Ujian akhir term pertama telah selesai. Lega sekali rasanya. Untuk merayakannya, teman-teman pun mengajak ke Gun Barrel, pub langganan kami yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah. Pub ini sudah seperti library aja rasanya. Tak jarang diskusi kelompok kami dilaksanakan disini. Jika penat, ada dua meja bilyar dan beberapa Xbox yang siap menghibur. Bagi yang percaya keberuntungan, ada dua fruit machine di pojok ruangan. Meski namanya menyegarkan dan menjanjikan kebugaran, fruit machine tak lebih dari mesin poker lainnya. Dengan model satu pound, berharaplah dapat jackpot.
Kembali soal ajakan teman, tak enak rasanya menolak, apalagi sudah terdesak. Baiklah, kataku, tapi tak boleh lama sebab tidur panjang telah terjadwal dengan rapi. Masih ada pula daftar panjang film yang harus segera ditonton, hasil download-an istri tersayang.
Saya memesan segelas coke serta fish and chips, pesanan favorit saya. Bukan favorit benar sesungguhnya, sebab utamanya karena tak ada menu lain yang “bisa” saya pesan selain dua itu. Pub ini memang sedia burger, pizza dan aneka makanan lainnya. Namun, sepengetahuan saya, cuma ikan yang tak meragukan kehalalannya untuk dimakan. Apalagi tidak ada sign halal di depan pub.
Oh yah, kelompok saya ini terdiri dari lima orang dengan beragam latar belakang. Saya seorang dari Indonesia, empat lainnya berasal dari Jordania, Inggris, Canada dan Rusia. Mereka selau tahu bahwa saya tak bisa menikmati carlsberg, heineken, stella artois atau cobra, minuman favorit mereka. Tapi terakhir, mereka sedikit ”protes”, kok Muhammad, si Jordania itu bisa dengan senang hati menuntaskan dua pint stella artois sementara saya tetap tak tahan untuk mencium baunya sekalipun. Mereka seperti meragukan alasan sebagai muslim untuk tidak minum bir yang sering saya lontarkan.
Saya katakan pada mereka, saya ini bukan seorang yang alim dan belum pula menjadi muslim yang baik. Sangat jauh rasanya untuk sampai tahap seperti itu. Saya katakan saja bahwa saya memang tidak bisa, dan tidak bisa. Kalau toh Muhammad memilih untuk minum, itu pilihannya. Penjelasan seperti ini tentu tak cukup, dan jauh dari memadai. Tapi itu penting ketimbang menjawab yang berakibat pertanyaan baru bermunculan.
Muhammad sendiri yang jadi bahan perbincangan hanya tersenyum. ”Hey, u know, the future belongs not to the East or the West but to those who are trans-culturally competent”, begitu jawabnya sambil terbahak dengan sangat. Kami pun ikut terbahak. Ah, rupanya ia masih ingat module knowledge management kemarin. Apa yang ia katakan persis sama dengan apa yang ditekankan oleh Trompenaars, seorang konsultan bisnis internasional dalam bukunya Riding the waves of culture.
Saya lalu tanya, apa kaitannya itu dengan minum bir? ”Ini bagian dari upaya saya untuk lebih membaur dan tidak membatasi diri terhadap nilai dan culture yang berbeda”. Sebagai seorang entrepreneur, ini tentu modal besar menuju kesuksesan, begitu ia percaya. Saya sebenarnya ingin protes, kurang sreg dengan jawabannya, dan menganggap analogi yang ia paparkan itu tidak menyentuh hal yang esensi dari kalimat diatas. Trans-culturally tak berarti memperbandingkan jeruk dan tiang listrik. Apa yang disampaikan Muhammad sebenarnya adalah respon terhadap tesis Huntington tentang pertentangan peradaban yang salah satunya bakal timbul antara timur dan barat.
Tapi sudahlah, ujian final term sudah cukup menguras isi kepala. Saatnya untuk sejenak menikmati “libur”. Mungkin bisa pula dipake untuk mengisi blog ini yang makin jarang kukunjungi...
No comments:
Post a Comment