beberapa waktu lalu dalam sebuah bedah buku bertajuk "revolution of microfinance" terjadi sebuah paradoks yang luar biasa. setelah seluruh pembedah memaparkan materinya, diadakanlah sesi diskusi.
seorang dosen meminta waktu untuk menguraikan pendapatnya. sekilas tak ada keanehan, ini jika melihat respon peserta diskusi yang lain. tapi bagiku, itu keanehan, respon peserta lain adalah keanehan pula bagiku.
begini ceritanya. dalam memulai argumennya ia memaparkan aktivitasnya sebagai konsultan dari ADB (asian development bank) dan Worldbank dalam proyek pengentasan kemiskinan. ia memaparkan bagaimana ia melaksanakan proyek itu, (parahnya lagi) ditambah dengan jumlah honor yang diterimanya. rentang waktu pelaksanaan poryek itu lumayan lama. sejak tahun 1990-an. berarti jika dihitung, proyek yang ditanganinya telah berjalan sekitar sepuluh tahunan.
yang aneh bagi saya adalah bahwa kemiskinan dipotretnya dari sisi data kuantitatif semata. miskin berarti tidak memiliki penghasilan tetap, lantainya tidak bersemen, dan tidak makan nasi. keanehan lain, ia seperti berbangga dengan profesinya sebagai konsultan untuk masalah kemiskinan tanpa merinci apa yang telah ia lakukan.
kondisi ini sebenarnya jamak dalam lingkungan akademik, terkhusus yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan para akademisi. proyek ini kemudian melahirkan mental-mental proyektor, dimana orientasi penyelesaian program menjadi utama tanpa memperhatikan proses dan bagaimana hasilnya diimplementasikan.
perdebatan soal ini sebenarnya pula telah lama berlangsung. namun saya tidak tertarik membahas itu. yang saya pikirkan, kenapa kemudian kemiskinan seolah menjadi komoditas yang sangat marketable. semua orang seperti berlomba untuk memanfaatkan momen miskinnya orang lain untuk memperkaya diri.
tak ada upaya yang serius, ini jika indikator kemiskinan BPS yang kita jadikan rujukan, untuk membantu mereka. bukankah kemiskinan sebenarnya lebih pada keterbatasan akses yang mereka miliki? nah, akses inilah yang seharusnya dibuka dan diupayakan untuk diperbanyak. jika model penyelesaian kemiskinan seperti tadi yang tetap ditempuh, rasanya akan makin banyak orang yang berdagang kemiskinan, entah dengan mengobral atau menjuualnya dengan eceran ataupun partai...
No comments:
Post a Comment