Monday, September 17, 2007

Berdamai dengan Interupsi

33 jam seminggu, begitu hasil riset Ac Nielsen soal berapa waktu yang kita habiskan menonton tipi. Kita? Kalau toh bukan saya, Anda, berarti ada orang lain yang punya 33 jam waktu untuk menonton. Bahkan ada yang menghabiskan waktu lebih lama menonton tipi ketimbang bekerja. Bisa jadi, orang itu menonton sambil bekerja, atau ia merupakan pegawai tim pengawas siaran tipi. entahlah, pokoknya kotak ajaib itu telah mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Apa arti angka ini? Taruh kata kita kerja 8 jam sehari, sebagaimana dicatat dalam kontrak kerja, maka hasil riset Nielsen itu menyebutkan bahwa lebih dari 4 hari dalam seminggu waktu kita habis untuk nonton tipi, dgn asumsi tdk mengerjakan pekerjaan lainnya. Like must always be compared with like, tapi ini sekedar analogy sederhana betapa banyaknya waktu yang diminta oleh kotak ajaib itu. Angka ini tentu menghkawatirkan sebagian kalangan. Mulai dari orang tua, pengamat dan praktisi pendidikan, ahli jiwa, sampai pada aktivis lingkungan.

Namun yang bahagia tentu tak sedikit jumlahnya. Pengiklan salah satunya. Tak ada hari tanpa kreasi mereka untuk sekedar mencuri perhatian dalam keseharian kita. Entah itu di kereta, billboard di jalan, bioskop, mall, hingga rumah ibadah. Praktis tidak ada tempat yang sunyi dari iklan atau upaya-upaya sejenisnya.

Beruntung saya bisa menikmati siaran BBC. Mengapa? Tak ada iklan sebagai jeda dalam setiap programnya. Siaran langsung sepakbola tim Inggris pun bisa ternikmati dengan nyaman., sebagai contohnya. Atau menikmati serial Heroes yang tak diinterupsi oleh iklan parfum Armani terbaru atau Volvo SUV keren, yang tentu saja tak cuocok buat kantong saya. Lalu, Darimana mereka dapat dana untuk segala operasionalnya? Mirip TVRI jaman dulu, selain dapat suntikan pemerintah, mereka juga narik dana dari masyarakat melalui TV licence, semacam iuran/pajak televisi.

Tapi bisakah kita lari dari pelbagai interupsi ini? Maaf, tak ada ruang yang zero interruption. Friedman menyebutnya sebagai the age of interruption, zaman gila yang penuh dengan beragam interupsi. Praktis tak ada hari tanpa email spam bagi pengguna email gratisan dari yahoo atau gmail. Menyebutkan Anda pemenang lotre berhadiah jutaan pound, meski tak sekali pun memeasang taruhan. atau email palsu yang meminta pembaca untuk berbaik hati meminjamkan rekening bagi harta rampasan perang dengan jumlah jutaan dollar dengan nama pangeran dari negara antah beranta sebagai pengirim.

Jangan pula berharap lepas dari sms iklan atau telepon berdering menawarkan ragam produk dan segala bujuk rayunya. Di depan flat saya, meski telah terpasang pengumuman bahwa pedagang keliling dilarang masuk, tetap saja ada yang berhasil curi-curi perhatian untuk sekedar menunjukkan brosur mereka. Atau dengan modus yang lebih elegan, menitipkan brosur kepada loper atau pak pos. Jadilah bank statement yang saya terima setiap bulannya selalu disertai dengan brosur pakaian renang atau tujuan wisata baru dengan tarif miring.

Sebenarnya begitulah mekanisme yang ada. Tak perlu rumit memahami teori pemasaran dan perilaku konsumen untuk tahu bahwa iklan dan segala macam interupsi itu juga memberi andil bagi kita, para konsumen. Dengan interupsi-interupsi itulah kita bisa mengenal produk dan apa saja yang bisa memuaskan hasrat dan kebutuhan kita. Hasrat dan kebutuhan? Ya, tak usah malu untuk menyadari bahwa kebanyakan belanja kita lebih untuk memuaskan hasrat ketimbang kebutuhan. Tak heran jika saya sering membeli barang yang tak jelas benar manfaatnya buat saya, toh tetap juga terbeli karena hasrat yang menggunung. Sementara kebutuhan utama sering terpinggirkan dengan beragam dalih. Sebuah interupsi yang menyenangkan, begitu kilah yang jadi umum.

Sekali lagi, berharap tak ada interupsi?

No comments: