Makassar, sebagaimana kota-kota besar lainnya seperti tak ingin ketinggalan untuk dikatakan modern. Maka untuk mendukung itu semua, segala hal yang berhubungan dengan “modern” kemudian dibangun. Mal, hotel berbintang, pemukiman mewah, lapangan golf, (sebentar lagi) apartemen, jalan layang dan tol, semuanya demi memenuhi syarat untuk disebut modern.
Modernisme kerap disimbolkan pada perubahan dalam berpenampilan. Masyarakat bisnis terbilang modern jika aktivitasnya turut ditunjang trend pemenuhan gaya hidup.
Mal, hotel berbintang yang sudah ada dirasa belum cukup untuk memuaskan nafsu belanja masyarakat kota ini yang memang terkenal “royal”, meski kondisi ekonominya pas-pasan. Citra, harga diri dan ego sambung menyambung menjadi satu. Tak heran jika beberapa produsen melakukan peluncuran pertama produk atau menjadikan Makassar sebagai target pasar yang potensial.
Di beberapa jalan yang dianggap strategis sering kita temui papan pengumuman yang menjelaskan bahwa disitu akan berdiri sebuah bangunan. Media pun memblow up-nya dengan memberikan predikat-predikat mencengangkan. Gedung terjangkung, pusat perbelanjaan terbesar di kawasan timur dan lain sebagainya.
Pembangunan gedung dan pusat perbelanjaan itu tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Belum lagi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Memang tak bisa begitu saja menafikan implikasi positifnya seperti peningkatan PAD dari pajak dan retribusi, dan (mungkin) akan memberikan kontribusi bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Tapi haruskah pertumbuhan dan peningkatan pendapatan itu mengorbankan sektor lainnya?
Penyimpangan-penyimpangan tata ruang, misalnya, seperti perubahan peruntukan kawasan dari residen area menjadi bisnis area hingga pemasangan papan-papan reklame di sembarang tempat, membentuk preferensi masyarakat bahwa pemerintah kota/kabupaten (pemerintah daerah) bisa melakukan apa saja, walaupun hal itu melanggar aturan yang telah mereka buat sendiri.
Tengok kemudian fenomena kemacetan yang mulai “akrab” dengan keseharian masyarakat kota ini. Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tidak dilengkapi dengan peningkatan infrastruktur pendukung seperti jalan dan trotoar. Akibatnya kemacetan pun tak terhindarkan. Belum lagi pembangunan yang menyita lahan-lahan hijau (green space) tak kemudian digantikan dengan penanaman kembali pohon. Ringkasnya, pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Gedung dan pusat perbelanjaan yang ada tentu saja akan menyita ruang publik yang selama ini ada. Pembenaran pun kemudian terlontar dari pemerintah kota dan “didukung” para ahli yang menyatakan bahwa mal dan pusat perbelanjaan yang dibangun toh menjadi pengganti ruang publik itu.
Memang jika diperhatikan sepintas maka mal dan pusat perbelanjaan itu menjadi ruang publik dengan asumsi bahwa siapa pun dapat masuk dan terlibat di dalamnya. Namun sebagaimana di kota-kota besar lainnya mal dan pusat perbelanjaan itu tak lebih dari kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif.
Namun benarkah semua dapat menimatinya? Maaf, jika Anda datang ke mal dengan penampilan kere maka siap-siaplah diusir dengan dalih merusak pemandangan dan citra atau paling parah akan dicap akan ngutil hingga Anda akan diikuti terus oleh security.
Masalah lahan parkir dari mal dan pusat perbelanjaan itu juga menarik disimak. Ruang parkir itu menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota. Tak bisa diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Yang juga perlu didiskusikan secara dialogis adalah mengenai tata ruang yang selama ini selalu ditetapkan oleh pihak pemerintah. Mengenai masalah tata ruang, para birokrat umumnya menjawab secara klasik bahwa penyusunan master plan sudah dirumuskan oleh tim ahli yang tak perlu lagi mengikutsertakan warga, karena tim ahli lebih banyak tahu dibandingkan masyarakat. Dalam perspektif lain, pihak pemerintah kota selalu beralasan bahwa mereka telah menyertakan masyarakat dalam setiap perencanaan kebijakan pembangunannya.
Akibatnya, masyarakat akan dengan terpaksa menerima program-program pemerintah karena hal itu sudah menjadi peraturan daerah yang harus dilaksanakan. Dan bila mereka melanggarnya, maka warga akan ditertibkan oleh aparat pemerintah daerah melalui berbagai macam cara, bila perlu dengan cara-cara kekerasan.
Bagaimanapun memang perlu keseriusan dan komitmen, terutama dari pemkot yang didukung provinsi.
Penyiapan mental tidak saja dilakukan kepada masyarakat, tetapi terutama pada seluruh aparat, sampai tingkat pelaksana lapangan yang paling bawah. Sifat, sikap, dan komitmen birokrasi yang dewasa dan demi kepentingan publik menjadi krusial di tengah masyarakat kita yang masih paternalistis.
Penyertaan masyarakat atau menyertakan partisipasi publik dalam setiap kebijakan, khususnya pengelolaan kota sudah saatnya untuk direalisasikan. Cara-cara atau pembahasan terbuka, di luar DPRD, juga sudah saatnya pula dihidupkan. Karena dengan dihidupkannya mekanisme-mekanisme di luar parlemen, sebuah kebijakan perkotaan tidak akan lagi berwarna elitisme semata, sebagaimana yang kerap terjadi.
Tentu saja, dengan harapan bahwa kebijakan yang diambil akan berorientasi pada terlindunginya hak dan kepentingan publik, yaitu bermuara pada terjaminnya rasa aman, nyaman, dan ketenangan serta penghargaan kepada masyarakat saat berada di ruang publik.
Mengapa Makassar tidak berusaha membuktikan diri menjadi pelopor di bidang ini?
No comments:
Post a Comment