Saturday, May 17, 2008

PSM Inc.

Walikota Makassar yang juga ketua umum PSM mengisyaratkan untuk mengubah PSM menjadi PT atau perseroan terbatas, (Tribun-timur online, 23/04/08). Ini isyarat yang membahagiakan sekaligus menyimpan kekhawatiran jika dilaksanakan ‘sekenanya’.

Setelah sekian lama dimanjakan dengan supply APBD, memang sudah seharusnya PSM dan klub-klub liga Indonesia lainnya berpikir untuk mandiri. Niatan untuk mandiri ini tidak hanya agar menjadi sebuah organisasi yang betul-betul professional namun juga karena subsidi dari APBD itu sendiri melanggar asas kepatutan dan menafikan kepentingan masyarakat yang jauh lebih penting. Selama ini, PSM memang hanya ‘seolah-olah’ professional.

Daftarnya bisa panjang jika kita ingin mengurai betapa tidak positifnya milyaran rupiah dana masyarakat di APBD yang telah dikeluarkan bertahun-tahun itu dipakai hanya untuk sebuah klub sepakbola.

13 miliar rupiah dana APBD Makassar dan 1 milliar APBD provinsi yang disuntikkan ke PSM untuk musim ini sekali lagi adalah bukti betapa skala prioritas tidak pernah menjadi frame dalam kebijakan publik. Alasan yang selalu didengungkan adalah bahwa PSM merupakan kebanggaan masyarakat Sul-sel dan sepakbola adalah olahraga paling menghibur masyarakat banyak. Sebuah alasan yang mencederai logika dan akal sehat di tengah kemiskinan, gizi buruk dan himpitan hidup berkepanjangan masyarakat. Apalagi yang namanya olahraga bukan hanya sepakbola dan PSM.

Tanggung jawab APBD terhadap olahraga adalah dalam konteks pembinaan, dan bukannya pengelolaan. Ini yang coba dicampur adukan oleh pengurus dan manajemen kebanyakan klub sepakbola di Indonesia. Pengelolaan (yang amburadul) selalu diklaim sebagai sebuah bagian dari pembinaan. Parahnya lagi, amburadul dan tidak profesionallnya klub-klub ini justru mengambil contoh dari PSSI sebagai induk organisasi.

Dan seperti sebuah keputusan yang dianggap wajar, secara otomatis kepala-kepala daerah yang dana APBD-nya digunakan sekaligus merangkap sebagai ketua umum klub sepakbola. Tak perlu belajar ilmu bisnis dan kepemimpinan untuk tahu bahwa dengan dua jabatan ini akhirnya malah tak ada yang optimal dijalankan. Konsekuensinya, dan ini yang lebih parah, klub-klub sepakbola ini secara langsung maupun tidak langsung dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik.

Lalu ketika keinginan untuk menjadikan PSM sebagai sebuah organisasi bisnis dilontarkan, kita harus mendukungnya. Ada beberapa alasan mengapa ini kemudian menjadi isyarat membahagiakan. Pertama, pengelolaan PSM selanjutnya akan lebih profesional. Tidak ada lagi tiket gratisan yang dibagikan kepada dinas-dinas atau jajaran pemda, hanya karena APBD digunakan oleh klub. Jika ini alasannya, bukankah yang lebih berhak mendapat tiket gratis adalah masyarakat yang notabene memiliki hak tertinggi dalam penggunaan APBD?

Kedua, tidak ada lagi orang-orang amatir yang sekedar mengambil manfaat dari PSM sebagai batu loncatan untuk pencapaian politis. Ketiga, proses pembinaan akan menjadi fokus utama, sebagai bagian dari pengembangan sumber daya. Keempat, profesionalisme yang diharapkan akan diikuti sikap transparan dan akuntabilitas sebagai prasayarat utama perusahaan terbuka. Ringkasnya, berubahnya PSM diharapkan akan turut menghapuskan budaya ”whateverism” yang selama ini lama menjagkiti.

Tantangan bukannya tidak ada. Klub sepakbola, meski telah menjadi entitas bisnis sekalipun memiliki target yang berbeda dengan perusahaan, sebagai misal. Prestasi mengkilat di laporan keuangan tak akan berarti apa-apa tanpa prestasi di lapangan.


Berbasis Suporter
Ada beberapa pilihan yang bisa jadi bahan pertimbangan. Jika mengacu kepada liga-liga profesional di negara-negara maju, menurut Allen (2006) pilihan itu bisa terbagi ke dalam empat bentuk dasar.

Pertama, kepemilikan berbasis suporter. FC Barcelona sebagai salah satu tim terbaik di Eropa adalah contoh untuk bentuk ini. Kedua, klub yang dimiliki oleh taipan, Chelsea kita tahu dimiliki oleh Roman Abramovich, salah seorang dalam deretan manusia terkaya sejagat. AC Milan juga bisa kita masukkan didalam kategori klub yang dimiliki oleh seorang milyuner dan politikus. Ketiga, klub yang berbasis pasar modal. Keempat, klub yang dimiliki oleh konsorsium, dengan saham yang tidak dijual bebas di pasar modal seperti Arsenal yang dimiliki konglomerat dari Inggris, Rusia maupun timur tengah.

Soal bagaimana bentuk yang pas bagi PSM, biarlah menjadi bahan bahasan tim manajemen saat ini. Tulisan ini hanya memberi masukan agar posisi suporter tak hanya sebagai penyorak dalam pertandingan. Mereka haruslah mendapat tempat dalam manajemen klub.

Pelibatan suporter ini tentu saja diandasi oleh semangat demokrasi. Demokratisasi seharusnya juga menjadi roh sepakbola. Semangat mutualisasi, jika boleh kita sebutnya seperti itu, haruslah menjadi jiwa dan roh dalam menjalankan PSM. Mutual berarti kepemilikan bersama, yang tentu saja berbeda dengan perusahaan. Mutual berarti dimiliki oleh suporter (costumer) sedangkan perusahaan dimiliki oleh pemegang saham (shareholder).

Karena berbasis suporter seperti inilah maka klub akan terhindarkan dari upaya menjadikannya sebagai sapi perah dengan keuntungan berlimpah. Suporter dapat mendesakkan berbagai upaya. Upaya-upaya yang bisa dilakukan diantaranya adalah menentukan batasan maksimum jumlah deviden yang dibayarkan kepada pemilik saham, keterlibatan suporter dalam menentukan kebijakan yang sifatnya strategis seperti harga tiket masuk yang lebih terjangkau namun tidak merugikan posisi keuangan klub. Ringkasnya, keterlibatan suporter menjamin terlaksananya good club governance yang menekankan trasparansi dan akuntabilitas.
Mengubah PSM menjadi sebuah perseroan terbatas adalah upaya mulia yang perlu didukung. Namun tentu saja, dibutuhkan pembahasan lebih jauh dan kebesaran hati untuk tidak sekedar menjadikan bisnis sebagai nakoda utama perjalanan proses ini.

Jika bisnis yang menjadi tujuan utama, berarti kita harus bersiap kehilangan pertandingan indah dan hiburan menyegarkan. Seperti yang pernah dikatakan Aime Jacquet, mantan pelatih kesebelasan Perancis. Menurutnya, jika sisi bisnis pertandingan sepakbola menjadi lebih penting ketimbang pertandingan itu sendiri, maka sebernanya sepakbola tidak lagi eksis. Bersiapkah kita?

No comments: