Tuesday, May 15, 2007

Melihat Perang dari Kacamata Bisnis

Dangerous places can be hugely profitable, begitu pameo orang bisnis dalam meyakinkan diri. Ya, setiap bahaya selalu menyiratkan keuntungan luar biasa, tentu bagi mereka yang memiliki cara pandang berbeda melihat perang, misalnya. Baghdad Business School, sebuah buku yang menyajikan bagaimana pertaruhan masa depan dari seorang manajer bersama sebuah nama besar dalam bisnis logistik. Ini sebenarnya buku lama (ditulis tahun 2004) dan saya beruntung mendapatkannya dengan harga murah (£0.01) dari sebuah marketplace di Amazon.

Setiap kita tentu melihat Irak dengan perangnya adalah tempat yang tidak “sehat” untuk berbisnis. Semua prasyarat normative tak dimiliki negeri itu, saat perang berlangsung, tentu. Keamanan, stabilitas, infrastruktur, dan sederet indicator lain adalah mustahil untuk terpenuhi sejak amerika yang gila perang itu menginvasi Irak.

Tapi bagi orang seperti Heyrick Bond Gunning, perang adalah tantangan dan jika berdamai dengannya kita bisa, kesuksesan adalah ganjaran setimpal untuk sebuah kenekatan.

Terlepas bahwa alasan ekonomi juga menjadi pendorong bagi Bush untuk mengirimkan ribuan tentaranya ke Irak, banyak kalangan bisnis yang melihat apa yang tidak dilihat oleh mata kebanyakan. DHL, salah satunya. Perusahan logistic terbesar di dunia ini melihat peluang yang tidak kecil. Tentu, mereka tak sekedar bertaruh selayaknya taruhan pacuan kuda atau pertandingan premiership di William Hill. Jadilah reputasi DHL sebagai perusahan logistic terbesar bertemu dengan Irak, one of the world’s most inhospitable markets.

Heyrick mungkin tak cukup bagus jika buku ini diniatkan sebagai sebuah catatan perjalanan yang dalam. Namun buku ini juga menjadi bagus sebagai sebuah catatan diluar mainstream ilmu bisnis yang sangat mengagungkan stabilitas. Tiap chapter dari buku ini pun coba mem”bisnis”kan diri. Maka judul seperti “developing a business plan”, “first mover advantage” atau “risk management” menjadi pembuka dari setiap bagiannya.

Ia bercerita tentang dilema saat ia ditawarkan merintis DHL di Baghdad. Padahal, ia telah mapan dengan profesinya di perusahaan jasa keuangan, Mergermarket. Akhirnya ia pun memilih tantangan DHL dan langsung berangkat selang beberapa hari setelah ia pulang liburan. Untungnya, pengalaman sebagai tentara ia miliki dan tentu saja berharga di tempat seperti Baghdad yang mencekam saat itu. “It was a chance to do something potentially life-changing”, begitu ia menghibur diri.

Singkat cerita, dalam kurun beberapa bulan armada DHL makin bertambah banyak dan Heyrick pun membawahi lebih dari 30 karyawan. Sebuah pencapaian luar biasa dalam lingkungan yang tidak biasa. Strategi yang diterapkan pun sebenarnya standard saja. Berkawan dengan tentara, mengincar pasar diplomatic dan kedutaan, serta melacak jejak bisnis baru yang bakal muncul.

Cerita menarik ia sajikan tentang bagaimana pekerja Irak yang harus bolak-balik bandara untuk mengurus logsitik dan ternyata belum pernah sekalipun menginjak bandara. Tercatat pula bagaimana orang-orang Irak itu dibayar rendah ($300/bln) namun masih sempat pula berhias dengan kalung dan cincin emas. Bagaimana pula ia harus berkawan dengan wartawan dan mencoba mengambil peran dalam kerja-kerja NGO hanya untuk mendapatkan informasi keamanan.

Hambatan dan kesulitan bukannya tidak ada. Namun begitulah bisnis besar dibangun. Google, Microsoft, dan sederet nama-nama besar dalam dunia bisnis tak lahir hanya dari proposal dan sekedar “berusaha”. Ada mission impossible yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum mendapatkan saham mereka menjadi rebutan di bursa.

Perang Irak kini memang belum ada tanda akan berakhir. Namun Heyrick tentu telah mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari sekolah bisnis bernama Baghdad. Saya tidak telalu heran, jika kemudian ia memang ternyata merupakan satu kesatuan dari paket “let’s rescue Iraq dari pasukan kolisi pimpinan Amerika. Tapi pelajaran bisnis yang dibaginya, tetap sungguh berarti.

No comments: