Banyak cara yang dipilih orang untuk mengekspresikan perasaan, entah itu sedih, gembira, marah atau tanpa rasa sekalipun. Saat larangan membawa minuman beralkohol di dalam tube (kereta bawah tanah) di London akan diberlakukan, malam sebelum larangan itu berlaku, hampir seluruh penumpang membawa kaleng bir atau botol vodka. Tak sedikit yang mengutuk larangan itu, namun yang biasa-biasa saja dan gembira bukannya tak banyak. Beberapa stasiun akhirnya ditutup. Tak perlu menjadi ahli kriminal untuk tahu sebabnya. Minuman keras dan kegaduhan, bedanya tak lebih dari tinggi kaleng bir.
Begitu juga saat tim Glasgow Rangers takluk dalam final piala Uefa. Kota Manchester seperti menjadi kota yang habis dijarah dan diporak-porandakan oleh suporter yang tak terima kekalahan tim mereka.
Nah, bagaimana dengan orang-orang yang memilih telanjang sebagai ekspresi perasaan mereka?
Siang itu, selepas dari Guild of student membeli kopi dan cemilan, saya melewati tower clock dan gedung pusat administrasi menuju library. Clock tower ini seperti Big Ben London modelnya, tapi dengan terowongan yang dapat dilalui kendaraan di bawahnya. Ia bangunan tunggal dengan tinggi menjulang yang terpisah dari gedung pusat administrasi, sebagai penanda dan khas kampus kami. Sejarah dan info lengkap, ada disini.
Beberapa meter dari clock tower, 6 orang mahasiswa berkumpul, dua diantaranya adalah wanita. Mereka seperti mendiskusikan sesuatu. Mereka berselonjor bebas di taman. Hal yang lumrah di tengah musim panas seperti ini. Bagi mereka (orang lokal), sengatan matahari adalah berkah. Tapi bagi mereka yang berasal dari kawasan tropik, itu adalah bencana. Bencana karena panasnya yang berbeda dan lebih terasa kering, dan juga bencana pada mata. Kok mata? Tak perlu penjelasan untuk pernyataan ini...
Kembali ke sekelompok mahasiswa itu. Tiba-tiba semua mereka berlari menuju clock tower. Dan tanpa komando, satu-satu mereka melepas pakaian. Literally, mereka melepas semua pakaian, dan tak menyisakan sehelai benang pun (maaf, ini mengingatkan saya pada "bacaan-bacaan nakal" saat sekolah dulu). Ekspresi wajah mereka tampak gembira, dan tak ada beban. Dengan sorak-sorai mereka berlari mengelilingi clock tower, seperti ingin memafhumkan semua orang bahwa mereka bisa.
Saya tak tahu apa alasan mereka. Apakah itu bagian dari kampanye dan protes atas kebijakan atau sekedar sebuah eskpresi kegembiraan, sebutlah sebagai exhibitionist belaka. Hari jumat kemarin memang adalah hari pengumuman untuk mahasiswa undergraduate. Mungkin mereka lulus, dan semua mereka pernah ber-nazar untuk melakukan itu. Entahlah..
Aksi mahasiswa-mahasiswa itu tak bertahan lama. Petugas keamanan segera menghampiri mereka dan sejurus kemudian mereka kembali "normal".
Tapi kenapa memilih ber-primitif ria? Sejarah memang banyak menunjukkan kepada kita bahwa tak berbusana adalah salah bentuk ekspresi paling berpengaruh. Setidaknya itu bisa disimpulkan dari banyaknya kampanye-kampanye civil society organizations. Kita masih ingat Agustus 2007 ketika Greenpeace mengumpulkan ratusan orang telanjang di sungai es Swiss. Cancer research di Inggris pernah juga melakukan kampanye penyadaran soal bahaya kanker, dengan dua volunteer rela tak berbusana di tengah kota sambil membagikan brosur dan aneka pesan. Semua itu ada maksud dan target yang jelas. Lain soal dengan cara mereka, yang bagi banyak orang tentu dianggap tak patut secara moral.
Saya jadi mikir, jangan-jangan saya terkucil dari pengetahuan bahwa menjadi bohemian dalam tataran tertentu, adalah cara terbaik memunculkan diri di permukaan, seperti mereka dengan aksi sekilas yang kemudian menjadi bahan perbincangan hampir semua orang di kampus. Ah, aneh-aneh saja...
No comments:
Post a Comment