menjadi abdi negara, begitu ungkapan pertama yang kudengar ketika pertama kali masuk di karantina untuk prajabatan. kalimat ini awalnya hanya menjadi jargon kosong ketika kudengar. ia tak ubahnya berita keberhasilan Leo AFI untuk tembus grand final, tak begitu berarti untuk saya, ringkasnya.
namun asumsi ini langsung bergerak seperti dalam sebuah centrifuges, ia berputar dalam tekanan tinggi untuk menghasilkan energi. baris berbaris, tata upacara sipil, etika PNS dan tanggungjawab sebagai abdi negara, wawasan kebangsaan, menjadi stimulan dalam centrifuges itu.
pola pikir untuk menjadi abdi negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah, seolah ingin menghancurkan ritme yang sudah ada. kiwa pemberontakanku bukannya tidak muncul. "Be real", begitu kata seorang kawan dulu.
tapi lupakanlah pikiran sedikit ideologis itu. bukannya aku berpaling dan beralibi dari keikutsertaanku, bukan pula karena kekhawatiran dicap dan dicela oleh kjawan-kawan. tapi perdebatan soal itu rasa-rasanya sudah usang dan tak up to date lagi. meski memang saya akui banyak hal yang kurang tepat dan sangat ketinggalan zasman dalam pola "baiat" gaya pemerintah itu.
berfikir positif, meski agak klise, pilihan itulah yang coba kutempuh. ketemu dengan banyak orang dengan berbagai ragam dan wujudnya membuat hidupku terasa lebih bermakna. ada dokter, guru, pegawai biasa sampai keluarga bupati dan bangsawan. tingkah polah mereka pun menjadi perhatian yang mengasyikkan. ada yang cenderung mendominasi, ada pula yang cenderung tertutup dan tidak ambil pusing dengan sekelilingnya. pokoknya, komplit untuk menjadi laboratorium dan bahan peneltiian mengenai sikap dan motivasi.
intrik dan akal bulus bukannya tidak ada. tapi begitulah, semangat birokrasi membuat semuanya harus diselesaikan demi keutuhan bersama dan atas nama kebersamaan. ya, kebersamaan, kata itu tiba-tiba menjadi mantra ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan. apakah ada yang terpuaskan dan ada pula pihak yang merasa terpinggirkan, itu masalah lain. pokoknya semua harus terlihat rukun dan damai-damai saja.
potret bangsa ini rasanya mendapatkan tempatnya dalam dua minggu itu. tapi sekali lagi, atas nama berfikir positif (entah ini akan menjadi mantra atau tidak) aku pun terus saja menikmatinya.
waktu berlalu, tiba-tiba saja semua merasa dua minggu menjadi waktu yang tidak panjang. ada yang merasa menyesal karena terlambat akrab, ada yang syukur tapi kecewa juga sebab dalam dirinya selama ini yang ada hanya keterasingan, ada pula yang tidak ambil pusing. tapi aku menjadi bagian dari mereka yang bersyukur namun jyga sedih. bersyukur karena proses "pembodohan" yang kami alami akan segera berakhir sekalgus sedih karena berpisah dengan orang-orang pilihan dengan berbagai latarnya.
semoga ini menjadi starting point yang baik dalam mengarungi samudera kehidupan, yang entah akan mendamparkanku atau membuatku menjadi pelaut ulung. entahlah....
No comments:
Post a Comment