Thursday, May 19, 2005

Memperbaiki Citra Kota

Image hosted by Photobucket.com

Beberapa waktu lalu pemerintah daerah Makassar, melakukan sebuah gebrakan yang sangat positif dengan mewajibkan seluruh hotel dan biro perjalanan menjadikan markisa sebagai welcome drink dan bingkisan bagi tamu-tamu mereka. Upaya ini tentu saja merupakan langkah maju untuk membangkitkan citra kota dan daerah setelah selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk kekelaman akibat kisruh politik, ekonomi dan sosial.

Gebrakan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Ketika nama Ujungpandang digantikan Makassar sebenarnya merupakan sebuah upaya rebranding dan repositioning dengan harapan pencitraan yang lebih baik. Bahwa nama Makassar, tidak terbatas pada nama saja, tetapi juga mencakup identifikasi bahasa, suku, budaya, dan kerajaan (Kerajaan Makassar) sedangkan Ujung Pandang hanyalah sebagian kecil dari Kota Makassar (Ujung Pandang berada di dalam Makassar).

Masalah rebranding dan repositioning bukan hanya dilakukan pada produk atau merek dagang sebagaimana banyak dinikmati masyarakat. Sebuah negara atau daerah pun juga perlu (dan dituntut) melakukan langkah serupa untuk memperbaiki citranya. Para marketer menganggap Indonesia perlu melakukan hal itu setelah memperoleh citra kurang menguntungkan menyusul maraknya kasus KKN, teror bom, demonstrasi dan sebagainya.

Kampanye untuk memulihkan citra ini bukannya tidak ada. Selain langkah-langkah sebagaimana disampaikan di atas, pihak pemerintah pusat dan daerah juga telah mengupayakan agar bangsa ini lebih menghargai produk dalam negeri. Masih kita ingat juga bagaimana kampanye cinta rupiah dulu dilakukan ketika krisis moneter mencapai puncaknya yang ditandai dengan “jatuh bebas”nya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Taktik pemasaran untuk memperbaiki citra ini bukan hal baru. Singapura dengan uniquely Singapore, Malaysia dengan truly Asia, Korea dengan Hi Korea, sudah melakukan hal serupa. Atau di Indonesia sendiri beberapa daerah telah melakukan hal serupa. Ambil contoh Yogyakarta dengan Never Ending Asia, Jakarta dengan Enjoy Jakarta, tak hanya lewat logo. Taktik rebranding dan repositioning ini dilakukan dengan menggelar berbagai event. Mulai dari lomba foto, melukis, seminar Internasional dengan tema rebranding the nations hingga konser musik. Termasuk dengan memanfaatkan media sebagaimana Malaysia dan Thailand yang memasang iklan dari ESPN sampai MTV, dengan target yang berbeda tentunya.

Sebenarnya upaya rebranding tanpa disadari sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Yakni, ketika pemilu legislatif dan presiden serta wakil presiden dilaksanakan secara langsung. Meski banyak pihak meragukan, termasuk dengan meramalkan akan banyak timbul konflik, namun sebagaimana diketahui bersama tak ada konflik yang betul-betul mengganggu. Bahkan beberapa negara memberikan apresiasi positif dengan menilai bahwa ini adalah sebuah prestasi yang luar biasa dan tak ada satu negara pun yang memiliki pengalaman serupa. Hal ini tentu saja merupakan upaya rebranding dan repositioning yang sangat positif di tengah buruknya citra birokrasi Indonesia.

Memperbaiki brand yang rusak
Yuswohadi, pengamat manajemen dari MarkPlus melalui tulisannya yang dimuat dalam majalah Warta Ekonomi edisi Oktober 2004 lalu, melihat dalam konsep marketing places, dan marketing nations, brand sebagai 'nyawa' dari sebuah negara. Jika brand sebuah negara rusak, konsekuensinya tentu tidak akan diperhatikan oleh kalangan trader, tourist, dan tentu saja investor. Lebih berbahaya lagi bila potensi SDM-nya yang berkualitas hengkang, akan membuat negara menjadi rapuh, dan tidak memiliki daya saing. Bukan rahasia lagi bahwa banyak tenaga potensial Indonesia lebih memilih bekerja di luar negeri daripada di Indonesia. Belum lagi upaya-upaya pembajakan yang memang telah lama berkembang di kalangan bisnis untuk memperoleh sumber daya yang mumpuni.

Bahkan JW Yunardy menilai posisi brand Indonesia ini adalah ''bottom of all brand''. Pasalnya, Indonesia banyak menyandang predikat buruk. Seperti masalah korupsi, kemiskinan, gangguan keamanan, hukum, dan sebagainya. Langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun sistem, institusi dan kelembagaan yang berfungsi merencanakan, mengoordinasikan, dan mengimplementasikan upaya rebranding. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah, pengusaha, dan masyarakat luas.

Langkah kedua adalah membuat cetak biru strategi pemasaran, investasi, dan turisme yang menjadi acuan bagi upaya rebrand yang akan dilakukan secara keseluruhan. Cetak biru itu mencakup penyusunan brand character dan brand identity. Yuswohadi berharap kabinet pimpinan SBY ini akan memiliki program kampanye baru seperti Uniquely Singapore, Amazing Thailand atau Truly Asia milik Malaysia.

Sebenarnya, Indonesia pernah mengampanyekan Visit Indonesia Year pada 1991. Kampanye itu cukup berhasil karena bisa mendongkrak wisman hingga lebih dari dua juta orang. Namun, setelah krisis sampai kini jumlah wisman pun belum menggembirakan dan upaya brand building menghadapi banyak kendala.

Langkah ketiga, dan ini rasanya yang terpenting, adanya upaya untuk membangun kondisi dan iklim positif dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Hal ini memang berat, sebab didalamnya dituntut keseriusan luar biasa. Mulai dari membenahi infrastruktur hingga mental dari pelaksana atau aparat pemerintah dan masyarakat. Citra Indonesia yang tak pernah keluar dari lima besar negara terkorup adalah kampanye negatif, tentu saja untuk ukuran investasi asing. Bayangan akan muncul high cost economy yang timbul dari birokrasi yang memberatkan, adalah bayangan gelap bagi investor.

Belum lagi aparat birokrasi yang masih berpegang teguh pada pendirian “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”? Perbaikan terhadap citra buruk ini tentu saja tak hanya memberikan kampanye positif bagi investor, tapi juga masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat juga akan merasakan manfaat yang luar biasa, dan tentu saja diharapkan akan berimplikasi positif bagi perbaikan mental masyarakat. Kalau ini yang terjadi, maka tanpa dikomando sekalipun masyarakat akan menjadi marketer yang handal bagi investor dan wisatawan.

Lalu bagaimana dengan Makassar? Meski tak menafikan upaya-upaya rebranding dan repositioning yang dilakukan pemerintah daerah—yang kebanyakan hanya berorientasi kepada meningkatnya jumlah wisatawan—kita tentu berharap bahwa upaya rebranding dan repositioning juga memperhatikan perbaikan-perbaikan dalam hal pelayanan dan birokrasi, terutama bagi masyarakat Makassar sendiri. Sebab sekedar membuat jalan yang baik, hotel yang mewah dan bingkisan khas Makassar bagi para tamu tentu saja tak cukup jika masyarakat Makassar sendiri tidak pernah dibuat bangga akan kotanya. Upaya rebranding dan repositioning haruslah tetap menjadikan masyarakat Makassar sebagai subjek yang tidak dipandang sebelah mata.

Aga kareba Makassar?

No comments: