Pekan ini adalah pekan sibuk bagi banyak mahasiswa, khususnya postgraduate students. Deadline untuk submit disertasi tinggal berbilang hari. Saat di kantor administrasi siang kemarin, beberapa kawan telah mengumpulkan disertasi mereka. Selain disertasi, banyak dari teman-teman yang juga menitipkan 'oleh-oleh' kepada supervisor dan beberapa professor melalui kantor akademik.
Makanya, meja utama di kantor tersebut penuh dengan beragam titipan. Kebanyakan terbungkus dengan kertas khas mandarin. Memang, hadiah-hadiah itu kebanyakan dari mahasiswa asal Cina. Salah seorang kawan bercerita bahwa itu adalah tanda terima kasih mereka kepada supervisor. Beberapa dari mereka juga bermurah hati dengan menyisihkan 'tanda terima kasih' kepada pegawai akademik yang ada di kantor itu.
Nah, disinilah yang kemudian menimbulkan perbedaan persepsi. Seorang pegawai akademik yang akrab dengan saya bercerita bahwa pimpinan universitas tegas melarang dosen dan staf menerima pemberian dari mahasiswa. Terlebih lagi jika ada kaitannya dengan kegiatan akademik. Lagipula, itu agak diluar mainstream kultur mereka untuk menerima pemberian. Makanya, hampir semua pemberian-pmebrian itu disimpan saja di atas meja atau dipajang di kantor akademik. Tak ada yang dibawa pulang. Itulah mengapa meja utama itu tak pernah sepi dari makanan khas dari berbagai negara dan juga cokelat beraneka rasa. Siapa pun bisa menikmatinya. Ruangan kantor pun tak ubahnya seperti galeri. Beragam lukisan mini dan cenderamata khas asia menempel di dinding. Jangan tanya soal gantungan kunci, banyak macam dan jumlahnya.
Nah, di lain sisi, kawan-kawan dari Asia itu tentu tak pernah bermaksud untuk menyogok, atau apalah namanya. Paling tidak, begitu kata teman Cina saya yang turut memberi tanda terima kasih pada siang itu. Kalau toh memang niat awalnya untuk mempengaruhi keputusan akademik, itu sih sudah keterlaluan. Baginya, itu tak lebih dari tanda terima kasih atas bantuan dan bimbingan yang selama ini mereka terima. Tidak memberikan hadiah, takutnya mereka akan dicap tak tahu terima kasih.
Repot juga pikirku. Pihak kampus tentu tak enak hati menolak pemberian-pemberian yang bejibun itu. Apalagi 65% mahasiswa asing di Inggris berasal dari Cina. Jumlah yang sangat signifikan bagi universitas-universitas disini yang sangat bergantung dari tuition fee mahasiswa asing. Tentu, ini terlepas dari faktor integritas dan kemerdekaan berakademik. Ini tak berarti pula meyederhanakan soal pendidikan dan kaitannya dengan kultur mahasiswa asing. Tapi ketika jumlah signifikan yang berbicara, perbedaan sekecil apapun tentu harus dihindari.
Dalam konteks yang lain, konon, tingkat kelulusan di Inggris bagi mahasiswa asing membuahkan simalakama bagi dosen-dosen di universitas. Jika tak diluluskan, dikhawatirkan ini akan berbuntut kepada jumlah pendaftar untuk tahun berikut. Jika diluluskan, tentu akan menurunkan kualitas yang telah lama dijaga. Pernah di koran nasional seorang profesor mengaku frustasi. Mahasiswa yang ia tahu betul tak bisa bercakap, meski untuk percakapan dasar sekalipun, tak pernah bersih dari plagiarism dari setiap assignment-nya, dan tak pernah dikasi lulus olehnya, tiba-tiba telah mendapat gelar master dari universitas. Baginya, ini adalah sebuah penghianatan dan saatnya untuk ditinjau ulang.
Kembali ke soal tanda terima kasih tadi, bagi saya pribadi itu memang sedikit bermasalah. Apalagi hadiah-hadiah itu diberikan saat nilai untuk disertasi belum resmi keluar. Betapapun itu dikilahkan sebagai sebuah tanda terima kasih, tetap saja etiketnya terasa ada yang aneh. Lalu, sampai kapan hadiah-hadiah yang diterima ditinggalkan begitu saja di atas meja?
No comments:
Post a Comment