Divisi apa yang paling berat dalam sebuah perusahaan? Pemasaran, marketing kerennya, begitu kata seorang kawan yang telah bekerja di salah satu bank swasta. Sebagai bagian dari divisi “menjual” [sebagaimana yang banyak dipahami dari konsep marketing] ini, ia dituntut untuk mencapai bahkan melampaui target jumlah nasabah dan jumlah duit yang mengucur sebagai kredit.
Itu kalau kita bicara dalam konteks bank, sebagai bisnis. Lalu bagaimanakah marketing dalam konteks kekinian? [duhh..kekinian bow]
Saya tak minat untuk membahasnya secara filosifis dan sok akademis, tapi lebih suka melihatnya dari sudut aplikasinya. Saat berada di train station menanti kereta, selain jejeran bilboard produk-produk ”biasa” [paket liburan, pilem baru, pakaian model baru, makanan dan minuman—pokoknya yang mass product deh..] tak sedikit bilboard atau iklan yang memasarkan buku [kebanyakan novel] baru.
Ini mungkin ada kaitannya dengan kebiasaan masyarakat disini untuk mengisi waktu dalam perjalanan dengan membaca. Maka seluruh stasiun kereta menjadi lahan yang ”basah” untuk novel dan buku baru memperkenalkan diri. Ini mungkin biasa saja, namun konsep marketing dari penerbit dan novelis sungguh jitu dan lebih mengena.
Maka ketika dulu saya sering mendengar dari orang-orang yang pernah ke luar negeri bahwa masyarakat barat [dan juga Jepang] menjadi pintar karena banyak membaca, saya jadi curiga, ada penerbit yang ”bermain” di sana [waduh, kok saya tiba-tiba jadi senang dengan teori konspirasi...].
Buku, novel, itu produk yang tangible. Lalu bagaimana dengan memasarkan pengetahuan, konsep atau pemahaman yang intangible atau bisalah kita kategorikan sebagai kampanye?
***
What am I after all but a child,
pleas`d with the sound of my own name?
repeating it over and over;
I stand apart to hear - it never tires me.
To you your name also;
Did you think there was nothing but two or three
pronunciations in the sound of your name?
(Walt Whitman, 1819 - 92)
London Underground membuat saya terkesima. Berbeda dengan kemarin-kemarin, sekarang ada yang baru di Underground. Poem on the Underground, ini semacam kampanye untuk mencintai puisi atau mengenalkan puisi kepada masyarakat. Tak perlu menjadi sadar dan menjadi sok puitis, targetnya sekedar bagaimana puisi bisa menjadi kata batin dari masyarakat. Hal yang sama rasanya pernah dilakukan juga oleh pengembang apartemen mewah di Jakarta, namun apa motifnya, saya tidak tahu.
Maka saat menuju restoran Mawar [rumah makan Malaysia dengan rasa yang sangat pas di lidah kampoeng saya] dan saat balik ke Marylebone, di tube saya bisa menikmati puisi dari Whitman di atas. Atau juga Henry Vaughan [jujur, saya tidak tahu siapa dia…] yang judulnya “from the world”, atau ada juga puisi “No man is an Island” dari John Donne. Kampanye ini telah berjalan sejak 1986 dan setiap tahun, puisi-puisi yang dipajang di Underground dibukukan dan dijual lagi kepada masyarakat. Nah, bisnis lagi, kan?
Jangan Tanya saya mengenai puisi-puisi itu dan penciptanya, teman Aan ini mungkin lebih tahu. Atau bisa juga tanya wartawan Ahmad, yang juga pandai berpuisi. Tapi yang pasti, ini sebuah bentuk “percakapan” antara penyair dan masyarakat, yang dalam pandangan saya penyair juga manusia dan juga harus membumi serta memasyarakat. Yang terpenting, puisi-puisi itu seperti meneduhkan dari panasnya rutinitas kota besar. Analisis ini bias saja keliru, karena saya memang tidak ahli dalam bidang ini, meski juga tetap tidak ahli dalam bidang yang lain..he..he..
Lalu, ada apa dengan iklan buku di stasiun dan puisi cinta di kereta bawah tanah itu? Kreatifitas dan visi berjalin padu untuk sebuah tujuan. Ga perlu genit ngomong kapitalisme dan produk barat segala, terlalu jauh dan memang saya tidak mengarah ke sana. Yang saya ingin sampaikan sekedar bagaimana menyiasati kendala dan mengubahnya menjadi sebuah peluang dengan segala inovasi dan kreasi. Selain itu, ini merupakan konsep menarik yang bisa dikembangkan. Itu saja.
No comments:
Post a Comment