“Cuma mengumpan kok ditepu’i kayak gitu”, teman saya berkomnetar saat bersama kami menyaksikan pre season friendly Aston Villa Vs Inter Milan di Villa Park beberapa hari yang lalu. Begitulah memang, apresiasi penonton dalam menyaksikan pertandingan sungguh luar biasa. Sepanjang pertandingan gemuruh tepuk tangan dan sorak-sorai terus saja menjadi atraksi menarik tersendiri selain pertandingan itu tentunya. Mengumpan tepat sasaran, habis nendang mengarah ke gawang—meski tak masuk hingga atraksi individual menawan, semua mendapat tepuk sorak yang membahana. Namun itu hanya berlaku sebagian besar untuk pemain tuan rumah. Lawan, tetap saja memperoleh terror yang pantas. Ibrahimovic, striker Inter yang saat itu tak tampil optimal harus rela di “booo” hampir separuh pertandingan. Aksinya yang sering jatuh tanpa sebab, membuat penonton tuan rumah menjadi gregetan—untuk tidak menyebutnya marah. Luis Figo juga bernasib serupa, akibat tindakannya mengusik keputusan wasit.
Tapi semuanya tetap dalam bingkai hiburan. Saya malah curiga pertandingan disini pakai scenario segala. Tak ada lemparan botol bekas, atau penonton yang lari mengeroyok pemain. Ini yang kemudian menjadi catatan penting dari keberhasilan industri bernama premier league yang konon merupakan liga terkaya dan berpenghasilan paling tinggi sejagat ini.
Sebagai industri, liga ini digerakkan oleh kreatifitas, termasuk dalam menjaring penonton. Karena tingkat mahasiswa internasional yang datang ke Inggris setiap tahun menunjukkan trend meningkat, maka strategi pasar klub-klub pun kini masuk kampus. Aston Villa, yang di liga termasuk klub menengah hampir selalu membuka stand penjualan tiket sebelum pertandingan regular dimulai.
Belum lagi program-program seperti stadium tours, valentine day at Villa Park, penjualan merchandise sampai kasino. Tak terbilang rupiah pemasukan klub dari kreasi-kreasi seperti ini. Itu baru klub-klub gurem atau menengah. Tentu ceritanya akan lain jika klub itu bernama Manchester United, Arsenal, Liverpool atau Chelsea.
Ada seorang mahasiswa asal Indonesia yang merupakan fans berat MU. Hampir setahun ia disini tiket yang dikoleksinya saat menonton pertandingan MU di Old Trafford sudah lebih dari 20 lembar. Ini termasuk liga regular, champion dan friendly match MU. Jika harga satu tiket pertandingan itu £35, maka duit yang dihabiskannya itu setara dengan sewa rumah 3 kamar tidur, termasuk biaya listrik, air, dan gas selama sebulan. Bonus? Ya, termasuk biaya makan selama sebulan di Inggris. Nah, jumlah orang seperti ini tentu tak sedikit. Mahasiswa asal Cina punya kegilaan luar biasa terhadap klub-klub Inggris. Mungkin liga utama Inggris ini salah satu alasan mereka memilih kuliah di sini.
Kembali ke teman saya itu, ia pun mengungkapkan sulit rasanya sepakbola Indonesia akan maju seperti yang ia rasa dan tonton kali ini. Saya menyanggahnya. Tak selalu fair membandingkan langit dan empang. Meski tak simpatik dengan PSSI yang dikelola tak ubahnya partai politik, tapi sepakbola Indonesia tuh punya bukti (sedikit dan sejenak) untuk bisa berkontribusi.
Jika ungkapan Pele yang pernah berkata bahwa “pada sepak bola, Anda bisa melihat kehidupan di dalamnya” bisa dipakai, sepakbola Indonesia rasanya memang menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Tapi bukankah dalam kehidupan ada juga peluang untuk maju? Perhelatan piala Asia kemarin semoga menjadi anak tangga pertama. Meski banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum kemudian berjejak ke anak tangga berikutnya. Tidak lagi pakai dana APBD salah satunya.
1 comment:
asik banget ya kayanya kuliah di inggris, bisa nonton liga inggris.. jadi ikut2an tergiur nih :p
btw, gmn ya caranya PSSI bisa dapet dana tapi ga lewat APBD? tampak sulit..
just FYI, di jabar (tahun lalu) subsidi untuk persepakbolaan ditingkatkan, dan sebagai imbasnya subsidi pendidikan dikurangi.
*poor Indonesia*
Post a Comment