Friday, June 25, 2004

sekedar coba

Ambon

SEORANG teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku.
Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk
menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi,
komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia
seorang Katolik.

Fakta itu. perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang
menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan
sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan
mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun
dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya
Slamet Riyadi masih hidup....

Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60:
agama kian sering di­pakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama
dianggap jadi latar konflik Maluku, per­juangan di Palestina, "benturan
peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama,
agama jadi dalih per­buatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera
kesetiaan yang berkibar tinggi.

Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa
antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu,
ada korespondensi yang: lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku
menegaskan diriku "Islam", segala yang ku­lakukan dengan sendirinya
merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam
kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan
kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.

Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan
napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?"
Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "se­kadar
aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa
maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan
identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau
"Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti
air dalam dua bejana yang berhubungan.

Pada. zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa
dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan
fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada. hanya
be­lantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak
selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang
tak kunjung tunggal. Bah­kan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran
apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.

Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu
dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham
dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba
memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan
kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisih­kannya,
atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang
memberinya kearifan.

Dalam Perang Siffin" musuh'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar
pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah.
Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:

"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan,
aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah
menyatakan bahwa'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah
dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit
antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan
penafsir, dan penafsir adalah manusia."

Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir ada­lah orang-orang yang datang
dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas
Quran atau warisan keagama­an kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan
itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.

Pertanyaannya kemudian: di mana kebenar­an dan keadilan? Dalam konflik,
dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi
juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan
kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti
dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir,
dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan
berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang. Tak berarti, kata Farid Esack,
sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan,"
katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah
menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain...
bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang
memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat
pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus mene­mukan satu ukuran untuk
menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan
kecende­runganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata
hanya milik komunitasku. "

Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan
selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack.
Sesuai dengan argumen­nya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap
ter­buka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan
kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan'Ali Ibn Abi Talib.

Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang
bisa dengan gampang ditafsirkan se­bagai pedoman untuk menampik toleransi.
Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita
dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.

Goenawan Mohamad

TEMPO Edisi 3-9 Mei 2004

No comments: