Harian ini selama beberapa hari memuat pendapat masyarakat melalui salah satu rubriknya mengenai Makassar yang dibanjiri oleh Mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya. Ada yang berpendapat bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun tak sedikit yang menyangsikan argumen ini. Alasannya bahwa kehadiran mal dan pusat perbelanjaan besar lainnya akan mematikan pedagang kecil yang ada di sekitar mal dan pusat perbelanjaan itu, secara khusus.
Ada dampak lainnya yang mungkin disadari namun tidak memperoleh porsi perhatian yang lebih. Sebab lazimnya ketika berbicara pembangunan, yang menjadi orientasi adalah keuntungan finansial. Dampak itu adalah makin minimnya ruang publik yang tersedia akibat menjamurnya mal dan pusat perbelanjaan, hotel dan perumahan (mewah).
Ruang publik dalam definisinya yang paling sederhana adalah sebuah space di mana orang boleh secara bebas datang dan pergi. Banyak definisi yang lebih rumit dan canggih, tapi mari kita batasi dengan batasan sederhana sebatas sebagai tempat bertemu, tempat berdagang, dan tempat lalu lintas. Berdasarkan ketiga fungsi ruang publik itu, Jan Gehl kemudian membuat klasifikasi kota menjadi empat kategori.
Pertama adalah kota tradisional, di mana fungsi-fungsi ruang publik masih melekat dan terfasilitasi dengan baik. Biasanya ini ditemui di kota-kota kecil di mana penetrasi kendaraan bermotor tidak terlalu besar. Kedua adalah kota terserbu (invaded city) di mana satu fungsi--biasanya fungsi lalu-lintas, dan itu pun lalu-lintas kendaraan pribadi--telah mengambil sebagian besar porsi space, sehingga tidak ada lagi ruang untuk fungsi yang lain. Di kota jenis ini, penduduknya tidak akan berjalan kaki karena keinginan, tetapi lebih karena keterpaksaan.
Ketiga adalah kota yang ditinggalkan (abandoned city) di mana ruang dan kehidupan publik telah hilang. Kota pun dirancang untuk mobil dan kendaraan bermotor lainnya, yang membuat banyak aktivitas yang tadinya dilakukan dengan berjalan kaki menjadi hilang. Di kota jenis ini, kehidupan penduduknya hanya beredar dari satu shopping mall ke shopping centre yang lain, yang untuk mencapainya tentu saja harus dengan menggunakan kendaraan.
Keempat adalah kota yang direbut kembali (reconquered city) di mana ada usaha yang kuat, baik dari pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat, untuk mengembalikan keseimbangan fungsi ruang publik Di sini akan kita temui program-program yang memberikan keleluasaan kepada pejalan kaki untuk berinteraksi satu sama lain.
***
Sejak Makassar Mall berdiri menggantikan pasar sentral yang dirasa sudah tidak “modern” maka kemudian bermunculanlah mal dan pusat perbelanjaan lainnya. Mal, pusat perbelanjaan, kompleks perumahan mewah, hotel dalam pembangunannya kemudian tentu saja membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Konsekuensi penggusuran lahan, penebangan pohon, sebagai contoh, adalah sebuah keniscayaan yang “terpaksa” harus diterima.
Meski formalitas menuntut adanya laporan dan analisis dampak dalam setiap proyek pembangunan, namun kenyataannya dampak buruk dari pembangunan itu sendiri tak juga teratasi. Kemacetan, kegersangan kota akibat minimnya pohon yang berfungsi sebagai “penyejuk” sepertinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kota ini. Belum lagi lahan kosong yang terpaksa “dikorbankan” (dengan dalih agar lebih bernilai) demi kepentingan proyek ini. Maka jangan heran bila di jalan raya yang padat dengan lalu lalang kendaraan kita mendapatkan anak-anak kecil yang bermain-main. Berbahaya? Ya, tapi apa mau dikata sebab tak ada lagi lahan kosong tempat mereka dapat bermain dengan bebas.
Ketiadaan ruang publik ini kemudian menjadikan masyarakat membuat ruang publik baru untuk segala aktivitas; ruang pseudo-publik, ruang yang seolah-olah berfungsi sebagai ruang publik, padahal sebenarnya bukan ruang publik. Maka ramailah tempat-tempat seperti shopping mall dan kafe-kafe yang saat ini menjamur pula di Makassar.
Lalu akankah Makassar akan kehilangan ruang publiknya? Arah ke sana sebenarnya bisa nyata kita lihat. Pembangunan mal dan pusat perbelanjaan, perumahan serta hotel belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti. Tengok pula saat ini berapa banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk memperluas akses kendaraan bermotor. Bandingkan dengan proyek revitalisasi bagi ruang publik, seperti taman kota, museum atau sekolah dan sarana olahraga.
Semua pihak tentu memahami betapa penting ruang publik ini bagi kehidupan warga. Tinggal masalahnya siapa yang harus berinisiatif. Lagi-lagi, kita semua perlu berinisiatif. Tetapi setidaknya kita menunggu Pemkot untuk berinisiatif dan bertindak nyata sebelum ruang publik yang tersisa kemudian habis akibat keserakahan segelintir pihak. Dan yang terpenting dalam bertindak itu pemerintah juga melibatkan masyarakat. Sebab sering terjadi moral dan afinitas kolektif pejabat publik selalu bertolak belakang dengan norma-moral dan afinitas kolektif masyarakat. Jika hal itu itu tidak dilaksanakan maka akan memunculkan ‘kekerasan struktural’ manakala pengelolaan kota tidak mengikutsertakan partisipasi publik.
Kalau toh Pemkot tetap tidak menjalankan fungsinya, maka seperti lagu perjuangan yang menggambarkan kekuatan rakyat melawan penjajah, saatnya kita untuk merebut kembali ruang publik yang dirampas. Mari bung rebut kembali...
No comments:
Post a Comment