereka bahkan ada yang telah menunaikan ibadah ini beberpa kali.
kembali ke moral tadi, sudah saatnya kita letakkan konteks ini dalam sebuah mindset tentang neraka yang lain. neraka bagi mereka yang memiliki hak dari sesuatu dan dikorupsi oleh para penjahat. dengan korupsi itu, neraka kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan menyapa mereka.
Friday, July 30, 2004
kematian
selasa, 27 Juli, banyak pesan singkat yang saya terima. isinya sama, turut berduka cita atas kematian kakekku dan berharap aku sabar menghadapi kenyataan ini. saat mendengar berita kematian kakek saya memang sedang bersama beberapa kawan. jadi aku tak heran kenapa berita ini bisa tersebar.
tapi benarkah aku berduka, sedih dan terisak? fisicly mungkin ya. beberapa titik airmata keluar, rupa sedih pun ada (begitu kata orang yang liat, soalnya aku sendiri tidak perhatikan). tapi jujur, perasaan itu semua lebih karena kondisi di sekitarku yang memancing. tapi batin ini rasanya "biasa-biasa" saja. maksudnya seperti ini, kematian tak mengharuskanku untuk menangis dan sedih habis-habisan. saya juga merasa tak punya cukup alasan untuk meraung-raung dan menjadi pendiam. ringkasnya, kematian bagiku layaknya rutinitas, seperti makan, buang air, shalat dan lain sebagainya. walaupun kakekku ini kurasa sangat berkontribusi membuatku sebagai anak-anak sejati. ia yang memberikanku pengalaman menyenangkan sebagai anak-anak, saat almarhum ayahku tidak bisa (untuk tidak mengatakan tidak pernah), walau sekedar membelikanku mainan kecil, misalnya.
gejala ini bukannya tak mendapat perlawanan berarti dari diri ini sendiri. dengan gejala itu kadang saya berfikir bahwa aku ini kafir, sudah tertutup hati ini (semoga tidak). kadang pula kubayangkan kemunafikan luar biasa yang kulakoni. sebab, lumrah kan nangis dan sedih. ah, aku ini kenapa ya????
pertanyaan ini sedikit terjawab ketika beberapa hari kemudian setelah kematian kakek aku kembali ke rumah. jika biasanya tak ada rasa takut dalam diri ketika hendak tidur, walau sendirian di rumah, saat itu tiba-tiba muncul rasa takut. takut akan kematian yang juga akan menimpa diriku. tiba-tiba saja aku merasa takut bahwa ketika aku mati tak ada lagi yang meratapi dan sedih akan kematianku. bukan ratap itu betul yang membuatku takut, tapi kehilangan perhatian dan ...................(bersambung)
tapi benarkah aku berduka, sedih dan terisak? fisicly mungkin ya. beberapa titik airmata keluar, rupa sedih pun ada (begitu kata orang yang liat, soalnya aku sendiri tidak perhatikan). tapi jujur, perasaan itu semua lebih karena kondisi di sekitarku yang memancing. tapi batin ini rasanya "biasa-biasa" saja. maksudnya seperti ini, kematian tak mengharuskanku untuk menangis dan sedih habis-habisan. saya juga merasa tak punya cukup alasan untuk meraung-raung dan menjadi pendiam. ringkasnya, kematian bagiku layaknya rutinitas, seperti makan, buang air, shalat dan lain sebagainya. walaupun kakekku ini kurasa sangat berkontribusi membuatku sebagai anak-anak sejati. ia yang memberikanku pengalaman menyenangkan sebagai anak-anak, saat almarhum ayahku tidak bisa (untuk tidak mengatakan tidak pernah), walau sekedar membelikanku mainan kecil, misalnya.
gejala ini bukannya tak mendapat perlawanan berarti dari diri ini sendiri. dengan gejala itu kadang saya berfikir bahwa aku ini kafir, sudah tertutup hati ini (semoga tidak). kadang pula kubayangkan kemunafikan luar biasa yang kulakoni. sebab, lumrah kan nangis dan sedih. ah, aku ini kenapa ya????
pertanyaan ini sedikit terjawab ketika beberapa hari kemudian setelah kematian kakek aku kembali ke rumah. jika biasanya tak ada rasa takut dalam diri ketika hendak tidur, walau sendirian di rumah, saat itu tiba-tiba muncul rasa takut. takut akan kematian yang juga akan menimpa diriku. tiba-tiba saja aku merasa takut bahwa ketika aku mati tak ada lagi yang meratapi dan sedih akan kematianku. bukan ratap itu betul yang membuatku takut, tapi kehilangan perhatian dan ...................(bersambung)
Thursday, July 15, 2004
cedera logika
18,12 milyar, gila bo. Apa anggota dprd sulsel itu tidak pada mikir kalo duit segitu luar biasa banyaknya. ada 75 orang anggota dewan, jika dibagi rata dengan jumlah yang mereka korupsi, maka masing-masing mereka memperoleh sekitar 241 juta lebih setahunnya. gilaaaaaaaaaaa
modus mereka sebenarnya lumayan kasar. dalam apbd mereka cantumkanlah pos-pos anggaran, yang sekali lagi, sangat mencederai logika. Ada pos yang menjelaskan tentang biaya sewa gedung (emang anggota dewan tidak punya kantor?), sewa komputer (sejak 1999 lalu, masa dprd tidak punya komputer), rapat anggota yang jika dilihat dari angkanya, ternyata mereka menggunakan asumsi satu tahun ada 1139 hari. belum lagi uang perjalanan dinas, yang total seluruhnya setara dengan 2000 tiket kelas eksekutif garuda (dengan 2000 tiket ini kita bisa buat beberapa travel perjalanan).
mencederai logika, begitulah mungkin yang digambarkan oleh mereka. parahnya lagi, sekarang mereka berkelit bahwa itu untuk peningkatan kinerja mereka. sepertinya mereka lupa, masih banyak rakyat di sulsel yang hidupnya pas-pasan (untuk tidak mengatakannya sengsara).
korupsi di indonesia memang sudah sampai pada tahap kronis, bahkan gila-gilaan. ya, seperti dilakukan anggota dewan (yang katanya terhormat itu) sulsel. menjadi anggota dewan mereka jadikan sebagai ajang untuk memperkaya diri. tak heran jika seorang kawan berkata bahwa kantor anggota dewan sekarang tak ubahnya seperti showroom mobil mewah.
yah, beginilah nasib rakyat kecil. jadi jualan mereka yang pegang kedudukan.
modus mereka sebenarnya lumayan kasar. dalam apbd mereka cantumkanlah pos-pos anggaran, yang sekali lagi, sangat mencederai logika. Ada pos yang menjelaskan tentang biaya sewa gedung (emang anggota dewan tidak punya kantor?), sewa komputer (sejak 1999 lalu, masa dprd tidak punya komputer), rapat anggota yang jika dilihat dari angkanya, ternyata mereka menggunakan asumsi satu tahun ada 1139 hari. belum lagi uang perjalanan dinas, yang total seluruhnya setara dengan 2000 tiket kelas eksekutif garuda (dengan 2000 tiket ini kita bisa buat beberapa travel perjalanan).
mencederai logika, begitulah mungkin yang digambarkan oleh mereka. parahnya lagi, sekarang mereka berkelit bahwa itu untuk peningkatan kinerja mereka. sepertinya mereka lupa, masih banyak rakyat di sulsel yang hidupnya pas-pasan (untuk tidak mengatakannya sengsara).
korupsi di indonesia memang sudah sampai pada tahap kronis, bahkan gila-gilaan. ya, seperti dilakukan anggota dewan (yang katanya terhormat itu) sulsel. menjadi anggota dewan mereka jadikan sebagai ajang untuk memperkaya diri. tak heran jika seorang kawan berkata bahwa kantor anggota dewan sekarang tak ubahnya seperti showroom mobil mewah.
yah, beginilah nasib rakyat kecil. jadi jualan mereka yang pegang kedudukan.
Tuesday, July 13, 2004
Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca
Konon, Julius Caesar, raja Roma, pernah menyerang ke Mesir. Namun, ternyata Mesir memiliki tentara yang amat kuat. Saking kuatnya, dia pun beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah, Julius Caesar memiliki ide untuk menghindari musuh, yaitu dengan cara membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria. Berhasilkah dia?
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya.
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru.
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya.
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru.
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.
glamour progresif
beberapa hari lalu sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di depan pintu masuk kampus. isu yang mereka usung adalah penolakan terhadap pelaksanaan spmb plus yang diadakan oleh unhas.
dalam beberapa hal aku setuju dengan mereka. pendidikan hak warga negara, dan unhas, sebagai bagian dari instrumen negara haruslah memberikan kesempatan yang setara terhadap seluruh warga negara. pendidikan selama ini terasa kurang manusiawi. bagaimana tidak, dengan tingkat pendapatan yang relatif tidak meningkat di sebagian kalangan masyarakat sejak krisis 97 lalu, biaya pendidikan saat ini sangatlah memberatkan. apalagi dalam beberapa kasus, sering dijumpai keberpihakan pengelola pendidikan terhadap mereka yang berduit.
namun sayangnya, sebagaimana setiap aksi mahasiswa, kelemahan mereka terletak pada minimnya data pelengkap dari isu yang mereka usung. ada seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi tersebut kutanya tentang pemahamannya terhadap isu tersebut. jawabannya, "saya cuma ikut kakak senior". terlepas dari proses kaderisasi yang coba dibangun oleh sang senior, jawaban mahasiswa tadi menunjukkan betapa minimnya sosialisasi.
dalam kepala para pendemo, sebagian besar cuma berfikir menolak spmb plus tanpa berfikir "what the next". padahal spmb plus itu tidak berdiri sendiri. ada kebobrokan sistem pendidikan, kondisi geopolitik, minimnya anggaran pendidikan, dan lain sebagainya, yang menjadi turunannya.
tapi tidak masalah. saya yakin nita mereka tulus, dan memang itulah yang kita harapkan. sebab di negeri ini, rasanya tidak terlalu banyak tempat yang tersedia untuk sebuah penjelasan.
dalam beberapa hal aku setuju dengan mereka. pendidikan hak warga negara, dan unhas, sebagai bagian dari instrumen negara haruslah memberikan kesempatan yang setara terhadap seluruh warga negara. pendidikan selama ini terasa kurang manusiawi. bagaimana tidak, dengan tingkat pendapatan yang relatif tidak meningkat di sebagian kalangan masyarakat sejak krisis 97 lalu, biaya pendidikan saat ini sangatlah memberatkan. apalagi dalam beberapa kasus, sering dijumpai keberpihakan pengelola pendidikan terhadap mereka yang berduit.
namun sayangnya, sebagaimana setiap aksi mahasiswa, kelemahan mereka terletak pada minimnya data pelengkap dari isu yang mereka usung. ada seorang mahasiswa yang ikut dalam aksi tersebut kutanya tentang pemahamannya terhadap isu tersebut. jawabannya, "saya cuma ikut kakak senior". terlepas dari proses kaderisasi yang coba dibangun oleh sang senior, jawaban mahasiswa tadi menunjukkan betapa minimnya sosialisasi.
dalam kepala para pendemo, sebagian besar cuma berfikir menolak spmb plus tanpa berfikir "what the next". padahal spmb plus itu tidak berdiri sendiri. ada kebobrokan sistem pendidikan, kondisi geopolitik, minimnya anggaran pendidikan, dan lain sebagainya, yang menjadi turunannya.
tapi tidak masalah. saya yakin nita mereka tulus, dan memang itulah yang kita harapkan. sebab di negeri ini, rasanya tidak terlalu banyak tempat yang tersedia untuk sebuah penjelasan.
Thursday, July 08, 2004
perasaan
Hidup memang selalu memberikan misteri, dengan caranya sendiri. sejak kuliah dulu, aku tak pernah menyangka bahwa aku selesai dengan hasil yang pas-pasan. waktu itu, aku begitu yakin dengan kemampuanku bahwa aku bisa memperoleh hasil yang lumayan. tapi salah, sebab kekeliruan hitung membuat nilaiku terkuras.
Setelah sarjana, kebingungan masih juga menghampiri. dengan nilai pas-pasan seperti itu, kerja apa yang bisa aku dapat? buruh kasar pun rasanya tidak. saat itu menjadi bulan-dan hari berat bagi saya. bagaimana tidak, setelah melalui aktivitas yang bejibun selama menjadi mahasiswa, langsung drop saat sarjana. tidak ada aktifitas, tidak ada alasan untuk menyibukkan diri, dan lain sebagainya. belum lagi ekspektasi orang (termasuk keluarga) terhadap diri ini yang kadang saya rasa sangat berlebihan.
Setelah menjadi dosen pun, saya rasanya menjadi orang yang tidak punya tujuan. gembira setelah terpilih, berbalik menjadi galau. tapi itulah hidup, ces't la vie. the show must go on. sekarang aku makin sadar untuk harus bangun dan keluar belenggu yang aku buat sendiri. sebab, tunduk kaku dan meratapinya, bukanlah solusi yang bijak. satu yang pasti, one bright morning, when all mywork is over, i'll fly home.
Setelah sarjana, kebingungan masih juga menghampiri. dengan nilai pas-pasan seperti itu, kerja apa yang bisa aku dapat? buruh kasar pun rasanya tidak. saat itu menjadi bulan-dan hari berat bagi saya. bagaimana tidak, setelah melalui aktivitas yang bejibun selama menjadi mahasiswa, langsung drop saat sarjana. tidak ada aktifitas, tidak ada alasan untuk menyibukkan diri, dan lain sebagainya. belum lagi ekspektasi orang (termasuk keluarga) terhadap diri ini yang kadang saya rasa sangat berlebihan.
Setelah menjadi dosen pun, saya rasanya menjadi orang yang tidak punya tujuan. gembira setelah terpilih, berbalik menjadi galau. tapi itulah hidup, ces't la vie. the show must go on. sekarang aku makin sadar untuk harus bangun dan keluar belenggu yang aku buat sendiri. sebab, tunduk kaku dan meratapinya, bukanlah solusi yang bijak. satu yang pasti, one bright morning, when all mywork is over, i'll fly home.
Tuesday, July 06, 2004
lima menguak takdir
kemarin kita sudah memperingati hari kedaulatan rakyat, hari dimana rakyat menjadi betul-betul penguasa dari bangsa ini. sekitar 153 juta jiwa yang memiliki hak pilih, seperti menjadi selebritis, dimana lima pasangan (terbaik?) akan memperebutkan suara ini.
ada yang jual mahal, tapi banyak juga yang tidak. ada yang sudah yakin dengan pilihannya, tapi ada juga merobek-robek kertas suara karena merasa tidak ada pilihan yang pas (kompas, 6 juli 2004).
lepas dari itu semua, kita berharap bahwa yang lahir dan menang adalah pasangan yang betul-betul paling banyak diharapkan. dan yang terpenting, bahwa mereka mewujudkan apa yang telah mereka janjikan selama kampanye. bagi masyarakat kecil, yang penting bisa makan, harga-harga kebutuhan pokok tak melonjak, dan keamanan mereka terjamin, itu saja. mereka tak peduli siapa dan bagaimana presiden itu memimpin.
kemarin, 5 juli 2004, awal kita menuju indonesia yang lebih baik. hidup indonesia!!!!!!
ada yang jual mahal, tapi banyak juga yang tidak. ada yang sudah yakin dengan pilihannya, tapi ada juga merobek-robek kertas suara karena merasa tidak ada pilihan yang pas (kompas, 6 juli 2004).
lepas dari itu semua, kita berharap bahwa yang lahir dan menang adalah pasangan yang betul-betul paling banyak diharapkan. dan yang terpenting, bahwa mereka mewujudkan apa yang telah mereka janjikan selama kampanye. bagi masyarakat kecil, yang penting bisa makan, harga-harga kebutuhan pokok tak melonjak, dan keamanan mereka terjamin, itu saja. mereka tak peduli siapa dan bagaimana presiden itu memimpin.
kemarin, 5 juli 2004, awal kita menuju indonesia yang lebih baik. hidup indonesia!!!!!!
Saturday, July 03, 2004
Siapa Kawan, Siapa Lawan
Siapa Kawan, Siapa Lawan
Saat rapat penentuan matakuliah kemarin, terasa betul aroma persaingan tidak sehat. Hal ini memang telah aku dengar sebelumnya, namun kmearin sepertinya menjadi hari pembuktian. Ada dari beberapa dosen yang hanya minta satu matakuliah. Kali lain bahkan ada yang tidak dapat satupun matakuliah.
Belakangan kutahu, mereka yang hanya minta satu matakuliah (dengan beragam alasan tentunya) adalah mereka yang memiliki proyek "sampingan" di luar. Ada juga mereka yang beralasan sedang menjalani program doktoralnya, sehingga "takut" terhalangi. Sedang mereka yang tidak mendapatkan jatah, kutahu mereka adalah "musuh" bersama dari beberapa dosen. Musuh disini entah apa maksudnya.
Bicara soal musuh (lawan), setelah mendengar pengumuman bahwa aku lulus menjadi dosen, beberapa "orang dekat" memberiku semacam arahan. Arahan ini seputar peta geopolitik dalam lingkup fakultas dan jurusan. Dengan maksud untuk menhargai niat baik mereka, aku coba mendengar dengan baik, seolah-olah aku begitu menyimak.
Kini kusadar, setelah masuk dalam "dunia lain" itu, saya (sekali lagi) mendapatkan pembenarannya. Salah satunya, fakta soal rapat di atas. Fakta lainnya, beberapa dosen dan staf yang awalnya coba kujadikan teman seiring, teman berbagi, dan seorang yang dapat kupercaya, ternyata juga turut andil dengan menjadi aktor dalam hal "kubu-kubu"an. Parahnya lagi, mereka sering "menikam"ku dari belakang. Ringkasnya, kini tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan.
Aku teringat dengan salah satu adegan dalam film CON AIR, yang salah satu bintangnya adalah Nicholas Cage. Adegan ketika Nicolas (aku lupa ia berperan sebagai siapa-yang jelas ia menjadi narapidana yang menanti sebenatar lagi akan bebas dan ditempatkan satu pesawat dengan narapidana kelas kakap) bertemu dengan polisi yang coba menyelamatkannya (lagi ingatanku buruk, aku lupa siapa nama peran dan nama asli dari polisi ini). Sang Polisi bertutur bahwa ia telah bertemu istrinya dan menitip pesan dari istrinya.
Karena pengalaman pahit selama menjadi narapidana dan perjalanan penuh gejolak dalam pesawat yang dibajak para narapidana, ia tidak begitu saja percaya. Dengan gagah ia berkata, "Hanya ada dua lelaki yang aku percaya di muka bumi ini. Satu ayahku, dan kedua bukan kau". Sempurna, dan begitulah aku sekarang ini.
Saat rapat penentuan matakuliah kemarin, terasa betul aroma persaingan tidak sehat. Hal ini memang telah aku dengar sebelumnya, namun kmearin sepertinya menjadi hari pembuktian. Ada dari beberapa dosen yang hanya minta satu matakuliah. Kali lain bahkan ada yang tidak dapat satupun matakuliah.
Belakangan kutahu, mereka yang hanya minta satu matakuliah (dengan beragam alasan tentunya) adalah mereka yang memiliki proyek "sampingan" di luar. Ada juga mereka yang beralasan sedang menjalani program doktoralnya, sehingga "takut" terhalangi. Sedang mereka yang tidak mendapatkan jatah, kutahu mereka adalah "musuh" bersama dari beberapa dosen. Musuh disini entah apa maksudnya.
Bicara soal musuh (lawan), setelah mendengar pengumuman bahwa aku lulus menjadi dosen, beberapa "orang dekat" memberiku semacam arahan. Arahan ini seputar peta geopolitik dalam lingkup fakultas dan jurusan. Dengan maksud untuk menhargai niat baik mereka, aku coba mendengar dengan baik, seolah-olah aku begitu menyimak.
Kini kusadar, setelah masuk dalam "dunia lain" itu, saya (sekali lagi) mendapatkan pembenarannya. Salah satunya, fakta soal rapat di atas. Fakta lainnya, beberapa dosen dan staf yang awalnya coba kujadikan teman seiring, teman berbagi, dan seorang yang dapat kupercaya, ternyata juga turut andil dengan menjadi aktor dalam hal "kubu-kubu"an. Parahnya lagi, mereka sering "menikam"ku dari belakang. Ringkasnya, kini tak jelas lagi siapa kawan dan siapa lawan.
Aku teringat dengan salah satu adegan dalam film CON AIR, yang salah satu bintangnya adalah Nicholas Cage. Adegan ketika Nicolas (aku lupa ia berperan sebagai siapa-yang jelas ia menjadi narapidana yang menanti sebenatar lagi akan bebas dan ditempatkan satu pesawat dengan narapidana kelas kakap) bertemu dengan polisi yang coba menyelamatkannya (lagi ingatanku buruk, aku lupa siapa nama peran dan nama asli dari polisi ini). Sang Polisi bertutur bahwa ia telah bertemu istrinya dan menitip pesan dari istrinya.
Karena pengalaman pahit selama menjadi narapidana dan perjalanan penuh gejolak dalam pesawat yang dibajak para narapidana, ia tidak begitu saja percaya. Dengan gagah ia berkata, "Hanya ada dua lelaki yang aku percaya di muka bumi ini. Satu ayahku, dan kedua bukan kau". Sempurna, dan begitulah aku sekarang ini.
Tuesday, June 29, 2004
kita masih di Indonesia, kawan.
keamrin aku terima undangan untuk mengikuti rapat penentuan mata kuliah di jurusan manajemen. jamnya kulihat pukul 9 pagi. maka dengan menyesal aku putuskan untuk tak ikut kursus dulu besok harinya. itung-itung ini adalah rapat pertamaku. kata kak Santi, akan perkenalan secara umum juga.
bangun jam 7 setelah berdingin-dingin ria dan berusaha melawan rasa kantuk dan dingin yang menusuk sum-sum. tiba dijurusan tepat pukul 8.30 pagi. kupikir aku memang harus datang duluan, agar terbiasa dan tidak kaku. belum lagi masih banyak dosen-dosen senior yang tidak aku kenal.
tiba di jurusan tak satu pun dosen yang tampak. hanya pak Haris seorang, sedang mengatur kursi untuk tamu terhormatnya. sampai jam 9 (sesuai dengan jadwal di undangan, baru tiga orang-termasuk diriku-yang hadir. pikiran nakalku muncul lagi. tapi seorang kawan dengan santainya bertutur, "kita masih di Indonesia, Doel".....
bangun jam 7 setelah berdingin-dingin ria dan berusaha melawan rasa kantuk dan dingin yang menusuk sum-sum. tiba dijurusan tepat pukul 8.30 pagi. kupikir aku memang harus datang duluan, agar terbiasa dan tidak kaku. belum lagi masih banyak dosen-dosen senior yang tidak aku kenal.
tiba di jurusan tak satu pun dosen yang tampak. hanya pak Haris seorang, sedang mengatur kursi untuk tamu terhormatnya. sampai jam 9 (sesuai dengan jadwal di undangan, baru tiga orang-termasuk diriku-yang hadir. pikiran nakalku muncul lagi. tapi seorang kawan dengan santainya bertutur, "kita masih di Indonesia, Doel".....
Friday, June 25, 2004
pram
Pram
Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.
Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.
Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya—dan ia disambut.
Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang ayah".
Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.
George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.
Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?
Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.
Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.
Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali—tiap tahun seperti tak disangka-sangka—dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.
Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.
Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka—dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman "Demokrasi Terpimpin" Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman "Orde Baru" ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya—dan ia disambut.
Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx—seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute's Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah "pesimisme pemikiran, optimisme kehendak".
Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya—yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu—bahwa "mereka pernah punya seorang ayah".
Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu—itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.
George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang "paling anarkis" dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat "anarkis" itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel—seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu—mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak "mengetahui". Dan "mengetahui" bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.
Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang—seperti diakuinya malam itu—punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?
Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara "komunis" dan antikomunis"—seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal—tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.
Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: "Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian."
Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati—mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.
makalah
Pemilu dan Konsensus Pemberantasan KKN
Kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini, enam tahun setelah tumbangnya rezim Soeharto, ternyata belum seperti yang diharapkan rakyat kebanyakan. Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) masih merajalela dalam berbagai tingkat, meski pada saat yang sama pers telah memiliki kebebasan `luar biasa` untuk mengekspos kasus-kasus KKN tersebut.
Logikanya, pintu masyarakat untuk mengakses informasi seputar kasus korupsi pun dengan sendirinya terbuka lebar. Anehnya, kondisi ini seakan tidak berbanding lurus dengan upaya pemberantasan KKN. Lebih parah lagi, korupsi malah meluas dengan merambah ke bidang-bidang yang semula diharapkan menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi seperti; partai politik, DPR dan DPRD, pengadilan, dan daerah-daerah yang telah lama menikmati otonomi.
Penyalahgunaan wewenang oleh birokrat dengan sendirinya menjadi inti dari permasalahan. Dari sisi ini terlihat betapa sikap birokrat, sangat dipengaruhi oleh identitas dan status sosial masyarakat. Otonomi daerah sebagai salah satu jalan menuju Indonesia yang berkeadilan malah menjadi ajang desentralisasi KKN. Dalam artian bahwa semangat desentralisasi juga tak lepas dari sikap birokrat yang cenderung melakukan KKN.
Kita pun dibuat frustasi dengan kondisi ini. Apalagi pemerintah tampaknya tidak serius mengatasinya. Kalau toh serius, pemerintah nyatanya tidak sanggup mengubah keadaan `status quo`. Contoh paling nyata dapat kita lihat pada pelayanan publik, yang sampai saat ini belum terjadi banyak perubahan. Pengurusan KTP, paspor, akte kelahiran dan ijazah, masih diselimuti dengan aroma kolusi. Ini bisa kita lihat beritanya di banyak media massa. Dalam kasus-kasus semacam ini, praktek suap masih terbukti `ampuh` sebagai sebuah penyelesaian.
Contoh ini memperlihatkan betapa kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini masih belumlah banyak berubah. Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pihak akademisi, LSM, dan mereka yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti masih membentur tembok yang tak kasat mata.
`Penyakit` yang bernama KKN itu begitu jelas terlihat, tapi semua `obat` yang diberikan untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada tinggal pemberantasan KKN sebagai sebuah komoditas dagangan dan jargon politik.
Pada Pemilu 1999 lalu sebagian besar partai peserta Pemilu punya dagangan yang sama yaitu penumpasan KKN sebagai salah satu `jualan` dalam kampanye. Semua seperti memberikan harapan besar terhadap masa depan bangsa. Nah, Pemilu kali ini pun rata-rata partai politik menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu isu kampanye mereka. Ibarat kaset, lagu yang mereka coba perdengarkan adalah lagu lama (Kompas, 12/03/2004).
Payahnya, tak satu pun partai politik yang dengan tegas memaparkan apa yang akan mereka lakukan dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Semua masih sebatas jargon. Lebih sakit lagi bahwa mereka yang selama ini diduga menikmati hasil korupsi selama bertahun-tahun, kini malah sibuk mengkampanyekan anti korupsi.
Hal lain yang juga turut andil dalam penyebaran korupsi adalah dari masyarakat sendiri. Tak salah jika kemudian banyak yang meragukan efektifitas dari gerakan menolak politisi busuk beberapa waktu lalu. Hal ini beralasan, sebab selama ini masyarakat kita memang begitu toleran terhadap pelaku korupsi. Bahkan menurut Todung Mulya Lubis, masyarakat kita ambivalen terhadap koruptor. Ambivalensi ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku korupsi yang mendapatkan perlakuan terhormat dalam pergaulan sosial (Kompas, 12/04/2004).
Perjuangan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) memang masih panjang. Beberapa agenda jangka pendek yang perlu dilakukan untuk mewujudkan itu beberapa diantaranya adalah; pertama, reformasi pelayanan publik dan birokrasi (public service and bureaucracy reform), dimana proses pelayanan publik, seperti pengeluaran ijin, perpajakan, pengadaan barang/jasa dan penganggaran, dilakukan secara transparan.
Yang kedua adalah adanya perubahan sikap dan perilaku (changing of attitude and behaviour) termasuk di dalamnya adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan aparat negara/PNS mengenai praktik tata pemerintahan yang baik serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.
Ketiga, reformasi sistem peradilan dan perundang-undangan (judicial reform). Keempat, meningkatkan tekanan dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah (increasing the pressure and monitoring). Kelima, memberikan pendidikan dan informasi tentang bagaimana korupsi berlangsung, dimana lembaga pemerintah harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat. Terakhir, adanya reformasi di sektor bisnis dan militer, yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi kehancuran ekonomi bangsa.
Agenda-agenda di atas memang telah sering diserukan oleh banyak pihak. Namun tanpa dukungan dari masyarakat luas, agenda-agenda tersebut hanyalah omong kosong belaka. Selain itu, perlunya kita untuk terus menerus mendesak pelaksanaan riil dari agenda-agenda tersebut. Olehnya, Pemilihan Presiden kali ini selayaknyalah kita jadikan momentum untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik. Pilihan ada di tangan kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan pilihan tersebut.
Sebab bagaimanapun kondisinya kini, putus asa atau frustasi jelas akan membuat keadaan lebih buruk lagi. Upaya untuk terus membenahi tata pemerintahan Indonesia tetap harus terus dilakukan dan diupayakan, sekalipun upaya tersebut baru akan membuahkan hasil 10 atau 20 tahun lagi
Kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini, enam tahun setelah tumbangnya rezim Soeharto, ternyata belum seperti yang diharapkan rakyat kebanyakan. Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) masih merajalela dalam berbagai tingkat, meski pada saat yang sama pers telah memiliki kebebasan `luar biasa` untuk mengekspos kasus-kasus KKN tersebut.
Logikanya, pintu masyarakat untuk mengakses informasi seputar kasus korupsi pun dengan sendirinya terbuka lebar. Anehnya, kondisi ini seakan tidak berbanding lurus dengan upaya pemberantasan KKN. Lebih parah lagi, korupsi malah meluas dengan merambah ke bidang-bidang yang semula diharapkan menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi seperti; partai politik, DPR dan DPRD, pengadilan, dan daerah-daerah yang telah lama menikmati otonomi.
Penyalahgunaan wewenang oleh birokrat dengan sendirinya menjadi inti dari permasalahan. Dari sisi ini terlihat betapa sikap birokrat, sangat dipengaruhi oleh identitas dan status sosial masyarakat. Otonomi daerah sebagai salah satu jalan menuju Indonesia yang berkeadilan malah menjadi ajang desentralisasi KKN. Dalam artian bahwa semangat desentralisasi juga tak lepas dari sikap birokrat yang cenderung melakukan KKN.
Kita pun dibuat frustasi dengan kondisi ini. Apalagi pemerintah tampaknya tidak serius mengatasinya. Kalau toh serius, pemerintah nyatanya tidak sanggup mengubah keadaan `status quo`. Contoh paling nyata dapat kita lihat pada pelayanan publik, yang sampai saat ini belum terjadi banyak perubahan. Pengurusan KTP, paspor, akte kelahiran dan ijazah, masih diselimuti dengan aroma kolusi. Ini bisa kita lihat beritanya di banyak media massa. Dalam kasus-kasus semacam ini, praktek suap masih terbukti `ampuh` sebagai sebuah penyelesaian.
Contoh ini memperlihatkan betapa kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini masih belumlah banyak berubah. Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pihak akademisi, LSM, dan mereka yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti masih membentur tembok yang tak kasat mata.
`Penyakit` yang bernama KKN itu begitu jelas terlihat, tapi semua `obat` yang diberikan untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada tinggal pemberantasan KKN sebagai sebuah komoditas dagangan dan jargon politik.
Pada Pemilu 1999 lalu sebagian besar partai peserta Pemilu punya dagangan yang sama yaitu penumpasan KKN sebagai salah satu `jualan` dalam kampanye. Semua seperti memberikan harapan besar terhadap masa depan bangsa. Nah, Pemilu kali ini pun rata-rata partai politik menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu isu kampanye mereka. Ibarat kaset, lagu yang mereka coba perdengarkan adalah lagu lama (Kompas, 12/03/2004).
Payahnya, tak satu pun partai politik yang dengan tegas memaparkan apa yang akan mereka lakukan dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Semua masih sebatas jargon. Lebih sakit lagi bahwa mereka yang selama ini diduga menikmati hasil korupsi selama bertahun-tahun, kini malah sibuk mengkampanyekan anti korupsi.
Hal lain yang juga turut andil dalam penyebaran korupsi adalah dari masyarakat sendiri. Tak salah jika kemudian banyak yang meragukan efektifitas dari gerakan menolak politisi busuk beberapa waktu lalu. Hal ini beralasan, sebab selama ini masyarakat kita memang begitu toleran terhadap pelaku korupsi. Bahkan menurut Todung Mulya Lubis, masyarakat kita ambivalen terhadap koruptor. Ambivalensi ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku korupsi yang mendapatkan perlakuan terhormat dalam pergaulan sosial (Kompas, 12/04/2004).
Perjuangan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) memang masih panjang. Beberapa agenda jangka pendek yang perlu dilakukan untuk mewujudkan itu beberapa diantaranya adalah; pertama, reformasi pelayanan publik dan birokrasi (public service and bureaucracy reform), dimana proses pelayanan publik, seperti pengeluaran ijin, perpajakan, pengadaan barang/jasa dan penganggaran, dilakukan secara transparan.
Yang kedua adalah adanya perubahan sikap dan perilaku (changing of attitude and behaviour) termasuk di dalamnya adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan aparat negara/PNS mengenai praktik tata pemerintahan yang baik serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.
Ketiga, reformasi sistem peradilan dan perundang-undangan (judicial reform). Keempat, meningkatkan tekanan dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah (increasing the pressure and monitoring). Kelima, memberikan pendidikan dan informasi tentang bagaimana korupsi berlangsung, dimana lembaga pemerintah harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat. Terakhir, adanya reformasi di sektor bisnis dan militer, yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi kehancuran ekonomi bangsa.
Agenda-agenda di atas memang telah sering diserukan oleh banyak pihak. Namun tanpa dukungan dari masyarakat luas, agenda-agenda tersebut hanyalah omong kosong belaka. Selain itu, perlunya kita untuk terus menerus mendesak pelaksanaan riil dari agenda-agenda tersebut. Olehnya, Pemilihan Presiden kali ini selayaknyalah kita jadikan momentum untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik. Pilihan ada di tangan kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan pilihan tersebut.
Sebab bagaimanapun kondisinya kini, putus asa atau frustasi jelas akan membuat keadaan lebih buruk lagi. Upaya untuk terus membenahi tata pemerintahan Indonesia tetap harus terus dilakukan dan diupayakan, sekalipun upaya tersebut baru akan membuahkan hasil 10 atau 20 tahun lagi
sekedar coba
Ambon
SEORANG teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku.
Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk
menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi,
komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia
seorang Katolik.
Fakta itu. perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang
menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan
sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan
mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun
dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya
Slamet Riyadi masih hidup....
Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60:
agama kian sering dipakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama
dianggap jadi latar konflik Maluku, perjuangan di Palestina, "benturan
peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama,
agama jadi dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.
Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa
antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu,
ada korespondensi yang: lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku
menegaskan diriku "Islam", segala yang kulakukan dengan sendirinya
merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam
kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan
kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.
Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan
napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?"
Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "sekadar
aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa
maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan
identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau
"Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti
air dalam dua bejana yang berhubungan.
Pada. zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa
dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan
fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada. hanya
belantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak
selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang
tak kunjung tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran
apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.
Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu
dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham
dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba
memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan
kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisihkannya,
atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang
memberinya kearifan.
Dalam Perang Siffin" musuh'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar
pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah.
Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:
"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan,
aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah
menyatakan bahwa'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah
dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit
antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan
penafsir, dan penafsir adalah manusia."
Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir adalah orang-orang yang datang
dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas
Quran atau warisan keagamaan kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan
itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.
Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan? Dalam konflik,
dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi
juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan
kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti
dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir,
dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan
berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang. Tak berarti, kata Farid Esack,
sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan,"
katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah
menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain...
bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang
memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat
pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus menemukan satu ukuran untuk
menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan
kecenderunganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata
hanya milik komunitasku. "
Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan
selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack.
Sesuai dengan argumennya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap
terbuka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan
kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan'Ali Ibn Abi Talib.
Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang
bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman untuk menampik toleransi.
Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita
dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.
Goenawan Mohamad
TEMPO Edisi 3-9 Mei 2004
SEORANG teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku.
Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk
menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi,
komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia
seorang Katolik.
Fakta itu. perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang
menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan
sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan
mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun
dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya
Slamet Riyadi masih hidup....
Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60:
agama kian sering dipakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama
dianggap jadi latar konflik Maluku, perjuangan di Palestina, "benturan
peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama,
agama jadi dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.
Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa
antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu,
ada korespondensi yang: lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku
menegaskan diriku "Islam", segala yang kulakukan dengan sendirinya
merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam
kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan
kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.
Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan
napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?"
Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "sekadar
aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa
maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan
identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau
"Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti
air dalam dua bejana yang berhubungan.
Pada. zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa
dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan
fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada. hanya
belantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak
selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang
tak kunjung tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran
apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.
Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu
dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham
dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba
memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan
kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisihkannya,
atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang
memberinya kearifan.
Dalam Perang Siffin" musuh'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar
pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah.
Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:
"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan,
aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah
menyatakan bahwa'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah
dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit
antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan
penafsir, dan penafsir adalah manusia."
Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir adalah orang-orang yang datang
dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas
Quran atau warisan keagamaan kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan
itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.
Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan? Dalam konflik,
dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi
juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan
kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti
dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir,
dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan
berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang. Tak berarti, kata Farid Esack,
sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan,"
katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah
menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain...
bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang
memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat
pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus menemukan satu ukuran untuk
menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan
kecenderunganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata
hanya milik komunitasku. "
Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan
selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack.
Sesuai dengan argumennya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap
terbuka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan
kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan'Ali Ibn Abi Talib.
Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang
bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman untuk menampik toleransi.
Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita
dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.
Goenawan Mohamad
TEMPO Edisi 3-9 Mei 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)