Cerita tentang kehidupan individual di negeri ini sudah sering saya dengar. Wanti-wanti seperti ini juga yang banyak dilontarkan saat mengikuti training sebelum berangkat kesini. Yah tidak kenal ama tetangga lah, tak suka campur-urus perkara orang lain lah, hingga yang agak keren dikit, don’t put your foot on other’ shoes, sebagai nasihat mumpuni.
Namun kemarin, tepatnya minggu kemarin saya merasa perlu sedikit menata kembali pikiran sambil berucap syukur bahwa saya masih bisa punya tetangga. Contoh-contoh seperti yang terungkap diatas memang telah terjalani dengan baik. Namun yang ini, sungguh, tak sampai hati rasanya. Menjadi individu yang merdeka tentu punya resiko, tapi tetap saja, ada “rasa” yang hilang dari hidup itu sendiri. Kesadaran seperti ini sebenarnya sudah banyak dilontarkan. Dalam beberapa kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden (salah satunya Bush) di negara maju, kampanye untuk mengembalikan peran keluarga dan masyarakat sebagai kekuatan makin nyaring disuarakan. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.
Tetangga yang tinggal tepat diatas flat (lantai 6) kami meninggal. Parahnya, tubuh layunya ditemukan setelah seminggu lebih ia menghembuskan nafas terakhir. Itu pun berkat spekulasi Martin, si loper koran yang mencium bau menyengat saat mencoba memasukkan koran melalui lobang
Operasi polisi ini praktis diam dan tanpa pelibatan tetangga. Buktinya, tetangga lain yang tinggal selantai dengan ia yang meninggal dunia pun tak tahu. Saya, istri dan teman serumah pun mengetahuinya dari cerita Martin, yang memang dekat dengan kami. Saat turun ingin keluar flat, ia melonjak dan kaget mendengar bunyi pintu kami buka. Rupanya bayangan buruk sejak ia mencium bau menyengat itu belum juga pergi. Awalnya ia tak mau berbagi cerita. Tapi setelah didesak, akhirnya ia pun menuturkan cerita itu, dengan catatan tak usah membagi cerita ke tetangga yang lain. Mungkin agar tak mengganggu stabilitas, begitu pikir saya.
Sehari setelah persitiwa itu pun, tak ada reaksi luar biasa. Bahkan, saya menjamin tidak banyak penghuni yang tahu. Kami memang tidak dekat dengannya, bahkan cuma sesekali berpapasan dengan tetangga itu. Tapi tetap saja, ada rasa yang mengganggu. Sebagai tetangga, tentu tak sekedar urusan "elok" jika memilih melibatkan diri, atau sekedar khawatir.
Oh yah, gedung tempat kami tinggal ini berisi flat yang kebanyakan penghuninya adalah pensiunan. Banyak diantara mereka malah tinggal sendiri, tidak ada keluarga dan anak. Mungkin karena tak ingin dianggap durhaka, anak mereka kemudian memilih menyewakan flat ketimbang membawa orang tua mereka ke panti jompo. Nasib yang sama menimpa tetangga yang meninggal itu. Ia sendiri, tidak ada sesiapa yang menemani.
Di negeri ini, teknologi dan masa depan sama tidak jelas ujungnya, kalau toh ia pas untuk disandingkan. Smartphone hari ini, akan menjadi purba dalam rentang tak terlalu lama dan tergantikan dengan sesuatu yang baru. Kita jadi tak bisa membayangkan, bagaimana akhir dari gerak maju teknologi ini. Hidup juga begitu, tua dan kematian seperti suatu yang tak tergambar. Banyak nilai yang kemudian tergantikan. Lalu, dimanakah kenikmatan hidup yang dicita-citakan itu?
Kembali, saya harus mengucap syukur..
No comments:
Post a Comment