Business Policy and Strategic Management, modul paling pagi (9 am) dan jarang diikuti lengkap oleh seluruh students yang jumlahnya sekitar 30an. Kali ini yang dibahas tentang Hofstede’s Cultural Dimension theory. Teori ini sebenarnya coba menggambarkan perbedaan kultur yang harus menjadi perhatian pebisnis sebelum mencoba masuk atau ingin langgeng dalam arena 'bermain'. Hofstede Theory is based on the assumption that countries can be compared with each other by rating the following parameters; uncertainty avoidance, power distance, individualism versus collectivism, assertiveness, and future orientation.
Bagaimana melihat ini secara sederhana? Simply look at the company’s annual report. It’s different when you read annual report from the US company and Europe company. The US company tend to bombardier you with the figure and a lot of numbers, whilst Europe company neglect it and judge that as an impolite. Perbedaan seperti ini tentu saja tidak mencolok, namun tetaplah mudah untuk dirasakan. Soal bisnis harus tahu culture, tentu saja semua setuju.
Yang menarik bagi saya saat faktor-faktor ini dijabarkan, lengkap dengan negara-negara yang menjadi contoh dari faktor tersebut. Ada nama Indonesia di sana, tepat sejajar dengan faktor short-term versus long-term view serta uncertainty avoidance. Apa artinya ini? Indonesia “kebetulan” masuk sebagai bagain dari Negara-negara yang derajat kepastian dan stabilitasnya rendah sekaligus tidak paten dengan cara pandang yang jauh ke depan.
Kasihan juga Indonesia jika begini, pikirku. Apalagi kalau mau jujur, hampir di setiap unsur nama Indonesia bisa ada, khususnya dalam konteks yang “tidak baik-baik amat”. Tapi jangan selalu merendah diri, terlebih untuk sesuatu yang debatable. Beberapa waktu lalu terlihat bagaimana kelemahan peneliti-peneliti asing di Word Bank dalam “membaca” politik perberasan di tanah air. Tercatat pula bagaimana IMF terbukti salah dalam memberi resep ketika Indonesia menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan.
Saat rehat, kawan dari Libya [saya masih penasaran, mungkin dia anak Khadafi] bertanya kepadaku, apakah benar apa yang disampaikan oleh dosen itu? Tiba-tiba saya mau menjadi duta bangsa yang baik, dan akhirnya, tanduk untuk ngeles tumbuh dengan seksama. Saya jawab aja bahwa dalam konteks ilmiah, pendapat itu benar karena sudah melalui proses ilmiah. Namun dalam kenyataannya, kadang jauh berbeda, atau paling tidak sedikit keliru. Mau bukti? Soal fleksibilitas, itu yang bangsa ini punya, dan sangat banyak bangsa tidak memilikinya. Bangsa Indonesia lebih fleksibel, hingga saking fleksibelnya kita tak punya rencana jangka panjang. Di tengah jalan, rencana bisa dirombak, tergantung kondisi dan perencana, jangan lupa tergantung penguasa juga.
Masih kurang? Sekarang soal kolektivitas kalo begitu. Gotong royong, bahkan dalam segala urusan. Tak saja soal bersih-bersih lingkungan, korupsi dan demo mendesak peningkatan gaji bagi DPRD pun dilakukan secara kolektif. Meski, belum tentu untuk urusan penjara dan menjalani hukuman kolektifitas itu tetap terjaga.
Saya tahu, yang saya katakan padanya itu adalah “terjemahan kelewat bebas” dari apa yang dimaksud Hofstede. Namun begitulah, selalu ada keinginan ngeles kalo soal Indonesia. Bukan soal bahwa saya cinta tanah air. Tak juga karena chauvinisme telah begitu popular setelah ajang Putri Indonesia digelar beberapa waktu lalu dan salah seorang pesertanya tak tahu apa arti kata itu, sehingga koran dan tipi pun berubah menjadi kamus khusus kata itu. Lalu, jika bukan karena itu, lalu kenapa?
Saya tak ingin menyebutnya sebagai perwujudan nasionalisme. Tak juga, sebab nasionalisme kini telah mengambil tempat di pinggir pusaran setelah tak kuat melawan arus keras globalisasi. Kalau toh sikap seperti itu tetap masuk kategori nasionalisme, baiklah, berarti nasionalisme yang saya punya mungkin sudah kadaluwarsa.
No comments:
Post a Comment