Pemilu dan Konsensus Pemberantasan KKN
Kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini, enam tahun setelah tumbangnya rezim Soeharto, ternyata belum seperti yang diharapkan rakyat kebanyakan. Praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) masih merajalela dalam berbagai tingkat, meski pada saat yang sama pers telah memiliki kebebasan `luar biasa` untuk mengekspos kasus-kasus KKN tersebut.
Logikanya, pintu masyarakat untuk mengakses informasi seputar kasus korupsi pun dengan sendirinya terbuka lebar. Anehnya, kondisi ini seakan tidak berbanding lurus dengan upaya pemberantasan KKN. Lebih parah lagi, korupsi malah meluas dengan merambah ke bidang-bidang yang semula diharapkan menjadi bagian dari gerakan pro demokrasi seperti; partai politik, DPR dan DPRD, pengadilan, dan daerah-daerah yang telah lama menikmati otonomi.
Penyalahgunaan wewenang oleh birokrat dengan sendirinya menjadi inti dari permasalahan. Dari sisi ini terlihat betapa sikap birokrat, sangat dipengaruhi oleh identitas dan status sosial masyarakat. Otonomi daerah sebagai salah satu jalan menuju Indonesia yang berkeadilan malah menjadi ajang desentralisasi KKN. Dalam artian bahwa semangat desentralisasi juga tak lepas dari sikap birokrat yang cenderung melakukan KKN.
Kita pun dibuat frustasi dengan kondisi ini. Apalagi pemerintah tampaknya tidak serius mengatasinya. Kalau toh serius, pemerintah nyatanya tidak sanggup mengubah keadaan `status quo`. Contoh paling nyata dapat kita lihat pada pelayanan publik, yang sampai saat ini belum terjadi banyak perubahan. Pengurusan KTP, paspor, akte kelahiran dan ijazah, masih diselimuti dengan aroma kolusi. Ini bisa kita lihat beritanya di banyak media massa. Dalam kasus-kasus semacam ini, praktek suap masih terbukti `ampuh` sebagai sebuah penyelesaian.
Contoh ini memperlihatkan betapa kondisi tata pemerintahan Indonesia saat ini masih belumlah banyak berubah. Upaya yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk pihak akademisi, LSM, dan mereka yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti masih membentur tembok yang tak kasat mata.
`Penyakit` yang bernama KKN itu begitu jelas terlihat, tapi semua `obat` yang diberikan untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil apa-apa. Yang ada tinggal pemberantasan KKN sebagai sebuah komoditas dagangan dan jargon politik.
Pada Pemilu 1999 lalu sebagian besar partai peserta Pemilu punya dagangan yang sama yaitu penumpasan KKN sebagai salah satu `jualan` dalam kampanye. Semua seperti memberikan harapan besar terhadap masa depan bangsa. Nah, Pemilu kali ini pun rata-rata partai politik menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu isu kampanye mereka. Ibarat kaset, lagu yang mereka coba perdengarkan adalah lagu lama (Kompas, 12/03/2004).
Payahnya, tak satu pun partai politik yang dengan tegas memaparkan apa yang akan mereka lakukan dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Semua masih sebatas jargon. Lebih sakit lagi bahwa mereka yang selama ini diduga menikmati hasil korupsi selama bertahun-tahun, kini malah sibuk mengkampanyekan anti korupsi.
Hal lain yang juga turut andil dalam penyebaran korupsi adalah dari masyarakat sendiri. Tak salah jika kemudian banyak yang meragukan efektifitas dari gerakan menolak politisi busuk beberapa waktu lalu. Hal ini beralasan, sebab selama ini masyarakat kita memang begitu toleran terhadap pelaku korupsi. Bahkan menurut Todung Mulya Lubis, masyarakat kita ambivalen terhadap koruptor. Ambivalensi ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pelaku korupsi yang mendapatkan perlakuan terhormat dalam pergaulan sosial (Kompas, 12/04/2004).
Perjuangan untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) memang masih panjang. Beberapa agenda jangka pendek yang perlu dilakukan untuk mewujudkan itu beberapa diantaranya adalah; pertama, reformasi pelayanan publik dan birokrasi (public service and bureaucracy reform), dimana proses pelayanan publik, seperti pengeluaran ijin, perpajakan, pengadaan barang/jasa dan penganggaran, dilakukan secara transparan.
Yang kedua adalah adanya perubahan sikap dan perilaku (changing of attitude and behaviour) termasuk di dalamnya adalah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan aparat negara/PNS mengenai praktik tata pemerintahan yang baik serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka.
Ketiga, reformasi sistem peradilan dan perundang-undangan (judicial reform). Keempat, meningkatkan tekanan dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah (increasing the pressure and monitoring). Kelima, memberikan pendidikan dan informasi tentang bagaimana korupsi berlangsung, dimana lembaga pemerintah harus memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat. Terakhir, adanya reformasi di sektor bisnis dan militer, yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi kehancuran ekonomi bangsa.
Agenda-agenda di atas memang telah sering diserukan oleh banyak pihak. Namun tanpa dukungan dari masyarakat luas, agenda-agenda tersebut hanyalah omong kosong belaka. Selain itu, perlunya kita untuk terus menerus mendesak pelaksanaan riil dari agenda-agenda tersebut. Olehnya, Pemilihan Presiden kali ini selayaknyalah kita jadikan momentum untuk mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang baik. Pilihan ada di tangan kita. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan pilihan tersebut.
Sebab bagaimanapun kondisinya kini, putus asa atau frustasi jelas akan membuat keadaan lebih buruk lagi. Upaya untuk terus membenahi tata pemerintahan Indonesia tetap harus terus dilakukan dan diupayakan, sekalipun upaya tersebut baru akan membuahkan hasil 10 atau 20 tahun lagi
No comments:
Post a Comment