Ini kali kelima ada orang yang menganggap saya orang India. Kali ini kawan dari Tanzania, setelah sebelumnya kawan dari Korea, Bangladesh, Pakistan dan India sendiri. Khusus yang India, sampai lebih dari dua orang. Apa karena saya mirip Saruk Khan atau karena kulit sawo yang kelewat matang khas asia? Yang lebih parah saat orang India sendiri yang mengira saya sekampung, sambil bertanya dengan bahasa India. Tak salah, saat itu saya jadi bingung sendiri, sambil menenangkan hati bahwa mereka tidak sedang mengejek saya. Sebelumnya pula, ada dugaan yang tidak terlalu buruk. Saya dari Philipina atau Thailand. Yah, ASEAN lah, skornya ga terlalu buruk untuk urusan tebakan.
Kasus saya mungkin masih mendingan. Teman dari Korea, yang dari tampang dan nama jelas khas Korea malah dianggap berasal dari Afrika. Ini kejadian saat ia mengurus SIM Inggris, mengalihkan status SIM Korea nya. Entah ini kesalahan pengisian form atau apa, yg jelas di SIM itu tertera asalnya dari Afrika. Terbukti, modern, teknologi tinggi, tak menjamin manusia menjadi lebih bercita rasa. Ini bukan soal rasisme atau upaya diskriminasi, tapi begitulah adanya.
Globalisasi, dari kaca mata bisnis dan ekonomi punya arti sederhana. Tidak ada batas, borderless, bahasa kerennya. Lupakan dulu definisi-definisi rumit dari scholar dan jurnal. Sederhananya ya seperti itu, ga terbatas. Dan ternyata, itu yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Tak ada batas, dalam arti bahwa tak terbatas upaya orang untuk mengira saya sebagai orang India. Tak terbatas pula upaya saya untuk menganggap diri sebagai Brad Pitt, meski untuk yang ini dijamin ga ada yang bakal percaya. Tapi yah, namanya juga usaha.
Atau, beberapa hari ke depan mungkin ada yang menganggap saya sekampung mereka di Shanghai. Siapa tahu…
1 comment:
orang indoanya nanya pake goyang-goyang kepala ga? hehehe...
Post a Comment