Konon, Julius Caesar, raja Roma, pernah menyerang ke Mesir. Namun, ternyata Mesir memiliki tentara yang amat kuat. Saking kuatnya, dia pun beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah, Julius Caesar memiliki ide untuk menghindari musuh, yaitu dengan cara membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria. Berhasilkah dia?
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya.
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru.
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment