Ini ramadhan ketiga saya di sini. Selama itu pula, saya harus mengakui tak pernah sekalipun ikut tarawaih berjamaah di masjid. Ada tiga alasan mengapa ini tejadi. Pertama, karena malas. Kedua, malas dan ketiga karena mesjidnya yang cukup jauh yang membuat saya malas lagi.
Atas dasar itulah, bersama beberapa kawan yang seiman (yang tak pernah ikut tarawihan di masjid) berikrar untuk bertarawih bersama. Hari pertama ramadhan menjadi pilihan, selepas pengajian ruitin masyarakat Indonesia di sini, kami berkumpul bersama.
Mesjid yang kami tuju adalah mesjid Pakistan. Persepsi kami selama ini terhadap mesjid ini adalah khutbah disampaikan dalam bahasa urdhu dan dalam jangka waktu yang lama. ”Wah, ini mesjid yang pas untuk menguji keimanan kita, paling tidak, puasa kan menuntut kesabaran”, begitu canda seorang kawan.
Sebenarnya pilihan lain bukannya tidak ada. Tapi ketika komunitas muslim di inggris dimayoritasi oleh mereka (Pakistan, India dan Bangladesh), pilihan lain itu menjadi tidak berarti. Yang membuat beda paling cuma jumlah rakaat dan enak tidaknya bacaan sang imam.
Singkat cerita, kami pun bertarwih. Oh yah, ternyata tidak ada ceramah sebelum tarawih. Entah karena tidak ada khatib, atau karena mereka memang tak perlu selalu diingatkan. Seperti kita di indonesia, dengan sederet ceramah, dan bahkan terkadang dilengkapi dengan segudang sambutan.
Setelah tarawih yang panjang, dalam perjalanan pulang, sang kawan tadi berkomentar lagi. ”Betul-betul kesabaran kita diuji malam ini. Tak hanya 23 rakaat, tapi cara mereka shalat pun berbeda dengan apa yang saya tahu.” Kawan lain menimpali, ”Itu artinya pengetahuan agamamu memang pas-pasan, ha..ha..”. Untung dua imam yang bergantian memimpin jamaah bacaanya enak didengar dan perlu. Paling tidak, itulah yang membuat betah meski semalam tarawih mereka menghabiskan bacaan dua juz.
Soal perbedaan melaksanakan tarawih ini, kemudian menjadi perbincangan panjang. Soal panjang bacaan, soal lama rukuk, juga soal qunut dan witir. ”Yang penting itu tidak berarti kalian akan berhenti pergi tarawih berjamaah”, kata kawan lain coba mem-bijak. Betul juga. Apalagi latar belakang budaya yang berbeda tentu saja melahirkan produk budaya yang berbeda. Perbedaan mazhab tentu berujung pada perbedaan eksekusi ibadah.
Lagipula, mengapa memaksa mereka, atau tepatnya berharap orang-orang Pakistan itu bersembahyang seperti sembahyangnya orang-orang di istiqlal juga tak elok. Tak boleh ada yang memonopoli kebenaran. Yang masalah jika kemudian ada yang sok berkuasa dan memaksakan kebenaran itu, dengan kekerasan, bahkan. Lagian, kita yang numpang shalat di mesjid mereka, kan?
Begitulah, namanya juga tarawih kesabaran.
2 comments:
Saya juga ngalaminnya dengan teman2 Bangladesh, pas shalat ied, cara mereka melakukan shalat ied sepertinya beda dengan imam melakukan shalat di karebosi, :-)
yang sabar ya mas...
Post a Comment