Tuesday, December 25, 2007
Ini soal Ide, Bung
Ini hanya sebuah contoh tentang bagaimana facebook, telah menjadikan 2007 sebagai tahunnya. Tak hanya sekedar social network belaka, tapi facebook telah menjadi sebuah instrumen monumental tentang kekuatan ide dan kesanggupannya memberi materi yang luar biasa banyaknya. Tak percaya? Tanyalah Mark Zuckerberg, CEO Facebook, yang kemudian menjadi CEO termuda dengan kapitalisasi lebih dari milyaran US dollar. Ditaksir Yahoo, Google dan Viacom, tak membuatnya goyah. Facebook kemudian menjadi saingan tersendiri bagi Google, di jagat maya dan jagat modal.
Lalu apa kaitan ini semua? Ide, teknologi, dan kerja keras, tentunya, telah membuat beberapa orang (tentu tak banyak) menjadi luar biasa ketimbang yang lain. Dalam jagat bisnis, kemampuan seperti ini yang kemudian dikatakan lebih berharga ketimbang pabrik berhektar-hektar dan mesin bergulung-gulung. Orang-orang dengan talent dan skill yang luar biasa pun kemudian diperebutkan. Talent Management, meski bukan sesuatu yang baru, terus dikampanyekan dan dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Tujuannya tak lain untuk meningkatkan value dari perusahaan. Dalam laporan keuangan persuhaan, mereka termasuk dalam kelompok intagible assets. Maka tak heran, perusahaan-perusahaan farmasi sekarang ini lebih banyak memiliki asset yang ber'hantu' ketimbang pabrik. Mereka lebih memilih meng-outsource kan bagian produksi dan menjual licence kepada perusahaan lain.
Soal talent management sendiri, ide ini sebenarnya telah lama dikenal dalam dunia olahraga modern. Contoh sederhananya adalah LA Galaxy, klub sepakbola dengan prestasi biasa, tak dikenal di luar Amerika, menjadi luar biasa terkenal dan dikenal dengan masuknya Beckham. Jangan tanya soal penjualan merchandise, dan tiket pertandingan. Semuanya menunjukkan grafik yang meningkat. Membayar gaji miliaran rupiah per minggu buat bintang-bintang itu tetap saja tak berarti jika membandingkannya dengan apa yang klub dapatkan.
Kembali ke soal ide tadi, tahun depan pun kemudian diramalkan penuh dengan ide dan kreasi yang baru, dan Facebook pun kemudian menjadi sebuah pengalaman "tahun lalu". Website dengan beragam fitur dan penawaran pun kemudian ramai menjajakan diri, berharap keberuntungan serupa Ebay, Amazon, Facebook, Bizrate, dan lain-lain. Maka hadirlah etsy (www.etsy.com) yang meminjam konsep Amazon.com untuk barang kerajinan tangan, twitter yang seperti PDA yang punya kemampuan mem-push pesan, dan moshimonsters.com, facebook versi anak-anak dengan beragam game dan program edukasi.
Sekali lagi, kuncinya adalah ide dan kreasi yang biasa tapi terkemas luar biasa, begitu selalu yang didengungkan. Itu pula yang akan kita dapat saat membali-balik halaman autobiografi dari person-person ini. Persoalannya, mengapa yang namanya kreatif, menarik, selalu ditentukan dari sono? Oh yah, saya lupa. "Kreatif" ini juga kan bukan sesuatu yang gratis?
Thursday, November 22, 2007
Breaking News
Menyaksikan kesebelasan ini bertanding, yang menarik bagi saya malah komentar dari komentator dan running text di tipi tentang furstasi pendukung Inggris. "No passion, no soul, no determination", kata Alan Shearer sang komentator. "Devastating", kata Ian Wright, rekan tukang koment lainnya. Gary Lineker, berkelakar bahwa summer depan ia bisa berlibur dengan tenang sebab tak ada tim Inggris di piala eropa.
Kekalahan ini menjadi sebuah "Breaking News" yang mencuri perhatian pemirsa dari fokus kehilangan data di salah satu kementrian pemerintah Inggris. Tak terbayang bagaimana koran-koran Inggris esok hari mencaci pelatih dan pemain mereka. Apalagi pers Inggris terkenal dengan kritiknya yang tajam, dan panjang, membuat orang yang membacanya pun tertular amarah saja rasanya. Setidaknya mereka (harus) belajar. Bintang besar dan kompetisi yang luar biasa, tak memberi garansi bagi tempat terhormat di daratan eropa.
Bagaimana dengan PSSI? Ah, bukankah yang satu ini memang tak punya niat untuk belajar? Sudah gitu, keras kepala pula. Apa kata dunia???
Thursday, November 15, 2007
Geography
Analisis dari riset ini kemudian menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa mereka buruk dalam ber-geography adalah tingginya tingkat kunjungan anak-anak ke pusat pertokoan dan game centre. Dua tempat ini adalah tempat favorit mereka. Museum dan public library berada di deretan bawah. Meski masuk dua tempat itu gratis, survey ini menemukan bahwa keduanya tak semenarik mall dan game centre, tempat mereka berbuai mimpi.
Saya lalu membayangkan Makassar, dan Indonesia pada umumnya tempat dimana mall bisa hadir sesuka hati. Ia hadir di dekat kampus, sekolah atau bisa tepat di dekat pasar tradisional. Tak peduli pasar tradisional itu kemudian mati tak terurus, kemacetan lalu lintas dan sakit sosial yang ditimbulkannya. Saya tak anti mall. Sungguh, saya juga menyukainya. Menyukai etalasenya yang tak henti menjajakan mimpi. Baiklah, saya juga sering ngopi dan beli buku disana. Tapi tak jadi aktifitas rutin, sesekedarnya saja.
Ponakan saya yang masih sekolah menengah sudah tak terpisahkan dengan mall. Janjian ama teman di mall. Beli baju tak mau lagi kalo bukan di mall. Jangan tanya soal makan, segala franchise dan warung yang ada semua sudah dicoba. Tak ada lagi tempat untuk sekedar berniat ke pasar batangase--di dekat rumah--yang becek itu. Meski beberapa kali saya katakan padanya, pasar itu adalah surga makanan enak. Semuanya serba segar dan mengenyahkan. Soal hygiene atau tidak, toh terbukti saya hingga kini baik-baik saja. Apa jawabnya? Gaul dikit dong, paman..
Saya belum sempat konfirmasi kemampuan geographynya. Satu sisi saya juga mengerti gejolak muda dan segala tetek bengeknya. Mengekang itu tak meluruskan, malah bisa jadi makin membuatnya bengkok tak berbentuk. Tapi tetap saja ada rasa khawatir (ini khas orang lebih tua yang sok tahu). Semoga saja berbanding lurus dengan kegenitannya ber-gaul ria. Atau jangan-jangan dia malah lebih tahu bahwa air terjun tertinggi itu ada di Venezuela?
Ah, makin sok tahu saja saya rasanya..
Friday, October 12, 2007
Eid Mubarak
Nantilah, setelah lebaran usai kita berkumpul agar esok mungkin bisa kita cari waktu sembahyang yang sama dan tak membingungkan.
Selamat Idul Fitri 1428 H.
Maaf lahir bathin dan segala apa yang tidak menyenangkan.
Thursday, October 11, 2007
Kita berteman
Entah karena kuliah business ethics yang tidak menarik baginya atau sang dosen yang memberi presentasi seadanya, ia pun asyik membuka-buka halaman account facebook melalui handphonenya. Kawan ini duduk tepat di sebelah saya. Setengah berbisik, kukakatakan padanya untuk tidak menghabiskan waktu dengan facebook. Lagi, ia kembali nyengir. Facebook, benci tapi rindu.
Begitulah, social network seperti facebook, friendster yang spesialis benua
Dengan network-network ini, saya bisa memiliki teman yang banyak. Teman yang bisa lebih saya kenali ketimbang teman beneran yang bersama kami banyak menghabiskan waktu.
Friendship? Wah, paradigma berteman dan berkawan kini sudah berubah, sobat. Teman dalam kenangan dan kenyataan kini beradu dalam ruang maya yang makin tak terbatas. Tapi apakah ini kemudian bebas dari kritik? Di koran Financial Times edisi weekend kemarin dalam rubrik konsultasi bisnis ada seorang karyawan yang ‘curhat’ soal dilemma yang dihadapinya. Bos di kantornya mengirimkan ‘aplikasi’ permohonan untuk menjadi kawan di facebooknya. Ia ragu luar biasa untuk mengklik ‘confirm’ sebagaimana presedur standard berteman ala facebook. Kebayang jika sang bos ternyata tahu ia suka keluar malam menikmati pengalaman dari satu pub ke pub yang lain. Tak tahan juga ia jika sang bos melihat foto usilnya ‘mengerjai’ inventaris kantor. Dalam rubrik ini meminta saran, apakah ia menerima atau menolak permintaan ‘berteman’ dari sang bos. Bagaimana pula dengan konsekuensi jika ia kemudian memilih untuk menolak?
Seorang lainnya menulis betapa facebook telah melampaui apa yang ia harapkan. Tak habis pikir ia harus merespon tawaran poke, tattoo, dan bermacam aplikasi dari facebook yang dikirimkan ‘teman-teman’ mayanya. Ia mengeluh betapa over aggressive nya proses berteman di social network. Saya juga sebenarnya mengalami hal yang sama. Poke, tattoo, aquarium, dan aplikasi-aplikasi lainnya dari facebook, membuat saya jadi tak mengerti tentang facebook. Dasar gaptek dan tidak punya banyak waktu mengamati dan mendalami, request-request itu menumpuk tanpa pernah saya jamah. Selain tak mengerti, sekali lagi, niat saya emang cuma menambah account di social network yang lagi trend. Soal teman baru yang sedikit beda dengan account lain, itu bonus. Popularitas saya sebagai orang yang kenal dan dikenal banyak orang pasti akan terdongkrak. Oh yah, popularitas, itu mantranya.
Tengok betapa kandidat calon presiden di Amerika
Saya percaya bahwa social network ini punya nilai positif juga. Saya akhirnya bisa bertemu (paling tidak di dunia maya) dengan seorang kawan lama yang kini ada di
Desakan untuk junta militer di
Maukah Anda jadi teman saya?
Saturday, September 29, 2007
Tak sekedar Lapar
Di time edisi online ada link menarik. Photos of the week, berisi foto-foto tentang ramdhan.
Menahan lapar dan haus serta tidak berhubungan dengan pasangan, begitu yang biasa kita memaknai puasa. Sesederhana itukah?
Kata seorang imam, ketiga aktifitas halal yang ditahan itu hanyalah katalisator dalam jejak langkah kita mengisi ramadhan.
Soal korupsi misalnya. Data tranparansi internasional menyebutkan bahwa deretan pertama negara-negara terkorup di dunia justru adalah negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi.
Salahkah agama? Tentu tak elok jika agama kemudian menjadi sasaran tembak dari semua ini. Yang keliru mungkin adalah konsep keberagamaan dan bagaimana agama dilihat dalam perspektif kekinian. Dalam beberapa hal, ada tentu bagian yang tidak bisa digugat dan sebab itulah keimanan berarti percaya. Namun tak berarti tak ada ruang untuk, katakanlah ‘meninjau kembali’ konsep beragama.
Dalam kitab suci, tak sedikit ayat yang mengingatkan untuk berbuat adil, peduli terhadap sesama, dan bersikap jujur. Yang jadi soal, adalah peletakan kesalihan dalam konteks ritual dan dalam tampilan yang cenderung jauh dari esensi ibadah dan saleh itu sendiri. Tak heran jika kemudian terjadi reduksi besar-besaran akan ibadah. Kesalihan kemudian menjadi domain individu dan tidak pernah ditekankan untuk muncul dan berkembangnya kesalihan social. Lebih utama rasanya memperbincangkan pahala dan timpalan api neraka ketimbang berkutat dengan korupsi biaya KTP dan sogok-menyogok polisi dan masyarakat saat terkena tilang. Tak pernah pula kita dengar tokoh agama bereaksi terhadap penggusuran, ketimpangan social atau korupsi dalam masyarakat.
Kemegahan juga kian mewarnai kehidupan beragama. Tak habis pikir rasanya sebuah kabupaten seperti Maros, tempat saya menghabiskan banyak umur saya, lebih membangun sebuah mesjid megah berbilang milyar namun masyarakatnya masih banyak yang kesulitan makan. Di Kalimantan timur malah kabarnya mesjid dibangun dengan biaya yang bisa dipakai untuk membuat banyak sekolah dan madrasah. Ini mungkin wujud kecintaan terhadap agama. Tapi segitu parah dan kelirukah cinta itu dijewantahkan?
Menjelang ramadhan, fokus utama justru pada penutupan tempat-tempat hiburan. Rasionalisasinya adalah keinginan untuk menghormati ramadhan. Tak jarang penutupan paksa bahkan penghancuran satu tempat menjadi aksi reaksioner terhadap ajakan dialog yang sebenarnya bisa lebih dikedepankan.
Lalu, akankah individu yang salih mendapatkan berkah ramadhan? Bagi saya, kesalihan dan keimanan haruslah termanifestasi dalam ruang kehidupan yang lebih nyata. Ibadah, kesalihan, haruslah disertai pengorbanan. Jika tidak, yang lahir hanyalah hamba salih yang egois. Pengorbanan untuk sesama, itu yang masih langka. Saya pun rasanya masih demikian. Celakalah saya…
Monday, September 17, 2007
Berdamai dengan Interupsi
Apa arti angka ini? Taruh kata kita kerja 8 jam sehari, sebagaimana dicatat dalam kontrak kerja, maka hasil riset Nielsen itu menyebutkan bahwa lebih dari 4 hari dalam seminggu waktu kita habis untuk nonton tipi, dgn asumsi tdk mengerjakan pekerjaan lainnya. Like must always be compared with like, tapi ini sekedar analogy sederhana betapa banyaknya waktu yang diminta oleh kotak ajaib itu. Angka ini tentu menghkawatirkan sebagian kalangan. Mulai dari orang tua, pengamat dan praktisi pendidikan, ahli jiwa, sampai pada aktivis lingkungan.
Namun yang bahagia tentu tak sedikit jumlahnya. Pengiklan salah satunya. Tak ada hari tanpa kreasi mereka untuk sekedar mencuri perhatian dalam keseharian kita. Entah itu di kereta, billboard di jalan, bioskop, mall, hingga rumah ibadah. Praktis tidak ada tempat yang sunyi dari iklan atau upaya-upaya sejenisnya.
Beruntung saya bisa menikmati siaran BBC. Mengapa? Tak ada iklan sebagai jeda dalam setiap programnya. Siaran langsung sepakbola tim Inggris pun bisa ternikmati dengan nyaman., sebagai contohnya. Atau menikmati serial Heroes yang tak diinterupsi oleh iklan parfum Armani terbaru atau Volvo SUV keren, yang tentu saja tak cuocok buat kantong saya. Lalu, Darimana mereka dapat dana untuk segala operasionalnya? Mirip TVRI jaman dulu, selain dapat suntikan pemerintah, mereka juga narik dana dari masyarakat melalui TV licence, semacam iuran/pajak televisi.
Tapi bisakah kita lari dari pelbagai interupsi ini? Maaf, tak ada ruang yang zero interruption. Friedman menyebutnya sebagai the age of interruption, zaman gila yang penuh dengan beragam interupsi. Praktis tak ada hari tanpa email spam bagi pengguna email gratisan dari yahoo atau gmail. Menyebutkan Anda pemenang lotre berhadiah jutaan pound, meski tak sekali pun memeasang taruhan. atau email palsu yang meminta pembaca untuk berbaik hati meminjamkan rekening bagi harta rampasan perang dengan jumlah jutaan dollar dengan nama pangeran dari negara antah beranta sebagai pengirim.
Jangan pula berharap lepas dari sms iklan atau telepon berdering menawarkan ragam produk dan segala bujuk rayunya. Di depan flat saya, meski telah terpasang pengumuman bahwa pedagang keliling dilarang masuk, tetap saja ada yang berhasil curi-curi perhatian untuk sekedar menunjukkan brosur mereka. Atau dengan modus yang lebih elegan, menitipkan brosur kepada loper atau pak pos. Jadilah bank statement yang saya terima setiap bulannya selalu disertai dengan brosur pakaian renang atau tujuan wisata baru dengan tarif miring.
Sebenarnya begitulah mekanisme yang ada. Tak perlu rumit memahami teori pemasaran dan perilaku konsumen untuk tahu bahwa iklan dan segala macam interupsi itu juga memberi andil bagi kita, para konsumen. Dengan interupsi-interupsi itulah kita bisa mengenal produk dan apa saja yang bisa memuaskan hasrat dan kebutuhan kita. Hasrat dan kebutuhan? Ya, tak usah malu untuk menyadari bahwa kebanyakan belanja kita lebih untuk memuaskan hasrat ketimbang kebutuhan. Tak heran jika saya sering membeli barang yang tak jelas benar manfaatnya buat saya, toh tetap juga terbeli karena hasrat yang menggunung. Sementara kebutuhan utama sering terpinggirkan dengan beragam dalih. Sebuah interupsi yang menyenangkan, begitu kilah yang jadi umum.
Sekali lagi, berharap tak ada interupsi?
Saturday, September 15, 2007
Selamat Puasa
Semoga puasa hari ini memberi banyak berkah untuk kita semua dan tentu, makin meningkatkan kesalehan sosial kita.
Selamat berpuasa.
Saturday, September 01, 2007
Mobil sport
Jawaban saya untuk semua pertanyaan itu bisa ditebak, “tidak tahu”. Atas nama variasi saya sih sering ganti dengan “lupa” atau “tadi struk belanjanya jatuh”. Saya memang bukan pembelanja yang baik. Jarang sekali saya bisa menghapal—baik di dalam maupun di luar kepala—soal harga barang yang sudah (dan akan) dibeli. Ia memang sangat detail untuk urusan satu ini. selain mencatat setiap pengeluaran, ia pun membuat daftar prioritas belanja. Satu sisi ini tentu tak sejalan dengan jiwa merdeka saya yang sejak lama tak terkekang. Namun sisi lainnya kok berkilah bahwa tak ada yang terkekang. Justru saya yang boros ini jadi terbantu untuk lebih well planned. “Biar nanti bisa beli mobil sport”, hiburnya.
Mobil sport? Ha…ha…ha... Menabung seabad pun rasanya tak kesampaian. Ini memang lelucon khas dengan banyak kawan saat mengajukan beberapa lamaran kerja setelah kuliah dulu. Carilah kerja yang gajinya bisa buat beli mobil sport, begitu motto hidup pencari kerja yang tak tahu diri. Kalo PNS, mau nabung berapa keturunan? (tak ada opsi untuk korupsi, ya..).
Bukan mobil sport itu benar yang membuat saya jadi ingin hapal dan ingat harga barang-barang belanjaan saya. Cuma penasaran aja, bawang merah tadi belinya berapa ya, kok bisa lupa.
Friday, August 24, 2007
Buku Untuk Semua
Dari om Wiki saya kemudian jadi tahu bahwa program free book ini diluncurkan oleh kelompok bookcrossing sejak tahun 2001 yang anggotanya disebut bookcrossers. Niatnya untuk “membebas”kan buku dan menjadikan kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Modelnya sederhana. Tinggalkan buku-buku anda di ruang publik dan biarkan orang kemudian mengambilnya dan membacanya. Pembaca kemudian bisa menyerahkan lagi buku itu di collect point atau sekedar menaruhnya di kafe, toko, atau public space lainnya dan nanti akan diambil dan dibaca lagi oleh orang lain. Ini seperti slogan “3R” mereka, Read a good book, Register to bookcrossing, and just Release it into the wild so others can read it.
Buku yang saya ambil contohnya. Ternyata telah dibaca oleh banyak orang. Komentar dan rating akan buku ini juga ada. Termasuk data dimana mereka mengambilnya dan kapan.
Friday, August 17, 2007
Merdeka, Bung
“Kita belum merdeka, bung”, begitu kata teman saya via emailnya. Panjang ia bercerita tentang kondisi buruh yang selama ini dibelanya. Menurutnya, tak ada kata merdeka dalam kosa kata mereka. Gaji yang dipotong seperti tak ada henti, lembur yang tak terukur, harga minyak tanah yang tak terjamah, semuanya membuat mereka merasa tak merdeka.
Bukan tak ada saya pikir, cuma belum merdeka aja kali. Tapi apa artilah perdebatan semantik ini, toh pada kenyataannya masih banyak nasib buruh, dan bukan hanya buruh, yang belum merdeka dari kebutuhan dasar kemanusiaan seperti makan dan tempat tinggal. Amrtya Sen, peraih hadiah nobel ekonomi mengemukakan bahwa masalah kemiskinan bukanlah terletak pada tidak adanya yg akan dimakan, juga bukan masalah pendanaan atau pengadaan makanan. Namun lebih banyak karena masalah distribusi atau tidak adanya pemerataan.
Merdeka dari ketakutan, itu juga yang masih menjadi barang mahal bagi bangsa
Kemarin presiden sudah baca pidato kenegaraan di DPR, termasuk rencana-rencana pemerintah setahun ke depan. Terdengar banyak duit yang dibicarakan. Belum lagi highlight dari pidatonya yang ber-trend naik. Anggaran pendidikan naik, anggaran kesehatan naik, gaji PNS dan TNI naik, anggaran ini-itu naik. Melelahkan juga baca pidato yang panjang itu. Tapi intinya semua naik, bagus bukan? Tapi waspadalah, orang statistik punya anekdot sendiri akan ilmu mereka.
Merdeka, Bung!!
Monday, August 13, 2007
Pasar Halal
Segmen yang paling menarik dan menjadi perhatian kaum muslim kebanyakan adalah sector makanan, keuangan dan pasar konsumen yang memang banyak bersinggungan hokum-hukum syariat. Laporan economist menyebutkan bahwa pasar produk halal tumbuh 16% per tahun atau sekitar $580 milyar setiap tahunnya. Jumlah yang menggiurkan, bukan?
Namun apakah persepsi soal halal ini kemudian sudah selesai? Ternyata tidak. Beberapa penjual daging dan orang Inggris kebanyakan cuma tahu bahwa halal itu berarti daging selain daging babi. Maka daging sapi atau domba meski tidak disembelih dengan proses halal akan menjadi halal dengan asumsi seperti ini.
Bahkan awal-awal kedatangan saya banyak diisi dengan berbagi cerita soal halal dan tidak suatu makanan. Saya sering ditanya macam-macam, mulai dari ikan yang halal dan tidak halal, atau adakah babi halal (halal pork) dalam Islam? Meski secara pribadi saya tak suka bicara soal halal-haram ini sebab banyak dai dan ustad yang akhirnya lebih sibuk dan siap ribut soal ini ketimbang mengingatkan masyarakat bahwa menyogok polisi atau menaikkan harga barang secara tak wajar adalah dosa juga adanya. Untungnya saya bukan dai terlebih ustad. Tapi yah namanya beda budaya dan kebiasaan, proses cerita ini menjadi unik dan enak saja jalannya.
Kembali ke bisnis produk halal, Mc Donald di London juga telah melakukan uji coba penjualan makanan halal. Di Southall, bagian utara
Produk lainnya tidak kalah. Ada Barbie versi islami, yang disini namanya diganti Fulla. Tak seperti Barbie yang blonde, berbusung dada, serta gonta-ganti pacar, si Fulla adalah tokoh idola banyak calon mertua. Rajin belajar, membaca, shalat dan masak. Sempurna, bukan? Produk keuangan jangan ditanya. Mulai dari HSBC hingga Barclays sudah punya divisi syariah dimana target buruan mereka adalah raja-raja minyak timur tengah dengan jumlah uang yang melimpah. Tentu saja pasar besar lainnya adalah kaum muslim (kebanyakan imigran) yang ada di Inggris.
Namun apakah ini yang kemudian menjadi titik awal kebangkitan Islam? Banyak pihak yang menilai demikian. Namun bagi saya, bisnis tetaplah bisnis, tak perlu menjadi Adam Smith untuk tahu soal ini. Soal kemudian ada berkah dan manfaatnya, anggaplah itu sebagai bonus.
Tuesday, August 07, 2007
Tepuk Tangan Sepakbola
Mengumpan tepat sasaran, habis nendang mengarah ke gawang—meski tak masuk hingga atraksi individual menawan, semua mendapat tepuk sorak yang membahana. Namun itu hanya berlaku sebagian besar untuk pemain tuan rumah. Lawan, tetap saja memperoleh terror yang pantas. Ibrahimovic, striker Inter yang saat itu tak tampil optimal harus rela di “booo” hampir separuh pertandingan. Aksinya yang sering jatuh tanpa sebab, membuat penonton tuan rumah menjadi gregetan—untuk tidak menyebutnya marah. Luis Figo juga bernasib serupa, akibat tindakannya mengusik keputusan wasit.
Tapi semuanya tetap dalam bingkai hiburan. Saya malah curiga pertandingan disini pakai scenario segala. Tak ada lemparan botol bekas, atau penonton yang lari mengeroyok pemain. Ini yang kemudian menjadi catatan penting dari keberhasilan industri bernama premier league yang konon merupakan liga terkaya dan berpenghasilan paling tinggi sejagat ini.
Sebagai industri, liga ini digerakkan oleh kreatifitas, termasuk dalam menjaring penonton. Karena tingkat mahasiswa internasional yang datang ke Inggris setiap tahun menunjukkan trend meningkat, maka strategi pasar klub-klub pun kini masuk kampus. Aston Villa, yang di liga termasuk klub menengah hampir selalu membuka stand penjualan tiket sebelum pertandingan regular dimulai.
Belum lagi program-program seperti stadium tours, valentine day at
Kembali ke teman saya itu, ia pun mengungkapkan sulit rasanya sepakbola
Jika ungkapan Pele yang pernah berkata bahwa “pada sepak bola, Anda bisa melihat kehidupan di dalamnya” bisa dipakai, sepakbola
Wednesday, July 18, 2007
You shop we drop
Economic of scale, begitu mantranya. Makin banyak barang yang diproduksi, maka makin bisa pula harga ditekan. Ini ditambah pula dengan proses otomatisasi yang meminggirkan peran manusia sebagai faktor produksi, yang upahnya tentu menjadi variable dalam penentuan harga. Kalau toh tetap memakai tenaga manusia, maka buruh murah menjadi pilihan wajib para pengusaha.
Cina kemudian menjadi sebuah rumah bagi segala yang murah, the home of cheap. Hampir tidak ada produk yang berhubungan dengan ‘hajat hidup orang banyak’ yang tidak diproduksi di cina. Mulai dari mainan, garmen, elektronik, hingga otomotif. Cina tak lagi dikenal hanya dari kaos dalam, peniti, silet serta perkakas ‘imut’ lainnya.
Murah selalu berpadanan dengan belanja. Di negara-negara maju, taraf belanja masyarakatnya memang sudah mencapai taraf kecanduan. Consumer democracy, ‘the age of cheap’, begitu kata David Booshart. Menurutnya, makin beragamnya pilihan terhadap produk membuat konsumen menjadi bebas dan merdeka untuk menentukan pilihan. Ini pun kemudian diramalkan menjadi sebab dari bergesernya kekuatan image. Dalam hal fashion misalnya, yang kini tak lagi menjadi monopoli desainer kecuali untuk kalangan artis dan jet set yang memang tak bisa hidup tanpa merek. Sampai ada ada anekdot bagi kalangan sophalic, style desainer tapi harga high street. Muncul pula kemudian istilah Fast fashion, desain baru hari ini akan Anda jumpai esok di toko-toko pinggir jalan.
Dalam sebuah program dokumenter di BBC, digambarkan betapa kebiasaan belanja masyarakat Inggris yang sudah ‘mencederai’ akal sehat. Belanja menjadi kegiatan harian serupa lunch dan meeting di kantor. Jadilah mereka belanja tanpa pernah berpikir bahwa barang yang mereka beli itu betul-betul dibutuhkan atau tidak. Rayuan ‘buy one get one free’ juga menjadi sihir bagi konsumen. Banyak teori pemasaran kemudian lahir dan menggantikan model pemasaran yang ‘jadul’. Tentu saja muaranya agar semua orang shop till drop.
Lalu, benarkah barang yang murah selalu memberi keuntungan bagi konsumen? Terlepas dari kualitas barang, rasanya kita perlu waspada dengan apa yang diperingatkan Booshart, although manufactured goods have been getting cheaper, with that trend, comes cheap morals and cheap ethics. Sisi gelapnya adalah budaya throwaway, dimana barang-barang yang tidak dipakai (meski masih berfungsi dengan baik) langsung masuk ke tong sampah.
Charity shop yang sangat bergantung dari derma orang-orang akan barang bekas namun layak pakai pun kehilangan banyak pemasukan. Tak banyak lagi yang memilih mendermakan barang-barang itu. Pikir mereka, toh barang ini saya beli dengan sangat murahnya. Jika harus di charity shop-kan lagi, jadi berapa harganya? Budaya throwaway ini juga menjadi ancaman bagi masa depan yang lebih cerah. Turunanannya tentu soal lingkungan dan kesinambungan kehidupan.
Hal lain, konsumen tidak pernah mau berpikir bahwa barang murah yang dibelinya tak begitu saja ada. Ia lahir dari pengorbanan buruh-buruh yang diupah murah, dengan kondisi kerja yang kadang mengenaskan. Kurang udara, sumpek, tekanan kerja yang tinggi, minim asuransi, serta sederet isu social lainnya yang tak ada dalam label barang. Paling yang muncul di label hanyalah “Made in
Saatnya berhenti belanja? Ah, iklan obral produk-produk Nike di JJB Clearance membuatku berhenti menulis.
foto: pushindaisies
Monday, July 09, 2007
Warming Up
Banjir yang menimpa sebagian wilayah Inggris turut 'melambungkan' nama global warming. Tetangga saya weekend kemarin punya cara unik mengisi liburan. Mereka berencana mengunjungi tempat banjir di selatan
Tetangga saya itu mungkin merasa wilayah banjir itu sesuatu yang unik. Untuk sebuah negara dengan sistem drainase yang baik seperti Inggris, banjir tentu menjadi sebuah kejadian ‘unik’. Apalagi wilayah banjir itu tak dikenal memiliki sejarah kebanjiran yang parah. Ia pun bercerita tentang global warming yang menjadikan cuaca tak menentu dan imbasnya banjir datang meski tak diundang.
Beberapa hari lalu, Al Gore, mantan calon presiden Amerika (yang pongah itu) juga mencoba menjadi pionir dari gerakan global ini. Konser di delapan negara pun dilaksanakannya. Tujuannya sederhana, “biar orang tahu global warming itu betul-betul ada dan mereka jadi aware akannya”, begitu komentarnya.
Lucu juga, global warming yang salah satunya disebabkan oeh konsumsi energi yang berebihan, harus dikampanyekan dengan serupa konser, yang tentu saja juga menghabiskan tak sedikit energi. Madonna, yang mengisi konser ddi
Hypocrite? Ah, tak mengapa. Toh panitianya juga telah menjamin dengan iklan ciamik bahwa mereka menggunakan energi yang ramah lingkungan dan menggunakan bahan-bahan yang recyclable. Perdebatan ini juga mirip dengan kondisi
Jauh lebih penting memang kecemasan ini diwabahkan. Asal negara-negara besar dan maju tidak saja menyalahkan negara-negara miskin seperti
Global warming=banjir dan cuaca yang tak menentu, begitu definisi tetangga saya.
Tuesday, June 26, 2007
An Apology
Cara unik mereka seperti yang hari ini saya terima melalui
Bunyi
Dear friend,
First of all: an apology.
I know you didn’t ask me to write to you. Yet, here I am—writing to you anyway—expecting you to give up a few moments of your time. You’re probably just thinking, “oh dear, not another charity asking me for money…”
Setelah itu kemudian paparan data serta penjelasan singkat mengenai sejauh mana pencapaian program dan kampanye mereka. Termasuk sebuah formulir kesediaan untuk secara rutin menyisihkan 2 pound per bulan sebagai bagian dari kegiatan donasi. Awalnya saya pikir ini serupa spam letter aja, yang agak meragukan. Setelah mengcek situs mereka, ternyata benar adanya. Mereka pun terdaftar di pemerintah. Satu lagi, patron (pelindung) lembaga ini; Her Majesty The Queen. Tentu lembaga gadungan tak seenak itu memasang nama ratu.
Tidak juga unik sebenarnya. Mungkin kreatif aja. Unik memang sering dipadankan dengan kreatif, meski dalam beberapa konteks unik menjadi lebih dekat dengan aneh. Terlepas dari perbedaan terminologii itu, satu hal yang menjadi perhatian saya adalah upaya mereka menggalang dana tanpa menimbulkan kesan memaksa dan membuat penderma pun merasa terpanggil untuk terlibat, meski dalam tingkat yang berbeda.
Cara unik/kreatif ini sering pula dilakukan oleh lembaga-lembaga derma lainnya di Inggris. Salah satu yang palingn kreatif adalah Oxfam. Selain dengan charity shopnya, lembaga ini juga kerap menawarkan program derma sesuai dengan minat dan keinginan kita melalui Oxfam Unwrapped. Pernah membayangkan membeli toilet? Melalui program ini, Oxfam misalnya menawarkan kepada masyarakat membeli toilet seharga 30 pound. Dana yang terkumpul kemudian dipakai untuk membuat toilet di negara-negara tempat Oxfam bekerja. Menurut kawan yang pernah terlibat di Oxfam, program ini pernah dilakukan untuk membangun puluhan toilet di Aceh setelah daerah itu terkena tsunami. Ada pula penawaran voucher gift, yang menerima hadiah itu berarti telah menyumbang atau berderma sejumlah uang yang kemudian diwujudkan dengan penanaman pohon, penyedian fasilitas air bersih kepada masyarakat miskin di Afrika.
Ide kreatif, akuntabilitas, dan bertanggung jawab tentu menjadikan mereka tak terlalu sulit untuk menjalankan banyak program. Sama tak sulitnya bagi mereka untuk membagi-bagikan dana kepada lembaga sosial dan LSM di Indonesia, yang orang-orangnya masih kebanyakan bertindak sebagai pencari kerja ketimbang membantu masyarakat. Saya tak alergi terhadap LSM dan lembaga sosial. Banyak—banyak sekali bahkan—dari mereka yang tulus dan sangat pantas diberikan apresiasi positif terhadap langkah dan tindak mereka. Namun niat dan rencana baik saja tidak cukup. Tak perlu tunggu menjadi negara maju dan kaya untuk berwujud seperti itu. Perlu ide kreatif , program jelas dan tak muluk-muluk, serta tentu saja bertanggung jawab agar rencana tersebut terealiasasi. Masyarakat yang ingin berderma tentu saja tak sedikit jumlahnya. Masalahnya, jumlah yang banyak ini lebih sering jadi peluang bisnis pribadi daripada bisnis lembaga untuk masyarakat yang manfaatnya untuk masyarakat.
Thursday, June 21, 2007
Iseng
Siapa gerangan yang menanam bunga-bunga indah ini, sebab tak ada undangan kerja bakti yang masuk di flat kami? Ternyata pasangan tua Arthur dan Audry yang tinggal di lantai 10. Mereka sedang santai duduk menikmati sandwich dan orange juice. Saya pernah membahas mereka sedikit disini. Setelah berbasa-basi dan coba menyapa, saya pun bertanya kenapa mereka menanam bunga-bunga itu. Ini juga sekedar mengkonfirmasi jika saya luput dalam kerja bakti yang mungkin undangannya tak kesampaian. Meski tak ada paksaan, sebagai pendatang tak elok rasanya jika tidak berpartisipasi dalam acara-acara di lingkungan sekitar.
“Sekedar iseng, my dear. Bunga-bunga ini kami ambil dari taman kami di lantai 10 dan rasanya sayang jika keindahan di lantai 10 tak ternikmati oleh orang lain. Saya dan Arthur juga bosan di flat terus, tak ada kegiatan,” jawab Audry yang usianya seumuran nenek saya di kampung.
Arthur kemudian menimpali, “Kurang kerjaanlah kami ini, maunya berkebun tapi tidak punya lahan maka taman flat inilah yang kami kerjakan”. Mereka berdua tertawa, saya juga ikut tertawa jadinya.
Pasangan ini memang istimewa dan menyenangkan. Tak seperti kebanyakan orang Inggris yang tertutup, mereka seperti devian dari karakter orang Inggris yang menurut antropolog Kate Fox dalam bukunya “Watching the English” sangat tertutup terhadap orang asing. Dalam bahasa Fox, mereka lebih memilih “memandang langit hitam ketimbang menyapa orang asing”.
Audry, sang istri terlihat sangat menikmati aktivitas ‘iseng’ ini. Deretan lubang yang dibuatnya sangat rapi. Jarak antar lubang pun sangat pas, tak sama saat kami kerja bakti dulu. Saat itu mereka memang tak terlibat. Kami, saya dan penghuni flat lainnya saat itu bisa dikatakan menanam tulip dan rose seadanya. Di kantong bibit sudah jelas aturan pakai dan standar tanam yang meminimalkan 6 cm kedalaman lubang. Seperti tak tahu aturan aja, lubang-lubang yang kami buat hanya kisaran 3 cm, itu pun dengan jarak yang sangat jauh dari rapi.
Iseng, kurang kerjaan, begitu sekali lagi mereka menyebut aktivitas itu. Namun bagi saya itu sungguh bermakna. Banyak hal besar di dunia ini memang yang lahir dari iseng dan orang kurang kerjaan. Meski banyak juga yang membuat dunia jadi seperti neraka dengan segala keisengan dan kurang kerjaannya, tapi saya percaya, 3 minggu ke depan saya bisa membuktikan hasil kerja iseng mereka yang begitu indah. Setidaknya saya bisa menikmati “wangi bunga dimana-mana…”
Thursday, June 14, 2007
Tentang Hujan
Kembali saya berhadapan dengan perbandingan. Membandingkan
Beberapa mahasiswa yang tampangnya mirip bintang sinetron mengatakan bahwa nasionalisme sekarang tak harus mengikuti model Hatta dan Sjahrir saat mereka dengan gagah berani meninggalkan Belanda dan memilih pulang kampung untuk membangun Indonesia. Nasionalisme toh tak sesempit itu. Kontribusi terhadap negara
Oh yah, soal beberapa yang mirip bintang sinetron, kabar yang saya dengar malah memang ada yang bintang sinetron beneran. Saya tak tahu, sebab saya bukan pencinta sinetron. Kalau toh dia bintang sinetron, ‘so what?’. Asal dia bukan bintang sinetron rohani yang pura-pura jadi ustad dengan lafalan alquran keliru saja.
Saya memilih mendengar saja saat itu. Selain selama ini memang sudah akrab dengan hujan batu, saya juga tak pandai diri bersiap dengan hujan uang. Entah hujan seperti itu memang ada atau tidak.
Kembali ke perbincangan nasionalisme tadi, tidak ada kesimpulan memadai dari dua pendapat yang berbeda. Perbincangan ini pun memang tak diniatkan untuk mencapai mufakat, toh soal keyakinan dan nilai, siapa yang bisa pengaruhi siapa,
Saya lalu teringat saat di kedutaan beberapa waktu lalu, saya bertemu beberapa TKI yang sedang mengurus berkas keimigrasian. Kami lalu berbagi cerita, termasuk bagaimana mereka memendam rindu yang mendalam akan kampung halaman. Menikmati hujan air di teras rumah, dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng. Alangkah nikmatnya..
Ramalan cuaca menyebutkan besok akan hujan..
Tuesday, May 15, 2007
Melihat Perang dari Kacamata Bisnis
Setiap kita tentu melihat Irak dengan perangnya adalah tempat yang tidak “sehat” untuk berbisnis. Semua prasyarat normative tak dimiliki negeri itu, saat perang berlangsung, tentu. Keamanan, stabilitas, infrastruktur, dan sederet indicator lain adalah mustahil untuk terpenuhi sejak amerika yang gila perang itu menginvasi Irak.
Terlepas bahwa alasan ekonomi juga menjadi pendorong bagi Bush untuk mengirimkan ribuan tentaranya ke Irak, banyak kalangan bisnis yang melihat apa yang tidak dilihat oleh mata kebanyakan. DHL, salah satunya. Perusahan logistic terbesar di dunia ini melihat peluang yang tidak kecil. Tentu, mereka tak sekedar bertaruh selayaknya taruhan pacuan kuda atau pertandingan premiership di William Hill. Jadilah reputasi DHL sebagai perusahan logistic terbesar bertemu dengan Irak, one of the world’s most inhospitable markets.
Heyrick mungkin tak cukup bagus jika buku ini diniatkan sebagai sebuah catatan perjalanan yang dalam. Namun buku ini juga menjadi bagus sebagai sebuah catatan diluar mainstream ilmu bisnis yang sangat mengagungkan stabilitas. Tiap chapter dari buku ini pun coba mem”bisnis”
Ia bercerita tentang dilema saat ia ditawarkan merintis DHL di Baghdad. Padahal, ia telah mapan dengan profesinya di perusahaan jasa keuangan, Mergermarket. Akhirnya ia pun memilih tantangan DHL dan langsung berangkat selang beberapa hari setelah ia pulang liburan. Untungnya, pengalaman sebagai tentara ia miliki dan tentu saja berharga di tempat seperti
Singkat cerita, dalam kurun beberapa bulan armada DHL makin bertambah banyak dan Heyrick pun membawahi lebih dari 30 karyawan. Sebuah pencapaian luar biasa dalam lingkungan yang tidak biasa. Strategi yang diterapkan pun sebenarnya standard saja. Berkawan dengan tentara, mengincar pasar diplomatic dan kedutaan, serta melacak jejak bisnis baru yang bakal muncul.
Cerita menarik ia sajikan tentang bagaimana pekerja Irak yang harus bolak-balik bandara untuk mengurus logsitik dan ternyata belum pernah sekalipun menginjak bandara. Tercatat pula bagaimana orang-orang Irak itu dibayar rendah ($300/bln) namun masih sempat pula berhias dengan kalung dan cincin emas. Bagaimana pula ia harus berkawan dengan wartawan dan mencoba mengambil peran dalam kerja-kerja NGO hanya untuk mendapatkan informasi keamanan.
Hambatan dan kesulitan bukannya tidak ada. Namun begitulah bisnis besar dibangun. Google, Microsoft, dan sederet nama-nama besar dalam dunia bisnis tak lahir hanya dari proposal dan sekedar “berusaha”.
Perang Irak kini memang belum ada tanda akan berakhir. Namun Heyrick tentu telah mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari sekolah bisnis bernama
Thursday, May 10, 2007
Dibuang sayang…
Yah, inilah pasar yang memuaskan hasrat mereka yang berburu barang bekas. Untungnya lagi, ini juga menjadi wadah bagi mereka yang ingin menjual barang-barang, yang tentu saja sayang untuk dibuang begitu saja. Tak ada batasan dalam hal barang yang diperdagangkan. Mulai dari mainan anak-anak, keramik hingga lemari pakaian. Namun periksa sebelum membeli menjadi pedoman utama, sebab tidak ada garansi, apalagi minta uang kembali.
Jika beruntung, Anda bisa mendapatkan barang-barang langka dari sang pemilik yang merasa sudah tidak punya ruang untuk memarkir barang itu. Seperti sempat tertangkap mata ini, ada satu set alat makan yang terbuat dari perunggu. Barangnya udah tua, ini terlihat dari tahun pembuatan yang tertera di dalam kotaknya.
Selain barang-barang bekas, juga terdapat barang-barang baru, yang kebanyakan merupakan barang impor dari Cina dan
Sejam berkeliling, tak ada yang berhasil saya beli. Namanya kunjungan pertama, mungkin butuh kunjungan kedua, ketiga dan berikutnya untuk berkeputusan. Tak apa, kali lain mungkin ada yang melego keramik Cina dari dinasti Ming, atau barang langka lain dan saya beruntung mendapatkannya. Urusan ruang pasti bisa disiasati.
Foto: Wikipedia
Tuesday, April 17, 2007
War with next door
Makin modern sebuah kehidupan sepertinya punya implikasi positif terhadap meningkatnya keinginan untuk komplain. Ini memang dimungkinkan, dimana kesadaran masyarakat terbangun untuk kemudian berani menyuarakan aspirasi dan hak mereka dengan jalur yang resmi dan menihilkan keinginan bertindak seenak diri. Muaranya tentu adalah terciptanya sebuah tatanan social yang demokratis dan berkeadaban. Tapi sesederhana itukah?
Ah, rasanya jika ukurannya kenikmatan, sekali lagi kenikmatan, dalam batasan tertentu lebih bisa ternikmati hidup bertetangga di batangase
Jadi ingat juga saat kos dulu. Teman disamping kamar saya seorang katolik yang taat. Ia rajin memutar lagu-lagu rohani, hampir sepanjang ia di kosan. Teman kamar sebelah lagi larut dalam alunan rock Jamrud. Tetap aja ternikmati, meski jika magrib tiba saya suka ngetok dinding pembatas kamar sebagai peringatan. Pernah sekali mereka tak mengindahkan, maka pintu kamar mereka pun yang kemudian saya ketuk. Memasang muka masam meski tak bermaksud menakuti.
Modern, modernitas, atau apapun namanya selalu menyisakan kompleksitas. Entah kenikmatan hidup yang telah terasa itu akan bertahan atau tergusur dengan komplain-komplain yang tak ada niat lagi untuk mencari solusinya sambil rujakan atau rapat RT. Setelah itu, semua orang akan merasa punya “neighbour from the hell”. Hey, bukankah dulu ada pelajaran toleransi di sekolah?
Sunday, April 08, 2007
The Hardest Part
Setelah sekian lama bertukar sapa, baru semalam saya berani menanyakan nama mereka. Kayak aneh aja rasanya sering jumpa tanpa tahu nama. Yang laki, Arthur (78) dan pasangannya Audry (82). Oh yah, Audry ini mengingatkan saya dengan Barbara dalam video klip Coldplay, The hardest part. Gila aja, Barbara yang lebih pas jadi nenek itu dengan lincah dan tanpa ragu menari dan berakrobat layaknya penari latar Madonna yang lincah. Lengkap dengan kostum yang serupa Britney Spears dan Madonna itu sendiri.
Kembali ke laptop, pasangan tetangga saya ini unik juga. Mereka punya dua anjing yang sangat disayangi. Saya lupa nama kedua anjing itu, soalnya nama Jerman yang agak tidak bersahabat dengan lidah saya. Yang jelas, satu betina dan lainnya jantan. Keduanya sangat sensitive dan suka mengonggong. Sepatu dan celana jadi incarannya untuk dijilat saat di lift. Kedua anjing ini begitu disayang, setidaknya dari cerita mereka berdua yang empat kali sehari rutin membawa anjing ini menghirup udara segar di taman samping flat. Terbayang kelelahan untuk pasangan tua seperti mereka turun dari lantai 10, menghabiskan 20 – 30 menit di taman menanti dengan sabar anjing-anjing mereka bermain dan kemudian kebali ke flat. Begitu seterusnya, setiap hari. Tapi saya tak yakin mereka menganggap itu sebagai the hardest part, mesi rutinitas kadang tak baik bagi akal sehat.
Lama kami ngobrol dan saling bertukar cerita. Namun saat itu saya lebih memilih mendengar. Mendengar pengalaman mereka, termasuk kisah cinta mereka, yang baru menikah sejak 8 tahun yang lalu, sesuatu yang biasa aja disini barangkali. Sesekali dalam cerita mereka sering bertukar pandang, sambil saling bertanya jika ada detail yang luput. Ah, sungguh menarik dan romantis juga. Belum lagi kisah Arthur yang banyak menghabiskan waktu dengan berkeliling dunia sementara istrinya mengabdikan diri sebagai perawat hingga kemudian pension.
Saya tak tahu apa mereka punya anak. Cerita pengalaman hidup mereka membuat saya lupa tanyakan soal itu. Apalagi mereka lebih senang cerita soal anjing kesayangan. Jadilah kombinasi cerita anjing, nikah tua dan keliling dunia menjadi topik utama silaturrahmi.
Malam itu sebenarnya masih ingin saya dengar banyak cerita lagi. Tapi tak tega juga melihat badan tetangga tua saya itu yang mulai menggigil karena angin yang menusuk. Meski sudah spring, dingin bukan berarti pergi begitu saja. Saya pun rasanya tak tahan juga. Tak ber-jumper, dan pula tak ber-sepatu membuat pilihan menjadi terbatas. Tadi sekedar niat mengetes daya tahan tubuh, dan percaya dengan cerahnya cuaca. Namun salah, cerah tak berarti hangat. Maka pamitlah saya sambil berjanji untuk bersua mereka lagi dan berharap semoga besok ada cerita baru untuk didengar.
Friday, March 30, 2007
Syukur
Cerita tentang kehidupan individual di negeri ini sudah sering saya dengar. Wanti-wanti seperti ini juga yang banyak dilontarkan saat mengikuti training sebelum berangkat kesini. Yah tidak kenal ama tetangga lah, tak suka campur-urus perkara orang lain lah, hingga yang agak keren dikit, don’t put your foot on other’ shoes, sebagai nasihat mumpuni.
Namun kemarin, tepatnya minggu kemarin saya merasa perlu sedikit menata kembali pikiran sambil berucap syukur bahwa saya masih bisa punya tetangga. Contoh-contoh seperti yang terungkap diatas memang telah terjalani dengan baik. Namun yang ini, sungguh, tak sampai hati rasanya. Menjadi individu yang merdeka tentu punya resiko, tapi tetap saja, ada “rasa” yang hilang dari hidup itu sendiri. Kesadaran seperti ini sebenarnya sudah banyak dilontarkan. Dalam beberapa kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden (salah satunya Bush) di negara maju, kampanye untuk mengembalikan peran keluarga dan masyarakat sebagai kekuatan makin nyaring disuarakan. Soal berhasil atau tidak, itu urusan lain.
Tetangga yang tinggal tepat diatas flat (lantai 6) kami meninggal. Parahnya, tubuh layunya ditemukan setelah seminggu lebih ia menghembuskan nafas terakhir. Itu pun berkat spekulasi Martin, si loper koran yang mencium bau menyengat saat mencoba memasukkan koran melalui lobang
Operasi polisi ini praktis diam dan tanpa pelibatan tetangga. Buktinya, tetangga lain yang tinggal selantai dengan ia yang meninggal dunia pun tak tahu. Saya, istri dan teman serumah pun mengetahuinya dari cerita Martin, yang memang dekat dengan kami. Saat turun ingin keluar flat, ia melonjak dan kaget mendengar bunyi pintu kami buka. Rupanya bayangan buruk sejak ia mencium bau menyengat itu belum juga pergi. Awalnya ia tak mau berbagi cerita. Tapi setelah didesak, akhirnya ia pun menuturkan cerita itu, dengan catatan tak usah membagi cerita ke tetangga yang lain. Mungkin agar tak mengganggu stabilitas, begitu pikir saya.
Sehari setelah persitiwa itu pun, tak ada reaksi luar biasa. Bahkan, saya menjamin tidak banyak penghuni yang tahu. Kami memang tidak dekat dengannya, bahkan cuma sesekali berpapasan dengan tetangga itu. Tapi tetap saja, ada rasa yang mengganggu. Sebagai tetangga, tentu tak sekedar urusan "elok" jika memilih melibatkan diri, atau sekedar khawatir.
Oh yah, gedung tempat kami tinggal ini berisi flat yang kebanyakan penghuninya adalah pensiunan. Banyak diantara mereka malah tinggal sendiri, tidak ada keluarga dan anak. Mungkin karena tak ingin dianggap durhaka, anak mereka kemudian memilih menyewakan flat ketimbang membawa orang tua mereka ke panti jompo. Nasib yang sama menimpa tetangga yang meninggal itu. Ia sendiri, tidak ada sesiapa yang menemani.
Di negeri ini, teknologi dan masa depan sama tidak jelas ujungnya, kalau toh ia pas untuk disandingkan. Smartphone hari ini, akan menjadi purba dalam rentang tak terlalu lama dan tergantikan dengan sesuatu yang baru. Kita jadi tak bisa membayangkan, bagaimana akhir dari gerak maju teknologi ini. Hidup juga begitu, tua dan kematian seperti suatu yang tak tergambar. Banyak nilai yang kemudian tergantikan. Lalu, dimanakah kenikmatan hidup yang dicita-citakan itu?
Kembali, saya harus mengucap syukur..Tuesday, March 20, 2007
Gombalisasi
Ini kali kelima ada orang yang menganggap saya orang
Kasus saya mungkin masih mendingan. Teman dari
Globalisasi, dari kaca mata bisnis dan ekonomi punya arti sederhana. Tidak ada batas, borderless, bahasa kerennya. Lupakan dulu definisi-definisi rumit dari scholar dan jurnal. Sederhananya ya seperti itu, ga terbatas. Dan ternyata, itu yang terjadi beberapa dekade belakangan ini. Tak ada batas, dalam arti bahwa tak terbatas upaya orang untuk mengira saya sebagai orang
Atau, beberapa hari ke depan mungkin ada yang menganggap saya sekampung mereka di
Saturday, March 17, 2007
Bahagia
Pekan ini, saya terima banyak kabar bahagia. Maksudnya, mereka yang mengabarkan berita berbahagia, saya pun berbahagia mendengarnya. Dua orang kawan, akan “menuntaskan masa lajang”, begitu kutipan resmi dari pesan di milis.
Kawan kedua di tanah jauh
Dunia ini makin menarik memang, sejak kita sadar dan tahu bahwa tidak semua hal yang kita rancang, dengan matang sekalipun, akan berwujud. Begitulah adanya hidup.
Selamat berbahagia, kawan(s).
Tuesday, March 13, 2007
Terima kasih
Lalu, apa spesialnya kaos Cina itu? Pertama, tentu karena itu pemberian dan patut dihargai. Kedua, ini yang tidak penting, Oke, hampir 70% produk TPT (tekstil dan produk tekstil) yang ada di dunia ini rasanya made in China. Ini hanya kisaran kasar, tapi saking banyaknya, yah kisaran itu bisa jadi halus. Entah itu bermerek adidas, nike atau umbro. Tapi yang ini, asli buatan China tanpa merek-merek global yang "mengintimidasi" itu. Yang pertama tulisan kaligrafi cina yang artinya kesejahteraan. “Semoga ini menjadi doa bagi perjalanan hidup kamu”, begitu kata teman saya. Kaos yang kedua bergambar Deng Xiaoping, tokoh penting dibalik kesuksesan Cina. Ia terkenal dengan ungkapannya, “bukan kucing hitam atau kucing putih yang penting, melainkan kucing yang dapat menangkap tikus”.
Kopi Turki? Ah, itu hadiah dari teman Jepang yang baru menghabiskan weekend di Turki. Tahu saya penggemar kopi, maka jadilah kopi Arabica dengan sampul coklat berbahasa turki itu yang jadi pilihan cenderamata. Ketika saya tanya apa artinya, ia cuma yakin bahwa itu kopi enak. Soal arti, masihkah ia perlu saat kita menyeruputnya?
Terima kasih untuk mereka berdua. Semoga ada kesempatan untuk berbalas baik.
Thursday, March 08, 2007
Ini Hari
Lama tak mampir ke blog ini. Bukan soal tugas yang menumpuk, atau tidak ada ide. Bukan itu betul yang membuat rumah sederhana ini jarang ditengok. Cuma malas aja, ga lebih, itu agar tampak lebih bertanggung jawab aja kelihatannya. Selebihnya, yah emang belum cukup berdisiplin aja, begitu kata aan.
Saat antri menunggu pesanan cheese burger untuk makan siang, tiba-tiba dihampiri seorang kawan
Sebenarnya sejak bulan lalu udah ada tawaran tiket yang diumumkan di milis. Namun karena bertepatan dengan jadwal sekolah dan assignment yang seperti janjian bikin deadline berdekatan, maka saya tak tertarik untuk beli tiket. Alasan lain, dan ini yang utama, harganya cukup membuat kita merogoh kocek lebih dalam [ini istilah koran yang sejujurnya ga pas], meski untuk sudent selalu ada diskon yang cukup membantu.
Tawaran itu rasanya sayang untuk dilewatkan, meski saya bahkan tidak tahu siapa pemain
Sesampai di National Indoor Arena, saya betul-betul serupa orang yang tak berpengalaman.
Kalau soal atmosfer, yah miriplah kalau nonton-nonton lainnya. Teriak dan rebut-ribut. Cuma gregetnya belum luar biasa, masih pecah karena dari enam lapangan yang tersedia semuanya terepakai. Jadi, agak susah untuk fokus nonton satu pertandingan. Yang menarik bagi saya adalah bahwa tadi ada beberapa pemain dengan nama yang sangat
Yang menarik lainnya, cerita dari anak-anak di PPI tentang tingkah dan kebiasaan pemain
Belum ada kabar terbaru apa besok hingga final hari akan ada tiket gratis lagi. Tapi semoga saja ada dan bisa nonton lagi. Kali ini akan lebih menarik, meski tidak ada jaminan pemain Indonesia akan terus berlaga hingga akhir pertandingan. Kalau toh tak ada, semoga tim