Kegagalan tim Indonesia dalam All England kali ini sudah kami duga sebenarnya. Seperti tahun lalu, tak banyak dari kami yang membeli tiket pertandingan untuk partai Final. Bukannya tak optimis, tapi berdasar fakta dan sedikit pemikiran ekonomis, akhirnya kami hanya memfokuskan menonton pada partai perempat final belaka. Ini dengan asumsi yang valid, bahwa level inilah langkah terjauh kebanyakan pemain Indonesia di segala nomor. Asumsi kami tak salah, meski ada yang meleset, bahkan nomor ganda campuran tembus hingga Final. Jujur, saya berharap bahwa tebakan kami salah, dan akhirnya ada pemain Indonesia yang berhasil keluar sebagai juara setelah lama negeri ini paceklik gelar di bulutangkis, cabang olahrag yang menjadi andalan, dulunya.
Suporter Indonesia tahun ini lebih banyak ketimbang tahun lalu. Meski jika dibandingkan dengan suporter Malaysia, Korea atau Denmark, jumlah kita masih seiprit. Jangan pula dibandingkan dengan suporter Cina dan tuan rumah England. Meski begitu, ribut dan sorak-sorai tetap saja bikin suasana hidup. Bahkan sempat tribun tempat kami berkumpul didatangi security, yang entah dengan alasan apa. Mungkin ada yang gatal tangannya memakai kamera yang jelas-jelas sudah dilarang untuk menghargai license.
Banyak konspirasi yang kemudian timbul dari saya, dan juga teman-teman penonton lainnya, yang dari Indonesia tentu. Kritik terbesar saya adalah bahwa tidak ada semangat juang luar biasa dari mereka. Begitu gampang menyerah dan mungkin juga malah meng-under estimated lawan. Ada pula yang menyatakan bahwa ini taktik lama tim Indonesia aja. Kalah di Birmingham agar lawan menganggap enteng saat piala Thomas dan Uber Cup Mei mendatang di Jakarta. Jika itu benar, saya tak tahu apa taktik ini masuk akal atau malah mencederai logika di tengah minim gelar tim Indonesia di ajang All England sejak beberapa tahun terakhir. Soal gaya hidup tak lepas juga dari perbincangan kami.
Bagaimana bisa mencapai gelar tertinggi jika asupan gizi tidak menjadi perhatian serius. Saya tak tahu apa ini memang pembiaran atau memang tidak ada upaya untuk sekedar memperhatikan faktor satu ini. Di tengah modernisasi dunia olahraga dan juga sistem olah tubuh, gizi tentu menjadi faktor yang tidak bisa dianggap enteng. Sepakbola menjadi contoh bagaimana asupan gizi pemain menjadi faktor kunci keberhasilan tim. Tak hanya dalam hal hasil akhir pertandingan, tapi juga untuk kepentingan jangka panjang tim.
Sulit rasanya membayangkan atlet akan maksimal prestasinya dengan hanya mengkonsumsi indomie dan juga junk food lainnya. Soal selera mungkin tak banyak cocok dengan makanan disini, tapi membiarkan atlet makan makanan seperti ini sebelum bertanding dan saat bertanding, tentu ada yang salah dengan pengurus olahraga ini. Saya sempat mampir di beberapa kamar atlet di hotel tempat mereka nginap, dan indomie seperti barang wajib sebagai bekal. Indonesia bukan sekali ini ikut All England, dan kunjungan mereka ke Birmingham bukanlah kali pertama. Singkatnya, ada yang "lupa" belajar dari pengalaman.
Hal yang lain lagi, masih dalam lingkup gaya hidup sebagai sorotan. Belum juga pertandingan dimulai, hal yang paling dicari oleh mayoritas atlet Indonesia adalah tempat hiburan dan belanja. Saya tentu bisa saja terjebak pada sikap generalisasi yang berlebihan, apalagi memang ada juga atlet yang tampil seperti atlet yang ”seharusnya”. Atlet baik ini terpaksa saya ”tenggelamkan” untuk menggambarkan keadaan lainnya. Belanja dan hiburan, satu sisi ini tak luar biasa amat, apalagi jika mengunjungi tempat baru. Tapi tujuan mereka kesini kan bertanding, bukan berpelesir dan sekadar study tour. Jika pertandingan kelar dan masih ada waktu, you’re more than welcome. Apalagi jika mereka kemudian berhasil menjadi kampiun. Tapi, dengan segala hormat terhadap latihan mereka dan juga kerja pelatih, berbelanja dini tentu saja bisa memecah konsentrasi.
Setelah pertandingan, memang akhirnya mereka semua berbelanja. Saya tak sempat menemani mereka, cuma dari cerita-cerita teman-teman, belanjaan mereka sudah seperti kalangan jet set Inggris yang tak ada beban untuk menghabiskan lebih dari 60 pound uang untuk sekedar alas kaki. Tak berhenti sampai disitu, produk fashion dan garmen lainnya juga menjadi incaran. Sadar merek juga mereka rupanya. Apalagi status atlet terkenal tentu mengharuskan mereka untuk tampil berbeda dan tentu saja bergaya.
Sekali lagi, saya tak ada urusan dengan gaya hidup dan belanja. Sebulan yang lalu saya juga diminta menemani pengusaha Indonesia yang datang ke Birmingham untuk mengikuti pameran. Selain minta dicarikan tempat makan yang menyediakan nasi, belanja parfum yang harganya diluar akal sehat anak-anak penerima beasiswa, rombongan ini juga minta dicarikan tempat striptease. Parahnya, yang dicari tempat striptease dengan penari berkulit hitam. Selain rasis, permintaan itu memang sudah keliru sejak awalnya.
Kembali ke pemain Indonesia, tak sekedar belanja, casino juga menjadi tujuan menghibur diri. Mungkin sebagai pelarian dari kekalahan. Tapi toh, tetap saja ada yang tak sreg. Dimana letak ketidak sreg an itu? Tahun lalu, menpora berjanji untuk menganggarkan 20-25 milyar rupiah untuk PBSI sendiri. Entah segitu jumlah pastinya di APBN atau tidak, yang jelas duit rakyat jelas terpakai untuk mengirim mereka ke sini. Memang, sebagian atlet ada yang memang kaya, khususnya atlet senior dan bintang iklan produk seperti Yonex. Apalagi jika pernah menjadi juara di turnamen seri dunia. Menghabiskan duit tak ada salahnya buat mereka. Tapi Ronaldo, Kaka, dan Beckham, tidak langsung berfoya-foya begitu rupa setelah mereka terkenal. Mereka tetap latihan keras dan tetap sedih jika tak juara. Yang lebih parah, tak hanya pemain, pengurus pun ada juga yang ber-casino ria di tengah kekalahan ini.
”Habis-habisin duit rakyat aja”, begitu kata salah seorang teman. Apalagi ada informasi bahwa uang saku mereka selama seminggu disini masih jauh lebih besar dari beasiswa yang kami terima untuk hidup sebulan. Sekali lagi, ini terlepas apakah mereka diberi performance fee atau duit lain dari sponsor. Kekalahan mereka itu sakit dan menyedihkan bagi kami, penonton yang haus gelar. Tapi menghabiskan duit rakyat tentu jauh lebih menyakitkan. Tentu, tak ada permintaan untuk meratapi kekalahan dan kemudian hanyut di dalamnya. Tapi mbok yah, saatnya introspeksi dan mencoba memperbaiki kelemahan. Jika memang rasa ”nyaman” untuk lupa belajar pada pengalaman ini sulit untuk dihilangkan, maka tidak ada pilihan lagi selain sabar. Ah, kalo ini, kata ustad surga balasannya...
NB: Diberi judul sekenanya, juga takut apa ini sekedar curhat karena sirik...
No comments:
Post a Comment