Monday, December 12, 2005
Sejam Bersama Soekarno
Demam selama lebih dua minggu membuatku khawatir. Namun setelah memeriksakan diri, termasuk cek darah, kekhawatiran terkena demam berdarah—yang lagi “booming” di Jakarta—akhirnya tidak terbukti. Tapi dokter tetap mensyaratkan untuk beristirahat total.
Berdiam diri di kamar adalah pekerjaan yang tidak begitu menyenangkan, apalagi hari ini Jiffest memasuki hari kedua. Setelah kemarin terlewat saat pembukaan, maka hari ini kuputuskan untuk pergi. Meski sebelum berangkat aku mewanti diri untuk menonton hanya satu film, setelah itu harus pulang dan melanjutkan istirahat yang tersela.
Sampai di TIM, pilihan film menjadi masalah selanjutnya. Begitu banyak film dan tentu saja semuanya menarik. Setelah membolak-balik buku petunjuk jiffest yang berisi paparan singkat dari masing-masing film maka kuputuskan untuk menonotn film dokumenter saja. Apalagi jenis film ini gratis untuk ditonton. Bukan gratis itu sebenarnya yang menjadi alasan utama, tapi melihat antrian panjang calon penonton di graha bakti budaya yang ingin menyaksikan film “bagus” dan tidak gratis membuatku berfikir ulang. Takut tidak kuat, apalagi di teater kecil tempat pemutaran film dokumenter tidak terlihat antrian yang luar biasa. Judul filmnya, “From the Cabinet of Des Alwi”. Film ini
Ini tentu sangat menarik. Ya, jika selama ini aku hanya kenal sejarah bangsa ini lewat pelajaran PSPB dan buku-buku sejarah, maka hari ini ada kesempatan menarik melihat visualisasinya.
Ruangan teater tidak penuh dengan penonton, mungkin film dokumenter tidak begitu menarik bagi mereka yang berselera hollywood. Atau bisa jadi karena filmnya yang tidak menarik, entahlah..Dan satu lagi, sekitar 70% penonton adalah orang asing. Dari beberapa pembicaraan panitia, kudengar mereka ini adalah mahasiswa dari australia dan inggris yang sengaja datang untuk jiffest yang ketujuh kalinya dilaksanakan ini. Sejenak kupikir, mereka mungkin ingin membuktikan apakah leluhur mereka benar imprealis atau malah hero bagi bangsa Indonesia. Yang spesial, Des Alwi sang pembuat dokumenter hadir untuk memberikan narasi bagi film yang memang lebih banyak sekedar visual namun tetap berbobot.
Sosok Des Alwi sendiri menurutku adalah festival tersendiri. Bagaimana ia dengan sangat detail masih mengingat gambar itu diambil tanggal dan bulan berapa. Termasuk bagaimana ia mendeskripsikan roman muka dari objek yang diliputnya. Kalau toh ada yang luput, seorang asisten yang duduk disampingnya siap membetulkan. Tapi sepanjang pemutaran, fungsi sang asisten tak lebih dari teman duduk manis dan lebih banyak menikmati sendiri tontonan.
Kembali ke film, ia menggambarkan kondisi bangsa ini sejak berusaha untuk merdeka hingga masa-masa sulit dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih. Yang lebih membuat menarik, film ini juga menggambarkan Soekarno apa adanya. Ya, inilah film dokumenter tentang presiden pertama republik ini. Meski dari judul ia berusaha mencitrakan gambaran tentang tokoh-tokoh bangsa yang lain—dan memang ada sosok Syahrir, Bung Hatta, Ahmad Yani, Oemar Dani, Nasution dll, tapi tetap saja itu dalam bingkai interaksi mereka dengan Soekarno. Ini dimungkinkan karena, salah satunya adalah bahwa Des Alwi, selain jadi wartawan dan diplomat, ia juga memiliki kedekatan dengan tokoh-tokh tersebut.
Menurutku, ada beberapa adegan yang cukup menggambarkan Soekarno “apa adanya”. Pertama ketika ia menandatangani perjanjian jual beli senjata dengan Cina. Saat itu memang dengan panji nasakom, Soekarno mencoba membangun aliansi dengan negara-negara penganut paham ini, salah satunya dengan Cina. Karena Indonesia dianggap sebagai negara yang sangat strategis, maka Cina kemudian memberikan bantuan senjata. Nah, film itu memberikan proses penandatanganan yang sangat Soekarno. Ketika ia telah selesai menandatangani berkas, Soekarno kemudian berpaling ke arah diplomat Cina yang menandatangani dokumen yang sama untuk bertukar. Tapi sebelum itu ia masih sempat ngupil dan tanpa membersihkan tangan atau menyembunyikan aktivitasnya itu, ia langsung saja berjabat tangan. Dari bangku belakang kudengar beberapa penonton asing ngakak sengakak-ngakaknya…entah apa yang mereka pikirkan.
Ada juga bung Karno dalam ekspresi kesedihan yang mendalam, ketika dengan paksa ia diperintahkan keluar dari istana. Bagaimana ia mengepak sendiri barang-barangnya, pun ketika ia membagi-bagikan dasi koleksinya kepada wartawan..tampak jelas ketegaran dan kebesarannya, meski dalam sejarah ia diceritakan pecundang. Ia pun dengan tetap mengumbra senyum memasuki istana bogor, tempat kemudian ia menjalani nasib sebagai tahanan rumah.
Bagi wartawan, Soekarno adalah sosok yang sangat dekat. Ia bahkan terkenal sering bercanda dengan mereka. Termasuk ketika diwawancarai oleh seorang wartawan, ia kemudian melihat ada sebungkus rokok dikantong baju sang wartawan. Tanpa sungkan dan seolah akrab, ia langsung saja mengambil rokok itu dan membakarnya. “enak juga rokok kamu”, hanya itu yang dikatakannya. Kecakapannya berbahasa inggris, belanda dan jerman, juga menjadi kekaguman tersendiri, paling tidak begitu kata Des Alwi mengutip komentar rekan-rekan wartawan yang bersamanya meliput kegiatan presiden.
Adegan yang lain menggambarkan sosok Bung Hatta yang sangat pemalu dan dengan sifatnya itu ia sering menjadi gugup. Ceritanya saat ia menghadiri pertemuan di Belanda, saat ratu akan menyerahkan kedaulatan Indonesia. Setelah menyampaikan pidatonya yang bagus, ia lupa untuk menjabat tangan sanga ratu yang sudah menyodorkan tangan. Des Alwi mengatakan bahwa saat itu bung Hatta gugup sekali sampai lupa menjabat tangan. Ia tahu karena bung Hatta sendiri yang cerita.
Lebih dari itu semua, film ini seperti menggambarkan sosok Des Alwi yang telaten dan sangat menghargai dokumentasi. Dalam pikiran beliau, mungkin terbersit bahwa sejarah, betatapapun kelamnya, ia harus dikekalkan. Bukan untuk dimaknai sempit dan menjadi primbon, tapi tempat dan ruang untuk belajar. Film ini—yang menampilkan Soekarno sebagai bintang—seperti menitip pesan tentang kekuasaan dan batas manusia. Dan Soekarno, hanyalah satu dari sekian pertanda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment